Hari itu dimulai seperti biasa bagi Nathaniel Alvaro, CEO perusahaan multinasional yang dipimpinnya. Namun, meski pagi di luar terasa lebih sejuk dari biasanya, ruangan kantornya justru terasa semakin panas. Ponsel di mejanya bergetar tanpa henti, tumpukan berkas menggunung, dan layar laptopnya menampilkan angka-angka yang mencerminkan kegagalan proyek besar yang telah ia upayakan selama berbulan-bulan.
Proyek ambisius yang seharusnya menjadi pencapaian besar kini berakhir dengan kekecewaan. Klien-klien utama yang sudah lama dijanjikan mundur, menyalahkan kesalahan teknis yang terjadi dalam eksekusi. Ini bukan hanya kekalahan pribadi Nathaniel, tapi juga seluruh tim yang telah bekerja di bawah kepemimpinannya. Dewan direksi, yang biasanya mendukungnya, kini mulai mempertanyakan keputusannya. Kata-kata tajam yang keluar dari mulut mereka meninggalkan luka yang tak terlihat, namun terasa dalam. Nathaniel tahu, ia harus segera bangkit, tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa seolah dunia sedang runtuh di sekelilingnya.
Setelah pertemuan yang penuh tekanan, ia melangkah keluar dari ruang rapat dengan langkah berat. Pikirannya berputar tanpa henti, dipenuhi pertanyaan tentang apa yang seharusnya ia lakukan. Selama ini, ia selalu mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, namun kali ini, semuanya terasa kabur. Mungkin ia telah terlalu lama terperangkap dalam dunia bisnis yang kejam, hingga lupa bagaimana rasanya hidup dengan lebih ringan.
Dalam perjalanan pulang, Nathaniel duduk diam di kursi belakang mobil, menatap kosong ke luar jendela. Kota yang biasanya tampak dinamis kini terasa asing baginya. Sopir pribadinya, yang telah bekerja bersamanya bertahun-tahun, melirik ke arah kaca spion dan melihat ekspresi bosnya yang tampak lebih letih dari biasanya.
“Pak Nathaniel, kalau saya boleh memberi saran, ada tempat yang mungkin bisa membantu Anda merasa lebih baik,” ujar sang sopir, berhati-hati dalam memilih kata-katanya.
Nathaniel mengangkat alis, sedikit penasaran. “Tempat apa?” tanyanya, suaranya terdengar datar, namun matanya menunjukkan sedikit ketertarikan.
“Sebuah klinik pijat kecil, Pak. Saya pernah mendengar dari teman-teman, tempat itu cukup bagus dan pemiliknya sangat profesional. Banyak orang yang merasa lebih baik setelah berkunjung ke sana,” jawab sopir dengan nada penuh keyakinan.
Nathaniel terdiam sejenak. Ia bukan tipe orang yang percaya pada hal-hal semacam ini, namun hari ini, beban yang ia rasakan terasa lebih berat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, “Baiklah, antar saya ke sana.”
Sopir itu tersenyum kecil, merasa lega karena sarannya diterima. Ia mengarahkan mobil menuju pinggiran kota, menjauh dari deretan gedung pencakar langit dan kesibukan pusat bisnis. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di depan sebuah bangunan sederhana. Tidak ada papan nama mencolok, hanya cahaya temaram dari jendela kaca dan aroma lembut minyak esensial yang menyambut begitu Nathaniel melangkah masuk.
Di balik meja resepsionis, seorang wanita muda dengan senyum ramah menyapanya. “Selamat datang, Pak. Apa yang bisa kami bantu?”
Nathaniel ragu sejenak, merasa canggung karena tidak terbiasa dengan tempat seperti ini. “Saya hanya... butuh sedikit relaksasi,” katanya singkat.
Wanita itu mengangguk dengan ramah. “Tentu, kami akan menyiapkan ruang perawatan untuk Anda.”
Beberapa menit kemudian, Nathaniel berbaring di atas meja pijat, merasakan lelah yang selama ini ia abaikan mulai menyelimuti tubuhnya sepenuhnya. Tak lama, seorang terapis masuk ke ruangan.
