Nathaniel duduk di dalam mobilnya, menatap gedung klinik yang sederhana namun memiliki daya tarik tersendiri baginya. Selama beberapa hari terakhir, ia terus memikirkan Arissa dan sikap tegasnya. Bukan hanya karena keahliannya yang luar biasa, tetapi juga karena kepribadiannya yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya.
“Kali ini aku harus berbicara dengan cara yang berbeda,” gumam Nathaniel pelan.
Sore itu, Arissa sedang sibuk membantu seorang pelanggan lanjut usia. Ia tak menyadari bahwa Nathaniel telah masuk ke klinik dan duduk di ruang tunggu. Ketika akhirnya ia selesai, ia terkejut menemukan pria itu lagi.“Pak Alvaro?” tanyanya dengan nada sedikit canggung.
Nathaniel berdiri dan tersenyum kecil. “Nathaniel saja,” koreksinya lembut. “Aku ingin berbicara sebentar, kalau kau punya waktu.”
Meski ragu, Arissa mengangguk. Mereka masuk ke ruang konsultasi yang sama, tempat mereka terakhir berbic
Arissa duduk di ruang istirahat klinik, menatap kontrak yang telah direvisi di tangannya. Kata-kata dalam dokumen itu terlihat rapi dan terstruktur, namun setiap kalimat terasa memiliki beban yang besar. Ia menghela napas panjang sebelum menutup map tersebut.Lila menghampirinya, membawa secangkir teh. "Jadi, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu."Aku akan menandatangani, Lil," jawab Arissa akhirnya. "Tapi aku sudah memastikan bahwa ada batas-batas yang jelas dalam kontraknya. Aku tidak mau kehilangan kendali atas hidupku hanya karena uang."Lila tersenyum lebar. "Itu keputusan yang bijak. Setidaknya kau menetapkan syarat yang membuatmu nyaman. Jangan biarkan dia mendominasi segalanya."Sore itu, Arissa pergi ke kantor Nathaniel untuk menyampaikan keputusannya. Ini pertama kalinya ia melihat Nathaniel di lingkungannya sendiri—sebuah gedung tinggi yang penuh dengan aura kemewahan dan kesibukan.Arissa me
Hari pertama Arissa bekerja sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai dengan suasana yang sangat berbeda dari klinik kecil tempat ia biasa bekerja. Rumah Nathaniel, yang terletak di sebuah kawasan elit, tampak megah dengan desain minimalis namun elegan. Ruang tamu yang luas dan penuh dengan perabotan modern memancarkan aura kekuasaan dan prestise. Arissa merasa seperti berada di dunia yang sama sekali berbeda dari yang biasa ia jalani.Ia merasa sedikit canggung, mengenakan pakaian yang lebih formal daripada biasanya, sementara ia mencoba menyesuaikan diri dengan peran barunya. Saat ia tiba, Nathaniel sudah menunggunya di ruang tengah. Dia mengenakan setelan jas gelap yang terlihat sempurna, seperti biasa, dengan ekspresi wajah yang lebih serius dari yang ia ingat."Selamat pagi," Arissa menyapa dengan suara tenang, meskipun di dalam hatinya perasaan tidak nyaman mulai muncul."Selamat pagi, Arissa," jawab Nathaniel, suaranya terdengar lebih dingin dari yang seh
Arissa merasa dirinya semakin terperangkap dalam dunia yang sangat berbeda dari kehidupan yang biasa ia jalani. Setiap hari, ia datang ke rumah mewah Nathaniel, yang selalu terjaga kebersihannya dan dipenuhi dengan kemewahan yang hampir tak terhitung. Rumah itu bukan hanya sekedar tempat tinggal, tetapi juga mencerminkan kekuasaan dan kesuksesan Nathaniel. Dikelilingi oleh staf yang selalu siap sedia, setiap kebutuhan Nathaniel dipenuhi dengan sempurna.Setiap kali Arissa memasuki rumah Nathaniel, ia merasakan ketegangan yang sulit dijelaskan. Di satu sisi, ia merasa terkesan dengan bagaimana segalanya berjalan begitu teratur dan efisien. Namun, di sisi lain, ia juga merasa seperti orang luar yang tak benar-benar tahu tempatnya. Staf Nathaniel, meskipun ramah, seringkali memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa ia tafsirkan. Mereka tahu siapa dirinya—seorang terapis biasa yang hanya bekerja untuk Nathaniel, meskipun sering kali mereka melihatnya lebih sebagai seorang
