Beranda / Romansa / Pijatan Nikmat Sang CEO / Bab 9: Batas yang Tertantang

Share

Bab 9: Batas yang Tertantang

Penulis: perdy
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-26 22:19:50

Hari pertama sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai. Arissa merasa sedikit cemas, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sejak pagi, ia mempersiapkan ruangan klinik dengan lebih hati-hati dari biasanya. Semua peralatan yang diperlukan sudah siap, dan suasana di dalam ruangannya sudah diatur agar terasa nyaman dan tenang. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitasnya sebagai seorang terapis.

Ketika bel pintu berbunyi, Arissa menoleh dan melihat Nathaniel berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang rapi dan wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, dan sesaat suasana menjadi canggung. Arissa mencoba menenangkan diri dan mengingat batas yang telah ia tetapkan sebelumnya.

“Selamat sore, Nathaniel,” sapa Arissa dengan nada formal. “Silakan duduk. Sesi ini hanya untuk relaksasi, sesuai dengan kesepakatan kita.”

Nathaniel duduk dengan sikap tegap, menatap Arissa tanpa ekspresi. "Saya sudah tidak sabar untuk merasakan apa yang Anda tawarkan, Arissa," ujarnya dengan nada datar, meskipun ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Arissa sedikit terkejut. Mungkin itu adalah cara berbicara yang penuh keyakinan dan kontrol yang selalu melekat pada diri Nathaniel.

Arissa mengangguk dan melangkah untuk memulai sesi pijat. Ia mencoba untuk tetap fokus, menjaga jarak profesional, namun hatinya sedikit berdebar. Nathaniel, yang biasanya tampak tak tergoyahkan, kini terbaring di meja pijat dengan sikap yang lebih tenang, meskipun Arissa tahu bahwa dalam pikirannya, ia pasti sedang memikirkan banyak hal.

"Saya ingin Anda tahu, Arissa," kata Nathaniel tiba-tiba, memecah kesunyian yang selama ini ada di ruang itu, "bahwa saya menghargai pekerjaan Anda. Anda tidak tahu seberapa besar tekanan yang saya rasakan dalam dunia ini, dan pijatan Anda memberi saya ketenangan yang sangat saya butuhkan."

Arissa menatap Nathaniel dari atas, mencoba menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba muncul. "Terima kasih, Nathaniel," jawabnya dengan suara lembut, mencoba menjaga profesionalisme. “Saya hanya melakukan yang terbaik untuk setiap klien, termasuk Anda."

Namun, Nathaniel tampaknya tidak puas dengan jawaban itu. Ia mengangkat sedikit kepalanya, menatap Arissa dengan tatapan yang lebih intens. "Saya pikir Anda lebih dari sekadar terapis. Anda memiliki pengaruh yang lebih besar dari itu, Arissa. Saya bisa merasakannya," katanya, suara itu lebih dalam dari sebelumnya, seolah ada perasaan yang ia coba ungkapkan.

Arissa merasa sedikit tak nyaman dengan kata-kata Nathaniel. Ia sudah mengingatkan dirinya untuk tidak terjebak dalam dinamika yang lebih emosional. “Nathaniel, kita sudah sepakat untuk menjaga batas profesional,” katanya dengan hati-hati. “Saya di sini untuk membantu Anda, hanya sebagai terapis.”

Nathaniel terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kata Arissa. Namun, ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa puas. "Saya tidak mudah menerima batasan," jawabnya akhirnya, dengan nada yang masih penuh percaya diri. “Dan saya bisa melihat bahwa Anda juga tidak mudah dibujuk.”

Arissa menghela napas. “Saya tahu Anda terbiasa mendapatkan apa yang Anda inginkan, Nathaniel. Tapi saya harus tetap menjaga prinsip saya. Ini adalah pekerjaan saya, dan saya ingin melakukannya dengan cara yang benar. Anda harus menghormati itu.”

