Home / Romansa / Pijatan Nikmat Sang CEO / Bab 8: Tawaran yang Menggoda

Share

Bab 8: Tawaran yang Menggoda

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-01-26 10:43:02

Beberapa hari setelah pertemuan keduanya yang penuh dengan ketegangan itu, Nathaniel kembali muncul di klinik. Pagi itu, Arissa sedang sibuk menyusun beberapa catatan dan menyiapkan perlengkapan pijat untuk kliennya yang lain. Ia terkejut saat mendengar suara pintu dibuka, dan untuk kedua kalinya, Nathaniel muncul, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Ia tidak terlihat hanya ingin relaksasi sesaat. Ada tujuan yang jelas, dan ia membawa aura yang lebih serius daripada sebelumnya.

Arissa menatapnya sejenak, merasa canggung meski sudah mengenal pria itu lebih baik. "Nathaniel, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, berusaha tetap profesional, meskipun hatinya sedikit berdebar.

Nathaniel berdiri di ambang pintu, memandang Arissa dengan tatapan yang penuh ketegasan, tetapi juga ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan. "Saya ingin menawarkan sesuatu kepada Anda," katanya, suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya, seolah menyimpan beban berat.

Arissa mengangkat alis. "Tawaran?" tanyanya, masih merasa ragu. Sebelumnya, ia tidak bisa mengabaikan perasaan cemas yang datang bersamaan dengan kedatangan Nathaniel. Meski pria itu memberikan kesan kuat dan terhormat, ada sesuatu yang menakutkan dalam pesona misteriusnya.

Nathaniel menghela napas panjang, kemudian melangkah lebih dekat ke meja resepsionis tempat Arissa berdiri. “Saya ingin Anda menjadi terapis pribadi saya, Arissa. Tidak hanya sekali, tetapi secara rutin. Saya ingin datang ke sini setiap minggu, dan saya bersedia membayar lebih dari tarif biasa.”

Arissa merasa matanya terbelalak sejenak, tidak percaya dengan tawaran yang baru saja keluar dari mulut Nathaniel. Ia memeriksa wajahnya, melihat apakah ada tanda-tanda guyonan atau kebohongan, tetapi tak ada. Nathaniel tampak sangat serius.

“Apakah Anda yakin ingin melakukan ini?” Arissa bertanya pelan, mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang motivasinya. “Saya hanya seorang terapis biasa, Nathaniel. Dan saya tidak ingin melanggar prinsip profesional saya.”

Nathaniel tersenyum sedikit, meskipun ada kecanggungan yang jelas di antara mereka. “Saya tahu ini terdengar agak tidak biasa,” katanya. “Namun, saya merasa bahwa hanya Anda yang bisa memberikan bantuan yang saya butuhkan. Saya sudah mencoba berbagai cara untuk mengurangi tekanan dan stres saya, tetapi belum ada yang berhasil. Pijatan Anda, Arissa, memiliki sesuatu yang lebih dari sekadar efek fisik. Saya merasa lebih tenang, lebih fokus setelahnya.”

Arissa merasa sedikit terharu mendengar pujian itu, namun juga merasa cemas. Tawarkan ini lebih dari sekadar menawarkan uang, itu menawarkan ikatan yang lebih erat antara mereka—sesuatu yang membuatnya ragu. Ia mengingat kembali semua prinsip yang telah ia tetapkan sejak lama. Sebagai seorang terapis, ia berusaha menjaga batas yang jelas antara dirinya dan kliennya. Ia tidak ingin menyimpang dari garis profesionalisme yang telah ia bangun.

“Nathaniel,” Arissa akhirnya berkata dengan hati-hati, “saya tahu apa yang Anda maksud, dan saya menghargai kepercayaan yang Anda berikan pada saya. Tapi, saya khawatir tawaran ini bisa merusak hubungan profesional kita. Saya tidak ingin terjebak dalam situasi yang bisa membuat kita berdua merasa tidak nyaman nanti.”

