enjoy reading ...
Kepalaku menggeleng dengan rasa sesak di dada. Alasannya sederhana, aku hanya tidak suka jika Lois memberi perhatian ketika sudah lelah mengejarnya. Nanti pertahananku bisa runtuh. "Aku cuma mau balik ke Jakarta, Lois." Dengan suara lirih aku menolak tawarannya yang berniat mengobati luka di lututku. Sebisa mungkin jangan sampai ada sentuhan yang membuat hatiku makin sulit melupakannya. "Di kontrakan sepi." Kemudian aku mendengus geli sambil menggelengkan kepala. "Aku akan coba melawan rasa takut itu." Lois tidak menjawab apapun lagi kemudian aku memberanikan diri mendongak untuk menatap wajahnya. Ternyata Lois hanya diam sambil menatapku. "Tolong buka kuncinya, Lois." "Luka itu kalau nggak diobati dulu bisa kena infeksi. Gimana kalau nanti kakimu harus diamputasi?" "Jangan nakutin, Lois." "Aku nggak nakutin. Biasanya 'kan kalau kena infeksi nanti bernanah lalu diamputasi." Kepalaku menggeleng dengan hati meragu. Setahuku dokter tidak akan semudah itu menyuruh pasiennya
Tangan Lois kembali meraih botol itu namun aku segera menahannya. "Pasti ada cara untuk menyelesaikan masalahmu, Lois." Dia menoleh padaku dengan tatapan lembut lalu melihat bibirku sekilas. Tangan kami yang sama-sama memegang botol red wine kemudian terurai karena Lois menarik tangannya. Dengan ujung ibu jarinya, dia mengusap sudut bibirku. Reflek aku terkejut dan sedikit memundurkan wajah. Aku hanya terkejut dan efek sentuhannya membuat tubuh ini merasa panas dingin. Memangnya perempuan mana yang tidak terkejut jika diperlakukan sebegini romantisnya oleh lelaki yang dicintai? "Ada saus." "Thanks, Lois." Dia tersenyum lebar kemudian kembali meraih botol red wine itu dan menuangkannya ke dalam gelas kaca tanpa kaki. Ah! Aku terlalu terkejut dengan sentuhannya sampai kecolongan Lois sudah lebih dulu menuang red wine itu. Gelas itu diangkat sebatas wajahnya dengan senyum khas Lois. Bahkan ia mulai terkekeh tidak jelas hanya karena melihat red wine itu. Aku yakin, efek alko
"Nggak mau." Lois kembali akan memiringkan tubuhnya karena mata lelakiku itu sudah terlihat setengah memejam. Tapi aku belum mendapatkan apa yang membuat rasa penasaran ini terpuaskan. "Lois, cerita dulu!" Tanganku segera menarik tubuhnya susah payah agar kembali terlentang. "Males!" "Kenapa males? Kan Rily teman baik gue juga." "Justru karena lo teman baiknya, ntar lo jadi ember, Nath," ucapnya setengah teler dengan tubuh kembali akan miring. Tapi aku kembali menahannya. "Gue janji nggak bakal bocorin rahasia lo." "Gue capek, Nath!" "Bilang atau gue dudukin lo?!" Lois terkekeh hingga kedua bahunya terlihat naik turun. "Durhaka lo sama yang lebih tua bersikap nggak sopan. Emang lo nggak diajarin emak lo gimana bersikap jadi cewek baik-baik?" Dasar orang mabuk. Sikap dan ucapannya terkadang makan hati. Lois kembali akan memiringkan tubuhnya lalu aku menahannya tetap terlentang. Kemudian menaiki tubuhnya dan duduk di perut bagian bawah. Meletakkan kedua tanganku di atas
“Tunggu pembalasan gue!” “Nggak usah repot-repot membalas, Ril. Malah dengan senang hati gue nyadarin lo.” “Sialan kalian berdua!” pekiknya dengan wajah marah yang terlihat di sambungan video call. Aku mengumbar tawa lebar untuk membuat Rily semakin terpojok. Hingga terselip sebuah ide yang sangat nakal. Lagipula, Lois adalah suamiku. Aku berhak menyentuh tubuhnya. Masih dengan video yang tetap tersambung dengan Rily, aku merubah posisi dengan kembali berada di atas tubuh Lois hanya dengan mengenakan bra dan celana jeans. Kemudian aku mulai mencium sensual dada suamiku itu dengan menghadapkan kamera ponsel agar Rily mengetahui segalanya. Ada sedikit bulu di dada Lois dan itu membuatnya terlihat sangat macho. Lalu aku kembali memberi kecupan di dadanya. “Lo pamer kemesraan, heh?!” Mataku mengerling nakal ke arah ponsel. Mungkin dengan satu jurus ampuh ini, Rily akan menjauhi Lois untuk selamanya. Bukankah patah hatinya perempuan itu dilihat dari seberapa ia kuat menghadapi peng