Nathaniel memandangnya, seolah sedang menilai. Untuk pertama kalinya, Arissa bisa merasakan ada semacam ketegangan yang tak terlihat sebelumnya antara mereka berdua. Nathaniel terbiasa mengendalikan segala hal, termasuk orang-orang di sekitarnya. Tapi dengan Arissa, ia merasa ada sesuatu yang menantangnya. Sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan dengan mudah.

"Saya menghargai Anda, Arissa," kata Nathaniel, suaranya lebih rendah dan terasa lebih serius. "Dan saya tahu, di balik sikap Anda yang keras kepala ini, ada sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuat saya ingin lebih dekat dengan Anda."

Arissa merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Itu adalah pernyataan yang berbeda dari biasanya. Tidak ada yang lebih sulit baginya daripada menghadapi seseorang seperti Nathaniel, yang tak segan untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya tanpa rasa takut. Namun, ia harus tetap berpegang pada batasan yang ia buat.

“Nathaniel,” Arissa berkata dengan suara tegas, "Saya tidak akan membiarkan apa pun merusak prinsip saya. Pekerjaan ini adalah untuk kesejahteraan Anda, bukan untuk membuat kita terlibat lebih jauh. Saya harap Anda mengerti.”

Nathaniel terdiam lagi, wajahnya memancarkan ekspresi yang sulit dibaca. Sesaat, sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu lagi, namun ia menahannya. “Baiklah, Arissa,” katanya akhirnya, dengan nada yang tidak lagi mengandung paksaan. “Saya akan menghormati batas Anda. Tapi saya ingin Anda tahu bahwa saya akan kembali. Saya membutuhkan Anda.”

Arissa mengangguk, meskipun di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan, bahkan kepada dirinya sendiri. Namun, ia tahu bahwa ia harus tetap kuat dan teguh pada keputusannya. Tidak peduli seberapa sulit itu.

Setelah sesi pijat selesai, Nathaniel berdiri dan menatap Arissa dengan mata yang penuh arti. "Terima kasih, Arissa. Saya rasa ini bisa menjadi awal yang baik untuk kita berdua," katanya, suara itu lebih tenang namun penuh keyakinan.

Arissa hanya mengangguk, berusaha mengendalikan perasaan yang mulai muncul tanpa bisa ia hindari. Setelah Nathaniel pergi, ia menutup pintu dengan pelan dan bersandar sebentar di dinding.

Batas-batas yang ia buat mulai terasa semakin rapuh. Namun, ia tahu satu hal—ia harus menjaga profesionalisme, apapun yang terjadi.

Arissa berdiri sejenak di ruangan yang kini terasa sepi setelah kepergian Nathaniel. Sesaat, ia membiarkan pikirannya mengembara, mencoba menenangkan diri setelah ketegangan yang terjadi. Meskipun ia tahu bahwa ia harus menjaga jarak, rasa ingin tahu dan ketertarikan terhadap Nathaniel semakin sulit untuk dihindari. Arissa tahu dia harus tetap fokus, menjaga batas antara profesionalisme dan perasaan yang semakin berkembang.

Dia menghela napas panjang dan mulai merapikan ruangan, tapi pikirannya masih terfokus pada pertemuan tadi. Nathaniel—seorang pria yang begitu kuat dan dominan dalam dunia bisnis, namun di balik itu, ada sisi lain yang tak terungkap dengan jelas. Sisi yang mungkin, menurut Arissa, lebih manusiawi, lebih rapuh. Itu adalah sisi yang menarik dan menantangnya, tapi juga yang paling berbahaya.

Ketika pintu ruangannya terbuka beberapa detik kemudian, Arissa menoleh dan mendapati salah satu kolega kliniknya berdiri di ambang pintu.

"Ada apa, Lina?" tanya Arissa, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.

Lina, seorang asisten yang bekerja di klinik, masuk sambil membawa secangkir teh hangat. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya sambil meletakkan teh di meja.

Arissa tersenyum tipis, mencoba untuk terlihat tenang. "Ya, hanya sedikit lelah setelah sesi tadi."

Lina duduk di kursi seberang meja dan menatap Arissa dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Itu bukan klien biasa, kan? Aku dengar kamu melayani Nathaniel Alvaro. CEO Alvaro Group?"