Nathaniel mengangguk perlahan, menyadari bahwa Arissa sedang berpikir matang-matang. Ia mengerti bahwa, bagi seorang terapis seperti Arissa, profesionalisme adalah hal yang paling penting. Namun, ia merasa cemas. Tidak banyak orang yang bisa dia percayai, dan ia merasa bahwa Arissa adalah satu-satunya yang bisa membantunya mengatasi beban yang menimpanya.

“Apa yang saya tawarkan bukan hanya soal uang, Arissa,” kata Nathaniel, suaranya lebih lembut. “Ini tentang mendapatkan apa yang saya butuhkan untuk menjalani hidup saya dengan lebih baik. Mungkin saya tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata yang tepat, tetapi Anda mengerti apa yang saya maksudkan. Saya ingin Anda menjadi bagian dari rutinitas saya—sebagai seorang terapis, bukan hanya sebagai seorang wanita. Saya ingin membuat ini berjalan dengan cara yang sesuai dengan prinsip Anda.”

Arissa terdiam sejenak, mempertimbangkan semuanya. Tawarannya terasa menggoda, dan semakin lama ia mengenal Nathaniel, semakin sulit baginya untuk tetap menjaga jarak. Namun, di balik keinginan untuk membantu dan merasa dihargai, ia juga tahu bahwa menerima tawaran itu akan merubah segalanya. Ia tidak hanya akan kehilangan batasan profesional yang ia jaga dengan hati-hati, tetapi ia mungkin juga akan terjerat dalam dunia Nathaniel yang penuh intrik dan ketegangan.

Akhirnya, setelah beberapa detik yang terasa seperti bertahun-tahun, Arissa menarik napas dalam-dalam dan memandang Nathaniel dengan tatapan serius. “Saya akan menerima tawaran Anda, Nathaniel,” katanya, meskipun nada suaranya sedikit ragu. “Tapi saya ingin ada batas yang jelas antara pekerjaan ini dan hubungan pribadi kita. Saya tidak ingin sesuatu yang lebih rumit daripada yang sudah ada.”

Nathaniel tersenyum sedikit, seolah merasa lega. “Tentu, Arissa. Saya menghormati itu. Batasan yang Anda inginkan akan saya patuhi. Terima kasih telah mempertimbangkan tawaran ini.”

Arissa mengangguk, meskipun hatinya masih merasa terombang-ambing. Ia tahu bahwa ini adalah langkah besar, dan meskipun ia merasa tertarik untuk membantu Nathaniel, ia juga merasa cemas tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Menerima tawaran itu berarti membuka pintu untuk sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang mungkin mengubah segalanya.

Setelah keputusan itu diambil, suasana di klinik menjadi sedikit lebih ringan. Arissa merasa ada sedikit ketegangan yang mencair di antara mereka, tetapi sekaligus, ia merasakan gelombang kecemasan yang datang. Bagaimana ini akan berpengaruh pada kehidupannya? Bagaimana ia akan menghadapi perasaan yang mulai muncul begitu dekat dengan Nathaniel? Dan yang lebih penting lagi, apakah ia bisa menjaga profesionalisme dalam hubungan ini?

Nathaniel menyadari bahwa Arissa masih terlihat ragu, namun ia juga bisa melihat ketulusan dalam keputusan yang diambilnya. Ia tahu bahwa tawaran itu datang dengan harga yang lebih tinggi daripada sekadar uang. Arissa harus melangkah keluar dari zona nyaman dan menjaga jarak emosional yang selalu ia pertahankan dengan klien.

"Saya akan menghubungi Anda untuk detail lebih lanjut," kata Nathaniel, mencoba membuat suasana lebih santai. "Dan saya ingin memastikan bahwa ini tidak akan mengganggu rutinitas Anda."