“Lo kemarin kemana kok nggak masuk, Ly? Dihubungi juga nggak dibalas?” Gia, teman dan rekan satu tempat kerjaku itu sedang bertanya. Hari ini aku sudah kembali bekerja seperti biasa. “Lagi memukul mundur si pelakor biar nggak deketin laki gue lagi.” Gia memberikan dua jempolnya padaku. “Emang harus tegas.” “Kalau sampai gue tahu mereka berdua ketemuan di belakang gue, bakal gue buka kedok keduanya. Yang cewek gue umbar aibnya di medsos dan laki gue bakal gue umbar aibnya di depan Pak Pres --- eh maksud gue di depan bapaknya.” Hampir saja aku keceplosan mengatakan nama ‘Pak Presdir’. Bisa panjang ceritanya jika Gia bertanya lebih lanjut. Meski hubungan kami jauh lebih baik dari biasanya, namun karena keberanianku melawan Rily, membuat Lois kembali sedikit berjarak denganku. Pagi ini, kami tidak satu motor saat berangkat ke kantor. Pikirku, jika Tuhan memang mencipatakan Lois untukku, pasti akan ada cara untuk membuatnya kembali padaku. Dan sebaliknya. Jadi, aku tidak harus berse
“Ya Tuhan, lindungi aku,” gumamku dengan jantung berdegub kencang. Berdiri di depan pintu warna coklat yang berada di lantai lima sambil menyentuh dada dengan tangan kanan dan mulut menghembuskan nafas besar perlahan. Di depan pintu tertulis nama siapa penghuninya. Membaca nama lengkapnya saja membuat bulu kudukku berdiri dan saliva terasa susah ditelan. Aku seperti hendak bertemu dengan ratu kegelapan keluarga Hartadi. “Semua akan baik-baik aja. Kamu pasti bisa, Ly.” Usai menyemangati diri, jemari kananku mengetuk dulu pintu ruangan itu. Kemudian jemariku membuka handlenya perlahan. “Masuk.” Yeah, dari suaranya saja sudah membuat kepercayaan diri makin tergerus dan ketakutanku bertambah besar saja. Namun aku tetap memaksa kaki ini melangkah memasuki ruangan. Interior didominasi warna coklat muda, ruangan sejuk ini dipenuhi aroma lavender, dan tertata rapi. Ada sofa hitam empuk di sebelah kanan dan minuman cepat saji terhidang di meja untuk menjamu para tamu. Langkah kakiku ber
"S ... saya ... " Aku tergagap dan tidak bisa melanjutkan ucapan karena tertegun melihat kehadiran pria yang kini berdiri menjulang di hadapanku. Pak Presdir Danureja Hartadi. Ayah kandung Lois. Ya Tuhan, bagimana beliau bisa datang kemari? "Apa kamu ... maaf, perempuan sewaan putraku?" Kemudian matanya menelisik penampilanku dari ujung rambut hingga kaki. Sampai-sampai salivaku terasa susah ditelan. "Romo, kita bisa bicarakan hal ini di tempat lain," Lois menghampiri Pak Presdir yang menatapku detail. "Dia siapa, Lubis?! Romo nggak suka kamu main perempuan!" ucapnya pelan namun tajam. Mata tuanya menyiratkan ketidaksukaan saat memandang Lois. Lois menatapku lalu menatap Romonya kembali. "Iya itu makanya ayo kita ngobrol di luar, Romo. Nggak enak kalau di sini lalu kedengeran tetangga." Pak Presdir menghela nafas panjang dengan ekspresi menahan amarah. "Romo tunggu di mobil. Sekarang juga!" Kemudian matanya menatapku. "Kamu ikut sekalian." Apa? Aku ikut bersama me
"Kamu benar-benar kelewat batas, Lubis!" Akhirnya kami sepakat saling menunduk dan tidak menjawab pertanyaan Pak Presdir tentang apakah kami pernah melakukan hubungan suami istri atau tidak. Sebenarnya, kami tidak pernah melakukan hubungan itu. Namun demi mempertahankan Lois, jika Pak Presdir bertanya sekali lagi, makan aku akan menjawab 'sudah'. Berbeda dengan Lois yang mempercayai kebohonganku kemarin jika kami pernah bercinta. Padahal kami tidak pernah bercinta. "Romo nggak nyangka kalau kebebasan yang kamu anut itu kebebasan yang nggak punya aturan dan batasan! Kamu berani menikahi perempuan tanpa meminta izin pada Romo dan keluarga besar lebih dulu!" Pak Presdir bersuara tinggi dengan nada emosi. Jari telunjukkanya terarah dan kedua matanya menatap kami tajam. "Karena pernikahan itu bukan mainan, Lubis! Sekalipun kamu patah hati atau ingin membantu Lilyah! Masih ada cara lain untuk mengobati patah hati! Ada cara lain untuk membantu Lilyah! Bukan asal menikah kayak gini! Pern