Home / Romansa / Pijatan Nikmat Sang CEO / Bab 9: Batas yang Tertantang

Share

Bab 9: Batas yang Tertantang

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-01-26 22:19:50

Hari pertama sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai. Arissa merasa sedikit cemas, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sejak pagi, ia mempersiapkan ruangan klinik dengan lebih hati-hati dari biasanya. Semua peralatan yang diperlukan sudah siap, dan suasana di dalam ruangannya sudah diatur agar terasa nyaman dan tenang. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitasnya sebagai seorang terapis.

Ketika bel pintu berbunyi, Arissa menoleh dan melihat Nathaniel berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang rapi dan wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, dan sesaat suasana menjadi canggung. Arissa mencoba menenangkan diri dan mengingat batas yang telah ia tetapkan sebelumnya.

“Selamat sore, Nathaniel,” sapa Arissa dengan nada formal. “Silakan duduk. Sesi ini hanya untuk relaksasi, sesuai dengan kesepakatan kita.”

Nathaniel duduk dengan sikap tegap, menatap Arissa tanpa ekspresi. "Saya sudah tidak sabar untuk merasakan apa yang Anda tawarkan, Arissa," ujarnya dengan nada datar, meskipun ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Arissa sedikit terkejut. Mungkin itu adalah cara berbicara yang penuh keyakinan dan kontrol yang selalu melekat pada diri Nathaniel.

Arissa mengangguk dan melangkah untuk memulai sesi pijat. Ia mencoba untuk tetap fokus, menjaga jarak profesional, namun hatinya sedikit berdebar. Nathaniel, yang biasanya tampak tak tergoyahkan, kini terbaring di meja pijat dengan sikap yang lebih tenang, meskipun Arissa tahu bahwa dalam pikirannya, ia pasti sedang memikirkan banyak hal.

"Saya ingin Anda tahu, Arissa," kata Nathaniel tiba-tiba, memecah kesunyian yang selama ini ada di ruang itu, "bahwa saya menghargai pekerjaan Anda. Anda tidak tahu seberapa besar tekanan yang saya rasakan dalam dunia ini, dan pijatan Anda memberi saya ketenangan yang sangat saya butuhkan."

Arissa menatap Nathaniel dari atas, mencoba menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba muncul. "Terima kasih, Nathaniel," jawabnya dengan suara lembut, mencoba menjaga profesionalisme. “Saya hanya melakukan yang terbaik untuk setiap klien, termasuk Anda."

Namun, Nathaniel tampaknya tidak puas dengan jawaban itu. Ia mengangkat sedikit kepalanya, menatap Arissa dengan tatapan yang lebih intens. "Saya pikir Anda lebih dari sekadar terapis. Anda memiliki pengaruh yang lebih besar dari itu, Arissa. Saya bisa merasakannya," katanya, suara itu lebih dalam dari sebelumnya, seolah ada perasaan yang ia coba ungkapkan.

Arissa merasa sedikit tak nyaman dengan kata-kata Nathaniel. Ia sudah mengingatkan dirinya untuk tidak terjebak dalam dinamika yang lebih emosional. “Nathaniel, kita sudah sepakat untuk menjaga batas profesional,” katanya dengan hati-hati. “Saya di sini untuk membantu Anda, hanya sebagai terapis.”

Nathaniel terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Arissa. Namun, ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa puas. "Saya tidak mudah menerima batasan," jawabnya akhirnya, dengan nada yang masih penuh percaya diri. “Dan saya bisa melihat bahwa Anda juga tidak mudah dibujuk.”

Arissa menghela napas. “Saya tahu Anda terbiasa mendapatkan apa yang Anda inginkan, Nathaniel. Tapi saya harus tetap menjaga prinsip saya. Ini adalah pekerjaan saya, dan saya ingin melakukannya dengan cara yang benar. Anda harus menghormati itu.”

Nathaniel memandangnya, seolah sedang menilai. Untuk pertama kalinya, Arissa bisa merasakan ada semacam ketegangan yang tak terlihat sebelumnya antara mereka berdua. Nathaniel terbiasa mengendalikan segala hal, termasuk orang-orang di sekitarnya. Tapi dengan Arissa, ia merasa ada sesuatu yang menantangnya. Sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan dengan mudah.