Arissa mengangguk pelan. "Tentu saja. Kita akan tentukan jadwal yang sesuai. Tapi ingat, Nathaniel, ini adalah layanan profesional, bukan hubungan pribadi. Itu yang saya harapkan."

Nathaniel tersenyum tipis, dan untuk sesaat, ada kilatan kehangatan dalam matanya yang seolah mengungkapkan bahwa ia menghargai kejujuran Arissa. “Saya mengerti, Arissa. Tidak akan ada masalah dengan itu.”

Setelah percakapan itu, Nathaniel meninggalkan klinik dengan langkah pasti. Arissa berdiri di belakang meja resepsionis, menatap pintu yang baru saja ditutup. Ada perasaan campur aduk dalam hatinya. Dia tahu bahwa hari-hari berikutnya akan penuh tantangan. Tapi ada juga rasa penasaran yang mulai tumbuh. Siapa Nathaniel Alvaro sebenarnya? Apa yang membuat pria sekaya dan sepenuhnya terfokus pada bisnis ini begitu membutuhkan bantuan dari seorang terapis pijat? Arissa merasa terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hubungan profesional ini bisa jadi lebih dari yang ia duga.

Beberapa hari berlalu dengan kesibukan rutin di klinik, dan meskipun ia mencoba untuk fokus pada pekerjaan, pikiran Arissa tak bisa lepas dari Nathaniel. Ia mulai merasa cemas tentang langkah berikutnya. Kapan Nathaniel akan menghubunginya? Bagaimana jika semuanya tidak berjalan sesuai dengan harapannya? Apakah ia akan mampu menjaga jarak profesional itu?

Pada suatu pagi yang cerah, ketika Arissa sedang menyiapkan ruangan untuk klien berikutnya, telepon di meja resepsionisnya berdering. Ia mengangkatnya dengan cepat, berharap itu bukan telepon yang tak diinginkan.

“Arissa, ini Nathaniel,” suara pria itu terdengar tegas, namun juga sedikit lebih santai dari yang ia kenal. “Saya ingin mengatur jadwal untuk pertemuan pertama kita. Saya pikir kita bisa mulai besok.”

Arissa merasa jantungnya berdebar, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. “Baik, Nathaniel. Kapan Anda ingin saya mulai?” tanyanya, berusaha menjaga nada suara tetap profesional meski ada sedikit kegugupan di dalamnya.

“Besok sore, setelah jam kerja. Saya akan langsung ke sini. Kita bisa tentukan bagaimana sesi pertama ini berjalan,” jawab Nathaniel. “Terima kasih sudah menyanggupi ini, Arissa.”

“Tidak masalah,” Arissa menjawab singkat. “Saya akan siap.”

Setelah percakapan itu berakhir, Arissa meletakkan telepon dengan tangan sedikit gemetar. Ia menatap cermin di dinding, mencoba menenangkan dirinya. Persiapan mental untuk pertemuan besok sudah dimulai, meski ia merasa sedikit cemas. Namun, di sisi lain, ada juga perasaan ingin membantu Nathaniel. Ia tahu bahwa pria itu terbeban oleh banyak hal, dan jika ada yang bisa sedikit meringankan beban hidupnya, ia ingin menjadi bagian dari itu.

Namun, bagian dalam hatinya yang lebih pragmatis mengingatkan untuk tetap menjaga jarak. Ia sudah memutuskan untuk menerima tawaran Nathaniel, tetapi ia juga harus sangat hati-hati agar tak terjerumus dalam situasi yang tak terduga.