“Selamat datang kembali, Nathaniel,” suara lembut itu menyapanya. Ia menoleh dan mendapati Arissa, wanita yang pernah ditemuinya sebelumnya.
Tatapan mereka bertemu sesaat. Arissa tidak berkata banyak, hanya mulai menyiapkan minyak pijatnya dengan tenang, sikap profesionalnya begitu alami. Saat tangan Arissa mulai bekerja di sepanjang punggungnya, Nathaniel merasakan sesuatu yang jarang ia alami—rasa nyaman yang perlahan mengendurkan ketegangan di tubuhnya.
“Sepertinya Anda sangat lelah,” ujar Arissa setelah beberapa saat, suaranya tetap lembut.
Nathaniel menghela napas panjang. “Bukan hanya lelah,” gumamnya. “Saya merasa gagal.”
Arissa tidak berhenti, tapi ia memperlambat gerakannya, memberikan ruang bagi Nathaniel untuk melanjutkan.
“Semua yang saya upayakan selama ini... hancur begitu saja.” Kata-kata itu keluar dengan mudah, seolah-olah pijatan Arissa membuka sesuatu dalam dirinya.
“Kegagalan bukan akhir dari segalanya, Nathaniel,” kata Arissa lembut. “Terkadang, kita perlu jatuh agar bisa belajar cara bangkit dengan lebih kuat.”
Nathaniel terdiam, mendengar kata-kata itu dengan saksama. Ada sesuatu dalam suara Arissa—sesuatu yang berbeda dari semua orang yang pernah menasihatinya. Tidak ada tekanan, tidak ada ekspektasi. Hanya pemahaman yang tulus.
Pijat berlanjut, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Nathaniel merasa tubuhnya benar-benar rileks. Suara detak jam di dinding dan musik instrumental lembut yang mengalun di latar belakang membawa pikirannya menjauh dari tekanan yang membelenggunya. Sesaat, ia membiarkan dirinya benar-benar tenggelam dalam ketenangan yang ditawarkan Arissa.
Setelah beberapa saat, Arissa selesai. “Tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan,” katanya, membimbing Nathaniel untuk melepaskan ketegangan terakhir yang masih tersisa.
Nathaniel mengikutinya, merasakan napasnya yang tadinya berat kini lebih ringan. Saat ia duduk kembali, ia menatap Arissa sejenak sebelum akhirnya berkata, “Terima kasih.”
Arissa tersenyum. “Jangan ragu untuk datang lagi kapan saja Anda merasa perlu.”
Nathaniel bangkit dari tempat tidur pijat dan berjalan keluar dari ruangan. Langkahnya terasa lebih ringan dibandingkan saat ia masuk. Meski masalahnya belum hilang, ia merasa ada secercah harapan yang sebelumnya tidak ia sadari.
Ketika ia keluar dari klinik, udara malam terasa lebih segar. Ia menarik napas dalam-dalam dan membiarkan dirinya meresapi momen itu. Hari ini mungkin tidak berakhir dengan kemenangan besar, tetapi setidaknya ia menemukan sesuatu yang jauh lebih penting—sebuah tempat untuk beristirahat, dan mungkin, awal dari sebuah perubahan yang lebih besar.