"Saya menghargai Anda, Arissa," kata Nathaniel, suaranya lebih rendah dan terasa lebih serius. "Dan saya tahu, di balik sikap Anda yang keras kepala ini, ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuat saya ingin lebih dekat dengan Anda."

Arissa merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Itu adalah pernyataan yang berbeda dari biasanya. Tidak ada yang lebih sulit baginya daripada menghadapi seseorang seperti Nathaniel, yang tak segan untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya tanpa rasa takut. Namun, ia harus tetap berpegang pada batasan yang ia buat.

“Nathaniel,” Arissa berkata dengan suara tegas, "Saya tidak akan membiarkan apa pun merusak prinsip saya. Pekerjaan ini adalah untuk kesejahteraan Anda, bukan untuk membuat kita terlibat lebih jauh. Saya harap Anda mengerti.”

Nathaniel terdiam lagi, wajahnya memancarkan ekspresi yang sulit dibaca. Sesaat, sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu lagi, namun ia menahannya. “Baiklah, Arissa,” katanya akhirnya, dengan nada yang tidak lagi mengandung paksaan. “Saya akan menghormati batas Anda. Tapi saya ingin Anda tahu bahwa saya akan kembali. Saya membutuhkan Anda.”

Arissa mengangguk, meskipun di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan, bahkan kepada dirinya sendiri. Namun, ia tahu bahwa ia harus tetap kuat dan teguh pada keputusannya. Tidak peduli seberapa sulit itu.

Setelah sesi pijat selesai, Nathaniel berdiri dan menatap Arissa dengan mata yang penuh arti. "Terima kasih, Arissa. Saya rasa ini bisa menjadi awal yang baik untuk kita berdua," katanya, suara itu lebih tenang namun penuh keyakinan.

Arissa hanya mengangguk, berusaha mengendalikan perasaan yang mulai muncul tanpa bisa ia hindari. Setelah Nathaniel pergi, ia menutup pintu dengan pelan dan bersandar sebentar di dinding.

Batas-batas yang ia buat mulai terasa semakin rapuh. Namun, ia tahu satu hal—ia harus menjaga profesionalisme, apapun yang terjadi.

Arissa berdiri sejenak di ruangan yang kini terasa sepi setelah kepergian Nathaniel. Sesaat, ia membiarkan pikirannya mengembara, mencoba menenangkan diri setelah ketegangan yang terjadi. Meskipun ia tahu bahwa ia harus menjaga jarak, rasa ingin tahu dan ketertarikan terhadap Nathaniel semakin sulit untuk dihindari. Arissa tahu dia harus tetap fokus, menjaga batas antara profesionalisme dan perasaan yang semakin berkembang.

Dia menghela napas panjang dan mulai merapikan ruangan, tapi pikirannya masih terfokus pada pertemuan tadi. Nathaniel—seorang pria yang begitu kuat dan dominan dalam dunia bisnis, namun di balik itu, ada sisi lain yang tak terungkap dengan jelas. Sisi yang mungkin, menurut Arissa, lebih manusiawi, lebih rapuh. Itu adalah sisi yang menarik dan menantangnya, tapi juga yang paling berbahaya.

Ketika pintu ruangannya terbuka beberapa detik kemudian, Arissa menoleh dan mendapati salah satu kolega kliniknya berdiri di ambang pintu.

"Ada apa, Lina?" tanya Arissa, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Lina, seorang asisten yang bekerja di klinik, masuk sambil membawa secangkir teh hangat. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil meletakkan teh di meja.

Arissa tersenyum tipis, mencoba untuk terlihat tenang. "Ya, hanya sedikit lelah setelah sesi tadi."

Lina duduk di kursi seberang meja dan menatap Arissa dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Itu bukan klien biasa, kan? Aku dengar kamu melayani Nathaniel Alvaro. CEO Alvaro Group?"

Arissa menatapnya terkejut. "Kamu tahu?"

