enjoy reading ...
"Cafe and restaurant kita udah hampir selesai, Ly! Aku barusan dapat kabar dari pengaturnya." Hampir saja ponselku terlepas dari pegangan. "Iya kah?!" tanyaku terkejut. "Iya, Ly. Lebih cepat dari ekspektasi. Aku kirim foto-fotonya, ya?" Setelah melihat foto-foto stand cafe and restaurant yang sudah selesai dikerjakan sekaligus dengan penataan propertinya, senyum bahagia tidak kupungkiri bisa seluas ini rasanya. Hingga aku tidak mempedulikan sisa makan siang yang masih termakan setengah olehku. Akhirnya, sebentar lagi bisa hidup tanpa bayang-bayang Papa yang tidak pernah berubah sejak kepergian Lois. Yang dipikirannya hanya masalah uang, uang, dan uang. "Lo seneng banget, Ly? Ada apaan?" tanya Nina. Aku, Nina, dan Gia sedang makan siang bersama di saat jam istirahat kantor. Kemudian aku memutar layar ponsel dan terpampang lah dengan jelas bagaimana penampakan interior cafe and restaurantku dan Ishak yang berubah cantik bergaya Paris. "Wow! Udah selesai!" "Targetnya seb
Ishak membantuku mencari keberadaan Lois di Bandung? Hah, dia pasti sedang menantang matahari. Mana mungkin dia bisa menemui sang pewaris keluarga Hartadi yang sekarang sedang sibuk-sibuknya mengurus pabrik sigaret yang baru? "Gue dengar dari orang HRD kalau pabrik sigaret yang baru dibangun mengalami perkembangan pesat karena dipimpin langsung sama Den Mas Lubis dan beberapa orang berpengalaman yang ada di belakangnya," ucap Gia pada Nina. Aku yang sedang melahap bakso sampai tersedak lalu meneguk jeruk hangat. "Makan tuh yang hati-hati, Ly," ucap Gia sambil menepuk punggungku. Kepalaku mengangguk saja lalu melanjutkan melahap bakso. "Terus terus, gimana kelanjutannya, Gi," Nina bertanya lebih lanjut. "Padahal baru berdiri setengah tahun tapi kinerjanya bagus banget. Denger-denger sih sigaret buatan pabrik baru yang dipimpin Den Mas Lubis tuh sengaja dipasarkan di bagian timur. Kalau yang dipimpin Bu Dirut dipasarkan di barat dan tengah." "Lah? Kok pembagiannya nggak adil gitu
Aku dan Ishak berjalan terburu-buru usai turun dari mobil. Masih dengan pakaian yang sama saat grand opening cafe and restaurant kami, kemudian menemui petugas yang sedang berjaga. "Selamat malam. Saya kakaknya Vela. Salah satu perempuan yang ditahan di dalam," ucapku sedikit tergesa-gesa."Bisa tunjukkan identitas anda lebih dulu?" tanya polisi muda berpangkat bripda itu. Lalu aku menyerahkan kartu identitas kemudian dipersilahkan masuk ke dalam dengan Ishak. Kami mengikuti langkah polisi muda itu menaiki tangga menuju lantai dua. Kemudian memasuki sebuah ruangan mirip tempat interogasi. Di dalam sana terdapat tiga komputer namun hanya satu yang menyala dengan dua polisi menanyai keduanya. Laki-laki dan perempuan yang terduduk dengan kepala menunduk. "Selamat malam, dia kakaknya si pelaku perempuan."Lalu perempuan itu menoleh dengan wajah pucat pasi disertai lelehan air mata. Mengenakan hoodie warna coklat muda tapi paha mulusnya tetap terlihat jelas. Mataku menatap tidak perca
Sebentar? Kata 'sebentar' itu memiliki arti yang relatif dan tanpa batas waktu. Bisa satu minggu lagi, satu bulan lagi, bahkan satu tahun lagi. Jika Pak Wahyu pernah berkata jika aku disuruh menunggu Lois 'sebentar' lagi, mungkin itu hanya akan menjadi isapan jempol semata. Karena kenyataannya ... "Ly, ini udah tahun pertama kita mendirikan cafe and restaurant ini, ya?" tanya Ishak yang kini duduk disebelahku sambil memangku laptop. Kepalaku mengangguk dengan mata tetap fokus pada kuitansi pembelajaan isi dapur kafe pagi tadi. Sedang tanganku mencatat rekap pengeluaran di sebuah buku besar. "Berarti udah waktunya bayar sewa." Kemudian aku menghentikan aktivitas menulis rekapan pengeluaran. Membasahi bibir dan sedikit menggigitnya. "Shak, ada yang harus kuomongin." Ishak menoleh ke arahku, "Apa?" "Kemarin Mama bilang kalau Vela pengen kerja di cafe and restaurant kita ini." Ekspresi wajah Ishak berubah tidak suka. "Nggak bisa, Ly! Meski Vela udah berubah dan kamu ngasih