Seminggu kemudian, malam hampir berakhir ketika Arissa mematikan lampu utama di ruang kliniknya. Suasana remang-remang menyelimuti ruangan, menandakan bahwa klinik pijat kecil yang ia kelola telah resmi tutup untuk hari itu. Dengan langkah tenang, ia merapikan peralatan, memastikan semuanya siap untuk esok hari. Meski tubuhnya lelah, ada kepuasan tersendiri yang menghangatkan hatinya—hari ini ia berhasil membantu beberapa klien merasa lebih baik. Baginya, melihat senyum lega di wajah mereka setelah sesi perawatan adalah kebahagiaan yang sederhana namun berarti.Namun, ketenangan itu pecah ketika pintu klinik terbuka dengan suara nyaring. Arissa spontan menoleh, matanya membulat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.Nathaniel Alvaro.CEO sukses yang sebelumnya hanya ia kenal lewat layar berita itu kini berdiri di sana, tapi penampilannya jauh dari kesan sempurna yang biasa melekat padanya. Kemeja putih yang dikenakannya tampak kusut, lengan digulung asal, dan rambutnya yang biasa
Hari-hari berlalu, dan Nathaniel kembali memutuskan untuk mengunjungi klinik Arissa setelah merasa tubuhnya semakin lelah akibat pekerjaan yang terus-menerus menumpuk. Kali ini, ia datang dengan perasaan yang sedikit berbeda. Pijatan yang diberikan Arissa malam itu tidak hanya meredakan kelelahan fisiknya, tetapi juga memberikan ketenangan batin yang selama ini ia cari tanpa menyadarinya.Setelah tiba di klinik, Nathaniel langsung menuju ruang pijat yang sudah familiar baginya. Arissa, yang sedang merapikan alat-alat pijat, menatapnya sejenak sebelum mengangguk dengan sopan. "Selamat malam, Nathaniel. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tetap hangat meski ia tahu betul Nathaniel adalah sosok yang lebih suka menjaga jarak."Baik," jawab Nathaniel singkat, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Ia duduk di atas meja pijat dan menunggu Arissa untuk memulai sesi seperti sebelumnya.Arissa mempersiapkan segalanya dengan teliti, memastikan bahwa minyak pijat yang digunakan cukup
Setelah Nathaniel pergi, Arissa merasa sedikit canggung dan bingung. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda setiap kali pria itu datang ke kliniknya. Pikirannya terus dipenuhi dengan wajah Nathaniel, sikapnya yang agak kaku namun penuh ketegasan, dan bahkan sedikit ketenangan yang ia rasakan setelah melayani pria itu. Sesi pijat tersebut terasa begitu berbeda dari biasanya.Arissa berjalan keluar dari ruangannya, mengambil secangkir teh hangat, dan mencoba menenangkan dirinya. Namun, saat melangkah menuju ruang depan klinik, ia mendengar suara percakapan ringan dari beberapa kolega yang sedang berbincang di meja resepsionis."Hei, kamu tahu siapa yang baru saja datang kemarin malam?" tanya salah seorang kolega."Siapa?" jawab kolega lainnya dengan penasaran."Pria itu... yang datang dengan wajah lelah dan tampak sangat penting. Ternyata dia itu Nathaniel Alvaro, CEO Alvaro Group. Kamu tahu, yang sering muncul di berita itu!"
Nathaniel Alvaro duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan penting. Namun, matanya tidak fokus pada layar komputernya atau grafik yang terus bergerak. Semua itu tampak kabur baginya. Pikirannya kembali pada sesi pijat yang ia terima beberapa hari lalu—pijat sederhana, namun memiliki efek yang lebih mendalam daripada yang bisa ia bayangkan.Biasanya, ia adalah sosok yang selalu mengendalikan segala hal di sekitar dirinya. Namun, ada sesuatu tentang Arissa—sesuatu yang membuatnya merasa lebih manusiawi. Sifat Arissa yang lembut, namun kuat, memancarkan ketenangan yang selama ini sulit ia temukan di dunia kerjanya yang penuh dengan tekanan. Bahkan ketika ia berusaha untuk tetap kaku dan menjaga jarak, Arissa tak pernah memberi ruang untuk ketegangan itu berkembang lebih jauh.“Kenapa aku terus memikirkan itu?” Nathaniel bergumam pelan, menggoyangkan kepalanya seakan berusaha menyingkirkan pikiran itu. Namun, s
Beberapa hari setelah pertemuan keduanya yang penuh dengan ketegangan itu, Nathaniel kembali muncul di klinik. Pagi itu, Arissa sedang sibuk menyusun beberapa catatan dan menyiapkan perlengkapan pijat untuk kliennya yang lain. Ia terkejut saat mendengar suara pintu dibuka, dan untuk kedua kalinya, Nathaniel muncul, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Ia tidak terlihat hanya ingin relaksasi sesaat. Ada tujuan yang jelas, dan ia membawa aura yang lebih serius daripada sebelumnya.Arissa menatapnya sejenak, merasa canggung meski sudah mengenal pria itu lebih baik. "Nathaniel, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, berusaha tetap profesional, meskipun hatinya sedikit berdebar.Nathaniel berdiri di ambang pintu, memandang Arissa dengan tatapan yang penuh ketegasan, tetapi juga ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan. "Saya ingin menawarkan sesuatu kepada Anda," katanya, suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya, seolah menyimpan beban berat.