Lina tertawa kecil, "Seluruh kota tahu, Arissa. Siapa yang tidak mengenal Nathaniel Alvaro? Dia adalah pembicaraan utama di kalangan orang-orang kaya. Tidak heran kalau kamu merasa canggung, dia memang terkenal sulit didekati."

Arissa merasa pipinya memerah, meski ia berusaha untuk tetap tenang. "Dia hanya klien biasa," jawabnya, mencoba menepis perasaan canggung itu. "Kami hanya bekerja bersama seperti halnya terapis dengan klien lain."

Lina mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Tentu saja. Hanya klien biasa. Tapi kamu merasa ada yang berbeda, kan? Aku bisa melihatnya di wajahmu."

Arissa menghela napas panjang. "Aku rasa kamu benar. Ada sesuatu yang berbeda tentang dia. Tapi aku harus tetap profesional. Aku tidak ingin terlibat dalam masalah pribadi atau perasaan dengan klien."

Lina menatapnya dengan serius. "Hati-hati, Arissa. Terkadang, seseorang seperti Nathaniel bisa sangat memengaruhi hidupmu tanpa kamu sadari. Banyak orang yang terjebak dalam pesona dunia bisnis dan kekuatan seperti itu."

Arissa mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku akan berhati-hati."

Namun, dalam hati Arissa, keraguan itu masih ada. Meskipun dia berusaha menjaga jarak, entah mengapa, Nathaniel terus hadir dalam pikirannya. Sifatnya yang tenang, tapi tegas, yang penuh dengan misteri dan ketegangan, begitu berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui sebelumnya. Setiap kali ia menutup mata, gambaran wajah Nathaniel muncul, membuatnya terperangkap dalam keraguan yang lebih dalam.

Hari berikutnya, Nathaniel kembali ke klinik, seperti yang sudah ia janjikan. Arissa merasa sedikit terkejut, meskipun ia sudah tahu bahwa pria itu akan datang kembali. Pagi itu, dia menyiapkan diri untuk sesi lain dengan penuh kehati-hatian. Ia sudah bertekad untuk menjaga batas profesional dan tidak membiarkan dirinya terjebak dalam permainan emosional yang lebih dalam.

Begitu Nathaniel masuk, suasana menjadi sedikit canggung, meskipun sudah lebih familiar. Wajahnya masih terlihat lelah, namun kali ini ada perubahan kecil. Ia tidak langsung berbicara tentang pekerjaan atau tekanan bisnisnya, sebaliknya, ia lebih santai, duduk di kursi tunggu dengan sikap yang lebih kalem.

"Saya ingin berbicara sebentar, Arissa," katanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.

Arissa mengangguk, sedikit bingung, "Ada apa, Nathaniel?"

"Saya merasa ada banyak yang belum saya ungkapkan tentang diri saya," Nathaniel mulai berbicara, menatap Arissa dengan serius. "Saya tahu kita hanya bertemu dalam konteks profesional, tetapi saya ingin lebih terbuka dengan Anda. Saya mulai merasa bahwa Anda mungkin bisa membantu saya lebih dari yang saya duga."

Arissa sedikit terkejut dengan pernyataannya. "Nathaniel, kita sudah sepakat bahwa hubungan kita hanya sebatas pekerjaan. Saya hanya di sini untuk membantu Anda."

Nathaniel menghela napas, tampaknya kecewa dengan respons Arissa. "Saya tahu itu. Tapi saya juga ingin Anda tahu bahwa saya menghargai lebih dari sekadar jasa pijat Anda, Arissa. Saya merasa nyaman berada di dekat Anda, meskipun saya tahu saya tidak boleh berharap lebih."

Arissa merasa sebuah ketegangan yang mendalam antara mereka berdua. Kata-kata Nathaniel mengingatkannya pada hal-hal yang ia coba hindari—keinginan untuk terhubung lebih dalam dengan seseorang yang seharusnya tidak terlibat dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, ia merasa simpati terhadap Nathaniel yang selalu terbebani oleh tekanan hidup dan pekerjaan.

"Saya tidak ingin membuat Anda merasa canggung, Arissa," lanjut Nathaniel, suaranya semakin lembut. "Tapi saya perlu Anda tahu, Anda berbeda dari orang lain dalam hidup saya."