Arissa menatapnya terkejut. "Kamu tahu?"

Lina tertawa kecil, "Seluruh kota tahu, Arissa. Siapa yang tidak mengenal Nathaniel Alvaro? Dia adalah pembicaraan utama di kalangan orang-orang kaya. Tidak heran kalau kamu merasa canggung, dia memang terkenal sulit didekati."

Arissa merasa pipinya memerah, meski ia berusaha untuk tetap tenang. "Dia hanya klien biasa," jawabnya, mencoba menepis perasaan canggung itu. "Kami hanya bekerja bersama seperti halnya terapis dengan klien lain."

Lina mengangkat alis, jelas tidak percaya. "Tentu saja. Hanya klien biasa. Tapi kamu merasa ada yang berbeda, kan? Aku bisa melihatnya di wajahmu."

Arissa menghela napas panjang. "Aku rasa kamu benar. Ada sesuatu yang berbeda tentang dia. Tapi aku harus tetap profesional. Aku tidak ingin terlibat dalam masalah pribadi atau perasaan dengan klien."

Lina menatapnya dengan serius. "Hati-hati, Arissa. Terkadang, seseorang seperti Nathaniel bisa sangat memengaruhi hidupmu tanpa kamu sadari. Banyak orang yang terjebak dalam pesona dunia bisnis dan kekuatan seperti itu."

Arissa mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku akan berhati-hati."

Namun, dalam hati Arissa, keraguan itu masih ada. Meskipun dia berusaha menjaga jarak, entah mengapa, Nathaniel terus hadir dalam pikirannya. Sifatnya yang tenang, tapi tegas, yang penuh dengan misteri dan ketegangan, begitu berbeda dari siapa pun yang pernah ia temui sebelumnya. Setiap kali ia menutup mata, gambaran wajah Nathaniel muncul, membuatnya terperangkap dalam keraguan yang lebih dalam.

Hari berikutnya, Nathaniel kembali ke klinik, seperti yang sudah ia janjikan. Arissa merasa sedikit terkejut, meskipun ia sudah tahu bahwa pria itu akan datang kembali. Pagi itu, dia menyiapkan diri untuk sesi lain dengan penuh kehati-hatian. Ia sudah bertekad untuk menjaga batas profesional dan tidak membiarkan dirinya terjebak dalam permainan emosional yang lebih dalam.

Begitu Nathaniel masuk, suasana menjadi sedikit canggung, meskipun sudah lebih familiar. Wajahnya masih terlihat lelah, namun kali ini ada perubahan kecil. Ia tidak langsung berbicara tentang pekerjaan atau tekanan bisnisnya, sebaliknya, ia lebih santai, duduk di kursi tunggu dengan sikap yang lebih kalem.

"Saya ingin berbicara sebentar, Arissa," katanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya.

Arissa mengangguk, sedikit bingung, "Ada apa, Nathaniel?"

"Saya merasa ada banyak yang belum saya ungkapkan tentang diri saya," Nathaniel mulai berbicara, menatap Arissa dengan serius. "Saya tahu kita hanya bertemu dalam konteks profesional, tetapi saya ingin lebih terbuka dengan Anda. Saya mulai merasa bahwa Anda mungkin bisa membantu saya lebih dari yang saya duga."

Arissa sedikit terkejut dengan pernyataannya. "Nathaniel, kita sudah sepakat bahwa hubungan kita hanya sebatas pekerjaan. Saya hanya di sini untuk membantu Anda."

Nathaniel menghela napas, tampaknya kecewa dengan respons Arissa. "Saya tahu itu. Tapi saya juga ingin Anda tahu bahwa saya menghargai lebih dari sekadar jasa pijat Anda, Arissa. Saya merasa nyaman berada di dekat Anda, meskipun saya tahu saya tidak boleh berharap lebih."

Arissa merasa sebuah ketegangan yang mendalam antara mereka berdua. Kata-kata Nathaniel mengingatkannya pada hal-hal yang ia coba hindari—keinginan untuk terhubung lebih dalam dengan seseorang yang seharusnya tidak terlibat dalam hidupnya. Namun, di sisi lain, ia merasa simpati terhadap Nathaniel yang selalu terbebani oleh tekanan hidup dan pekerjaan.

