1662 kata ... enjoy reading .... beribu maaf kemarin nggak up karena author ada kesibukan yg nggak menyita waktu sekali.
Semua berjalan lancar bahkan saat teman-teman lama Lois menghibur kami semua dengan lagu-lagu yang mereka bawakan. Aku ikut bersuka cita dengan karyawan yang lain hingga lagu yang kesekian itu usai dibawakan. "Oke. Masih semangat?!" tanya sang vokalis. "Masih!" seru semua karyawan yang menonton. "Masih semangat?!" teriaknya sekali lagi. "Masih!!!" seru kami semua lebih kencang. Begitu juga dengan aku yang berteriak sama kencangnya usai ikut menyanyi dari bawah bersama yang lain. "Oke, acara selanjutnya, ada sedikit surprise dari kantor. Kalau tadi surprise dari Pak Presdir tentang pengangkatan putranya yang akan menjadi wakil presdir, tapi sekarang akan ada kejutan dari wakil presdir kita yang baru." Heh? Wakil presdir yang baru? Senyumku luntur berganti kerutan tipis di kedua alis begitu mendengar ucapan si vokalis. Belum sempat aku bermain spekulasi dengan isi otak, si vokalis kembali membuka suara. "Oke, kita sambut, wakil presiden direktur kantor yang baru saja diangkat,
"Dimana Den Mas Lubis sekarang?" tanyaku dengan menatap datar asisten pribadi Lois. Entah siapa namanya. Tapi dari penampilannya sangat rapi dan formal. Sedikit uban ikut menghiasi rambut hitamnya. "Beliau ada di dalam mobil," ucapnya sangat sopan. "Kenapa ada di dalam mobil? Apa dia akan pergi?" "Saya hanya diberi perintah untuk menyampaikan pesan Den Mas kepada Mbak Lilyah. Jika Mbak bersedia, mari saya bantu berjalan ke mobil," ucap asisten pribadi Lois dengan sikap tenang. Kapan lagi bisa bertemu Lois dan membicarakan kelanjutan hubungan kami jika bukan sekarang? Bukankah sekarang Lois adalah lelaki yang sangat sibuk sekali? Bahkan hanya untuk bisa bertemu dirinya, aku harus menunggu tiga tahun lamanya. Keterlaluan bukan?! Memang sesibuk apa Lois? Sibuk kah atau hanya alasan untuk menjauhiku?Tapi apakah aku bisa menahan sesak di dada jika bertemu dengannya? Sumpah! Aku tidak benar-benar siap bertemu dengannya seperti ucapanku yang lalu-lalu. Itu semua hanya sebatas keberan
"Temui apa nggak ya?" gumamku sambil menatap plafon kamar hotel yang kutempati. "Mau nemui tapi aku udah terlanjur enggan. Nggak nemuin, nanti masalahnya nggak kelar-kelar." Lalu aku mendesah panjang nan lelah. "Andai kamu mau sekali aja Lois, ngasih kejelasannya dari awal kita berpisah, aku mungkin udah bahagia sama jalanku. Nggak ngegantung kayak gini." Tapi lamunanku mendadak terputus begitu ada seberkas kilat yang memantul dari kaca jendela kamar. Lalu terdengar suara guntur. Tidak keras namun membuatku sedikit ketakutan. "Apa mau hujan, ya?" Kakiku kemudian melangkah mendekati jendela kaca kamar dan melihat kondisi langit yang mulai diliputi mendung tapi belum hujan. Kemudian aku teringat jika Lois berada di rooftop hotel. Bukankah rooftop itu tidak ada peneduhnya? Bukankah rooftop juga terlalu berbahaya untuknya jika langit mulai diselimuti mendung dan petir? Tanpa mempedulikan kejengkelan hati karena sikap Lois selama tiga tahun ini, aku segera berganti pakaian leb
Amplop cokelat berisi gugatan ceraiku yang awalnya berbentuk persegi panjang kini berubah menjadi sobekan-sobekan tak beraturan. Bagian sobekan yang kecil berjatuhan, sedang yang masih bisa dirobek Lois, tetap berada di tangannya. Aku menatap surat gugatan itu dengan kedua mata membelalak tidak percaya seiring Lois puas merobek-robeknya menjadi banyak bagian. Kemudian kedua tangannya menghamburkan sobekan surat gugatan cerai dariku ke udara. Seperti hujan yang mengenai rambut Lois hingga ceceran kertas itu berserakan bersama serpihan kaca gelas yang tadi ia lempar. "Apa maksudmu, Lois?! Bikin surat itu nggak mudah!" teriakku kesal. Lois hanya tersenyum lebar seperti tanpa beban lalu mengusap rambut ke belakang dengan tangan kanannya. "Just do something that I want to," ucapnya teramat santai dengan membentangkan tangan dan kepala menghadap langit yang masih diselimuti mendung. Dia begitu menikmati kekesalan yang tercetak di ekspresi wajahku. Seakan-akan amarahku adalah hibu