Arissa menatap Nathaniel dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa ia harus tetap bertahan pada batasannya. "Saya tidak bisa terlibat lebih jauh, Nathaniel. Saya di sini untuk membantu Anda secara profesional, dan itu saja."

Nathaniel terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan, seolah mengerti. "Baiklah. Tapi saya ingin Anda tahu, saya sangat menghargai kehadiran Anda. Anda lebih dari sekadar seorang terapis bagi saya."

Arissa hanya bisa terdiam. Meski ia berusaha untuk menjaga jarak, ia tahu bahwa ia sudah mulai terjebak dalam perasaan yang lebih besar dari sekadar pekerjaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 10: Keputusan yang Sulit

    Arissa duduk di meja kerjanya, menatap secangkir teh yang kini hampir dingin di depannya. Pikirannya masih berputar-putar tentang percakapan tadi dengan Nathaniel. Hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya, dan meski ia berusaha menenangkan diri, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah keputusan ini benar? Apa yang akan terjadi jika ia setuju untuk menjadi terapis pribadi Nathaniel?Ia menghela napas panjang. Sebagai seorang terapis yang berkomitmen pada pekerjaannya, ia selalu memegang prinsip untuk menjaga profesionalisme dalam segala hal. Namun, tawaran Nathaniel berbeda. Ia bukan hanya seorang klien biasa. Nathaniel adalah CEO sukses dengan dunia bisnis yang rumit dan penuh tekanan, serta seorang pria yang sudah mulai menguji batasan-batasannya. Arissa tahu bahwa kedekatannya dengannya, meskipun hanya dalam kapasitas profesional, bisa menambah beban pada hidupnya yang sudah cukup rumit.Namun, di sisi lain, tawaran itu begitu menggoda. Bayaran yang jauh le

    Last Updated : 2025-01-27
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 11: Tawaran Tak Terduga

    Pagi itu, klinik pijat Arissa tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa pelanggan reguler sudah menunggu di ruang tunggu, dan suasana di dalam klinik penuh dengan percakapan ringan. Arissa, seperti biasa, sibuk melayani klien dengan senyum ramah. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi hari ini.Benar saja, sekitar tengah hari, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan klinik. Dari dalamnya, Nathaniel Alvaro turun dengan langkah percaya diri, mengenakan setelan jas rapi yang membuatnya terlihat seperti sosok yang tak tersentuh. Kehadirannya langsung menarik perhatian para pelanggan dan staf di klinik. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria tampan dan berkarisma itu.Arissa, yang baru saja selesai dengan klien terakhirnya, memandang ke arah pintu depan dan hampir terdiam melihat Nathaniel. Ia merasa aneh melihat pria itu datang di siang hari, terutama dengan penampi

    Last Updated : 2025-01-28
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 12: Menegakkan Prinsip

    Arissa duduk di meja kerjanya di apartemen kecilnya, kontrak dari Nathaniel terbuka di hadapannya. Pikirannya dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang bertentangan. Di satu sisi, angka bayaran dalam kontrak itu sangat menggoda, sesuatu yang bisa membantunya mengubah hidup. Namun, di sisi lain, beberapa syarat dalam kontrak tersebut membuatnya merasa tidak nyaman, terutama bagian yang mengharuskannya selalu siaga kapan pun Nathaniel membutuhkannya.Ia membaca ulang salah satu klausul dalam kontrak:"Terapis wajib memberikan prioritas penuh pada klien, tanpa memandang waktu atau lokasi."Arissa menghela napas panjang. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan terikat dalam pekerjaan seperti itu, apalagi dengan seseorang seperti Nathaniel Alvaro. Ia tahu betapa kerasnya dunia kerja pria itu, tetapi ia tidak ingin kehilangan kendali atas hidupnya sendiri hanya karena uang.Diskusi dengan MariaKeesokan harinya, di ru

    Last Updated : 2025-01-29
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 13: Sebuah Pendekatan Baru

