Beranda / Romansa / Pijatan Nikmat Sang CEO / Bab 5: Pijatan yang Mengubah Segalanya

Share

Bab 5: Pijatan yang Mengubah Segalanya

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-25 23:16:34

Hari-hari berlalu, dan Nathaniel kembali memutuskan untuk mengunjungi klinik Arissa setelah merasa tubuhnya semakin lelah akibat pekerjaan yang terus-menerus menumpuk. Kali ini, ia datang dengan perasaan yang sedikit berbeda. Pijatan yang diberikan Arissa malam itu tidak hanya meredakan kelelahan fisiknya, tetapi juga memberikan ketenangan batin yang selama ini ia cari tanpa menyadarinya.

Setelah tiba di klinik, Nathaniel langsung menuju ruang pijat yang sudah familiar baginya. Arissa, yang sedang merapikan alat-alat pijat, menatapnya sejenak sebelum mengangguk dengan sopan. "Selamat malam, Nathaniel. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tetap hangat meski ia tahu betul Nathaniel adalah sosok yang lebih suka menjaga jarak.

"Baik," jawab Nathaniel singkat, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Ia duduk di atas meja pijat dan menunggu Arissa untuk memulai sesi seperti sebelumnya.

Arissa mempersiapkan segalanya dengan teliti, memastikan bahwa minyak pijat yang digunakan cukup hangat dan suasana di ruang itu terasa nyaman. Meski dirinya terbiasa dengan klien yang memiliki beragam kepribadian, kehadiran Nathaniel selalu membawa tantangan tersendiri. Di satu sisi, ia merasa bahwa ia harus profesional, tetapi di sisi lain, ada rasa ingin tahu yang terus berkembang tentang pria ini. Sosok yang penuh rahasia dan selalu terkesan dingin.

Tanpa banyak bicara, Arissa mulai memijat bahu Nathaniel dengan gerakan lembut namun penuh kekuatan. Nathaniel menahan napas sejenak, merasakan otot-ototnya yang kaku mulai meregang, perlahan-lahan merasakan kenyamanan yang datang bersama pijatan Arissa. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia bisa merasakan ketenangan tanpa harus memikirkan pekerjaan atau masalah yang selalu mengelilinginya.

Namun, meskipun tubuhnya mulai rileks, Nathaniel tetap memelihara sikap kaku. Ia tidak terbiasa mengungkapkan rasa terima kasih secara verbal, dan lebih memilih untuk menunjukkan apresiasi dengan cara yang berbeda. Arissa, yang sudah lama terbiasa dengan beragam reaksi klien, tetap fokus pada pekerjaannya dan tidak mengharapkan banyak percakapan.

"Apa kamu sering menerima klien seperti saya?" Nathaniel akhirnya bertanya, suaranya terdengar sedikit ragu—seolah berusaha mencari topik pembicaraan meski ia tidak nyaman dengan keheningan yang ada.

Arissa tersenyum kecil, tanpa berhenti memberikan pijatan yang semakin dalam. "Saya sudah cukup lama bekerja di sini," jawabnya dengan suara tenang. "Ada berbagai macam orang yang datang ke sini, dengan berbagai masalah. Setiap orang punya kebutuhan yang berbeda, dan saya hanya berusaha membantu sebisa saya."

Nathaniel mengangguk, meski pandangannya lebih terfokus pada langit-langit ruangan. Ia merasa aneh bisa begitu terbuka dalam percakapan seperti ini. Biasanya, ia selalu menjaga jarak, tetapi entah mengapa, dengan Arissa, percakapan terasa mengalir begitu saja. Mungkin karena Arissa tidak menuntutnya untuk menjadi seseorang yang lebih dari apa yang dia tunjukkan.

