enjoy reading ... Maaf banget, author dua hari ini nggak enak badan. Baru bisa update.
"Kalau Lois belum ngucapin talak, maka sampai kapanpun, kamu nggak akan bisa menikah sama Ishak, Ly. Lalu, gimana sama surat menyurat perceraianmu kalau Lois aja udah memblokir nomormu?" Astaga, aku melupakan satu hal ini. Mana mungkin bisa aku melupakan satu hal paling krusial itu jika akan kembali pada Ishak? Dan dari mana aku bisa mencari keberadaan Lois jika nomerku saja sudah diblokir? *** Obrolanku dengan Mama semalam sebenarnya cukup membuat kepikiran. Bagaimana tidak, aku sendiri tidak yakin jika sudah diceraikan Lois atau belum. Lalu hatiku masih ragu jika melanjutkan hubungan bersama Ishak karena terhalang restu orang tuanya. Akhirnya, aku sendiri yang dilema. "Ly, udah sampai," Ishak berucap ketika mobilnya telah terparkir di depan kantorku. Sedari tadi aku melamun dengan menatap dashboard mobilnya. "Oh, iya," lalu tanganku membuka sabuk pengaman dan bersiap meraih tas kerja yang kuletakkan di dekat kaki. "Ly, apa kamu masih kepikiran Lois?" Aku menatap Ishak yang
"Percuma, Gi. Gue nggak punya foto bareng sama dia." "Ah, bohong lo, Ly." "Sumpah. Ngapain gue bohongin lo?" Akhirnya Gia mengembalikan ponselku ke dalam tas lalu kembali menatapku yang sudah fokus dengan laptop yang menyala. Namun detik kemudian panggilan dari Ishak membuat ponselku kembali bergetar. "Jangan diangkat, Gi!" seruku ketika Gia akan kembali mengambil ponselku. "Gue cuma ngetes, Ly." "Maksudnya?" "Lo ogah-ogahan angkat telfon babang mantan. Dan jawaban gue tetap sama, lo udah jatuh cinta sama yang baru. Jadi, mending lo balik kanan lalu tinggalin babang mantan. Dari pada hubungan kalian terlalu jauh lalu lo nyesel." *** Sepulang kerja, tanpa menunggu jawaban dariku, Ishak sudah menunggu di halaman depan kantor. Mobil gagahnya terparkir jelas disana namun aku kembali tidak merasakan debaran cinta. "Ya Tuhan, apa benar gue cinta sama Lois? Secepat itukah gue ngelupain Ishak?" gumamku sembari menatap mobil Ishak dari lobby kantor. Lalu aku menghela nafas panjang da
"Benar ini 'kan kontrakan lama Lois, Ly?" tanya Ishak usai memarkir mobilnya di tepi jalan yang berseberangan dengan kontrakan Lois. Kemudian aku menoleh ke kanan lalu memastikan bangunan itu lalu mengangguk pelan. Namun mataku tidak berpaling ketika menatap jendela lantai dua yang sedikit terbuka. Itu adalah kamar Lois. Kamar yang pernah kutempati beberapa kali saat dia meninggalkanku untuk bekerja. "Kita kesana?" Tidak mau berdebat dengan Ishak, akhirnya aku menuruti apa yang menjadi keinginannya. Walau sebenarnya hati ini berat untuk bertemu Lois dengan Ishak bersamaku. Aku masih memiliki urat malu namun paksaan Ishak membuatku menyerah. Usai melepas kunci sabuk pengaman, kami keluar dari mobil. Dengan cepat Ishak mengamit tanganku ketika akan menyebrang. Namun bukannya senang ia perlakukan seperti ini, aku terus merasa tidak nyaman hingga langkah kami tiba di depan gerbang kontrakannya. "Kontrakannya jelek banget," ucap Ishak lirih. Di teras kontrakan berjajar motor-motor pa
"Aku nggak bisa lanjutin hubungan kita, Shak. Kamu ... kayak orang lain bagiku. Aku jatuh cinta sama Ishak yang baik, lembut, santun, dan bijak. Bukan Ishak yang arogan kayak gini."Reflek cekalan tangan Ishak di kerah kemeja flanel Lois mengendur lalu aku menatap Lois dengan sorot penyesalan. Ingin rasanya aku berucap maaf namun kelu lidah ini untuk berkata. "Ly, apa kamu bilang? Kamu nggak mau lanjutin hubungan kita yang udah terjalin sedekat ini?" tanya Ishak dengan sorot tertegun. Kepalaku mengangguk pelan. "Maaf, Shak. Getaran di hatiku juga udah nggak ada lagi buat kamu. Semuanya terasa biasa aja."Giliran kedua tangan Ishak memegang kedua pundakku lalu aku menepisnya. "Aku pikir ketika kita kembali lagi kayak dulu, lalu aku bisa bahagia. Aku pikir dengan kita melanjutkan hubungan pertunangan yang sempat kandas, nanti kita akan berbahagia seperti bayanganku. Tapi ternyata nggak.""Kita cuma perlu menghabiskan waktu bersama lagi, Ly. Sering quality time bersama biar perasaanm