"Saya tidak ingin membuat Anda merasa canggung, Arissa," lanjut Nathaniel, suaranya semakin lembut. "Tapi saya perlu Anda tahu, Anda berbeda dari orang lain dalam hidup saya."

Arissa menatap Nathaniel dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa ia harus tetap bertahan pada batasannya. "Saya tidak bisa terlibat lebih jauh, Nathaniel. Saya di sini untuk membantu Anda secara profesional, dan itu saja."

Nathaniel terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan, seolah mengerti. "Baiklah. Tapi saya ingin Anda tahu, saya sangat menghargai kehadiran Anda. Anda lebih dari sekadar seorang terapis bagi saya."

Arissa hanya bisa terdiam. Meski ia berusaha untuk menjaga jarak, ia tahu bahwa ia sudah mulai terjebak dalam perasaan yang lebih besar dari sekadar pekerjaan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 10: Keputusan yang Sulit

    Arissa duduk di meja kerjanya, menatap secangkir teh yang kini hampir dingin di depannya. Pikirannya masih berputar-putar tentang percakapan tadi dengan Nathaniel. Hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya, dan meski ia berusaha menenangkan diri, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah keputusan ini benar? Apa yang akan terjadi jika ia setuju untuk menjadi terapis pribadi Nathaniel?Ia menghela napas panjang. Sebagai seorang terapis yang berkomitmen pada pekerjaannya, ia selalu memegang prinsip untuk menjaga profesionalisme dalam segala hal. Namun, tawaran Nathaniel berbeda. Ia bukan hanya seorang klien biasa. Nathaniel adalah CEO sukses dengan dunia bisnis yang rumit dan penuh tekanan, serta seorang pria yang sudah mulai menguji batasan-batasannya. Arissa tahu bahwa kedekatannya dengannya, meskipun hanya dalam kapasitas profesional, bisa menambah beban pada hidupnya yang sudah cukup rumit.Namun, di sisi lain, tawaran itu begitu menggoda. Bayaran yang jauh le

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 11: Tawaran Tak Terduga

    Pagi itu, klinik pijat Arissa tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa pelanggan reguler sudah menunggu di ruang tunggu, dan suasana di dalam klinik penuh dengan percakapan ringan. Arissa, seperti biasa, sibuk melayani klien dengan senyum ramah. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi hari ini.Benar saja, sekitar tengah hari, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan klinik. Dari dalamnya, Nathaniel Alvaro turun dengan langkah percaya diri, mengenakan setelan jas rapi yang membuatnya terlihat seperti sosok yang tak tersentuh. Kehadirannya langsung menarik perhatian para pelanggan dan staf di klinik. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria tampan dan berkarisma itu.Arissa, yang baru saja selesai dengan klien terakhirnya, memandang ke arah pintu depan dan hampir terdiam melihat Nathaniel. Ia merasa aneh melihat pria itu datang di siang hari, terutama dengan penampi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 12: Menegakkan Prinsip

    Arissa duduk di meja kerjanya di apartemen kecilnya, kontrak dari Nathaniel terbuka di hadapannya. Pikirannya dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang bertentangan. Di satu sisi, angka bayaran dalam kontrak itu sangat menggoda, sesuatu yang bisa membantunya mengubah hidup. Namun, di sisi lain, beberapa syarat dalam kontrak tersebut membuatnya merasa tidak nyaman, terutama bagian yang mengharuskannya selalu siaga kapan pun Nathaniel membutuhkannya.Ia membaca ulang salah satu klausul dalam kontrak:"Terapis wajib memberikan prioritas penuh pada klien, tanpa memandang waktu atau lokasi."Arissa menghela napas panjang. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan terikat dalam pekerjaan seperti itu, apalagi dengan seseorang seperti Nathaniel Alvaro. Ia tahu betapa kerasnya dunia kerja pria itu, tetapi ia tidak ingin kehilangan kendali atas hidupnya sendiri hanya karena uang.Diskusi dengan MariaKeesokan harinya, di ru