Saat sesi pijat berlanjut, Nathaniel mulai merasakan tubuhnya semakin ringan. Semua ketegangan yang mengikatnya perlahan mulai mencair. Setiap gerakan Arissa, meski sederhana, terasa begitu efektif. Ia tidak bisa lagi menahan rasa terima kasih yang muncul dari dalam dirinya, meskipun tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

Beberapa menit kemudian, Arissa selesai dengan sesi pijatnya. Nathaniel duduk di atas meja pijat, merasakan efek relaksasi yang cukup mendalam. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu terasa begitu asing di mulutnya. Sebagai gantinya, ia merogoh kantong jas dan mengeluarkan sejumlah uang. Tanpa mengatakan apapun, ia meninggalkan sejumlah tip yang cukup besar di meja.

Arissa yang melihatnya hanya mengangguk dengan sopan. "Terima kasih, Nathaniel. Saya senang bisa membantu," katanya, meskipun ia tahu Nathaniel tidak akan mengatakan apapun lebih lanjut. Itu sudah cukup. Dengan tip yang besar itu, ia merasa pekerjaannya dihargai.

Nathaniel berdiri dan mengalihkan pandangannya ke arah pintu. "Sampai jumpa," katanya, suaranya terkesan tegas, tetapi ada sesuatu dalam nada bicaranya yang sedikit lebih lembut daripada sebelumnya.

Arissa tersenyum kecil, meskipun Nathaniel sudah berbalik dan berjalan keluar. Ia tidak perlu banyak kata-kata untuk memahami bahwa pria itu merasa sedikit lebih baik, meskipun keengganannya untuk mengungkapkan rasa terima kasih tetap ada. Arissa menyadari bahwa, meskipun sikap Nathaniel selalu terlihat kaku, ada perubahan yang terjadi dalam dirinya—sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar fisik.

Sebelum Arissa menutup pintu klinik, ia melihat sekilas uang tip yang ditinggalkan Nathaniel. Ia tidak terlalu memikirkannya, tetapi ada perasaan hangat yang tumbuh dalam dirinya. Arissa tahu bahwa setiap orang memiliki caranya sendiri dalam mengungkapkan rasa terima kasih. Bagi Nathaniel, itu mungkin cara terbaik yang ia bisa lakukan.

Saat Arissa menutup klinik dan membersihkan ruangan, pikirannya terus melayang pada pria yang baru saja meninggalkan tempat ini. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Arissa tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti—kehadiran Nathaniel dalam hidupnya mulai memberikan warna yang berbeda. Ia tidak hanya sekadar klien, tetapi entah bagaimana, ada perasaan bahwa hubungan mereka akan berkembang lebih jauh, meskipun ia harus terus menjaga batas profesional di antara mereka.

Nathaniel melangkah keluar dari klinik dengan langkah lebih ringan, namun pikirannya tetap bergelut dengan kekosongan yang sulit ia ungkapkan. Pijatan yang diberikan Arissa memang menenangkan, tapi entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang ia rasakan, sesuatu yang lebih dari sekadar fisik. Setiap sentuhan yang diberikan Arissa seakan menggugah emosi yang selama ini ia coba sembunyikan jauh di dalam dirinya.

Di dalam mobilnya, ia duduk dengan pandangan kosong, terhanyut dalam perasaan yang tak bisa dijelaskan. Sosok Arissa, yang selama ini ia anggap hanya seorang terapis, mulai muncul dalam pikirannya dengan cara yang berbeda. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya merasa lebih hidup. Bahkan, rasa sakit fisiknya yang selama ini terus mengganggu tampak sedikit lebih ringan setelah pertemuan singkat itu.

Namun, Nathaniel berusaha untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut. Ia tahu dirinya tidak bisa begitu saja terperosok dalam perasaan yang tidak pada tempatnya. Pekerjaannya sebagai CEO sudah cukup menyita seluruh waktunya, dan ia tak ingin membiarkan hal-hal pribadi merusak keseimbangannya. Lagipula, apa yang bisa ia harapkan dari seseorang seperti Arissa? Seorang wanita yang hidup sederhana dan bekerja keras, jauh dari dunia bisnis yang penuh intrik dan tekanan.