Hari pertama sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai. Arissa merasa sedikit cemas, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sejak pagi, ia mempersiapkan ruangan klinik dengan lebih hati-hati dari biasanya. Semua peralatan yang diperlukan sudah siap, dan suasana di dalam ruangannya sudah diatur agar terasa nyaman dan tenang. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitasnya sebagai seorang terapis.Ketika bel pintu berbunyi, Arissa menoleh dan melihat Nathaniel berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang rapi dan wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, dan sesaat suasana menjadi canggung. Arissa mencoba menenangkan diri dan mengingat batas yang telah ia tetapkan sebelumnya.“Selamat sore, Nathaniel,” sapa Arissa dengan nada formal. “Silakan duduk. Sesi ini hanya untuk relaksasi, sesuai dengan kesepakatan kita
Arissa duduk di meja kerjanya, menatap secangkir teh yang kini hampir dingin di depannya. Pikirannya masih berputar-putar tentang percakapan tadi dengan Nathaniel. Hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya, dan meski ia berusaha menenangkan diri, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah keputusan ini benar? Apa yang akan terjadi jika ia setuju untuk menjadi terapis pribadi Nathaniel?Ia menghela napas panjang. Sebagai seorang terapis yang berkomitmen pada pekerjaannya, ia selalu memegang prinsip untuk menjaga profesionalisme dalam segala hal. Namun, tawaran Nathaniel berbeda. Ia bukan hanya seorang klien biasa. Nathaniel adalah CEO sukses dengan dunia bisnis yang rumit dan penuh tekanan, serta seorang pria yang sudah mulai menguji batasan-batasannya. Arissa tahu bahwa kedekatannya dengannya, meskipun hanya dalam kapasitas profesional, bisa menambah beban pada hidupnya yang sudah cukup rumit.Namun, di sisi lain, tawaran itu begitu menggoda. Bayaran yang jauh le
Pagi itu, klinik pijat Arissa tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa pelanggan reguler sudah menunggu di ruang tunggu, dan suasana di dalam klinik penuh dengan percakapan ringan. Arissa, seperti biasa, sibuk melayani klien dengan senyum ramah. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi hari ini.Benar saja, sekitar tengah hari, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan klinik. Dari dalamnya, Nathaniel Alvaro turun dengan langkah percaya diri, mengenakan setelan jas rapi yang membuatnya terlihat seperti sosok yang tak tersentuh. Kehadirannya langsung menarik perhatian para pelanggan dan staf di klinik. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria tampan dan berkarisma itu.Arissa, yang baru saja selesai dengan klien terakhirnya, memandang ke arah pintu depan dan hampir terdiam melihat Nathaniel. Ia merasa aneh melihat pria itu datang di siang hari, terutama dengan penampi
Ruangan itu terasa sunyi setelah kepergian Damien. Semua orang di dalamnya perlahan mulai kembali ke aktivitas masing-masing, tetapi bagi Nathaniel, dunia seakan berhenti.Ia berdiri di tengah ruangan, matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui Damien. Ada sesuatu yang begitu pahit dalam keheningan ini—sebuah perasaan yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.Arissa memperhatikan Nathaniel dengan penuh kekhawatiran. Pria itu tampak begitu tenang di permukaan, tetapi ia tahu bahwa di dalam hatinya, Nathaniel sedang berjuang dengan emosi yang begitu rumit.Nathaniel telah memenangkan pertempuran ini. Ia telah berhasil melindungi perusahaan, mengungkap pengkhianatan, dan menyingkirkan ancaman dari dalam. Namun, mengapa ia tidak merasakan kelegaan?Seharusnya ia merasa puas. Seharusnya ia bisa merayakan keberhasilannya. Namun, yang ia rasakan hanyalah kehampaan.Nathaniel menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba meredakan ketegangan di dadanya. “Seh
