enjoy reading ...
"Kamu benar-benar kelewat batas, Lubis!" Akhirnya kami sepakat saling menunduk dan tidak menjawab pertanyaan Pak Presdir tentang apakah kami pernah melakukan hubungan suami istri atau tidak. Sebenarnya, kami tidak pernah melakukan hubungan itu. Namun demi mempertahankan Lois, jika Pak Presdir bertanya sekali lagi, makan aku akan menjawab 'sudah'. Berbeda dengan Lois yang mempercayai kebohonganku kemarin jika kami pernah bercinta. Padahal kami tidak pernah bercinta. "Romo nggak nyangka kalau kebebasan yang kamu anut itu kebebasan yang nggak punya aturan dan batasan! Kamu berani menikahi perempuan tanpa meminta izin pada Romo dan keluarga besar lebih dulu!" Pak Presdir bersuara tinggi dengan nada emosi. Jari telunjukkanya terarah dan kedua matanya menatap kami tajam. "Karena pernikahan itu bukan mainan, Lubis! Sekalipun kamu patah hati atau ingin membantu Lilyah! Masih ada cara lain untuk mengobati patah hati! Ada cara lain untuk membantu Lilyah! Bukan asal menikah kayak gini! Pern
Lois tetap diam sambil menurunkan tas besarku dari bagasi mobilnya."Lois? Tolong jawab."Usai kedua tas besarku diturunkan, Lois menatapku sekilas lalu menoleh ke sopir pribadinya yang berdiri di dekat kami."Tunggu aku di dalam mobil.""Baik, Den Mas."Dengan patuhnya, sopir pribadi Lois masuk ke dalam mobil. Lalu suamiku itu memandangku dengan beragam sorot. Ada tumpukan rasa penyesalan, kekecewaan, dan rasa bersalah."Aku pikir kamu lebih aman kalau tinggal di rumah orang tuamu. Autophobiamu itu, aku khawatir kamu nggak bisa ngatasinnya, Ly."Kepalaku mengangguk dengan sesak di dada. Di detik -detik terakhir pertemuan kami saja Lois masih begitu peduli. Bagaimana aku bisa merelakan kepergiannya?"Jangan sedih, Ly," ucapnya dengan menepuk pundakku."Gimana aku nggak sedih, Lois? Saat aku udah cinta kamu, malah ujian yang datang makin besar. Kejadian ini seakan-akan maksa aku untuk ngelepasin kamu. Mau nggak mau, aku harus kehilangan kamu."Lalu tanganku menyeka air mata yang kembali
“Jangan seperti menanti kucing bertanduk, Ly. Karena hubunganmu sama Lois itu udah berakhir.” Aku hanya mengangguk lalu menyemprotkan parfum di baju kerja. “Aku berangkat kerja dulu, Ma.” Kemudian tanganku terulur untuk mengambil tangan Mama dan mencium punggung tangannya. Ketika akan kulepaskan, Mama menahan tanganku lalu pandangan kami bertemu. “Kamu hanya habis-habisin waktu kalau cuma nunggu Lois. Karena udah jelas dia nggak akan kembali. Tatap kehidupanmu dan buka lembaran baru.” “Aku nggak mau bahas masalah ini, Ma.” “Tapi kamu harus move on.” “Masalahnya, Lois nggak pernah benar-benar mengucapkan talaknya sejak dia mengantarku kembali ke rumah ini, Ma. Dia cuma bilang ‘nitipin’ aku ke Mama dan Papa ‘kan?! Bukankah itu artinya aku ini masih istrinya?” “Astaga, Lilyah. Hatimu udah buta akan cinta, Nak.” Kepalaku mengangguk tegas. “Wajar kalau hatiku buta akan cinta, Ma. Karena ini adalah hukuman yang Tuhan berikan. Aku nggak menghargai perjuangan Lois yang udah banyak ba
"Ishak?" Lelaki yang kini menjadi mantan tunangan itu tengah menatapku sambil duduk di sofa ruang tamu. Lengkap dengan pakaian kerja yang masih melekat di tubuhnya. Berarti usai dari kantor, dia langsung datang kemari. Ada keperluan apa dia kemari? "Ya udah, kalian ngobrol aja. Papa mau masuk ke dalam, Shak." Papa kemudian berlalu ke dalam sedang aku masih berdiri di depan pintu rumah. "Masuk, Ly. Jangan di luar." Kemudian aku melangkah ke dalam lalu mengabil duduk di single sofa yang berseberangan dengan Ishak. Saat mata kami bertemu, Ishak menunjukkan senyum terbaiknya namun aku segera menunduk dan memainkan tas kerja yang berada di pangkuan. "Gimana kabarnya?" Kepalaku mengangguk kemudian menatapnya, "Baik, Shak. Oh ya, ada keperluan apa kemari?" "Pengen mampir aja. Soalnya kamu nggak pernah balas pesanku sama sekali." "Aku hanya nggak mau melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, Shak." "Apa aku ini kesalahan untukmu, Ly?" tanyanya dengan raut sendu. "Bukan git