    Nathaniel duduk di ruang kerjanya yang luas, jendela besar di belakangnya menampilkan pemandangan kota yang berkilauan. Tapi pikirannya jauh dari pemandangan itu. Ia memikirkan Arissa—wanita yang tidak hanya menolak tawarannya tetapi juga melakukannya dengan sopan dan tegas.Nathaniel mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, sesuatu yang jarang ia lakukan. Penolakan itu terasa aneh baginya. Selama ini, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, entah itu dalam bisnis atau kehidupan pribadi. Namun, untuk pertama kalinya, seseorang menolaknya tanpa rasa takut.“Dia berbeda,” gumamnya pelan.Refleksi NathanielSambil menyandarkan diri di kursinya, Nathaniel teringat kata-kata Arissa. Cara dia berbicara, dengan nada yang penuh rasa hormat tetapi tak tergoyahkan, meninggalkan kesan mendalam.Nathaniel memanggil asistennya, James, masuk ke ruangan. James adalah satu dari sedikit orang yang bisa ia percayai sepenuhnya.

    Last Updated : 2025-01-30
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 14: Dilema Arissa

    Arissa duduk di sofa kecil di ruang tamu apartemennya yang sederhana, memandangi dokumen yang ia bawa pulang dari klinik. Dokumen itu bukanlah kontrak Nathaniel, tetapi laporan pengeluaran klinik yang menunjukkan betapa tipisnya margin keuntungan yang mereka hasilkan setiap bulan. Pikiran tentang bagaimana tawaran Nathaniel dapat mengubah situasinya terus menghantui.Dia menarik napas panjang, mengeluarkan ponsel, dan menelepon sahabatnya, Lila.“Arissa! Akhirnya kau meneleponku. Aku sudah lama ingin tahu bagaimana kabarmu,” kata Lila dengan suara ceria di seberang telepon.Arissa tersenyum tipis meski sahabatnya tidak bisa melihat. “Aku baik-baik saja, Lil. Tapi... ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”“Sepertinya serius,” balas Lila, suaranya berubah menjadi lebih perhatian. “Apa yang terjadi?”Selama beberapa menit berikutnya, Arissa menceritakan semua yang terjadi—dari pertemuannya de

    Last Updated : 2025-01-31
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 15: Pendekatan yang Lebih Personal

    Nathaniel duduk di dalam mobilnya, menatap gedung klinik yang sederhana namun memiliki daya tarik tersendiri baginya. Selama beberapa hari terakhir, ia terus memikirkan Arissa dan sikap tegasnya. Bukan hanya karena keahliannya yang luar biasa, tetapi juga karena kepribadiannya yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya.“Kali ini aku harus berbicara dengan cara yang berbeda,” gumam Nathaniel pelan.Sore itu, Arissa sedang sibuk membantu seorang pelanggan lanjut usia. Ia tak menyadari bahwa Nathaniel telah masuk ke klinik dan duduk di ruang tunggu. Ketika akhirnya ia selesai, ia terkejut menemukan pria itu lagi.“Pak Alvaro?” tanyanya dengan nada sedikit canggung.Nathaniel berdiri dan tersenyum kecil. “Nathaniel saja,” koreksinya lembut. “Aku ingin berbicara sebentar, kalau kau punya waktu.”Meski ragu, Arissa mengangguk. Mereka masuk ke ruang konsultasi yang sama, tempat mereka terakhir berbic

    Last Updated : 2025-01-31
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 16: Keputusan dengan Batasan

    Arissa duduk di ruang istirahat klinik, menatap kontrak yang telah direvisi di tangannya. Kata-kata dalam dokumen itu terlihat rapi dan terstruktur, namun setiap kalimat terasa memiliki beban yang besar. Ia menghela napas panjang sebelum menutup map tersebut.Lila menghampirinya, membawa secangkir teh. "Jadi, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu."Aku akan menandatangani, Lil," jawab Arissa akhirnya. "Tapi aku sudah memastikan bahwa ada batas-batas yang jelas dalam kontraknya. Aku tidak mau kehilangan kendali atas hidupku hanya karena uang."Lila tersenyum lebar. "Itu keputusan yang bijak. Setidaknya kau menetapkan syarat yang membuatmu nyaman. Jangan biarkan dia mendominasi segalanya."Sore itu, Arissa pergi ke kantor Nathaniel untuk menyampaikan keputusannya. Ini pertama kalinya ia melihat Nathaniel di lingkungannya sendiri—sebuah gedung tinggi yang penuh dengan aura kemewahan dan kesibukan.Arissa me