"Kenapa aku malah berpikir tentang ini?" gumam Nathaniel pada dirinya sendiri, seolah mencoba menenangkan hati yang bergejolak. Ia menutup matanya sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan pikiran yang tidak menentu. Mungkin, ia hanya butuh lebih banyak pijatan untuk mengatasi tekanan yang ia hadapi—itu saja.

________________________________________

Di sisi lain, Arissa mengunci pintu klinik setelah Nathaniel pergi. Ia merasakan kelelahan setelah hari yang panjang, namun ada perasaan yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang jarang ia rasakan setelah melayani klien. Nathaniel bukanlah klien biasa, dan ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang mulai muncul setiap kali ia berada di dekat pria itu.

Sambil mengatur perlengkapan, Arissa merasa sedikit bingung. Ia tahu betul bahwa ia harus menjaga profesionalisme dalam pekerjaan ini. Namun, Nathaniel, dengan sikapnya yang terkadang dingin dan penuh ketegasan, malah membuat Arissa semakin tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dirinya. Pria itu memiliki banyak lapisan, dan Arissa merasa, di balik semua kesuksesannya, ada sebuah sisi yang belum ia ungkapkan kepada siapa pun.

Setelah membersihkan ruangan, Arissa duduk sebentar di kursinya. Matanya terpejam sejenak, berusaha menenangkan pikiran yang berlarian. Pikirannya melayang kembali pada Nathaniel, pada pandangannya yang penuh beban, namun juga pada tatapan singkat yang mengandung rasa terima kasih—meskipun itu tak pernah diucapkan dengan kata-kata. Arissa tidak bisa mengelak dari perasaan itu. Ada sesuatu yang membuatnya ingin lebih dekat dengan Nathaniel, meskipun ia tahu bahwa mereka berasal dari dunia yang sangat berbeda.

"Kenapa aku begitu penasaran?" Arissa bergumam pada dirinya sendiri, hampir tidak percaya dengan apa yang ia rasakan. Sejak pertama kali bertemu, Nathaniel selalu meninggalkan kesan yang berbeda, dan semakin sering mereka bertemu, semakin Arissa merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional di antara mereka.

Namun, ia berusaha menepis perasaan itu. Arissa tahu bahwa dalam dunia yang ia jalani, perasaan seperti itu tidak akan mudah terwujud. Apalagi dengan pria sepertinya—seorang CEO yang selalu dikelilingi oleh tekanan dan kerumitan dunia bisnis. Arissa tahu betul bahwa ia harus menjaga jarak, meskipun hatinya terus berdebar ketika berpikir tentang Nathaniel.

________________________________________

Keesokan harinya, Nathaniel kembali ke klinik Arissa. Kali ini, ia datang tanpa janji sebelumnya, hanya berdasarkan rasa kebutuhan yang semakin kuat. Ia tahu bahwa pijatan itu memberikan kelegaan, dan meskipun ia tidak ingin mengakui, ia merasa terhubung dengan Arissa dalam cara yang tidak bisa ia jelaskan. Ketika ia masuk, Arissa yang sedang sibuk mempersiapkan ruangannya segera menoleh.

"Oh, Nathaniel," kata Arissa, sedikit terkejut. "Ada yang bisa saya bantu lagi?"

Nathaniel mengangguk, tetapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Sebelumnya, ia datang dengan rasa skeptis, tetapi kali ini, ia merasa lebih tenang, lebih siap untuk menikmati setiap detik dari sesi pijat itu. Ia hanya ingin merasakan kenyamanan yang selama ini tidak pernah ia dapatkan dalam rutinitas harian yang penuh tekanan.

"Saya pikir... saya perlu lebih sering datang ke sini," kata Nathaniel dengan suara yang sedikit ragu. "Pijatanmu benar-benar membantu."

Arissa tersenyum kecil, meskipun ia menyadari bahwa Nathaniel tidak akan mengucapkan lebih banyak dari itu. "Saya senang mendengarnya. Silakan berbaring, saya akan mulai."