Arissa mengambil napas dalam-dalam, bertekad untuk tetap tegas. Ini hanya sebuah pekerjaan, ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Dan ia akan melakukannya dengan cara yang benar—seperti yang selalu ia lakukan. Tapi meski ia berusaha mengatur pikirannya, satu hal tak bisa ia hindari: rasa penasaran terhadap Nathaniel semakin besar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 9: Batas yang Tertantang

    Hari pertama sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai. Arissa merasa sedikit cemas, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sejak pagi, ia mempersiapkan ruangan klinik dengan lebih hati-hati dari biasanya. Semua peralatan yang diperlukan sudah siap, dan suasana di dalam ruangannya sudah diatur agar terasa nyaman dan tenang. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitasnya sebagai seorang terapis.Ketika bel pintu berbunyi, Arissa menoleh dan melihat Nathaniel berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang rapi dan wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, dan sesaat suasana menjadi canggung. Arissa mencoba menenangkan diri dan mengingat batas yang telah ia tetapkan sebelumnya.“Selamat sore, Nathaniel,” sapa Arissa dengan nada formal. “Silakan duduk. Sesi ini hanya untuk relaksasi, sesuai dengan kesepakatan kita

    Last Updated : 2025-01-26
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 10: Keputusan yang Sulit

    Arissa duduk di meja kerjanya, menatap secangkir teh yang kini hampir dingin di depannya. Pikirannya masih berputar-putar tentang percakapan tadi dengan Nathaniel. Hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya, dan meski ia berusaha menenangkan diri, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah keputusan ini benar? Apa yang akan terjadi jika ia setuju untuk menjadi terapis pribadi Nathaniel?Ia menghela napas panjang. Sebagai seorang terapis yang berkomitmen pada pekerjaannya, ia selalu memegang prinsip untuk menjaga profesionalisme dalam segala hal. Namun, tawaran Nathaniel berbeda. Ia bukan hanya seorang klien biasa. Nathaniel adalah CEO sukses dengan dunia bisnis yang rumit dan penuh tekanan, serta seorang pria yang sudah mulai menguji batasan-batasannya. Arissa tahu bahwa kedekatannya dengannya, meskipun hanya dalam kapasitas profesional, bisa menambah beban pada hidupnya yang sudah cukup rumit.Namun, di sisi lain, tawaran itu begitu menggoda. Bayaran yang jauh le

    Last Updated : 2025-01-27
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 11: Tawaran Tak Terduga

    Pagi itu, klinik pijat Arissa tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa pelanggan reguler sudah menunggu di ruang tunggu, dan suasana di dalam klinik penuh dengan percakapan ringan. Arissa, seperti biasa, sibuk melayani klien dengan senyum ramah. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi hari ini.Benar saja, sekitar tengah hari, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan klinik. Dari dalamnya, Nathaniel Alvaro turun dengan langkah percaya diri, mengenakan setelan jas rapi yang membuatnya terlihat seperti sosok yang tak tersentuh. Kehadirannya langsung menarik perhatian para pelanggan dan staf di klinik. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria tampan dan berkarisma itu.Arissa, yang baru saja selesai dengan klien terakhirnya, memandang ke arah pintu depan dan hampir terdiam melihat Nathaniel. Ia merasa aneh melihat pria itu datang di siang hari, terutama dengan penampi

    Last Updated : 2025-01-28
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 12: Menegakkan Prinsip

    Arissa duduk di meja kerjanya di apartemen kecilnya, kontrak dari Nathaniel terbuka di hadapannya. Pikirannya dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang bertentangan. Di satu sisi, angka bayaran dalam kontrak itu sangat menggoda, sesuatu yang bisa membantunya mengubah hidup. Namun, di sisi lain, beberapa syarat dalam kontrak tersebut membuatnya merasa tidak nyaman, terutama bagian yang mengharuskannya selalu siaga kapan pun Nathaniel membutuhkannya.Ia membaca ulang salah satu klausul dalam kontrak:"Terapis wajib memberikan prioritas penuh pada klien, tanpa memandang waktu atau lokasi."Arissa menghela napas panjang. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan terikat dalam pekerjaan seperti itu, apalagi dengan seseorang seperti Nathaniel Alvaro. Ia tahu betapa kerasnya dunia kerja pria itu, tetapi ia tidak ingin kehilangan kendali atas hidupnya sendiri hanya karena uang.Diskusi dengan MariaKeesokan harinya, di ru