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-29
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 13: Sebuah Pendekatan Baru

    Nathaniel duduk di ruang kerjanya yang luas, jendela besar di belakangnya menampilkan pemandangan kota yang berkilauan. Tapi pikirannya jauh dari pemandangan itu. Ia memikirkan Arissa—wanita yang tidak hanya menolak tawarannya tetapi juga melakukannya dengan sopan dan tegas.Nathaniel mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, sesuatu yang jarang ia lakukan. Penolakan itu terasa aneh baginya. Selama ini, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, entah itu dalam bisnis atau kehidupan pribadi. Namun, untuk pertama kalinya, seseorang menolaknya tanpa rasa takut.“Dia berbeda,” gumamnya pelan.Refleksi NathanielSambil menyandarkan diri di kursinya, Nathaniel teringat kata-kata Arissa. Cara dia berbicara, dengan nada yang penuh rasa hormat tetapi tak tergoyahkan, meninggalkan kesan mendalam.Nathaniel memanggil asistennya, James, masuk ke ruangan. James adalah satu dari sedikit orang yang bisa ia percayai sepenuhnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-30
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 14: Dilema Arissa

    Arissa duduk di sofa kecil di ruang tamu apartemennya yang sederhana, memandangi dokumen yang ia bawa pulang dari klinik. Dokumen itu bukanlah kontrak Nathaniel, tetapi laporan pengeluaran klinik yang menunjukkan betapa tipisnya margin keuntungan yang mereka hasilkan setiap bulan. Pikiran tentang bagaimana tawaran Nathaniel dapat mengubah situasinya terus menghantui.Dia menarik napas panjang, mengeluarkan ponsel, dan menelepon sahabatnya, Lila.“Arissa! Akhirnya kau meneleponku. Aku sudah lama ingin tahu bagaimana kabarmu,” kata Lila dengan suara ceria di seberang telepon.Arissa tersenyum tipis meski sahabatnya tidak bisa melihat. “Aku baik-baik saja, Lil. Tapi... ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”“Sepertinya serius,” balas Lila, suaranya berubah menjadi lebih perhatian. “Apa yang terjadi?”Selama beberapa menit berikutnya, Arissa menceritakan semua yang terjadi—dari pertemuannya de

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-31
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 15: Pendekatan yang Lebih Personal

    Nathaniel duduk di dalam mobilnya, menatap gedung klinik yang sederhana namun memiliki daya tarik tersendiri baginya. Selama beberapa hari terakhir, ia terus memikirkan Arissa dan sikap tegasnya. Bukan hanya karena keahliannya yang luar biasa, tetapi juga karena kepribadiannya yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya.“Kali ini aku harus berbicara dengan cara yang berbeda,” gumam Nathaniel pelan.Sore itu, Arissa sedang sibuk membantu seorang pelanggan lanjut usia. Ia tak menyadari bahwa Nathaniel telah masuk ke klinik dan duduk di ruang tunggu. Ketika akhirnya ia selesai, ia terkejut menemukan pria itu lagi.“Pak Alvaro?” tanyanya dengan nada sedikit canggung.Nathaniel berdiri dan tersenyum kecil. “Nathaniel saja,” koreksinya lembut. “Aku ingin berbicara sebentar, kalau kau punya waktu.”Meski ragu, Arissa mengangguk. Mereka masuk ke ruang konsultasi yang sama, tempat mereka terakhir berbic

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-31
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 16: Keputusan dengan Batasan