Nathaniel duduk di atas meja pijat, kali ini lebih rileks, dan Arissa mulai memijat punggung dan bahunya dengan penuh perhatian. Setiap gerakan tangan Arissa terasa semakin lembut, namun dengan kekuatan yang tepat untuk melepaskan ketegangan yang ada. Nathaniel membiarkan dirinya tenggelam dalam sensasi pijatan, menikmati kenyamanan yang hanya bisa diberikan oleh seseorang yang tahu betul cara merawat tubuh manusia.

Namun, meskipun tubuhnya semakin relaks, pikiran Nathaniel terus berkelana. Ia menyadari bahwa perasaan yang ia rasakan lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Ada sesuatu dalam diri Arissa yang membuatnya merasa diterima tanpa syarat, sesuatu yang selama ini hilang dalam hidupnya yang penuh tekanan dan kesendirian. Meski tidak mengatakannya, Nathaniel tahu bahwa ada hubungan yang semakin berkembang di antara mereka, dan meskipun ia merasa ragu, ia tidak bisa menahan perasaan itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 6: Kejutan di Balik Nama Besar

    Setelah Nathaniel pergi, Arissa merasa sedikit canggung dan bingung. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda setiap kali pria itu datang ke kliniknya. Pikirannya terus dipenuhi dengan wajah Nathaniel, sikapnya yang agak kaku namun penuh ketegasan, dan bahkan sedikit ketenangan yang ia rasakan setelah melayani pria itu. Sesi pijat tersebut terasa begitu berbeda dari biasanya.Arissa berjalan keluar dari ruangannya, mengambil secangkir teh hangat, dan mencoba menenangkan dirinya. Namun, saat melangkah menuju ruang depan klinik, ia mendengar suara percakapan ringan dari beberapa kolega yang sedang berbincang di meja resepsionis."Hei, kamu tahu siapa yang baru saja datang kemarin malam?" tanya salah seorang kolega."Siapa?" jawab kolega lainnya dengan penasaran."Pria itu... yang datang dengan wajah lelah dan tampak sangat penting. Ternyata dia itu Nathaniel Alvaro, CEO Alvaro Group. Kamu tahu, yang sering muncul di berita itu!"

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 7: Pertemuan yang Tak Terduga

    Nathaniel Alvaro duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan penting. Namun, matanya tidak fokus pada layar komputernya atau grafik yang terus bergerak. Semua itu tampak kabur baginya. Pikirannya kembali pada sesi pijat yang ia terima beberapa hari lalu—pijat sederhana, namun memiliki efek yang lebih mendalam daripada yang bisa ia bayangkan.Biasanya, ia adalah sosok yang selalu mengendalikan segala hal di sekitar dirinya. Namun, ada sesuatu tentang Arissa—sesuatu yang membuatnya merasa lebih manusiawi. Sifat Arissa yang lembut, namun kuat, memancarkan ketenangan yang selama ini sulit ia temukan di dunia kerjanya yang penuh dengan tekanan. Bahkan ketika ia berusaha untuk tetap kaku dan menjaga jarak, Arissa tak pernah memberi ruang untuk ketegangan itu berkembang lebih jauh.“Kenapa aku terus memikirkan itu?” Nathaniel bergumam pelan, menggoyangkan kepalanya seakan berusaha menyingkirkan pikiran itu. Namun, s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 8: Tawaran yang Menggoda

    Beberapa hari setelah pertemuan keduanya yang penuh dengan ketegangan itu, Nathaniel kembali muncul di klinik. Pagi itu, Arissa sedang sibuk menyusun beberapa catatan dan menyiapkan perlengkapan pijat untuk kliennya yang lain. Ia terkejut saat mendengar suara pintu dibuka, dan untuk kedua kalinya, Nathaniel muncul, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Ia tidak terlihat hanya ingin relaksasi sesaat. Ada tujuan yang jelas, dan ia membawa aura yang lebih serius daripada sebelumnya.Arissa menatapnya sejenak, merasa canggung meski sudah mengenal pria itu lebih baik. "Nathaniel, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, berusaha tetap profesional, meskipun hatinya sedikit berdebar.Nathaniel berdiri di ambang pintu, memandang Arissa dengan tatapan yang penuh ketegasan, tetapi juga ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan. "Saya ingin menawarkan sesuatu kepada Anda," katanya, suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya, seolah menyimpan beban berat.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 9: Batas yang Tertantang