Lois memelukku?Untuk apa? Untuk meruntuhkan pertahanan hati ini sekaligus membuatku luluh akan sikapnya?Dia pernah berkata saat mabuk ketika kami menginap di villa yang berada di Bandung. Lois pernah berucap jika aku marah dan akan pergi, ia cukup sedikit membuka hatinya dan bersikap manis padaku."Aku minta maaf, Ly."Lois mengeratkan pelukannya. Namun aku berusaha menahan air mata ini agar tidak makin terisak. Sedang kedua tanganku mengepal di sisi kanan kiri tubuh. Sengaja, aku tidak membalas pelukan Lois meski aku menginginkannya. Untuk apa membalas pelukannya? Itu sama saja dengan menyakiti diri sendiri."Kamu pernah bilang, cukup bersikap manis sedikit aja, maka aku pasti luluh. Asal kamu tahu, Lois, waktu itu aku masih bodoh dan buta akan cinta. Tapi sekarang, aku nggak sebodoh itu!""Luka yang kamu kasih ... bikin aku bisa merelakan kamu. Nggak masalah kalau sekarang aku terluka, asal setelah ini baik kamu dan aku bisa bahagia dengan jalan masing-masing."Dengan tangis yang
Akhirnya aku berakhir di pojokan kolam renang hotel ini. Sedang rekan-rekan lainnya menikmati film yang sedang diputar, mengobrol sendiri, menikmati makan malam yang masih tersedia, dan sebagainya. Sedang Lois ... ah, masa bodoh dengan keberadaannya. Entah dia mau menghabiskan waktunya dengan siapapun, aku tidak peduli lagi. Dan semoga saja aku bisa segera mengusir keberadaannya yang masih merajai hatiku. Kemudian, ponselku bergetar dengan bunyi nyaring. Ishak is calling ...Aku tersenyum tipis melihat namanya terpampang di layar ponselku. "Halo, Shak." "Halo, Ly. Maaf baru bisa telfon kamu. Aku sibuk banget hari ini." "Nggak apa-apa, Shak. Kebetulan di pantai sinyalnya nggak bagus." "Gimana liburannya? Senang?" Apa katanya? Senang? Yang ada justru makan hati dan menjengkelkan. "Aku ketemu Lois, Shak," akuku padanya. Bagiku Ishak sudah seperti kakak. "Lois kesana?" Kepalaku mengangguk dengan ponsel masih menempel di telinga. "Dia ... sengaja nemuin kamu atau gimana, Ly?"
Lois segera menarik tangan kananku keluar dari kamar Pak Presdir lalu menekan tombol turun pada lift. Sedang tangan kiriku sibuk mengusap air mata yang berderai. Ting!Begitu pintu lift terbuka, Lois segera menarikku masuk dan segera menekan tombol tutup dan menekan angka tiga. Tidak ada orang yang berada di lift selain kami berdua. Beruntunglah karena akan panjang ceritanya jika ada yang tahu aku bergandengan tangan dengan putra Pak Presdir satu ini. "Ly, maafin ucapan Romoku."Kepalaku menunduk untuk menyembunyikan air mata sambil mengangguk. "Apa yang Pak Presdir ucapin itu emang benar, Lois. Kamu itu pewaris, wajar kalau disayang dan dicarikan pendamping yang sepadan. Bukan sama aku yang bisanya bikin nama baik keluarga besar Hartadi tercoreng. Jangankan keluarga besarmu, keluargaku sendiri aja malu karena foto dan video itu.""Lagi pula, kamu nggak cinta aku, ngapain mempersulit diri sendiri, Lois? Ngapain kamu sampai sebertanggung jawab ini? Nggak perlu, Lois."Belum sempat L
"Semakin sering kamu minta cerai, maka semakin lama pula kamu jadi istriku. Jadi, nurut aja!"Tidak ada yang bisa kukatakan selain diam saja sembari menikmati pelukan hangat Lois. Sungguh kepalaku sangat pening dan ragaku lemas sekali. Tangan Lois bergerak pelan mengusap rambutku dan kembali memberi ciuman di sana. Sialan sekali suami di atas kertasku ini. Apa dia ingin membuatku mati merana karena mencintainya tapi tidak bisa memilikinya?Tidak berapa lama, Pak Wawan datang ke kamar Lois. Membawa menu makan malam yang sehat untukku. Kemudian ia undur diri setelah menata semua makanan itu di atas meja. "Ly, makan dulu. Biar aku suapin."Disuapi Lois? Yang benar saja dia. Sikap manisnya itu mengapa datang di saat aku ingin nelepaskan diri darinya. Kepalaku menggeleng pelan. "Aku bisa sendiri, Lois. Aku mau kita ada batasan biar aku nggak terbawa perasaan."Lagi-lagi, Lois tidak mengindahkan ucapanku. Dia justru membantuku duduk di atas ranjang king sizenya. Lalu memposisikan diri d
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.