enjoy reading ....
"Temui apa nggak ya?" gumamku sambil menatap plafon kamar hotel yang kutempati. "Mau nemui tapi aku udah terlanjur enggan. Nggak nemuin, nanti masalahnya nggak kelar-kelar." Lalu aku mendesah panjang nan lelah. "Andai kamu mau sekali aja Lois, ngasih kejelasannya dari awal kita berpisah, aku mungkin udah bahagia sama jalanku. Nggak ngegantung kayak gini." Tapi lamunanku mendadak terputus begitu ada seberkas kilat yang memantul dari kaca jendela kamar. Lalu terdengar suara guntur. Tidak keras namun membuatku sedikit ketakutan. "Apa mau hujan, ya?" Kakiku kemudian melangkah mendekati jendela kaca kamar dan melihat kondisi langit yang mulai diliputi mendung tapi belum hujan. Kemudian aku teringat jika Lois berada di rooftop hotel. Bukankah rooftop itu tidak ada peneduhnya? Bukankah rooftop juga terlalu berbahaya untuknya jika langit mulai diselimuti mendung dan petir? Tanpa mempedulikan kejengkelan hati karena sikap Lois selama tiga tahun ini, aku segera berganti pakaian leb
Amplop cokelat berisi gugatan ceraiku yang awalnya berbentuk persegi panjang kini berubah menjadi sobekan-sobekan tak beraturan. Bagian sobekan yang kecil berjatuhan, sedang yang masih bisa dirobek Lois, tetap berada di tangannya. Aku menatap surat gugatan itu dengan kedua mata membelalak tidak percaya seiring Lois puas merobek-robeknya menjadi banyak bagian. Kemudian kedua tangannya menghamburkan sobekan surat gugatan cerai dariku ke udara. Seperti hujan yang mengenai rambut Lois hingga ceceran kertas itu berserakan bersama serpihan kaca gelas yang tadi ia lempar. "Apa maksudmu, Lois?! Bikin surat itu nggak mudah!" teriakku kesal. Lois hanya tersenyum lebar seperti tanpa beban lalu mengusap rambut ke belakang dengan tangan kanannya. "Just do something that I want to," ucapnya teramat santai dengan membentangkan tangan dan kepala menghadap langit yang masih diselimuti mendung. Dia begitu menikmati kekesalan yang tercetak di ekspresi wajahku. Seakan-akan amarahku adalah hibu
Lois memelukku?Untuk apa? Untuk meruntuhkan pertahanan hati ini sekaligus membuatku luluh akan sikapnya?Dia pernah berkata saat mabuk ketika kami menginap di villa yang berada di Bandung. Lois pernah berucap jika aku marah dan akan pergi, ia cukup sedikit membuka hatinya dan bersikap manis padaku."Aku minta maaf, Ly."Lois mengeratkan pelukannya. Namun aku berusaha menahan air mata ini agar tidak makin terisak. Sedang kedua tanganku mengepal di sisi kanan kiri tubuh. Sengaja, aku tidak membalas pelukan Lois meski aku menginginkannya. Untuk apa membalas pelukannya? Itu sama saja dengan menyakiti diri sendiri."Kamu pernah bilang, cukup bersikap manis sedikit aja, maka aku pasti luluh. Asal kamu tahu, Lois, waktu itu aku masih bodoh dan buta akan cinta. Tapi sekarang, aku nggak sebodoh itu!""Luka yang kamu kasih ... bikin aku bisa merelakan kamu. Nggak masalah kalau sekarang aku terluka, asal setelah ini baik kamu dan aku bisa bahagia dengan jalan masing-masing."Dengan tangis yang
Akhirnya aku berakhir di pojokan kolam renang hotel ini. Sedang rekan-rekan lainnya menikmati film yang sedang diputar, mengobrol sendiri, menikmati makan malam yang masih tersedia, dan sebagainya. Sedang Lois ... ah, masa bodoh dengan keberadaannya. Entah dia mau menghabiskan waktunya dengan siapapun, aku tidak peduli lagi. Dan semoga saja aku bisa segera mengusir keberadaannya yang masih merajai hatiku. Kemudian, ponselku bergetar dengan bunyi nyaring. Ishak is calling ...Aku tersenyum tipis melihat namanya terpampang di layar ponselku. "Halo, Shak." "Halo, Ly. Maaf baru bisa telfon kamu. Aku sibuk banget hari ini." "Nggak apa-apa, Shak. Kebetulan di pantai sinyalnya nggak bagus." "Gimana liburannya? Senang?" Apa katanya? Senang? Yang ada justru makan hati dan menjengkelkan. "Aku ketemu Lois, Shak," akuku padanya. Bagiku Ishak sudah seperti kakak. "Lois kesana?" Kepalaku mengangguk dengan ponsel masih menempel di telinga. "Dia ... sengaja nemuin kamu atau gimana, Ly?"