    Hari pertama sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai. Arissa merasa sedikit cemas, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sejak pagi, ia mempersiapkan ruangan klinik dengan lebih hati-hati dari biasanya. Semua peralatan yang diperlukan sudah siap, dan suasana di dalam ruangannya sudah diatur agar terasa nyaman dan tenang. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitasnya sebagai seorang terapis.Ketika bel pintu berbunyi, Arissa menoleh dan melihat Nathaniel berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang rapi dan wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, dan sesaat suasana menjadi canggung. Arissa mencoba menenangkan diri dan mengingat batas yang telah ia tetapkan sebelumnya.“Selamat sore, Nathaniel,” sapa Arissa dengan nada formal. “Silakan duduk. Sesi ini hanya untuk relaksasi, sesuai dengan kesepakatan kita

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 10: Keputusan yang Sulit

    Arissa duduk di meja kerjanya, menatap secangkir teh yang kini hampir dingin di depannya. Pikirannya masih berputar-putar tentang percakapan tadi dengan Nathaniel. Hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya, dan meski ia berusaha menenangkan diri, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah keputusan ini benar? Apa yang akan terjadi jika ia setuju untuk menjadi terapis pribadi Nathaniel?Ia menghela napas panjang. Sebagai seorang terapis yang berkomitmen pada pekerjaannya, ia selalu memegang prinsip untuk menjaga profesionalisme dalam segala hal. Namun, tawaran Nathaniel berbeda. Ia bukan hanya seorang klien biasa. Nathaniel adalah CEO sukses dengan dunia bisnis yang rumit dan penuh tekanan, serta seorang pria yang sudah mulai menguji batasan-batasannya. Arissa tahu bahwa kedekatannya dengannya, meskipun hanya dalam kapasitas profesional, bisa menambah beban pada hidupnya yang sudah cukup rumit.Namun, di sisi lain, tawaran itu begitu menggoda. Bayaran yang jauh le

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 11: Tawaran Tak Terduga

    Pagi itu, klinik pijat Arissa tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa pelanggan reguler sudah menunggu di ruang tunggu, dan suasana di dalam klinik penuh dengan percakapan ringan. Arissa, seperti biasa, sibuk melayani klien dengan senyum ramah. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi hari ini.Benar saja, sekitar tengah hari, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan klinik. Dari dalamnya, Nathaniel Alvaro turun dengan langkah percaya diri, mengenakan setelan jas rapi yang membuatnya terlihat seperti sosok yang tak tersentuh. Kehadirannya langsung menarik perhatian para pelanggan dan staf di klinik. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria tampan dan berkarisma itu.Arissa, yang baru saja selesai dengan klien terakhirnya, memandang ke arah pintu depan dan hampir terdiam melihat Nathaniel. Ia merasa aneh melihat pria itu datang di siang hari, terutama dengan penampi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 12: Menegakkan Prinsip

    Arissa duduk di meja kerjanya di apartemen kecilnya, kontrak dari Nathaniel terbuka di hadapannya. Pikirannya dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang bertentangan. Di satu sisi, angka bayaran dalam kontrak itu sangat menggoda, sesuatu yang bisa membantunya mengubah hidup. Namun, di sisi lain, beberapa syarat dalam kontrak tersebut membuatnya merasa tidak nyaman, terutama bagian yang mengharuskannya selalu siaga kapan pun Nathaniel membutuhkannya.Ia membaca ulang salah satu klausul dalam kontrak:"Terapis wajib memberikan prioritas penuh pada klien, tanpa memandang waktu atau lokasi."Arissa menghela napas panjang. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan terikat dalam pekerjaan seperti itu, apalagi dengan seseorang seperti Nathaniel Alvaro. Ia tahu betapa kerasnya dunia kerja pria itu, tetapi ia tidak ingin kehilangan kendali atas hidupnya sendiri hanya karena uang.Diskusi dengan MariaKeesokan harinya, di ru

