enjoy reading ...
"Lois!" aku memanggil suamiku itu dengan suara lantang dengan penekanan. Tetiba saja, usai memanggil namanya, jantungku berdetak cepat hingga menimbulkan sensasi beku yang membuat tubuhku seperti dialiri air es. Hingga membuat suhu kedua telapak tangan dan kakiku menjadi dingin dan lembab. Lois, Rily, dan ketiga teman lelakinya yang lain langsung menoleh ke arahku dan Nathasya yang berdiri tidak jauh dari mereka. Ketika mataku dan Lois saling memandang, ada raut keterkejutan yang menghiasi wajah suamiku itu. Mungkin dia tidak menyangka jika aku berada di cafe tempatnya bekerja malam ini hingga larut. Jika Lois memandangku dengan tatapan tidak menyangka, maka berbeda dengan Rily, mantan kekasihnya, yang sudah memakai helm itu menatapku dengan sorot bertanya lalu ia menoleh ke arah Lois. Tapi tidak dengan ketiga teman Lois yang pernah melihatku sebelumnya. Bahkan aku berani jamin mereka masih tahu siapa aku ini dalam kehidupan Lois. Lois hanya berdiri dengan sorot tertegun menatap
"Kamu benar-benar sialan, Lois! Bajingan! Penipu! Apa ini caramu balas dendam, heh?! Kamu udah nikah sama perempuan itu tapi masih ngajak aku jalan! Kamu mau bikin aku kayak pelakor?! Asal kamu tahu, pecundang! Laki-laki di dunia ini bukan cuma kamu, Lois!" Telunjuk Rily mengarah ke Lois berulang kali dengan teriakan dan derai air mata. Parkiran cafe ini menjadi saksi pengakuan pernikahanku dengan Lois dihadapan mantan kekasihnya. Rily murka dan bersedih hati karena Lois memberi harapan lebih padahal statusnya sudah menjadi suamiku. Lalu pertanyaan kembali berseliweran di otakku. Bukankah dulu Lois pernah berkata jika hubungannya dengan Rily sebatas teman? Tidak lebih. Tapi mengapa sekarang Rily mengakui hal yang berbeda dengan apa yang Lois katakan? Ya Tuhan, cinta segitiga itu benar-benar menyakitkan. "Tenangin dirimu, Ril! Dengerin aku dulu dan jangan berteriak histeris kayak gini! Malu dilihat banyak orang!" ucap Lois tegas. Kemudian Lois mengulurkan gitarnya pada Handi l
Hati istri mana yang tidak hancur ketika suami yang dicintai mengaku tidak mencintainya? Meski aku ini mantan istri durhaka, namun perjuangan untuk mengembalikan kepercayaan suami dan memperbaiki pernikahan kami bukanlah isapan jempol semata. Aku serius ingin membuat Lois kembali seperti awal kami menikah. Memperlakukanku dengan baik. Dan aku akan membayar ketidakbecusanku sebagai istri di masa lalu dengan mengabdi penuh padanya. Masa bodoh dengan gengsi karena menjadi istri seorang seniman yang tidak terkenal. Yang pekerjaannya berpindah-pindah dari satu café ke café yang lain untuk menghibur pengunjung dengan grup band-nya. “Aku akan berusaha mengembalikan kepingan hubungan pernikahan kita yang udah hancur, Lois. Tapi tolong kasih aku waktu untuk memperbaikinya.” Lois menatapku dengan ekspresi dipenuhi emosi tertahan. “Apa sebenarnya tujuanmu, heh?!” “Nggak ada tujuan apapun selain aku ingin memperbaiki pernikahan kita, Lois. Aku mau jadi istrimu seutuhnya.” Kemudian Lois ter
Pelipis bagian kiriku berdarah dan bengkak hingga mengeluarkan warna biru kehitaman.Beruntung Gia dan Nina segera membawaku ke pusat kesehatan terdekat untuk mendapat penanganan. “Ly, mending lo balik pulang aja dari pada maksa terus kerja,” Gia menyarankan. Aku meringis sambil memegangi pelipis yang sudah diberi pertolongan pertama oleh petugas medis. “Iya, Gi. Kepala gue juga rasanya kayak berputar-putar,” akuku.Kemudian Nina datang membawa sekantong plastik berisi obat dan kuitansi penebusan perawatanku. “Ntar soal izin, biar kita yang urusin, Ly.”Kemudian aku menatap wajah keduanya dengan mata sedikit menyipit. “Gi, Nin, gue nggak seperti yang adik gue bilang di rumah makan tadi. Gue bisa jelasin ke kalian kalau gue bukan perempuan jalang atau nggak bener.” Bagaimanapun, mereka harus tahu jika fitnah tentangku yang Vela teriakkan di rumah makan tadi adalah kebohongan. Aku tidak mau kedua sahabat baikku itu menjauh seperti saat di kantor lama. Keduanya saling tatap dengan