    Last Updated : 2025-01-29
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 13: Sebuah Pendekatan Baru

    Nathaniel duduk di ruang kerjanya yang luas, jendela besar di belakangnya menampilkan pemandangan kota yang berkilauan. Tapi pikirannya jauh dari pemandangan itu. Ia memikirkan Arissa—wanita yang tidak hanya menolak tawarannya tetapi juga melakukannya dengan sopan dan tegas.Nathaniel mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, sesuatu yang jarang ia lakukan. Penolakan itu terasa aneh baginya. Selama ini, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, entah itu dalam bisnis atau kehidupan pribadi. Namun, untuk pertama kalinya, seseorang menolaknya tanpa rasa takut.“Dia berbeda,” gumamnya pelan.Refleksi NathanielSambil menyandarkan diri di kursinya, Nathaniel teringat kata-kata Arissa. Cara dia berbicara, dengan nada yang penuh rasa hormat tetapi tak tergoyahkan, meninggalkan kesan mendalam.Nathaniel memanggil asistennya, James, masuk ke ruangan. James adalah satu dari sedikit orang yang bisa ia percayai sepenuhnya.

    Last Updated : 2025-01-30
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 14: Dilema Arissa

    Arissa duduk di sofa kecil di ruang tamu apartemennya yang sederhana, memandangi dokumen yang ia bawa pulang dari klinik. Dokumen itu bukanlah kontrak Nathaniel, tetapi laporan pengeluaran klinik yang menunjukkan betapa tipisnya margin keuntungan yang mereka hasilkan setiap bulan. Pikiran tentang bagaimana tawaran Nathaniel dapat mengubah situasinya terus menghantui.Dia menarik napas panjang, mengeluarkan ponsel, dan menelepon sahabatnya, Lila.“Arissa! Akhirnya kau meneleponku. Aku sudah lama ingin tahu bagaimana kabarmu,” kata Lila dengan suara ceria di seberang telepon.Arissa tersenyum tipis meski sahabatnya tidak bisa melihat. “Aku baik-baik saja, Lil. Tapi... ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”“Sepertinya serius,” balas Lila, suaranya berubah menjadi lebih perhatian. “Apa yang terjadi?”Selama beberapa menit berikutnya, Arissa menceritakan semua yang terjadi—dari pertemuannya de

    Last Updated : 2025-01-31
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 15: Pendekatan yang Lebih Personal

    Nathaniel duduk di dalam mobilnya, menatap gedung klinik yang sederhana namun memiliki daya tarik tersendiri baginya. Selama beberapa hari terakhir, ia terus memikirkan Arissa dan sikap tegasnya. Bukan hanya karena keahliannya yang luar biasa, tetapi juga karena kepribadiannya yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya.“Kali ini aku harus berbicara dengan cara yang berbeda,” gumam Nathaniel pelan.Sore itu, Arissa sedang sibuk membantu seorang pelanggan lanjut usia. Ia tak menyadari bahwa Nathaniel telah masuk ke klinik dan duduk di ruang tunggu. Ketika akhirnya ia selesai, ia terkejut menemukan pria itu lagi.“Pak Alvaro?” tanyanya dengan nada sedikit canggung.Nathaniel berdiri dan tersenyum kecil. “Nathaniel saja,” koreksinya lembut. “Aku ingin berbicara sebentar, kalau kau punya waktu.”Meski ragu, Arissa mengangguk. Mereka masuk ke ruang konsultasi yang sama, tempat mereka terakhir berbic

    Last Updated : 2025-01-31
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 16: Keputusan dengan Batasan