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-29
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 13: Sebuah Pendekatan Baru

    Nathaniel duduk di ruang kerjanya yang luas, jendela besar di belakangnya menampilkan pemandangan kota yang berkilauan. Tapi pikirannya jauh dari pemandangan itu. Ia memikirkan Arissa—wanita yang tidak hanya menolak tawarannya tetapi juga melakukannya dengan sopan dan tegas.Nathaniel mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, sesuatu yang jarang ia lakukan. Penolakan itu terasa aneh baginya. Selama ini, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, entah itu dalam bisnis atau kehidupan pribadi. Namun, untuk pertama kalinya, seseorang menolaknya tanpa rasa takut.“Dia berbeda,” gumamnya pelan.Refleksi NathanielSambil menyandarkan diri di kursinya, Nathaniel teringat kata-kata Arissa. Cara dia berbicara, dengan nada yang penuh rasa hormat tetapi tak tergoyahkan, meninggalkan kesan mendalam.Nathaniel memanggil asistennya, James, masuk ke ruangan. James adalah satu dari sedikit orang yang bisa ia percayai sepenuhnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-30

Bab terbaru

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 226: melalui komitmen hati dan jiwa

    "Karena aku mengenalmu," jawab Arissa sederhana. "Dan aku tahu hatimu. Itu saja yang diperlukan."Sepanjang sisa kelas, mereka belajar tentang tahapan kehamilan, proses persalinan, dan perawatan bayi dasar. Instruktur mendorong mereka untuk mempraktikkan mengganti popok pada boneka bayi, membuat Nathaniel dan Arissa tertawa saat mereka berjuang dengan perekat dan posisi yang tepat."Ini lebih sulit dari yang terlihat," kata Nathaniel, akhirnya berhasil mengamankan popok pada boneka."Tunggu sampai bayi sungguhan yang bergerak-gerak dan mungkin menangis," instruktur tertawa."Atau, yang lebih buruk, mungkin buang air saat kamu sedang mengganti popoknya," tambah seorang ayah berpengalaman di kelas, membuat semua orang tertawa.Di akhir kelas, instruktur memberikan mereka masing-masing sebuah jurnal. "Saya mendorong kalian semua untuk mulai menuliskan pikiran, harapan, dan kekhawatiran kalian tentang menjadi orangtua. Ini tidak hanya merupakan cara ya

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 225: Apakah sulit?

    "Baiklah, daftar kita untuk kelasnya," kata Arissa, mencium pipi Nathaniel. "Tapi aku juga ingin kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menikmati perjalanan ini—untuk tidak terlalu terjebak dalam rencana dan daftar periksa sehingga kita lupa untuk merasakan kegembiraan dan ketakjuban dari semuanya."Nathaniel melingkarkan lengannya di pinggang Arissa, menariknya lebih dekat. "Aku berjanji. Dan ngomong-ngomong tentang kegembiraan dan ketakjuban..." Tatapannya berubah menggoda. "Kita mungkin perlu latihan lebih banyak untuk bagian 'mencoba memiliki bayi'."Arissa tertawa, memutar matanya dengan gaya. "Kamu benar-benar tidak ada harapan, kamu tahu itu?""Ya, tapi itulah sebabnya kamu mencintaiku," balas Nathaniel, mencium bibirnya dengan lembut.Arissa meleleh dalam pelukannya, pikiran tentang bayi dan pernikahan dan masa depan berputar-putar di kepalanya seperti bintang-bintang yang berkilauan. Ada banyak hal yang tidak pasti di masa depan, banyak