    Arissa duduk di ruang istirahat klinik, menatap kontrak yang telah direvisi di tangannya. Kata-kata dalam dokumen itu terlihat rapi dan terstruktur, namun setiap kalimat terasa memiliki beban yang besar. Ia menghela napas panjang sebelum menutup map tersebut.Lila menghampirinya, membawa secangkir teh. "Jadi, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu."Aku akan menandatangani, Lil," jawab Arissa akhirnya. "Tapi aku sudah memastikan bahwa ada batas-batas yang jelas dalam kontraknya. Aku tidak mau kehilangan kendali atas hidupku hanya karena uang."Lila tersenyum lebar. "Itu keputusan yang bijak. Setidaknya kau menetapkan syarat yang membuatmu nyaman. Jangan biarkan dia mendominasi segalanya."Sore itu, Arissa pergi ke kantor Nathaniel untuk menyampaikan keputusannya. Ini pertama kalinya ia melihat Nathaniel di lingkungannya sendiri—sebuah gedung tinggi yang penuh dengan aura kemewahan dan kesibukan.Arissa me

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 17: Ketegangan yang Meningkat

    Hari pertama Arissa bekerja sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai dengan suasana yang sangat berbeda dari klinik kecil tempat ia biasa bekerja. Rumah Nathaniel, yang terletak di sebuah kawasan elit, tampak megah dengan desain minimalis namun elegan. Ruang tamu yang luas dan penuh dengan perabotan modern memancarkan aura kekuasaan dan prestise. Arissa merasa seperti berada di dunia yang sama sekali berbeda dari yang biasa ia jalani.Ia merasa sedikit canggung, mengenakan pakaian yang lebih formal daripada biasanya, sementara ia mencoba menyesuaikan diri dengan peran barunya. Saat ia tiba, Nathaniel sudah menunggunya di ruang tengah. Dia mengenakan setelan jas gelap yang terlihat sempurna, seperti biasa, dengan ekspresi wajah yang lebih serius dari yang ia ingat."Selamat pagi," Arissa menyapa dengan suara tenang, meskipun di dalam hatinya perasaan tidak nyaman mulai muncul."Selamat pagi, Arissa," jawab Nathaniel, suaranya terdengar lebih dingin dari yang seh

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01

Bab terbaru

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 137 – Luka di Hati Nathaniel

    Ruangan itu terasa sunyi setelah kepergian Damien. Semua orang di dalamnya perlahan mulai kembali ke aktivitas masing-masing, tetapi bagi Nathaniel, dunia seakan berhenti.Ia berdiri di tengah ruangan, matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilalui Damien. Ada sesuatu yang begitu pahit dalam keheningan ini—sebuah perasaan yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata.Arissa memperhatikan Nathaniel dengan penuh kekhawatiran. Pria itu tampak begitu tenang di permukaan, tetapi ia tahu bahwa di dalam hatinya, Nathaniel sedang berjuang dengan emosi yang begitu rumit.Nathaniel telah memenangkan pertempuran ini. Ia telah berhasil melindungi perusahaan, mengungkap pengkhianatan, dan menyingkirkan ancaman dari dalam. Namun, mengapa ia tidak merasakan kelegaan?Seharusnya ia merasa puas. Seharusnya ia bisa merayakan keberhasilannya. Namun, yang ia rasakan hanyalah kehampaan.Nathaniel menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba meredakan ketegangan di dadanya. “Seh

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 144 – Kejatuhan Damien

    Langit di luar terlihat mendung, seolah mencerminkan ketegangan yang memenuhi ruang rapat utama perusahaan. Semua pemegang saham, dewan direksi, dan eksekutif utama sudah berkumpul, menanti pertemuan yang telah diumumkan secara mendadak oleh Nathaniel.Damien duduk di salah satu kursi panjang di dekat ujung meja. Raut wajahnya tetap tenang, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di matanya. Ia tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi, tapi ia masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik sikap percaya diri yang dibuat-buat.Di sisi lain ruangan, Nathaniel berdiri tegap di depan layar presentasi, ekspresinya penuh ketegasan. Di sampingnya, Arissa duduk dengan berkas-berkas yang telah ia kumpulkan selama beberapa hari terakhir. Inilah saatnya untuk mengungkap segalanya.Nathaniel menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara dengan suara lantang.“Hari ini, kita berkumpul bukan hanya untuk membahas masa depan perusahaan, tetapi juga untuk mengungkap sesuatu yang selama i

