enjoy reading ...
"Selesai!" Berbekal nekat, akhirnya aku mengikuti saran Gia untuk mengejar Lois dengan sepenuh hati. Mengapa sepenuh hati? Jika aku melakukannya dengan hati bimbang karena masih memikirkan kenginan Papa, Mama, dan Ishak, maka hasilnya tidak akan maksimal. Sedangkan Rily, mantan kekasih Lois, saat ini juga memiliki kedekatan dengannya. Artinya, peluangku mendapatkan hati Lois terhalang oleh lawan yang kuat. Meski dulu Lois berkata jika hubungannya dengan Rily sebatas teman semata, namun jika hubungan pernikahan kami sedang dalam masa kritis seperti ini, bukan tidak mungkin hatinya bisa berpaling bukan? Jika sudah begitu, aku yang akan sengsara karena kehilangan Lois. Semua pakaianku telah masuk ke dalam koper besar. Beberapa minggu yang lalu aku baru kembali ke rumah masa kecil ini. Tapi sekarang, aku harus kembali meninggalkannya. Bedanya, jika dulu aku diusir dengan hati carut marut karena dipaksa berpisah dari Ishak, maka kali ini aku pergi tanpa kesedihan untuk menggapai kemba
"Oh, ya ampun ... maaf, Pak," ucap Lois sambil menepuk keningnya. "Malah saya tinggal ngobrol sama Mbak ini. Saya yang harusnya terima kasih karena udah dikasih buah tangan yang banyak. Padahal saya niatnya tulus ingin bantuin. Nggak mengharap imbalan," imbuhnya. Lois tiba-tiba bersikap sangat ramah pada asisten Bu Dirut yang berdiri bersama kami. Lalu menjabat tangan pria yang berusia hampir berkepala lima itu dengan kedua tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. Asisten Bu Dirut juga ikut menunduk hingga kepala mereka berdua saling beradu. Hingga Lois mengaduh sedikit kesakitan lalu mengusap pucuk kepalanya sambil meringis. "Ya ampun, Den Mas. Maaf. Maafkan saya. Apa sangat sakit? Apa kita perlu ke rumah sakit?" tanya asisten itu dengan suara dan sikap cemas. "Nggak apa-apa kok, Pak. Kalau sudah selesai, Bapak boleh pulang." Lois segera memutar tubuh asisten itu meski wajahnya menampakkan kebingungan yang jelas. Lalu ia mendorong tubuh pria itu sedikit tergesa-gesa menuju sebu
Jika dulu setiap pagi Lois akan menyiapkan sarapan untuk kami lalu mengantarku berangkat bekerja, maka tidak dengan pagi ini.Begitu terdengar suara pintu diketuk, aku segera mengembalikan ponsel Lois ke tempat semula dan membuka pintu. Terlihat Lois berdiri menjulang tanpa membawa apapun padahal aku mengharapkan ia membawa sarapan.Dia berlalu begitu saja ke kamar lalu mengambil kunci motor dan ponselnya. "Aku pergi duluan," ucapnya acuh.Astaga, aku besar rasa dengan menganggapnya akan mengantarku berangkat bekerja."Jangan lupa kuncinya kamu taruh di angin-angin kayak biasanya," ucapnya tanpa menatap mataku.Ya Tuhan, ternyata Lois masih sangat marah namun masih berbaik hati memberi tumpangan tidur untukku.Mataku menatap punggungnya yang berjalan menuju tangga lalu menuruninya. Hati ini mencelos dan terasa sesak akibat sikap acuhnya, namun aku tetap berusaha tegar dan kuat. "Aku nggak boleh cengeng!" ucapku menyemangati diri sendiri. Usai meletakkan kunci di angin-angin kamar,
Raden Mas Renjana L. Hartadi. Atau biasa dipanggil Den Mas Lubis. Itu adalah nama putra Pak Presdir yang konon kata rekan-rekan kerja suka ke kantor dengan pakaian santai. Datang menggunakan motor dan tiba ketika para rekan kerja sudah masuk agar wajahnya tidak terlalu dikenali. Jika aku tidak mengenal siapa putra Pak Presdir, itu hal yang wajar karena baru beberapa bulan bekerja di sini. Dari pada penasaran dengan tampang putra Pak Presdir yang sudah berangkat dengan Pak Presdir menggunakan helikopter menuju Bandung, lebih baik aku fokus bekerja. Namun di tengah-tengah bekerja, aku teringat akan percakapan Lois dan asisten Bu Dirut semalam dan ucapan Pak Rudy tadi pagi. “Den Mas Lubis?” Ingatanku juga kembali ke pesan dari kontak ‘Widianto Kantor’ yang dikirim ke nomer Lois. Dia menyebut nama ‘Den Mas’, ‘Romo’, dan ‘Kantor’. Jujur, itu sangat mengganggu pikiran. Mengapa ada kebetulan yang sama? Tapi apakah benar ada kebetulan yang sama? “Gi, boleh tanya nggak?” Saat ini, bert