Merebut hati Lois kembali itu tidak mudah. Apalagi sudah ada mantan kekasihnya yang selama ini cukup akrab dengannya, Rily. Selain mantan, ia juga berperan sebagai vokalis di grup band yang beranggotakan Lois. Itu membuat intensitas pertemuan keduanya terjalin lebih mudah. Lengkap sekali, seperti wadah bertemu tutupnya. Rily, gadis itu sering memamerkan kedekatannya dengan Lois melalui status whasap yang pernah kulihat dari ponsel Nathasya. Meski Lois kala itu berkata jika dia berhubungan dengan Rily tidak lebih dari partner kerja karena menghargai status pernikahan kami, tetap saja kini aku merasakan kecemburuan. Ya, Lois menghargai status pernikahan kami meski tidak ada cinta di dalamnya. Dia tidak mau dicap sebagai suami tidak tahu diri karena menjalin hubungan dengan mantan kekasih padahal sudah beristri. Namun, aku yang tidak peka karena belum menyadari pentingnya Lois dalam hidup, justru bersikap acuh kala itu. Dan sekarang, aku menarik kembali sikap dan segala ucapanku di ma
"Bukan siapa-siapa, Ril!" Tut ... tut ... tut ... Sambungan telfon kami diputus oleh Lois. Mungkin mantan kekasihnya hendak meraih ponsel Lois lalu ia memilih mematikan sambungan. Mataku menatap nanar ponsel Nathasya yang berada dalam genggaman. Lalu segera menegakkan kepala agar air mata ini tidak luruh. Sumpah! Sakit sekali rasanya ketika mengetahui Lois sedang bersama Rily, mantan kekasihnya. Walau itu tidak salah, namun aku merasa sangat terbuang. Mungkin seperti inilah rasa sakit yang Lois terima ketika aku meninggalkannya kemarin. "Ly?" Kemudian aku mengusap air mata yang belum luruh lalu berbalik badan. "Thanks, Nath, buat ponselnya. Gue cabut," ucapku lalu mengangsurkan ponsel Nathasya. "Ly, lo kenapa --- " Tanpa mendengar kelanjutan ucapan Nathasya, aku segera pergi dari kosnya dengan hati bergemuruh sedih. Aku telah kehilangan Lois. Suami terbaik yang selama ini tidak pernah meminta imbalan kala menjaga atau membantu menguak rahasia dibalik fitnah video syurku.
“Lois?” sapaku sekali lagi dengan membalas tatapan matanya intens. Dia hampir tidak berkedip kala menatapku. Lalu tangannya mendorong tubuhku masuk ke kamar kemudian menutup pintunya dengan cepat. “Lois, kenapa?” tanyaku keheranan. Tangannya mencengkeram kasar lalu memojokkan tubuhku ke dinding. Tatapannya mulai berubah tajam kala kami sedekat ini. “Apa tujuanmu tiba-tiba tidur di kamarku tanpa izin, Lilyah?!” tanyanya dengan suara pelan namun tegas. Sebenarnya aku mulai ketakutan ketika Lois berubah seperti ini. Lebih tepatnya takut jika ia menambah sakit hatiku yang sudah ada. “A … aku … pengen bicara sama kamu, Lois. Hubungan kita … masih belum selesai.” “Belum selesai? Tapi siapa kemarin yang bilang kalau masih ada rasa sama Ishak, heh?! Siapa yang bilang kalau Ishak sungguh-sungguh kali ini, heh?! Siapa?!!” bentak Lois. Aku terperanjat dan mata mulai berkaca-kaca. Wanita mana yang tidak ingin menangis kala dibentak oleh lelaki yang dicintai? Sekalipun si lelaki itu membent
“Aku bukan anak durhaka atau tidak tahu terima kasih, Pa. Tapi perlu Papa tahu, kalau seorang anak perempuan harus mendahulukan suaminya di atas perintah orang lain. Sekalipun itu orang tua yang telah merawat dan membesarkannya.” “Aku nggak punya niatan durhaka atau melawan Papa dan Mama. Bagiku, kalian adalah segalanya. Tapi, apa aku harus menuruti perintah Papa kalau itu salah? Yang benar adalah aku akan membuat Papa mengetahui kebenarannya. Termasuk arti seorang Lois dalam kehidupanku.” Papa beranjak dari duduknya dengan memandangku sengit. “Keluar kamu dari rumah ini, Lilyah!” tangan kirinya menunjuk ke arah pintu ruang tamu. Ya Tuhan, aku kembali diusir oleh ayah kandungku karena melawan titahnya. “Papa tega ngusir aku lagi?” “Buat apa tinggal sama anak yang durhaka kayak kamu, heh?! Lihat mukamu aja, Papa merasa jijik!” ucapnya kasar dengan tangan berkacak pinggang. Kepalaku mengangguk dengan memasang wajah setenang mungkin, meski hati bergejolak. “Baiklah kalau itu mau P