Nathaniel semakin sering memikirkan Arissa. Setiap kali ia melihatnya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari wanita lain yang biasa ia temui di dunia bisnisnya yang penuh dengan ambisi dan permainan kekuasaan. Arissa tidak seperti mereka. Tidak ada kepentingan tersembunyi dalam setiap kata dan tindakannya. Ia tulus, sederhana, dan tidak pernah terlihat ingin mengambil keuntungan dari posisinya.Nathaniel mulai menyadari bahwa kehadiran Arissa memberikan ketenangan yang tidak bisa ia temukan di dunia yang penuh dengan tekanan ini. Di dunia yang selalu menuntut kesempurnaan, Arissa tampaknya tidak terpengaruh oleh status atau kekuasaan. Ia adalah wanita yang menjaga prinsipnya dan tetap teguh dengan nilai-nilai yang diyakininya. Ini membuat Nathaniel semakin terpesona, meskipun ia enggan mengakui perasaannya.Setiap sesi pijat yang dilakukan Arissa di rumah atau kantor Nathaniel bukan hanya memberi ketenangan fisik, tetapi juga membuka sedikit demi sedikit tirai yang m
Gosip tentang Nathaniel dan Arissa mulai menyebar seperti api di ruang kantor, meskipun keduanya berusaha keras untuk menjaga hubungan mereka tetap profesional. Setiap kali Arissa datang ke kantor Nathaniel untuk sesi pijat pribadi, para staf yang melihatnya mulai bertanya-tanya tentang hubungan mereka yang semakin intens. Walaupun mereka berdua belum mengungkapkan apapun secara terbuka, ketegangan yang terbangun terasa jelas.Di ruang kerjanya, Nathaniel mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus melayang kepada Arissa. Tidak pernah ia merasa sebebas ini sebelumnya, berbicara dengan seseorang yang tidak menginginkan apapun darinya selain hubungan profesional yang tulus. Meski ia menyadari bahwa perasaan mereka semakin mendalam, Nathaniel tetap berusaha menahan diri. Namun, seperti yang ia duga, gosip tersebut mulai merembet ke seluruh perusahaan.Di sisi lain, Vanessa, asisten pribadi Nathaniel yang sudah lama menyukai bosnya, merasa cemburu dan terancam
Vanessa melangkah masuk ke ruang kerja Nathaniel dengan membawa setumpuk dokumen yang perlu ditandatangani. Sepatu hak tingginya berderap pelan di lantai marmer, seolah mencerminkan irama hatinya yang sedang tidak menentu. Ia telah bekerja sebagai asisten pribadi Nathaniel selama tiga tahun, memahami setiap kebiasaannya, bahkan sering kali mengantisipasi kebutuhannya sebelum ia mengungkapkannya. Namun, akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berbeda. Nathaniel tampak lebih sering tersenyum, lebih ringan dalam berbicara—dan itu semua terjadi saat Arissa ada di dekatnya.Saat Vanessa tiba di depan meja Nathaniel, ia melirik ke samping, di mana Arissa tengah berdiri, menunjukkan beberapa dokumen di layar tablet miliknya. Mereka berdua tampak begitu nyaman dalam diskusi mereka, dan sesekali Nathaniel mengangguk dengan senyum yang nyaris lembut. Perasaan panas menjalar dalam dada Vanessa, meskipun wajahnya tetap terjaga dengan ekspresi profesional."Ini dokumen yang perlu Anda tanda tangani, Pak