    Arissa duduk di ruang istirahat klinik, menatap kontrak yang telah direvisi di tangannya. Kata-kata dalam dokumen itu terlihat rapi dan terstruktur, namun setiap kalimat terasa memiliki beban yang besar. Ia menghela napas panjang sebelum menutup map tersebut.Lila menghampirinya, membawa secangkir teh. "Jadi, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu."Aku akan menandatangani, Lil," jawab Arissa akhirnya. "Tapi aku sudah memastikan bahwa ada batas-batas yang jelas dalam kontraknya. Aku tidak mau kehilangan kendali atas hidupku hanya karena uang."Lila tersenyum lebar. "Itu keputusan yang bijak. Setidaknya kau menetapkan syarat yang membuatmu nyaman. Jangan biarkan dia mendominasi segalanya."Sore itu, Arissa pergi ke kantor Nathaniel untuk menyampaikan keputusannya. Ini pertama kalinya ia melihat Nathaniel di lingkungannya sendiri—sebuah gedung tinggi yang penuh dengan aura kemewahan dan kesibukan.Arissa me

    Last Updated : 2025-02-01

Latest chapter

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 226: melalui komitmen hati dan jiwa

    "Karena aku mengenalmu," jawab Arissa sederhana. "Dan aku tahu hatimu. Itu saja yang diperlukan."Sepanjang sisa kelas, mereka belajar tentang tahapan kehamilan, proses persalinan, dan perawatan bayi dasar. Instruktur mendorong mereka untuk mempraktikkan mengganti popok pada boneka bayi, membuat Nathaniel dan Arissa tertawa saat mereka berjuang dengan perekat dan posisi yang tepat."Ini lebih sulit dari yang terlihat," kata Nathaniel, akhirnya berhasil mengamankan popok pada boneka."Tunggu sampai bayi sungguhan yang bergerak-gerak dan mungkin menangis," instruktur tertawa."Atau, yang lebih buruk, mungkin buang air saat kamu sedang mengganti popoknya," tambah seorang ayah berpengalaman di kelas, membuat semua orang tertawa.Di akhir kelas, instruktur memberikan mereka masing-masing sebuah jurnal. "Saya mendorong kalian semua untuk mulai menuliskan pikiran, harapan, dan kekhawatiran kalian tentang menjadi orangtua. Ini tidak hanya merupakan cara ya

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 225: Apakah sulit?

    "Baiklah, daftar kita untuk kelasnya," kata Arissa, mencium pipi Nathaniel. "Tapi aku juga ingin kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menikmati perjalanan ini—untuk tidak terlalu terjebak dalam rencana dan daftar periksa sehingga kita lupa untuk merasakan kegembiraan dan ketakjuban dari semuanya."Nathaniel melingkarkan lengannya di pinggang Arissa, menariknya lebih dekat. "Aku berjanji. Dan ngomong-ngomong tentang kegembiraan dan ketakjuban..." Tatapannya berubah menggoda. "Kita mungkin perlu latihan lebih banyak untuk bagian 'mencoba memiliki bayi'."Arissa tertawa, memutar matanya dengan gaya. "Kamu benar-benar tidak ada harapan, kamu tahu itu?""Ya, tapi itulah sebabnya kamu mencintaiku," balas Nathaniel, mencium bibirnya dengan lembut.Arissa meleleh dalam pelukannya, pikiran tentang bayi dan pernikahan dan masa depan berputar-putar di kepalanya seperti bintang-bintang yang berkilauan. Ada banyak hal yang tidak pasti di masa depan, banyak