    Last Updated : 2025-02-01
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 17: Ketegangan yang Meningkat

    Hari pertama Arissa bekerja sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai dengan suasana yang sangat berbeda dari klinik kecil tempat ia biasa bekerja. Rumah Nathaniel, yang terletak di sebuah kawasan elit, tampak megah dengan desain minimalis namun elegan. Ruang tamu yang luas dan penuh dengan perabotan modern memancarkan aura kekuasaan dan prestise. Arissa merasa seperti berada di dunia yang sama sekali berbeda dari yang biasa ia jalani.Ia merasa sedikit canggung, mengenakan pakaian yang lebih formal daripada biasanya, sementara ia mencoba menyesuaikan diri dengan peran barunya. Saat ia tiba, Nathaniel sudah menunggunya di ruang tengah. Dia mengenakan setelan jas gelap yang terlihat sempurna, seperti biasa, dengan ekspresi wajah yang lebih serius dari yang ia ingat."Selamat pagi," Arissa menyapa dengan suara tenang, meskipun di dalam hatinya perasaan tidak nyaman mulai muncul."Selamat pagi, Arissa," jawab Nathaniel, suaranya terdengar lebih dingin dari yang seh

    Last Updated : 2025-02-01

Latest chapter

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 226: melalui komitmen hati dan jiwa

    "Karena aku mengenalmu," jawab Arissa sederhana. "Dan aku tahu hatimu. Itu saja yang diperlukan."Sepanjang sisa kelas, mereka belajar tentang tahapan kehamilan, proses persalinan, dan perawatan bayi dasar. Instruktur mendorong mereka untuk mempraktikkan mengganti popok pada boneka bayi, membuat Nathaniel dan Arissa tertawa saat mereka berjuang dengan perekat dan posisi yang tepat."Ini lebih sulit dari yang terlihat," kata Nathaniel, akhirnya berhasil mengamankan popok pada boneka."Tunggu sampai bayi sungguhan yang bergerak-gerak dan mungkin menangis," instruktur tertawa."Atau, yang lebih buruk, mungkin buang air saat kamu sedang mengganti popoknya," tambah seorang ayah berpengalaman di kelas, membuat semua orang tertawa.Di akhir kelas, instruktur memberikan mereka masing-masing sebuah jurnal. "Saya mendorong kalian semua untuk mulai menuliskan pikiran, harapan, dan kekhawatiran kalian tentang menjadi orangtua. Ini tidak hanya merupakan cara ya

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 225: Apakah sulit?

    "Baiklah, daftar kita untuk kelasnya," kata Arissa, mencium pipi Nathaniel. "Tapi aku juga ingin kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menikmati perjalanan ini—untuk tidak terlalu terjebak dalam rencana dan daftar periksa sehingga kita lupa untuk merasakan kegembiraan dan ketakjuban dari semuanya."Nathaniel melingkarkan lengannya di pinggang Arissa, menariknya lebih dekat. "Aku berjanji. Dan ngomong-ngomong tentang kegembiraan dan ketakjuban..." Tatapannya berubah menggoda. "Kita mungkin perlu latihan lebih banyak untuk bagian 'mencoba memiliki bayi'."Arissa tertawa, memutar matanya dengan gaya. "Kamu benar-benar tidak ada harapan, kamu tahu itu?""Ya, tapi itulah sebabnya kamu mencintaiku," balas Nathaniel, mencium bibirnya dengan lembut.Arissa meleleh dalam pelukannya, pikiran tentang bayi dan pernikahan dan masa depan berputar-putar di kepalanya seperti bintang-bintang yang berkilauan. Ada banyak hal yang tidak pasti di masa depan, banyak