Langit di luar terlihat mendung, seolah mencerminkan ketegangan yang memenuhi ruang rapat utama perusahaan. Semua pemegang saham, dewan direksi, dan eksekutif utama sudah berkumpul, menanti pertemuan yang telah diumumkan secara mendadak oleh Nathaniel.Damien duduk di salah satu kursi panjang di dekat ujung meja. Raut wajahnya tetap tenang, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di matanya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi, tapi ia masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik sikap percaya diri yang dibuat-buat.Di sisi lain ruangan, Nathaniel berdiri tegap di depan layar presentasi, ekspresinya penuh ketegasan. Di sampingnya, Arissa duduk dengan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan selama beberapa hari terakhir. Inilah saatnya untuk mengungkap segalanya.Nathaniel menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara dengan suara lantang.“Hari ini, kita berkumpul bukan hanya untuk membahas masa depan perusahaan, tetapi juga untuk mengungkap sesuatu yang selama i
Ketegangan di ruangan itu begitu pekat hingga terasa menyesakkan. Arissa bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, tetapi ia menolak untuk mundur. Saat ini, Nathaniel membutuhkan keberaniannya lebih dari sebelumnya.Nathaniel berdiri tegap, tetapi Arissa tahu hatinya pasti berantakan. Menghadapi pengkhianatan dari saudaranya sendiri adalah luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertempuran bisnis. Dan kini, ia harus menjadi orang yang mengungkap semuanya, meskipun itu berarti memperburuk hubungan Nathaniel dengan keluarganya sendiri.Arissa menarik napas dalam, menatap Damien yang masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku tidak ingin berada dalam situasi ini, Damien," katanya dengan suara tenang, tetapi tegas. "Aku lebih suka melihat kalian tetap menjadi saudara yang saling mendukung. Tapi setelah semua yang kau lakukan, aku tidak bisa diam saja."Damien mendengus. "Kau pikir kau siapa, Arissa? Ini bukan urusanmu.""Aku adalah seseorang yang pedu
Nathaniel dan Damien berdiri berhadapan, kedua pria itu saling menatap dengan sorot mata tajam yang penuh emosi.Tak ada lagi kehangatan di antara mereka. Tak ada lagi rasa persaudaraan yang dulu pernah mereka banggakan.Nathaniel mengepalkan tangannya erat. Ia tidak pernah menyangka bahwa hari di mana ia harus menghadapi Damien seperti ini akan tiba."Kau benar-benar sudah berubah," kata Nathaniel dengan suara berat, mencoba menekan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Damien tertawa kecil, nada suaranya penuh sarkasme. "Aku tidak berubah, Nathaniel. Aku hanya akhirnya berhenti menjadi bayanganmu.""Tapi dengan cara seperti ini?" Nathaniel balas bertanya dengan nada tak percaya. "Mengkhianati keluarga? Bekerja sama dengan Markus, orang yang selama ini ingin menghancurkan kita?"Damien mendengus. "Keluarga? Kata itu tidak pernah berarti apa pun untukku. Keluarga yang mana? Keluarga yang selalu mengutamakanmu? Keluarga yang hanya melihatku
Ruangan terasa begitu sunyi meskipun ketegangan memenuhi udara. Nathaniel berdiri tegak di depan Damien, menatap langsung ke mata lelaki yang selama ini ia anggap sebagai saudara kandungnya. Wajahnya tidak menunjukkan amarah yang meledak-ledak, tetapi dingin, tajam, dan penuh kekecewaan.Damien, di sisi lain, terlihat lebih santai. Ia bersandar pada kursinya dengan tangan terlipat di dada, seolah tidak terpengaruh oleh tatapan menusuk Nathaniel. Namun, matanya mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran antara kebencian, kelelahan, dan sedikit rasa bersalah.Mereka telah menghindari konfrontasi ini cukup lama. Tapi malam ini, semuanya harus diselesaikan."Apa yang kau inginkan, Damien?" suara Nathaniel terdengar tenang, tetapi dingin.Damien mengangkat bahu. "Akhirnya kau memutuskan untuk bertanya." Ia terkekeh kecil sebelum melanjutkan, "Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Apa yang kau inginkan, Nathaniel? Kau sudah memiliki segalanya—kekuasaan,