Apa yang kemarin Vela lakukan hingga membuat keningku bengkak seperti ini sebenarnya bisa dilaporkan ke polisi karena masuk ranah tindak pidana. Hanya saja aku enggan memperpanjang masalah ini karena hanya akan menguras waktu, emosi, dan ... kantong. Malam ini, usai makan bersama, Lois bergegas berganti baju karena harus bekerja di cafe untuk menghibur para pengunjung. Penampilannya sangat klemis dan wangi. Aku berani jamin jika Rily melihatnya pasti akan luluh dan memaafkan kebohongan Lois yang sudah menyembunyikan identitas pernikahan kami. "Lois, apa kamu mau jemput Rily dulu?" tanyaku sambil duduk bersila di lantai kamar. Sedang Lois sedang berkaca sambil menyisir rambut. Bukannya menjawab, dia diam saja seperti tidak mendengar apapun pertanyaanku. "Lois?" "Jangan pernah datang ke cafe kayak kemarin. Aku sama yang lain lagi kerja. Ingat itu baik-baik!" Kemudian ia meletakkan sisir lalu mengambil gitarnya yang terbungkus kain hitam itu tersandar di dekat lemari baju. Tanpa ber
"Lois, jangan pergi. Aku mohon," ucapku dengan menatapnya penuh permohonan. "Kalau kamu pergi, aku sama siapa? Gimana sama autophobiaku? Please, Lois. Tolong jangan tinggalin aku." Kemudian aku berlutut sambil mengatupkan kedua tangan di sampingnya yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tas besar itu. "Aku bukan memanfaatin kamu, tapi aku aku nggak punya orang terdekat lagi selain kamu. Kamu bebas nyuruh aku mau kayak apa untuk nebus kesalahan fatal yang kulakukan tapi jangan tinggalin aku. Please," mohonku lagi dengan mata berkaca-kaca. Lois menatapku dengan sorot tajamnya lalu menutup resleting tas besar itu. Dia tetap berdiri menjulang di depanku yang masih bersimpuh di lantai. "Kemasi barangmu!" titah Lois. Mataku membulat lebar dan menatapnya dengan sorot hancur. Apakah dia benar-benar akan menyuruhku pergi? Mengusirku yang sudah diusir oleh Papa? "Lois, aku --- " "Ke-ma-si ba-rang-mu!" ucapnya penuh penekanan disetiap suku katanya. "Tapi --- " "Sepuluh menit! Aku t
Atasan memberi izin untuk beristirahat selama satu hari pasca insiden yang membuat pelipis kiriku berdarah akibat ulah Vela. Jadi pagi ini aku bebas ingin bangun pukul sembilan pun tidak menjadi masalah. Namun, apa salahnya jika aku tetap bangun pagi lalu belajar menjadi istri yang baik untuk Lois?Aku rasa itu tidak ada salahnya. Bergegas aku mandi agar Lois tidak jijik. Lalu berganti pakaian yang sedap dipandang mata namun tetap santai kemudian mengganti perban di pelipis dengan yang baru sambil mengoleskan salepnya. Tanpa menunggu Lois bangun, aku segera mengambil sapu untuk membersihkan lantai kontrakan kami. Maklum, semalam dia begadang hingga tengah malam di teras kontrakan dengan memetik senar gitarnya. Usai berkata jika dia memiliki hati seorang perempuan yang harus dijaga, aku menanggapinya dengan senyum kecut. Meski pada kenyataannya sangat terluka, namun aku tidak akan menyerah untuk memperjuangkan hati Lois kembali. Bertepatan dengan aku menyuguhkan segelas air putih
Akhirnya semalam kami saling perang dingin karena Lois yang bersikap jual mahal dan aku yang menuntut dia untuk membuka sedikit hatinya. Alhasil, karena melihatku terus mengintil padanya yang akan berangkat kerja karena tidak mau ditinggal di kontrakan sendirian, akhirnya aku dibawa ke kontrakan lamanya. Sepanjang perjalanan di atas motor, kami saling diam. Tidak ada adegan memeluk tubuhnya dari belakang seperti kemarin karena kesal dengan sikapnya yang menggantung perasaanku. Ia tidak mau menceraikanku tapi masih mau bersamaku. Tidak mau memaafkanku tapi tidak kunjung menceraikanku. Apa dia tidak bisa membandingkan mana ekspresi serius orang yang tulus dengan orang yang membual? Kesal bukan?! Usai menurunkanku dari motornya di depan kontrakan lama, Lois segera memacu motornya tanpa mengucap salam, berpamitan, atau sekedar berucap basa basi apapun. Dia langsung menarik stang gas dan meninggalkanku sendirian di tepi jalan kontrakannya dengan hati geram. Kakiku sampai berhentak di a
POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta
POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,
POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da
POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d
POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku
POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di
POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat
POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni
POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.