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 224: Terima kasih

    "Itu rencana yang bagus," Sophie tersenyum. "Hanya saja, bersiaplah untuk fleksibel. Hidup memiliki caranya sendiri untuk mengejutkanmu.""Seperti Lily?" tanya Arissa, mengingat bahwa Sophie pernah bercerita bahwa kehamilannya tidak direncanakan, meskipun sangat diinginkan.Sophie tertawa pelan. "Tepat sekali. Daniel dan aku masih ingin menunggu setahun lagi, tapi kemudian Lily memutuskan bahwa dia sudah siap untuk bergabung dengan kami." Dia menatap putrinya dengan penuh cinta. "Dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia sekarang."Arissa meraih tangan kecil Lily, terpesona dengan jari-jari mungilnya yang sempurna. "Dia benar-benar indah, Soph.""Dia memang indah," Sophie setuju. "Tapi aku tidak akan berbohong padamu, Ris. Enam bulan pertama ini... sulit. Sangat sulit. Kurang tidur, ASI yang tidak lancar, kolik yang membuat Lily menangis selama berjam-jam... ada hari-hari di mana aku hampir kehilangan akal sehatku."Arissa menatap sahabatnya

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 223: Aku hanya ingin kita siap

    "Hei, jagoan, kamu tidak apa-apa?" tanyanya lembut, membersihkan debu dari lutut anak itu.Anak laki-laki itu, dengan mata besar dan pipi berisi, mengangguk berani meskipun air mata menggenang di pelupuk matanya. "Aku baik-baik saja, terima kasih, Paman."Seorang wanita berlari mendekat, wajahnya penuh kecemasan. "Oh, Noah! Aku sudah bilang jangan lari terlalu cepat." Dia menatap Nathaniel dengan rasa terima kasih. "Terima kasih sudah membantunya.""Bukan masalah," Nathaniel tersenyum. "Dia anak yang berani."Setelah wanita itu dan anaknya pergi, Arissa menatap Nathaniel dengan senyum penuh arti. "Lihat? Kamu sudah memiliki insting seorang ayah."Nathaniel tersipu. "Itu hanya... refleks, kurasa.""Refleks yang bagus," kata Arissa, mencium pipinya ringan. "Dan ini hanya menguatkan keyakinanku bahwa kamu akan menjadi ayah yang luar biasa suatu hari nanti."Malam itu, ketika mereka berbaring di tempat tidur, pikiran-pikiran tentang masa depan mengisi keheningan di antara mereka. Arissa m

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 222: Kamu... melamarku?

    Minggu-minggu berikutnya, pembicaraan tentang memiliki anak menjadi lebih sering muncul dalam percakapan sehari-hari mereka. Terkadang sebagai lelucon ringan ("Anakmu yang mengajarimu komentar sarkastik seperti itu?"), dan lain kali sebagai diskusi serius tentang nilai-nilai yang ingin mereka tanamkan dan gaya pengasuhan yang mereka yakini.Suatu pagi Minggu, Nathaniel menemukan Arissa membaca artikel tentang persiapan kehamilan di tabletnya."Riset, huh?" godanya, sambil menuangkan kopi untuk mereka berdua.Arissa mengangkat bahu, sedikit tersipu. "Hanya ingin tahu lebih banyak. Tidak ada salahnya bersiap dari sekarang, kan?"Nathaniel duduk di sebelahnya, mengintip artikel tersebut. "Wow, ada banyak yang perlu dipertimbangkan. Suplemen, perubahan pola makan, berhenti minum alkohol...""Ya, ternyata tubuhku perlu dalam kondisi optimal sebelum kita bahkan mencoba," kata Arissa. "Dan itu butuh waktu. Beberapa bulan, setidaknya.""Bagaimana denganku?" tanya Nathaniel. "Maksudku, apa ada

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 221: Masa Depan yang Dibayangkan