Lois segera menarik tangan kananku keluar dari kamar Pak Presdir lalu menekan tombol turun pada lift. Sedang tangan kiriku sibuk mengusap air mata yang berderai. Ting!Begitu pintu lift terbuka, Lois segera menarikku masuk dan segera menekan tombol tutup dan menekan angka tiga. Tidak ada orang yang berada di lift selain kami berdua. Beruntunglah karena akan panjang ceritanya jika ada yang tahu aku bergandengan tangan dengan putra Pak Presdir satu ini. "Ly, maafin ucapan Romoku."Kepalaku menunduk untuk menyembunyikan air mata sambil mengangguk. "Apa yang Pak Presdir ucapin itu emang benar, Lois. Kamu itu pewaris, wajar kalau disayang dan dicarikan pendamping yang sepadan. Bukan sama aku yang bisanya bikin nama baik keluarga besar Hartadi tercoreng. Jangankan keluarga besarmu, keluargaku sendiri aja malu karena foto dan video itu.""Lagi pula, kamu nggak cinta aku, ngapain mempersulit diri sendiri, Lois? Ngapain kamu sampai sebertanggung jawab ini? Nggak perlu, Lois."Belum sempat L
"Semakin sering kamu minta cerai, maka semakin lama pula kamu jadi istriku. Jadi, nurut aja!"Tidak ada yang bisa kukatakan selain diam saja sembari menikmati pelukan hangat Lois. Sungguh kepalaku sangat pening dan ragaku lemas sekali. Tangan Lois bergerak pelan mengusap rambutku dan kembali memberi ciuman di sana. Sialan sekali suami di atas kertasku ini. Apa dia ingin membuatku mati merana karena mencintainya tapi tidak bisa memilikinya?Tidak berapa lama, Pak Wawan datang ke kamar Lois. Membawa menu makan malam yang sehat untukku. Kemudian ia undur diri setelah menata semua makanan itu di atas meja. "Ly, makan dulu. Biar aku suapin."Disuapi Lois? Yang benar saja dia. Sikap manisnya itu mengapa datang di saat aku ingin nelepaskan diri darinya. Kepalaku menggeleng pelan. "Aku bisa sendiri, Lois. Aku mau kita ada batasan biar aku nggak terbawa perasaan."Lagi-lagi, Lois tidak mengindahkan ucapanku. Dia justru membantuku duduk di atas ranjang king sizenya. Lalu memposisikan diri d
"Maaf, Lois. Badanku masih lemas." Kemudian aku memalingkan wajah untuk menghindari belaian tangannya di wajahku. Lalu berusaha berdiri dari pangkuannya dan melangkah ke sisi kiri ranjang. Tempatku tadi berbaring. Hingga aku merebahkan tubuh, Lois tidak mengucapkan satu patah kata pun. Dia hanya menatap gerak-gerikku dengan bertelanjang dada dan handuk yang meliliti pinggangnya saja. Biarlah aku menolak permintaannya sebagai seorang suami karena aku benar-benar tidak siap. Andai dia benar-benar meminta haknya lalu kembali pergi meninggalkanku seorang diri seperti kemarin, sumpah demi apapun aku tidak siap menjalaninya. Ketika aku setengah terlelap dalam posisi miring, tiba-tiba sebuah pelukan melingkari perutku. Lampu kamar juga sudah dimatikan dan berganti lampu tidur yang redup. Begitu aku terkejut dan akan menyingkirkan tangannya, Lois justru menciumi leherku lalu tangannya bergerak menahan pundakku. "Lois! Hentikan!" peringatku sambil menyingkirkan tangannya. Bukannya
"Gi, Nin, gue pamit dulu ya?" Lebih baik berpamitan pada kedua temanku ini jika tidak bisa kembali satu bis dengan mereka. Dari pada nanti mereka kembali memarahiku karena menghilang tanpa pesan. "Kemana, Ly?" tanyanya dengan nada heran. Kami sedang di toko oleh-oleh Malioboro bersama rombongan kantor. Aku membasahi bibir dengan mata mengerjap cepat berulang kali. "Ehm ... itu ... suami gue ... ternyata dia belum balik. Barusan ngirim pesan kalau dia pengen ngobrol bentar katanya," kilahku."Lama nggak? Soalnya satu jam lagi kata panitia kita harus balik ke hotel, Ly.""Ehm ... sebelum nanti malam, gue pastiin udah balik ke hotel biar bisa satu bis sama kalian." "Lo diantar suami ke hotel?" Kepalaku mengangguk sekenanya agar Gia dan Nina tidak curiga dengan kebohonganku. Bisa menjadi gossip menggelegar jika mereka tahu bila aku akan bertemu dengan Pak Presdir.Lalu kepala Gia dan Nina melongok ke keluar toko untuk mencari sosok suamiku yang sebenarnya tidak ada. Itu hanya keboho