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 143 – Keberanian Arissa

    Ketegangan di ruangan itu begitu pekat hingga terasa menyesakkan. Arissa bisa merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, tetapi ia menolak untuk mundur. Saat ini, Nathaniel membutuhkan keberaniannya lebih dari sebelumnya.Nathaniel berdiri tegap, tetapi Arissa tahu hatinya pasti berantakan. Menghadapi pengkhianatan dari saudaranya sendiri adalah luka yang jauh lebih dalam daripada sekadar pertempuran bisnis. Dan kini, ia harus menjadi orang yang mengungkap semuanya, meskipun itu berarti memperburuk hubungan Nathaniel dengan keluarganya sendiri.Arissa menarik napas dalam, menatap Damien yang masih berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku tidak ingin berada dalam situasi ini, Damien," katanya dengan suara tenang, tetapi tegas. "Aku lebih suka melihat kalian tetap menjadi saudara yang saling mendukung. Tapi setelah semua yang kau lakukan, aku tidak bisa diam saja."Damien mendengus. "Kau pikir kau siapa, Arissa? Ini bukan urusanmu.""Aku adalah seseorang yang pedu

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 134 – Pertarungan Saudara

    Nathaniel dan Damien berdiri berhadapan, kedua pria itu saling menatap dengan sorot mata tajam yang penuh emosi.Tak ada lagi kehangatan di antara mereka. Tak ada lagi rasa persaudaraan yang dulu pernah mereka banggakan.Nathaniel mengepalkan tangannya erat. Ia tidak pernah menyangka bahwa hari di mana ia harus menghadapi Damien seperti ini akan tiba."Kau benar-benar sudah berubah," kata Nathaniel dengan suara berat, mencoba menekan amarah yang mendidih di dalam dirinya.Damien tertawa kecil, nada suaranya penuh sarkasme. "Aku tidak berubah, Nathaniel. Aku hanya akhirnya berhenti menjadi bayanganmu.""Tapi dengan cara seperti ini?" Nathaniel balas bertanya dengan nada tak percaya. "Mengkhianati keluarga? Bekerja sama dengan Markus, orang yang selama ini ingin menghancurkan kita?"Damien mendengus. "Keluarga? Kata itu tidak pernah berarti apa pun untukku. Keluarga yang mana? Keluarga yang selalu mengutamakanmu? Keluarga yang hanya melihatku

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 133 – Konfrontasi Dua Saudara

    Ruangan terasa begitu sunyi meskipun ketegangan memenuhi udara. Nathaniel berdiri tegak di depan Damien, menatap langsung ke mata lelaki yang selama ini ia anggap sebagai saudara kandungnya. Wajahnya tidak menunjukkan amarah yang meledak-ledak, tetapi dingin, tajam, dan penuh kekecewaan.Damien, di sisi lain, terlihat lebih santai. Ia bersandar pada kursinya dengan tangan terlipat di dada, seolah tidak terpengaruh oleh tatapan menusuk Nathaniel. Namun, matanya mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—campuran antara kebencian, kelelahan, dan sedikit rasa bersalah.Mereka telah menghindari konfrontasi ini cukup lama. Tapi malam ini, semuanya harus diselesaikan."Apa yang kau inginkan, Damien?" suara Nathaniel terdengar tenang, tetapi dingin.Damien mengangkat bahu. "Akhirnya kau memutuskan untuk bertanya." Ia terkekeh kecil sebelum melanjutkan, "Bukankah seharusnya aku yang bertanya? Apa yang kau inginkan, Nathaniel? Kau sudah memiliki segalanya—kekuasaan,

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 132 – Luka yang Tak Terhindarkan

    Nathaniel duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke luar jendela. Malam telah larut, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian yang baru saja terjadi. Pengkhianatan Damien bukan hanya menghancurkan kepercayaannya, tetapi juga merobek bagian terdalam dari hatinya.Saudara kandungnya sendiri.Orang yang selama ini ia lindungi.Orang yang selalu ia anggap sebagai keluarga—ternyata menikamnya dari belakang tanpa ragu.Tangannya mengepal di atas meja, buku-buku jarinya memutih karena tekanan yang ia berikan. Emosi dalam dirinya bergejolak seperti badai yang siap menghancurkan segalanya. Ia ingin marah, ingin berteriak, ingin menghancurkan sesuatu. Tetapi di saat yang bersamaan, ada rasa hampa yang begitu dalam, seolah-olah seluruh dunia di sekitarnya kehilangan warnanya.Arissa berdiri di ambang pintu, memperhatikan Nathaniel dalam keheningan. Ia tahu bahwa pria itu sedang berada di titik terendahnya saat ini. Luka karena dikhi