"Mending kamu buruan mandi. Bau!"Lois kembali menatap buku berbahasa Inggris itu usai berucap sedikit kasar dan mengacuhkanku. Sadar jika bauku kurang sedap usai seharian bekerja. Lalu aku menuruti ucapannya untuk segera mandi.Sambil membawa baju ganti, aku kembali menatap Lois."Aku nggak ngira. Selain pandai main gitar dan biola, ternyata kamu jago Bahasa Inggris juga, Lois."Bukannya senang mendengar sanjungan dariku, dia justru menutup buku itu dan meraih gitarnya. Lalu pikiranku berkelana ke kejadian hari ini saat di kantor. "Oh ya, Lois. Apa kamu percaya kalau ada kebetulan yang sempurna?" Tanpa menatapku dan sambil memetik senar gitar, dia membuka suara dengan ekspresi acuh."Kebetulan apa?" "Kamu mirip seseorang."Jemari kanannya yang memetik gitar terhenti seketika lalu kedua matanya menatapku dengan sorot tajam. Masih dengan posisi duduk bersila dan memangku gitar."Siapa?" Tanpa pikir panjang, aku mengutarakan penilaian. "Putra Pak Presdir. Namanya Den Mas Lubis."Lo
Aku segera menekan tombol hijau pada kontak Lois yang ada di ponsel Nathasya. Panggilanku terhubung namun tidak ada jawaban darinya. Hingga panggilan kuulangi sampai tiga kali. Mengabaikan tatapan heran Nathasya yang melihatku secemas ini karena mencari Lois. "Sialan! Nggak diangkat! Kemana sih Lois ini?!" geramku. Sambil menatap layar ponsel Nathasya yang menunjukkan riwayat panggilanku ke nomer Lois. Lalu muncul sebuah ide yang tidak ada salahnya jika dicoba lebih dulu. "Nath, sekarang telfon cowok lo. Malam ini dia dan Lois kerja di cafe mana? Cepetan!" Aku mengambil tangan Nathasya dan mengangsurkan ponselnya dengan ekspresi menuntut. "Lo tuh ada masalah apa sih sama Kak Lois, Ly?!" "Udahlah, Nath. Buruan telfon cowok lo! Nanti gue pasti bilang ada masalah apa sama Lois." Dengan menghela nafas kasar, Nathasya menuruti permintaanku dengan wajah sedikit kesal. Dia segera mencari kontak kekasihnya lalu menghidupkan loudspeaker ponsel agar aku juga bisa mendengarnya. "Halo,
"Lois!" aku memanggil suamiku itu dengan suara lantang dengan penekanan. Tetiba saja, usai memanggil namanya, jantungku berdetak cepat hingga menimbulkan sensasi beku yang membuat tubuhku seperti dialiri air es. Hingga membuat suhu kedua telapak tangan dan kakiku menjadi dingin dan lembab. Lois, Rily, dan ketiga teman lelakinya yang lain langsung menoleh ke arahku dan Nathasya yang berdiri tidak jauh dari mereka. Ketika mataku dan Lois saling memandang, ada raut keterkejutan yang menghiasi wajah suamiku itu. Mungkin dia tidak menyangka jika aku berada di cafe tempatnya bekerja malam ini hingga larut. Jika Lois memandangku dengan tatapan tidak menyangka, maka berbeda dengan Rily, mantan kekasihnya, yang sudah memakai helm itu menatapku dengan sorot bertanya lalu ia menoleh ke arah Lois. Tapi tidak dengan ketiga teman Lois yang pernah melihatku sebelumnya. Bahkan aku berani jamin mereka masih tahu siapa aku ini dalam kehidupan Lois. Lois hanya berdiri dengan sorot tertegun menatap
"Kamu benar-benar sialan, Lois! Bajingan! Penipu! Apa ini caramu balas dendam, heh?! Kamu udah nikah sama perempuan itu tapi masih ngajak aku jalan! Kamu mau bikin aku kayak pelakor?! Asal kamu tahu, pecundang! Laki-laki di dunia ini bukan cuma kamu, Lois!" Telunjuk Rily mengarah ke Lois berulang kali dengan teriakan dan derai air mata. Parkiran cafe ini menjadi saksi pengakuan pernikahanku dengan Lois dihadapan mantan kekasihnya. Rily murka dan bersedih hati karena Lois memberi harapan lebih padahal statusnya sudah menjadi suamiku. Lalu pertanyaan kembali berseliweran di otakku. Bukankah dulu Lois pernah berkata jika hubungannya dengan Rily sebatas teman? Tidak lebih. Tapi mengapa sekarang Rily mengakui hal yang berbeda dengan apa yang Lois katakan? Ya Tuhan, cinta segitiga itu benar-benar menyakitkan. "Tenangin dirimu, Ril! Dengerin aku dulu dan jangan berteriak histeris kayak gini! Malu dilihat banyak orang!" ucap Lois tegas. Kemudian Lois mengulurkan gitarnya pada Handi l