"Selamat pagi semua karyawan. Apa kabar hari ini?" Kepalaku menoleh ke sumber suara kemudian merasa malu sendiri karena tiba-tiba berdiri dari kursi bis. Ternyata, di ujung kabin bis yang kunaiki saat ini, kepala HRD sedang memegang pengeras suara sambil menatap ke arah kami semua. "Baik!" jawab semua karyawan serempak. Lalu aku segera duduk kembali agar tidak mengganggu pandangan karyawan lain. "Mari kita berdoa terlebih dahulu sebelum berangkat bersama-sama ke Jogja. Semoga perjalanan kita senantiasa dalam lindungan Tuhan sampai kembali pulang. Dan di sana kita bisa berbahagia semaksimal mungkin." "Amin!" Saat rekan-rekan kerja yang lain sedang berdoa dengan khidmat, aku justru menunduk dengan pikiran berkecamuk. Ya Tuhan, apakah nanti aku akan bertemu Lois di Jogja? Jika iya, apa yang harus aku lakukan? Mengapa aku mendadak bingung seperti ini? *** Perjalanan selama sembilan jam menuju Pantai Sadranan benar-benar membuat lelah tubuh ini. Namun ada sepenggal kebahagiaan ya
Semua berjalan lancar bahkan saat teman-teman lama Lois menghibur kami semua dengan lagu-lagu yang mereka bawakan. Aku ikut bersuka cita dengan karyawan yang lain hingga lagu yang kesekian itu usai dibawakan. "Oke. Masih semangat?!" tanya sang vokalis. "Masih!" seru semua karyawan yang menonton. "Masih semangat?!" teriaknya sekali lagi. "Masih!!!" seru kami semua lebih kencang. Begitu juga dengan aku yang berteriak sama kencangnya usai ikut menyanyi dari bawah bersama yang lain. "Oke, acara selanjutnya, ada sedikit surprise dari kantor. Kalau tadi surprise dari Pak Presdir tentang pengangkatan putranya yang akan menjadi wakil presdir, tapi sekarang akan ada kejutan dari wakil presdir kita yang baru." Heh? Wakil presdir yang baru? Senyumku luntur berganti kerutan tipis di kedua alis begitu mendengar ucapan si vokalis. Belum sempat aku bermain spekulasi dengan isi otak, si vokalis kembali membuka suara. "Oke, kita sambut, wakil presiden direktur kantor yang baru saja diangkat,
"Dimana Den Mas Lubis sekarang?" tanyaku dengan menatap datar asisten pribadi Lois. Entah siapa namanya. Tapi dari penampilannya sangat rapi dan formal. Sedikit uban ikut menghiasi rambut hitamnya. "Beliau ada di dalam mobil," ucapnya sangat sopan. "Kenapa ada di dalam mobil? Apa dia akan pergi?" "Saya hanya diberi perintah untuk menyampaikan pesan Den Mas kepada Mbak Lilyah. Jika Mbak bersedia, mari saya bantu berjalan ke mobil," ucap asisten pribadi Lois dengan sikap tenang. Kapan lagi bisa bertemu Lois dan membicarakan kelanjutan hubungan kami jika bukan sekarang? Bukankah sekarang Lois adalah lelaki yang sangat sibuk sekali? Bahkan hanya untuk bisa bertemu dirinya, aku harus menunggu tiga tahun lamanya. Keterlaluan bukan?! Memang sesibuk apa Lois? Sibuk kah atau hanya alasan untuk menjauhiku?Tapi apakah aku bisa menahan sesak di dada jika bertemu dengannya? Sumpah! Aku tidak benar-benar siap bertemu dengannya seperti ucapanku yang lalu-lalu. Itu semua hanya sebatas keberan
"Temui apa nggak ya?" gumamku sambil menatap plafon kamar hotel yang kutempati. "Mau nemui tapi aku udah terlanjur enggan. Nggak nemuin, nanti masalahnya nggak kelar-kelar." Lalu aku mendesah panjang nan lelah. "Andai kamu mau sekali aja Lois, ngasih kejelasannya dari awal kita berpisah, aku mungkin udah bahagia sama jalanku. Nggak ngegantung kayak gini." Tapi lamunanku mendadak terputus begitu ada seberkas kilat yang memantul dari kaca jendela kamar. Lalu terdengar suara guntur. Tidak keras namun membuatku sedikit ketakutan. "Apa mau hujan, ya?" Kakiku kemudian melangkah mendekati jendela kaca kamar dan melihat kondisi langit yang mulai diliputi mendung tapi belum hujan. Kemudian aku teringat jika Lois berada di rooftop hotel. Bukankah rooftop itu tidak ada peneduhnya? Bukankah rooftop juga terlalu berbahaya untuknya jika langit mulai diselimuti mendung dan petir? Tanpa mempedulikan kejengkelan hati karena sikap Lois selama tiga tahun ini, aku segera berganti pakaian leb