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 131 – Kebenaran yang Menyakitkan

    Arissa duduk di ruang kerjanya, menatap berkas-berkas di depannya dengan perasaan campur aduk. Sejak menemukan bukti pengkhianatan Damien, hatinya terasa begitu berat. Ia tahu bahwa kebenaran ini akan menghancurkan Nathaniel, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan pria yang dicintainya terus percaya pada seseorang yang diam-diam menikamnya dari belakang.Tangannya gemetar saat mengambil dokumen terakhir—rekaman transaksi rahasia yang menghubungkan Damien dengan Markus. Tidak ada lagi ruang untuk keraguan. Fakta-fakta ini terlalu jelas untuk diabaikan.Arissa memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berdiri. Sudah saatnya ia memberi tahu Nathaniel.Nathaniel berada di ruang kerja pribadinya ketika Arissa mengetuk pintu. Pria itu terlihat sibuk, tetapi begitu melihat ekspresi serius di wajah Arissa, ia segera meletakkan dokumen yang sedang dibacanya."Ada apa?" tanyanya, suaranya tetap tenang, tetapi sorot matanya tajam, menyadari bahwa sesuatu yang penting a

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 130 – Pengkhianatan Tak Terduga

    Arissa menatap layar laptopnya dengan napas tertahan. Tangannya sedikit gemetar saat ia membaca serangkaian pesan terenkripsi yang baru saja berhasil dipecahkan oleh tim investigasi. Pesan-pesan itu bukan hanya bukti transaksi mencurigakan, tetapi juga percakapan rahasia antara seseorang di dalam perusahaan dengan Markus.Setiap kata yang tertulis di sana seperti belati yang menusuk dada Arissa. Ia tidak pernah menyangka bahwa pengkhianatnya adalah seseorang yang begitu dekat dengan Nathaniel.Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya sebelum melanjutkan membaca. Salah satu pesan terakhir yang ditemukan berbunyi:"Segera pastikan Nathaniel kehilangan dukungan dewan. Aku akan urus sisanya."Dan pengirimnya… adalah Damien.Arissa terhenyak. Damien, saudara kandung Nathaniel sendiri?Arissa selalu tahu bahwa hubungan Nathaniel dan Damien tidak sehangat saudara kandung pada umumnya. Namun, ia tidak pernah berpikir bahwa Damien akan tega melakukan hal seperti ini—mengkhianat

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 129 – Menyingkap Konspirasi

    Setelah semua yang terjadi, Arissa tidak lagi hanya berdiri di sisi Nathaniel sebagai pendukung emosional. Ia kini terlibat secara aktif dalam mencari kebenaran. Markus memang telah kehilangan sebagian besar kekuatannya, tetapi ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya.Arissa duduk di depan laptopnya, membaca ulang dokumen-dokumen yang berhasil dikumpulkan tim investigasi Nathaniel. Matanya menelusuri angka-angka, kontrak, serta transaksi yang mencurigakan.Ia menarik napas dalam-dalam. "Ini tidak masuk akal…" gumamnya.Nathaniel yang baru saja selesai berbicara dengan tim hukumnya menghampiri. "Apa yang kau temukan?""Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kecurangan Markus," jawab Arissa serius. "Beberapa transaksi ini… terlihat seperti manipulasi yang sudah berlangsung lama. Bahkan sebelum Markus mulai menunjukkan ambisinya secara terbuka."Nathaniel mengernyit. "Kau yakin?"Arissa mengangguk. "Ya. Aku pikir Markus bukan satu-satunya dalang dalam semua ini."Sema

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status