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 224: Terima kasih

    "Itu rencana yang bagus," Sophie tersenyum. "Hanya saja, bersiaplah untuk fleksibel. Hidup memiliki caranya sendiri untuk mengejutkanmu.""Seperti Lily?" tanya Arissa, mengingat bahwa Sophie pernah bercerita bahwa kehamilannya tidak direncanakan, meskipun sangat diinginkan.Sophie tertawa pelan. "Tepat sekali. Daniel dan aku masih ingin menunggu setahun lagi, tapi kemudian Lily memutuskan bahwa dia sudah siap untuk bergabung dengan kami." Dia menatap putrinya dengan penuh cinta. "Dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia sekarang."Arissa meraih tangan kecil Lily, terpesona dengan jari-jari mungilnya yang sempurna. "Dia benar-benar indah, Soph.""Dia memang indah," Sophie setuju. "Tapi aku tidak akan berbohong padamu, Ris. Enam bulan pertama ini... sulit. Sangat sulit. Kurang tidur, ASI yang tidak lancar, kolik yang membuat Lily menangis selama berjam-jam... ada hari-hari di mana aku hampir kehilangan akal sehatku."Arissa menatap sahabatnya

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 223: Aku hanya ingin kita siap

    "Hei, jagoan, kamu tidak apa-apa?" tanyanya lembut, membersihkan debu dari lutut anak itu.Anak laki-laki itu, dengan mata besar dan pipi berisi, mengangguk berani meskipun air mata menggenang di pelupuk matanya. "Aku baik-baik saja, terima kasih, Paman."Seorang wanita berlari mendekat, wajahnya penuh kecemasan. "Oh, Noah! Aku sudah bilang jangan lari terlalu cepat." Dia menatap Nathaniel dengan rasa terima kasih. "Terima kasih sudah membantunya.""Bukan masalah," Nathaniel tersenyum. "Dia anak yang berani."Setelah wanita itu dan anaknya pergi, Arissa menatap Nathaniel dengan senyum penuh arti. "Lihat? Kamu sudah memiliki insting seorang ayah."Nathaniel tersipu. "Itu hanya... refleks, kurasa.""Refleks yang bagus," kata Arissa, mencium pipinya ringan. "Dan ini hanya menguatkan keyakinanku bahwa kamu akan menjadi ayah yang luar biasa suatu hari nanti."Malam itu, ketika mereka berbaring di tempat tidur, pikiran-pikiran tentang masa depan mengisi keheningan di antara mereka. Arissa m

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 222: Kamu... melamarku?

    Minggu-minggu berikutnya, pembicaraan tentang memiliki anak menjadi lebih sering muncul dalam percakapan sehari-hari mereka. Terkadang sebagai lelucon ringan ("Anakmu yang mengajarimu komentar sarkastik seperti itu?"), dan lain kali sebagai diskusi serius tentang nilai-nilai yang ingin mereka tanamkan dan gaya pengasuhan yang mereka yakini.Suatu pagi Minggu, Nathaniel menemukan Arissa membaca artikel tentang persiapan kehamilan di tabletnya."Riset, huh?" godanya, sambil menuangkan kopi untuk mereka berdua.Arissa mengangkat bahu, sedikit tersipu. "Hanya ingin tahu lebih banyak. Tidak ada salahnya bersiap dari sekarang, kan?"Nathaniel duduk di sebelahnya, mengintip artikel tersebut. "Wow, ada banyak yang perlu dipertimbangkan. Suplemen, perubahan pola makan, berhenti minum alkohol...""Ya, ternyata tubuhku perlu dalam kondisi optimal sebelum kita bahkan mencoba," kata Arissa. "Dan itu butuh waktu. Beberapa bulan, setidaknya.""Bagaimana denganku?" tanya Nathaniel. "Maksudku, apa ada

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 221: Masa Depan yang Dibayangkan

    Senja merayap perlahan di jendela apartemen, melukis langit dengan warna oranye dan merah muda yang lembut. Nathaniel duduk di balkon kecil mereka, secangkir kopi hangat di tangannya, matanya menerawang ke kejauhan. Arissa memperhatikannya dari ambang pintu, bersandar di bingkai dengan senyum tipis terpampang di wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri pria itu belakangan ini—sebuah ketenangan yang baru, seolah ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan yang telah lama menghantuinya."Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Arissa lembut, melangkah keluar dan duduk di kursi di sebelahnya.Nathaniel menoleh, matanya bertemu dengan mata Arissa, dan senyumnya melebar. "Masa depan," jawabnya sederhana.Arissa mengangkat alisnya. "Dan apa yang kamu lihat di sana?"Nathaniel meletakkan cangkirnya dan menggenggam tangan Arissa. Tangannya hangat dan kokoh, memberikan perasaan aman yang selalu ia rasakan sejak pertama kali mereka bertemu."Aku melihat kita," katanya pelan. "Kita, membangun

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 220: Pernikahan adalah proses, bukan?