Nathaniel duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke luar jendela. Malam telah larut, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian yang baru saja terjadi. Pengkhianatan Damien bukan hanya menghancurkan kepercayaannya, tetapi juga merobek bagian terdalam dari hatinya.Saudara kandungnya sendiri.Orang yang selama ini ia lindungi.Orang yang selalu ia anggap sebagai keluarga—ternyata menikamnya dari belakang tanpa ragu.Tangannya mengepal di atas meja, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Emosi dalam dirinya bergejolak seperti badai yang siap menghancurkan segalanya. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menghancurkan sesuatu. Tetapi di saat yang bersamaan, ada rasa hampa yang begitu dalam, seolah-olah seluruh dunia di sekitarnya kehilangan warnanya.Arissa berdiri di ambang pintu, memperhatikan Nathaniel dalam keheningan. Ia tahu bahwa pria itu sedang berada di titik terendahnya saat ini. Luka karena dikhi
Arissa duduk di ruang kerjanya, menatap berkas-berkas di depannya dengan perasaan campur aduk. Sejak menemukan bukti pengkhianatan Damien, hatinya terasa begitu berat. Ia tahu bahwa kebenaran ini akan menghancurkan Nathaniel, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan pria yang dicintainya terus percaya pada seseorang yang diam-diam menikamnya dari belakang.Tangannya gemetar saat mengambil dokumen terakhir—rekaman transaksi rahasia yang menghubungkan Damien dengan Markus. Tidak ada lagi ruang untuk keraguan. Fakta-fakta ini terlalu jelas untuk diabaikan.Arissa memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berdiri. Sudah saatnya ia memberi tahu Nathaniel.Nathaniel berada di ruang kerja pribadinya ketika Arissa mengetuk pintu. Pria itu terlihat sibuk, tetapi begitu melihat ekspresi serius di wajah Arissa, ia segera meletakkan dokumen yang sedang dibacanya."Ada apa?" tanyanya, suaranya tetap tenang, tetapi sorot matanya tajam, menyadari bahwa sesuatu yang penting a
Arissa menatap layar laptopnya dengan napas tertahan. Tangannya sedikit gemetar saat ia membaca serangkaian pesan terenkripsi yang baru saja berhasil dipecahkan oleh tim investigasi. Pesan-pesan itu bukan hanya bukti transaksi mencurigakan, tetapi juga percakapan rahasia antara seseorang di dalam perusahaan dengan Markus.Setiap kata yang tertulis di sana seperti belati yang menusuk dada Arissa. Ia tidak pernah menyangka bahwa pengkhianatnya adalah seseorang yang begitu dekat dengan Nathaniel.Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya sebelum melanjutkan membaca. Salah satu pesan terakhir yang ditemukan berbunyi:"Segera pastikan Nathaniel kehilangan dukungan dewan. Aku akan urus sisanya."Dan pengirimnya… adalah Damien.Arissa terhenyak. Damien, saudara kandung Nathaniel sendiri?Arissa selalu tahu bahwa hubungan Nathaniel dan Damien tidak sehangat saudara kandung pada umumnya. Namun, ia tidak pernah berpikir bahwa Damien akan tega melakukan hal seperti ini—mengkhianat
Setelah semua yang terjadi, Arissa tidak lagi hanya berdiri di sisi Nathaniel sebagai pendukung emosional. Ia kini terlibat secara aktif dalam mencari kebenaran. Markus memang telah kehilangan sebagian besar kekuatannya, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya.Arissa duduk di depan laptopnya, membaca ulang dokumen-dokumen yang berhasil dikumpulkan tim investigasi Nathaniel. Matanya menelusuri angka-angka, kontrak, serta transaksi yang mencurigakan.Ia menarik napas dalam-dalam. "Ini tidak masuk akal…" gumamnya.Nathaniel yang baru saja selesai berbicara dengan tim hukumnya menghampiri. "Apa yang kau temukan?""Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kecurangan Markus," jawab Arissa serius. "Beberapa transaksi ini… terlihat seperti manipulasi yang sudah berlangsung lama. Bahkan sebelum Markus mulai menunjukkan ambisinya secara terbuka."Nathaniel mengernyit. "Kau yakin?"Arissa mengangguk. "Ya. Aku pikir Markus bukan satu-satunya dalang dalam semua ini."Sema