1503 kata ... enjoy reading ...
"Ishak?" Lelaki yang kini menjadi mantan tunangan itu tengah menatapku sambil duduk di sofa ruang tamu. Lengkap dengan pakaian kerja yang masih melekat di tubuhnya. Berarti usai dari kantor, dia langsung datang kemari. Ada keperluan apa dia kemari? "Ya udah, kalian ngobrol aja. Papa mau masuk ke dalam, Shak." Papa kemudian berlalu ke dalam sedang aku masih berdiri di depan pintu rumah. "Masuk, Ly. Jangan di luar." Kemudian aku melangkah ke dalam lalu mengabil duduk di single sofa yang berseberangan dengan Ishak. Saat mata kami bertemu, Ishak menunjukkan senyum terbaiknya namun aku segera menunduk dan memainkan tas kerja yang berada di pangkuan. "Gimana kabarnya?" Kepalaku mengangguk kemudian menatapnya, "Baik, Shak. Oh ya, ada keperluan apa kemari?" "Pengen mampir aja. Soalnya kamu nggak pernah balas pesanku sama sekali." "Aku hanya nggak mau melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya, Shak." "Apa aku ini kesalahan untukmu, Ly?" tanyanya dengan raut sendu. "Bukan git
"Teguhkan pendirianmu, Lubis. Romo nggak mau kamu ingkar janji." Kepala Lois mengangguk pelan saat lift terus bergerak turun ke lantai satu. "Iya, Romo," ucapnya lirih. "Pabrik yang baru adalah tanggung jawabmu sepenuhnya. Kamu harus fokus. Singkirkan perempuan itu untuk sementara waktu." ********* "Kira-kira kapan saya bisa sembuh dari autophobia ini, Dokter?" "Sedikit lagi, Ly. Kamu cuma perlu mensugesti diri sendiri kalau kamu berani sendirian dan tidak akan terjadi apa-apa." Ucapan Dokter Albert persis dengan ucapan Lois kala itu. Saat dia meninggalkanku selama dua puluh menit di villa dengan alasan akan menelfon resepsionis untuk memesan makanan. Padahal dia pergi meninggalkanku sendirian di villa lalu menuju dapur utama. "Sebenarnya kuncinya cuma itu dan terus membiasakan diri berani menghadapi apa yang menjadi ketakutanmu, Ly." "Iya, Dokter. Aku akan terus mencobanya." "Dan satu lagi, ikhlaskan apa yang tidak mungkin bisa kamu gapai. Kamu berhak bahagia meski itu tanp
Ting! Pintu lift terbuka lalu aku menganggukkan kepala hormat pada Pak Wahyu sebelum melangkah keluar. “Mari, Pak Wahyu.” “Mari, Mbak Lilyah.” Dengan langkah pasti aku menapaki lantai lima menuju ruangan Pak Eko, meski sebenarnya di dalam dada terbesit satu tanya. Yang sengaja kutahan untuk tidak bertanya ... ‘Lois sakit apa?’ *** Usai mengantar dokumen ke ruangan Pak Eko, aku justru menuju lantai tiga. Tempat favoritku beberapa bulan lalu, terakhir kali aku melihat Lois setelah ia selesai rapat di ruang serbaguna. Sudah beberapa bulan, aku sengaja tidak mengunjungi tempat ini karena ingin melupakan segala hal tentang Lois. Namun, hari ini seperti ada yang membuatku harus datang ke tempat ini usai bertemu Pak Wahyu saat di lift tadi. Dari jendela kaca besar itu, aku bisa melihat baling-baling helikopter kantor mulai berputar cepat. Petugas rambu-rambu sudah bersiap di landasan dengan membawa atribut warna hijau di kedua tangan. Kemudian Pak Presdir dengan kemeja panjang war
"Cafe and restaurant kita udah hampir selesai, Ly! Aku barusan dapat kabar dari pengaturnya." Hampir saja ponselku terlepas dari pegangan. "Iya kah?!" tanyaku terkejut. "Iya, Ly. Lebih cepat dari ekspektasi. Aku kirim foto-fotonya, ya?" Setelah melihat foto-foto stand cafe and restaurant yang sudah selesai dikerjakan sekaligus dengan penataan propertinya, senyum bahagia tidak kupungkiri bisa seluas ini rasanya. Hingga aku tidak mempedulikan sisa makan siang yang masih termakan setengah olehku. Akhirnya, sebentar lagi bisa hidup tanpa bayang-bayang Papa yang tidak pernah berubah sejak kepergian Lois. Yang dipikirannya hanya masalah uang, uang, dan uang. "Lo seneng banget, Ly? Ada apaan?" tanya Nina. Aku, Nina, dan Gia sedang makan siang bersama di saat jam istirahat kantor. Kemudian aku memutar layar ponsel dan terpampang lah dengan jelas bagaimana penampakan interior cafe and restaurantku dan Ishak yang berubah cantik bergaya Paris. "Wow! Udah selesai!" "Targetnya seb