Suasana di ruang pijat kantor terasa berbeda hari itu. Biasanya, Nathaniel datang dengan ekspresi tenang dan sikap profesional yang tak tergoyahkan. Namun kali ini, bahunya kaku, napasnya berat, dan tatapannya kosong menatap lantai. Arissa, yang sudah terbiasa dengan rutinitasnya sebagai terapis pribadi sang CEO, langsung merasakan ada sesuatu yang tidak beres.“Silakan berbaring, Pak,” ucap Arissa lembut, mencoba menjaga suasana tetap tenang. Nathaniel hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun, lalu berbaring di meja pijat.Saat Arissa mulai memijat bahunya, ia merasakan otot-otot yang biasanya lentur kini menegang luar biasa. Setiap sentuhan terasa seperti menyentuh batu yang keras dan dingin. Arissa tahu, ini bukan sekadar ketegangan fisik. Ada sesuatu yang membebani pikirannya.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Biasanya, Nathaniel akan berbicara santai atau sekadar membahas pekerjaan ringan. Tapi kali ini, keheningan itu semakin terasa menekan.“Pak, maaf kalau saya lancang,”
Suasana kantor yang biasanya terasa sibuk namun profesional, kini berubah menjadi penuh bisikan dan tatapan aneh yang mengarah pada satu orang—Arissa. Setiap kali ia melangkah di lorong, ia bisa merasakan mata-mata mengikutinya, senyuman yang biasanya ramah kini terasa seperti ejekan tersembunyi. Awalnya, Arissa mencoba mengabaikannya, menganggap itu hanya perasaannya saja. Namun, semakin hari, bisikan-bisikan itu semakin jelas terdengar.“Katanya sih, dia deket sama Pak Nathaniel karena ada maunya,” bisik seorang rekan kerja saat Arissa melewati ruang istirahat.“Iya, pantes aja dia jadi favorit. Siapa yang nggak luluh kalau dipijat sama dia?” sahut yang lain, diikuti tawa kecil yang menyakitkan.Arissa menegakkan bahunya, berusaha tetap berjalan dengan kepala tegak. Tapi hatinya bergetar, dadanya sesak menahan emosi. Ia tahu siapa yang memulai semua ini. Vanessa, dengan senyum manis beracun dan kata-kata halusnya, telah menyebarkan rumor ke seluruh kantor. Kecemburuannya terhadap ke
Ruangan itu terasa sunyi setelah kepergian Damien. Semua orang di dalamnya perlahan mulai kembali ke aktivitas masing-masing, tetapi bagi Nathaniel, dunia seakan berhenti.Ia berdiri di tengah ruangan, matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui Damien. Ada sesuatu yang begitu pahit dalam keheningan ini—sebuah perasaan yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.Arissa memperhatikan Nathaniel dengan penuh kekhawatiran. Pria itu tampak begitu tenang di permukaan, tetapi ia tahu bahwa di dalam hatinya, Nathaniel sedang berjuang dengan emosi yang begitu rumit.Nathaniel telah memenangkan pertempuran ini. Ia telah berhasil melindungi perusahaan, mengungkap pengkhianatan, dan menyingkirkan ancaman dari dalam. Namun, mengapa ia tidak merasakan kelegaan?Seharusnya ia merasa puas. Seharusnya ia bisa merayakan keberhasilannya. Namun, yang ia rasakan hanyalah kehampaan.Nathaniel menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba meredakan ketegangan di dadanya. “Seh
Langit di luar terlihat mendung, seolah mencerminkan ketegangan yang memenuhi ruang rapat utama perusahaan. Semua pemegang saham, dewan direksi, dan eksekutif utama sudah berkumpul, menanti pertemuan yang telah diumumkan secara mendadak oleh Nathaniel.Damien duduk di salah satu kursi panjang di dekat ujung meja. Raut wajahnya tetap tenang, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di matanya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi, tapi ia masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik sikap percaya diri yang dibuat-buat.Di sisi lain ruangan, Nathaniel berdiri tegap di depan layar presentasi, ekspresinya penuh ketegasan. Di sampingnya, Arissa duduk dengan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan selama beberapa hari terakhir. Inilah saatnya untuk mengungkap segalanya.Nathaniel menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara dengan suara lantang.“Hari ini, kita berkumpul bukan hanya untuk membahas masa depan perusahaan, tetapi juga untuk mengungkap sesuatu yang selama i