    Senja merayap perlahan di jendela apartemen, melukis langit dengan warna oranye dan merah muda yang lembut. Nathaniel duduk di balkon kecil mereka, secangkir kopi hangat di tangannya, matanya menerawang ke kejauhan. Arissa memperhatikannya dari ambang pintu, bersandar di bingkai dengan senyum tipis terpampang di wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri pria itu belakangan ini—sebuah ketenangan yang baru, seolah ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan yang telah lama menghantuinya."Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Arissa lembut, melangkah keluar dan duduk di kursi di sebelahnya.Nathaniel menoleh, matanya bertemu dengan mata Arissa, dan senyumnya melebar. "Masa depan," jawabnya sederhana.Arissa mengangkat alisnya. "Dan apa yang kamu lihat di sana?"Nathaniel meletakkan cangkirnya dan menggenggam tangan Arissa. Tangannya hangat dan kokoh, memberikan perasaan aman yang selalu ia rasakan sejak pertama kali mereka bertemu."Aku melihat kita," katanya pelan. "Kita, membangun

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 220: Pernikahan adalah proses, bukan?

    "Maaf aku terlambat," kata Arissa begitu membuka pintu, menemukan Nathaniel sedang menata meja makan."Hei, tidak apa-apa. Hanya 15 menit," Nathaniel tersenyum, mendekati istrinya dan mengecup keningnya. "Meeting berjalan lancar?"Arissa mendesah. "Tidak seperti yang kuharapkan. Investor punya banyak persyaratan yang... well, cukup mengintervensi.""Ceritakan padaku sambil makan?" Nathaniel menarik kursi untuk Arissa. "Aku membuat carbonara. Dan ada tiramisu untuk pencuci mulut.""Kau yang terbaik," Arissa tersenyum lelah tapi penuh terima kasih.Selama makan malam, Arissa menceritakan tentang meeting dan dilema yang ia hadapi mengenai investasi tersebut. Nathaniel mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan sudut pandang yang berbeda."Bagaimana menurutmu?" tanya Arissa setelah menjelaskan semuanya. "Apakah aku terlalu keras kepala dengan menolak mengubah fokus klinik?"Nathaniel memikirkannya sejenak. "Aku pikir prinsip

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 219: Harmoni dan Tantangan

    Kehidupan pasca-pernikahan mereka dimulai dengan penuh kebahagiaan, meskipun tidak tanpa tantangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari sebagai pasangan suami istri, dan meskipun mereka lebih damai, kadang-kadang ada hal-hal kecil yang menantang mereka. Misalnya, Arissa yang kini harus mengatur waktu antara kliniknya yang semakin berkembang dan peran barunya sebagai istri Nathaniel. Nathaniel juga harus menyeimbangkan kehidupan pribadi dan tanggung jawab yang masih ada di luar bisnis.Pagi itu, Arissa terbangun dengan suara alarm yang berbunyi nyaring di samping tempat tidur. Tangannya meraba-raba meja kecil di samping ranjang untuk mematikan suara yang mengganggu tidurnya. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, ia menyadari bahwa sisi ranjang di sampingnya telah kosong. Nathaniel pasti sudah bangun lebih awal. Aroma kopi yang menguar dari arah dapur mengonfirmasi dugaannya."Selamat pagi," sapa Nathaniel dengan senyum hangat ketika Arissa muncul di

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 218: Untuk Istriku, Sahabatku, Cintaku

    "Kau tahu," kata Arissa di sela-sela menonton film ketiga mereka, "dulu aku selalu menganggap hujan sebagai gangguan. Apalagi saat ada rencana outdoor.""Dan sekarang?" tanya Nathaniel, memainkan rambut Arissa yang bersandar di dadanya."Sekarang aku melihatnya sebagai undangan untuk menikmati waktu dengan cara berbeda," jawabnya. "Seperti hari ini. Bagaimana hujan membuat kita menciptakan kenangan yang tidak kalah indahnya dengan hari-hari cerah.""Filosofis sekali, istriku," Nathaniel tersenyum. "Tapi aku setuju. Mungkin itulah yang perlu kita ingat dalam pernikahan—bahwa tidak semua hari akan cerah, dan itu tidak apa-apa. Kita bisa menemukan keindahan bahkan dalam badai sekalipun, selama kita bersama."Malam itu, setelah hujan reda, mereka duduk di beranda dengan secangkir teh hangat. Udara terasa segar setelah hujan seharian, dan langit malam tampak lebih jernih dari biasanya. Nathaniel tiba-tiba mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya&mdash

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status