Ishak membantuku mencari keberadaan Lois di Bandung? Hah, dia pasti sedang menantang matahari. Mana mungkin dia bisa menemui sang pewaris keluarga Hartadi yang sekarang sedang sibuk-sibuknya mengurus pabrik sigaret yang baru? "Gue dengar dari orang HRD kalau pabrik sigaret yang baru dibangun mengalami perkembangan pesat karena dipimpin langsung sama Den Mas Lubis dan beberapa orang berpengalaman yang ada di belakangnya," ucap Gia pada Nina. Aku yang sedang melahap bakso sampai tersedak lalu meneguk jeruk hangat. "Makan tuh yang hati-hati, Ly," ucap Gia sambil menepuk punggungku. Kepalaku mengangguk saja lalu melanjutkan melahap bakso. "Terus terus, gimana kelanjutannya, Gi," Nina bertanya lebih lanjut. "Padahal baru berdiri setengah tahun tapi kinerjanya bagus banget. Denger-denger sih sigaret buatan pabrik baru yang dipimpin Den Mas Lubis tuh sengaja dipasarkan di bagian timur. Kalau yang dipimpin Bu Dirut dipasarkan di barat dan tengah." "Lah? Kok pembagiannya nggak adil gitu
Aku dan Ishak berjalan terburu-buru usai turun dari mobil. Masih dengan pakaian yang sama saat grand opening cafe and restaurant kami, kemudian menemui petugas yang sedang berjaga. "Selamat malam. Saya kakaknya Vela. Salah satu perempuan yang ditahan di dalam," ucapku sedikit tergesa-gesa."Bisa tunjukkan identitas anda lebih dulu?" tanya polisi muda berpangkat bripda itu. Lalu aku menyerahkan kartu identitas kemudian dipersilahkan masuk ke dalam dengan Ishak. Kami mengikuti langkah polisi muda itu menaiki tangga menuju lantai dua. Kemudian memasuki sebuah ruangan mirip tempat interogasi. Di dalam sana terdapat tiga komputer namun hanya satu yang menyala dengan dua polisi menanyai keduanya. Laki-laki dan perempuan yang terduduk dengan kepala menunduk. "Selamat malam, dia kakaknya si pelaku perempuan."Lalu perempuan itu menoleh dengan wajah pucat pasi disertai lelehan air mata. Mengenakan hoodie warna coklat muda tapi paha mulusnya tetap terlihat jelas. Mataku menatap tidak perca
Sebentar? Kata 'sebentar' itu memiliki arti yang relatif dan tanpa batas waktu. Bisa satu minggu lagi, satu bulan lagi, bahkan satu tahun lagi. Jika Pak Wahyu pernah berkata jika aku disuruh menunggu Lois 'sebentar' lagi, mungkin itu hanya akan menjadi isapan jempol semata. Karena kenyataannya ... "Ly, ini udah tahun pertama kita mendirikan cafe and restaurant ini, ya?" tanya Ishak yang kini duduk disebelahku sambil memangku laptop. Kepalaku mengangguk dengan mata tetap fokus pada kuitansi pembelajaan isi dapur kafe pagi tadi. Sedang tanganku mencatat rekap pengeluaran di sebuah buku besar. "Berarti udah waktunya bayar sewa." Kemudian aku menghentikan aktivitas menulis rekapan pengeluaran. Membasahi bibir dan sedikit menggigitnya. "Shak, ada yang harus kuomongin." Ishak menoleh ke arahku, "Apa?" "Kemarin Mama bilang kalau Vela pengen kerja di cafe and restaurant kita ini." Ekspresi wajah Ishak berubah tidak suka. "Nggak bisa, Ly! Meski Vela udah berubah dan kamu ngasih
"Selamat pagi semua karyawan. Apa kabar hari ini?" Kepalaku menoleh ke sumber suara kemudian merasa malu sendiri karena tiba-tiba berdiri dari kursi bis. Ternyata, di ujung kabin bis yang kunaiki saat ini, kepala HRD sedang memegang pengeras suara sambil menatap ke arah kami semua. "Baik!" jawab semua karyawan serempak. Lalu aku segera duduk kembali agar tidak mengganggu pandangan karyawan lain. "Mari kita berdoa terlebih dahulu sebelum berangkat bersama-sama ke Jogja. Semoga perjalanan kita senantiasa dalam lindungan Tuhan sampai kembali pulang. Dan di sana kita bisa berbahagia semaksimal mungkin." "Amin!" Saat rekan-rekan kerja yang lain sedang berdoa dengan khidmat, aku justru menunduk dengan pikiran berkecamuk. Ya Tuhan, apakah nanti aku akan bertemu Lois di Jogja? Jika iya, apa yang harus aku lakukan? Mengapa aku mendadak bingung seperti ini? *** Perjalanan selama sembilan jam menuju Pantai Sadranan benar-benar membuat lelah tubuh ini. Namun ada sepenggal kebahagiaan ya