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 224: Terima kasih

    "Itu rencana yang bagus," Sophie tersenyum. "Hanya saja, bersiaplah untuk fleksibel. Hidup memiliki caranya sendiri untuk mengejutkanmu.""Seperti Lily?" tanya Arissa, mengingat bahwa Sophie pernah bercerita bahwa kehamilannya tidak direncanakan, meskipun sangat diinginkan.Sophie tertawa pelan. "Tepat sekali. Daniel dan aku masih ingin menunggu setahun lagi, tapi kemudian Lily memutuskan bahwa dia sudah siap untuk bergabung dengan kami." Dia menatap putrinya dengan penuh cinta. "Dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia sekarang."Arissa meraih tangan kecil Lily, terpesona dengan jari-jari mungilnya yang sempurna. "Dia benar-benar indah, Soph.""Dia memang indah," Sophie setuju. "Tapi aku tidak akan berbohong padamu, Ris. Enam bulan pertama ini... sulit. Sangat sulit. Kurang tidur, ASI yang tidak lancar, kolik yang membuat Lily menangis selama berjam-jam... ada hari-hari di mana aku hampir kehilangan akal sehatku."Arissa menatap sahabatnya

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 223: Aku hanya ingin kita siap

    "Hei, jagoan, kamu tidak apa-apa?" tanyanya lembut, membersihkan debu dari lutut anak itu.Anak laki-laki itu, dengan mata besar dan pipi berisi, mengangguk berani meskipun air mata menggenang di pelupuk matanya. "Aku baik-baik saja, terima kasih, Paman."Seorang wanita berlari mendekat, wajahnya penuh kecemasan. "Oh, Noah! Aku sudah bilang jangan lari terlalu cepat." Dia menatap Nathaniel dengan rasa terima kasih. "Terima kasih sudah membantunya.""Bukan masalah," Nathaniel tersenyum. "Dia anak yang berani."Setelah wanita itu dan anaknya pergi, Arissa menatap Nathaniel dengan senyum penuh arti. "Lihat? Kamu sudah memiliki insting seorang ayah."Nathaniel tersipu. "Itu hanya... refleks, kurasa.""Refleks yang bagus," kata Arissa, mencium pipinya ringan. "Dan ini hanya menguatkan keyakinanku bahwa kamu akan menjadi ayah yang luar biasa suatu hari nanti."Malam itu, ketika mereka berbaring di tempat tidur, pikiran-pikiran tentang masa depan mengisi keheningan di antara mereka. Arissa m

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 222: Kamu... melamarku?

    Minggu-minggu berikutnya, pembicaraan tentang memiliki anak menjadi lebih sering muncul dalam percakapan sehari-hari mereka. Terkadang sebagai lelucon ringan ("Anakmu yang mengajarimu komentar sarkastik seperti itu?"), dan lain kali sebagai diskusi serius tentang nilai-nilai yang ingin mereka tanamkan dan gaya pengasuhan yang mereka yakini.Suatu pagi Minggu, Nathaniel menemukan Arissa membaca artikel tentang persiapan kehamilan di tabletnya."Riset, huh?" godanya, sambil menuangkan kopi untuk mereka berdua.Arissa mengangkat bahu, sedikit tersipu. "Hanya ingin tahu lebih banyak. Tidak ada salahnya bersiap dari sekarang, kan?"Nathaniel duduk di sebelahnya, mengintip artikel tersebut. "Wow, ada banyak yang perlu dipertimbangkan. Suplemen, perubahan pola makan, berhenti minum alkohol...""Ya, ternyata tubuhku perlu dalam kondisi optimal sebelum kita bahkan mencoba," kata Arissa. "Dan itu butuh waktu. Beberapa bulan, setidaknya.""Bagaimana denganku?" tanya Nathaniel. "Maksudku, apa ada

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 221: Masa Depan yang Dibayangkan

    Senja merayap perlahan di jendela apartemen, melukis langit dengan warna oranye dan merah muda yang lembut. Nathaniel duduk di balkon kecil mereka, secangkir kopi hangat di tangannya, matanya menerawang ke kejauhan. Arissa memperhatikannya dari ambang pintu, bersandar di bingkai dengan senyum tipis terpampang di wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri pria itu belakangan ini—sebuah ketenangan yang baru, seolah ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan yang telah lama menghantuinya."Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Arissa lembut, melangkah keluar dan duduk di kursi di sebelahnya.Nathaniel menoleh, matanya bertemu dengan mata Arissa, dan senyumnya melebar. "Masa depan," jawabnya sederhana.Arissa mengangkat alisnya. "Dan apa yang kamu lihat di sana?"Nathaniel meletakkan cangkirnya dan menggenggam tangan Arissa. Tangannya hangat dan kokoh, memberikan perasaan aman yang selalu ia rasakan sejak pertama kali mereka bertemu."Aku melihat kita," katanya pelan. "Kita, membangun

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 220: Pernikahan adalah proses, bukan?