"Teguhkan pendirianmu, Lubis. Romo nggak mau kamu ingkar janji." Kepala Lois mengangguk pelan saat lift terus bergerak turun ke lantai satu. "Iya, Romo," ucapnya lirih. "Pabrik yang baru adalah tanggung jawabmu sepenuhnya. Kamu harus fokus. Singkirkan perempuan itu untuk sementara waktu." ********* "Kira-kira kapan saya bisa sembuh dari autophobia ini, Dokter?" "Sedikit lagi, Ly. Kamu cuma perlu mensugesti diri sendiri kalau kamu berani sendirian dan tidak akan terjadi apa-apa." Ucapan Dokter Albert persis dengan ucapan Lois kala itu. Saat dia meninggalkanku selama dua puluh menit di villa dengan alasan akan menelfon resepsionis untuk memesan makanan. Padahal dia pergi meninggalkanku sendirian di villa lalu menuju dapur utama. "Sebenarnya kuncinya cuma itu dan terus membiasakan diri berani menghadapi apa yang menjadi ketakutanmu, Ly." "Iya, Dokter. Aku akan terus mencobanya." "Dan satu lagi, ikhlaskan apa yang tidak mungkin bisa kamu gapai. Kamu berhak bahagia meski itu tanp
Ting! Pintu lift terbuka lalu aku menganggukkan kepala hormat pada Pak Wahyu sebelum melangkah keluar. “Mari, Pak Wahyu.” “Mari, Mbak Lilyah.” Dengan langkah pasti aku menapaki lantai lima menuju ruangan Pak Eko, meski sebenarnya di dalam dada terbesit satu tanya. Yang sengaja kutahan untuk tidak bertanya ... ‘Lois sakit apa?’ *** Usai mengantar dokumen ke ruangan Pak Eko, aku justru menuju lantai tiga. Tempat favoritku beberapa bulan lalu, terakhir kali aku melihat Lois setelah ia selesai rapat di ruang serbaguna. Sudah beberapa bulan, aku sengaja tidak mengunjungi tempat ini karena ingin melupakan segala hal tentang Lois. Namun, hari ini seperti ada yang membuatku harus datang ke tempat ini usai bertemu Pak Wahyu saat di lift tadi. Dari jendela kaca besar itu, aku bisa melihat baling-baling helikopter kantor mulai berputar cepat. Petugas rambu-rambu sudah bersiap di landasan dengan membawa atribut warna hijau di kedua tangan. Kemudian Pak Presdir dengan kemeja panjang war
"Cafe and restaurant kita udah hampir selesai, Ly! Aku barusan dapat kabar dari pengaturnya." Hampir saja ponselku terlepas dari pegangan. "Iya kah?!" tanyaku terkejut. "Iya, Ly. Lebih cepat dari ekspektasi. Aku kirim foto-fotonya, ya?" Setelah melihat foto-foto stand cafe and restaurant yang sudah selesai dikerjakan sekaligus dengan penataan propertinya, senyum bahagia tidak kupungkiri bisa seluas ini rasanya. Hingga aku tidak mempedulikan sisa makan siang yang masih termakan setengah olehku. Akhirnya, sebentar lagi bisa hidup tanpa bayang-bayang Papa yang tidak pernah berubah sejak kepergian Lois. Yang dipikirannya hanya masalah uang, uang, dan uang. "Lo seneng banget, Ly? Ada apaan?" tanya Nina. Aku, Nina, dan Gia sedang makan siang bersama di saat jam istirahat kantor. Kemudian aku memutar layar ponsel dan terpampang lah dengan jelas bagaimana penampakan interior cafe and restaurantku dan Ishak yang berubah cantik bergaya Paris. "Wow! Udah selesai!" "Targetnya seb
Ishak membantuku mencari keberadaan Lois di Bandung? Hah, dia pasti sedang menantang matahari. Mana mungkin dia bisa menemui sang pewaris keluarga Hartadi yang sekarang sedang sibuk-sibuknya mengurus pabrik sigaret yang baru? "Gue dengar dari orang HRD kalau pabrik sigaret yang baru dibangun mengalami perkembangan pesat karena dipimpin langsung sama Den Mas Lubis dan beberapa orang berpengalaman yang ada di belakangnya," ucap Gia pada Nina. Aku yang sedang melahap bakso sampai tersedak lalu meneguk jeruk hangat. "Makan tuh yang hati-hati, Ly," ucap Gia sambil menepuk punggungku. Kepalaku mengangguk saja lalu melanjutkan melahap bakso. "Terus terus, gimana kelanjutannya, Gi," Nina bertanya lebih lanjut. "Padahal baru berdiri setengah tahun tapi kinerjanya bagus banget. Denger-denger sih sigaret buatan pabrik baru yang dipimpin Den Mas Lubis tuh sengaja dipasarkan di bagian timur. Kalau yang dipimpin Bu Dirut dipasarkan di barat dan tengah." "Lah? Kok pembagiannya nggak adil gitu