Ketegangan di ruangan itu begitu pekat hingga terasa menyesakkan. Arissa bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, tetapi ia menolak untuk mundur. Saat ini, Nathaniel membutuhkan keberaniannya lebih dari sebelumnya.Nathaniel berdiri tegap, tetapi Arissa tahu hatinya pasti berantakan. Menghadapi pengkhianatan dari saudaranya sendiri adalah luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertempuran bisnis. Dan kini, ia harus menjadi orang yang mengungkap semuanya, meskipun itu berarti memperburuk hubungan Nathaniel dengan keluarganya sendiri.Arissa menarik napas dalam, menatap Damien yang masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku tidak ingin berada dalam situasi ini, Damien," katanya dengan suara tenang, tetapi tegas. "Aku lebih suka melihat kalian tetap menjadi saudara yang saling mendukung. Tapi setelah semua yang kau lakukan, aku tidak bisa diam saja."Damien mendengus. "Kau pikir kau siapa, Arissa? Ini bukan urusanmu.""Aku adalah seseorang yang pedu
Nathaniel dan Damien berdiri berhadapan, kedua pria itu saling menatap dengan sorot mata tajam yang penuh emosi.Tak ada lagi kehangatan di antara mereka. Tak ada lagi rasa persaudaraan yang dulu pernah mereka banggakan.Nathaniel mengepalkan tangannya erat. Ia tidak pernah menyangka bahwa hari di mana ia harus menghadapi Damien seperti ini akan tiba."Kau benar-benar sudah berubah," kata Nathaniel dengan suara berat, mencoba menekan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Damien tertawa kecil, nada suaranya penuh sarkasme. "Aku tidak berubah, Nathaniel. Aku hanya akhirnya berhenti menjadi bayanganmu.""Tapi dengan cara seperti ini?" Nathaniel balas bertanya dengan nada tak percaya. "Mengkhianati keluarga? Bekerja sama dengan Markus, orang yang selama ini ingin menghancurkan kita?"Damien mendengus. "Keluarga? Kata itu tidak pernah berarti apa pun untukku. Keluarga yang mana? Keluarga yang selalu mengutamakanmu? Keluarga yang hanya melihatku
Ruangan terasa begitu sunyi meskipun ketegangan memenuhi udara. Nathaniel berdiri tegak di depan Damien, menatap langsung ke mata lelaki yang selama ini ia anggap sebagai saudara kandungnya. Wajahnya tidak menunjukkan amarah yang meledak-ledak, tetapi dingin, tajam, dan penuh kekecewaan.Damien, di sisi lain, terlihat lebih santai. Ia bersandar pada kursinya dengan tangan terlipat di dada, seolah tidak terpengaruh oleh tatapan menusuk Nathaniel. Namun, matanya mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran antara kebencian, kelelahan, dan sedikit rasa bersalah.Mereka telah menghindari konfrontasi ini cukup lama. Tapi malam ini, semuanya harus diselesaikan."Apa yang kau inginkan, Damien?" suara Nathaniel terdengar tenang, tetapi dingin.Damien mengangkat bahu. "Akhirnya kau memutuskan untuk bertanya." Ia terkekeh kecil sebelum melanjutkan, "Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Apa yang kau inginkan, Nathaniel? Kau sudah memiliki segalanya—kekuasaan,