    "Maaf aku terlambat," kata Arissa begitu membuka pintu, menemukan Nathaniel sedang menata meja makan."Hei, tidak apa-apa. Hanya 15 menit," Nathaniel tersenyum, mendekati istrinya dan mengecup keningnya. "Meeting berjalan lancar?"Arissa mendesah. "Tidak seperti yang kuharapkan. Investor punya banyak persyaratan yang... well, cukup mengintervensi.""Ceritakan padaku sambil makan?" Nathaniel menarik kursi untuk Arissa. "Aku membuat carbonara. Dan ada tiramisu untuk pencuci mulut.""Kau yang terbaik," Arissa tersenyum lelah tapi penuh terima kasih.Selama makan malam, Arissa menceritakan tentang meeting dan dilema yang ia hadapi mengenai investasi tersebut. Nathaniel mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan sudut pandang yang berbeda."Bagaimana menurutmu?" tanya Arissa setelah menjelaskan semuanya. "Apakah aku terlalu keras kepala dengan menolak mengubah fokus klinik?"Nathaniel memikirkannya sejenak. "Aku pikir prinsip

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 219: Harmoni dan Tantangan

    Kehidupan pasca-pernikahan mereka dimulai dengan penuh kebahagiaan, meskipun tidak tanpa tantangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari sebagai pasangan suami istri, dan meskipun mereka lebih damai, kadang-kadang ada hal-hal kecil yang menantang mereka. Misalnya, Arissa yang kini harus mengatur waktu antara kliniknya yang semakin berkembang dan peran barunya sebagai istri Nathaniel. Nathaniel juga harus menyeimbangkan kehidupan pribadi dan tanggung jawab yang masih ada di luar bisnis.Pagi itu, Arissa terbangun dengan suara alarm yang berbunyi nyaring di samping tempat tidur. Tangannya meraba-raba meja kecil di samping ranjang untuk mematikan suara yang mengganggu tidurnya. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, ia menyadari bahwa sisi ranjang di sampingnya telah kosong. Nathaniel pasti sudah bangun lebih awal. Aroma kopi yang menguar dari arah dapur mengonfirmasi dugaannya."Selamat pagi," sapa Nathaniel dengan senyum hangat ketika Arissa muncul di

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 218: Untuk Istriku, Sahabatku, Cintaku

    "Kau tahu," kata Arissa di sela-sela menonton film ketiga mereka, "dulu aku selalu menganggap hujan sebagai gangguan. Apalagi saat ada rencana outdoor.""Dan sekarang?" tanya Nathaniel, memainkan rambut Arissa yang bersandar di dadanya."Sekarang aku melihatnya sebagai undangan untuk menikmati waktu dengan cara berbeda," jawabnya. "Seperti hari ini. Bagaimana hujan membuat kita menciptakan kenangan yang tidak kalah indahnya dengan hari-hari cerah.""Filosofis sekali, istriku," Nathaniel tersenyum. "Tapi aku setuju. Mungkin itulah yang perlu kita ingat dalam pernikahan—bahwa tidak semua hari akan cerah, dan itu tidak apa-apa. Kita bisa menemukan keindahan bahkan dalam badai sekalipun, selama kita bersama."Malam itu, setelah hujan reda, mereka duduk di beranda dengan secangkir teh hangat. Udara terasa segar setelah hujan seharian, dan langit malam tampak lebih jernih dari biasanya. Nathaniel tiba-tiba mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya&mdash

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status