    "Maaf aku terlambat," kata Arissa begitu membuka pintu, menemukan Nathaniel sedang menata meja makan."Hei, tidak apa-apa. Hanya 15 menit," Nathaniel tersenyum, mendekati istrinya dan mengecup keningnya. "Meeting berjalan lancar?"Arissa mendesah. "Tidak seperti yang kuharapkan. Investor punya banyak persyaratan yang... well, cukup mengintervensi.""Ceritakan padaku sambil makan?" Nathaniel menarik kursi untuk Arissa. "Aku membuat carbonara. Dan ada tiramisu untuk pencuci mulut.""Kau yang terbaik," Arissa tersenyum lelah tapi penuh terima kasih.Selama makan malam, Arissa menceritakan tentang meeting dan dilema yang ia hadapi mengenai investasi tersebut. Nathaniel mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan sudut pandang yang berbeda."Bagaimana menurutmu?" tanya Arissa setelah menjelaskan semuanya. "Apakah aku terlalu keras kepala dengan menolak mengubah fokus klinik?"Nathaniel memikirkannya sejenak. "Aku pikir prinsip

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 219: Harmoni dan Tantangan

    Kehidupan pasca-pernikahan mereka dimulai dengan penuh kebahagiaan, meskipun tidak tanpa tantangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari sebagai pasangan suami istri, dan meskipun mereka lebih damai, kadang-kadang ada hal-hal kecil yang menantang mereka. Misalnya, Arissa yang kini harus mengatur waktu antara kliniknya yang semakin berkembang dan peran barunya sebagai istri Nathaniel. Nathaniel juga harus menyeimbangkan kehidupan pribadi dan tanggung jawab yang masih ada di luar bisnis.Pagi itu, Arissa terbangun dengan suara alarm yang berbunyi nyaring di samping tempat tidur. Tangannya meraba-raba meja kecil di samping ranjang untuk mematikan suara yang mengganggu tidurnya. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, ia menyadari bahwa sisi ranjang di sampingnya telah kosong. Nathaniel pasti sudah bangun lebih awal. Aroma kopi yang menguar dari arah dapur mengonfirmasi dugaannya."Selamat pagi," sapa Nathaniel dengan senyum hangat ketika Arissa muncul di

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 218: Untuk Istriku, Sahabatku, Cintaku

    "Kau tahu," kata Arissa di sela-sela menonton film ketiga mereka, "dulu aku selalu menganggap hujan sebagai gangguan. Apalagi saat ada rencana outdoor.""Dan sekarang?" tanya Nathaniel, memainkan rambut Arissa yang bersandar di dadanya."Sekarang aku melihatnya sebagai undangan untuk menikmati waktu dengan cara berbeda," jawabnya. "Seperti hari ini. Bagaimana hujan membuat kita menciptakan kenangan yang tidak kalah indahnya dengan hari-hari cerah.""Filosofis sekali, istriku," Nathaniel tersenyum. "Tapi aku setuju. Mungkin itulah yang perlu kita ingat dalam pernikahan—bahwa tidak semua hari akan cerah, dan itu tidak apa-apa. Kita bisa menemukan keindahan bahkan dalam badai sekalipun, selama kita bersama."Malam itu, setelah hujan reda, mereka duduk di beranda dengan secangkir teh hangat. Udara terasa segar setelah hujan seharian, dan langit malam tampak lebih jernih dari biasanya. Nathaniel tiba-tiba mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya&mdash

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status