Nathaniel duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke luar jendela. Malam telah larut, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian yang baru saja terjadi. Pengkhianatan Damien bukan hanya menghancurkan kepercayaannya, tetapi juga merobek bagian terdalam dari hatinya.Saudara kandungnya sendiri.Orang yang selama ini ia lindungi.Orang yang selalu ia anggap sebagai keluarga—ternyata menikamnya dari belakang tanpa ragu.Tangannya mengepal di atas meja, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Emosi dalam dirinya bergejolak seperti badai yang siap menghancurkan segalanya. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menghancurkan sesuatu. Tetapi di saat yang bersamaan, ada rasa hampa yang begitu dalam, seolah-olah seluruh dunia di sekitarnya kehilangan warnanya.Arissa berdiri di ambang pintu, memperhatikan Nathaniel dalam keheningan. Ia tahu bahwa pria itu sedang berada di titik terendahnya saat ini. Luka karena dikhi
Arissa duduk di ruang kerjanya, menatap berkas-berkas di depannya dengan perasaan campur aduk. Sejak menemukan bukti pengkhianatan Damien, hatinya terasa begitu berat. Ia tahu bahwa kebenaran ini akan menghancurkan Nathaniel, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan pria yang dicintainya terus percaya pada seseorang yang diam-diam menikamnya dari belakang.Tangannya gemetar saat mengambil dokumen terakhir—rekaman transaksi rahasia yang menghubungkan Damien dengan Markus. Tidak ada lagi ruang untuk keraguan. Fakta-fakta ini terlalu jelas untuk diabaikan.Arissa memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berdiri. Sudah saatnya ia memberi tahu Nathaniel.Nathaniel berada di ruang kerja pribadinya ketika Arissa mengetuk pintu. Pria itu terlihat sibuk, tetapi begitu melihat ekspresi serius di wajah Arissa, ia segera meletakkan dokumen yang sedang dibacanya."Ada apa?" tanyanya, suaranya tetap tenang, tetapi sorot matanya tajam, menyadari bahwa sesuatu yang penting a
Arissa menatap layar laptopnya dengan napas tertahan. Tangannya sedikit gemetar saat ia membaca serangkaian pesan terenkripsi yang baru saja berhasil dipecahkan oleh tim investigasi. Pesan-pesan itu bukan hanya bukti transaksi mencurigakan, tetapi juga percakapan rahasia antara seseorang di dalam perusahaan dengan Markus.Setiap kata yang tertulis di sana seperti belati yang menusuk dada Arissa. Ia tidak pernah menyangka bahwa pengkhianatnya adalah seseorang yang begitu dekat dengan Nathaniel.Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya sebelum melanjutkan membaca. Salah satu pesan terakhir yang ditemukan berbunyi:"Segera pastikan Nathaniel kehilangan dukungan dewan. Aku akan urus sisanya."Dan pengirimnya… adalah Damien.Arissa terhenyak. Damien, saudara kandung Nathaniel sendiri?Arissa selalu tahu bahwa hubungan Nathaniel dan Damien tidak sehangat saudara kandung pada umumnya. Namun, ia tidak pernah berpikir bahwa Damien akan tega melakukan hal seperti ini—mengkhianat
Setelah semua yang terjadi, Arissa tidak lagi hanya berdiri di sisi Nathaniel sebagai pendukung emosional. Ia kini terlibat secara aktif dalam mencari kebenaran. Markus memang telah kehilangan sebagian besar kekuatannya, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya.Arissa duduk di depan laptopnya, membaca ulang dokumen-dokumen yang berhasil dikumpulkan tim investigasi Nathaniel. Matanya menelusuri angka-angka, kontrak, serta transaksi yang mencurigakan.Ia menarik napas dalam-dalam. "Ini tidak masuk akal…" gumamnya.Nathaniel yang baru saja selesai berbicara dengan tim hukumnya menghampiri. "Apa yang kau temukan?""Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kecurangan Markus," jawab Arissa serius. "Beberapa transaksi ini… terlihat seperti manipulasi yang sudah berlangsung lama. Bahkan sebelum Markus mulai menunjukkan ambisinya secara terbuka."Nathaniel mengernyit. "Kau yakin?"Arissa mengangguk. "Ya. Aku pikir Markus bukan satu-satunya dalang dalam semua ini."Sema