"Baiklah, daftar kita untuk kelasnya," kata Arissa, mencium pipi Nathaniel. "Tapi aku juga ingin kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menikmati perjalanan ini—untuk tidak terlalu terjebak dalam rencana dan daftar periksa sehingga kita lupa untuk merasakan kegembiraan dan ketakjuban dari semuanya."
Nathaniel melingkarkan lengannya di pinggang Arissa, menariknya lebih dekat. "Aku berjanji. Dan ngomong-ngomong tentang kegembiraan dan ketakjuban..." Tatapannya berubah menggoda. "Kita mungkin perlu latihan lebih banyak untuk bagian 'mencoba memiliki bayi'."
Arissa tertawa, memutar matanya dengan gaya. "Kamu benar-benar tidak ada harapan, kamu tahu itu?"
"Ya, tapi itulah sebabnya kamu mencintaiku," balas Nathaniel, mencium bibirnya dengan lembut.
Arissa meleleh dalam pelukannya, pikiran tentang bayi dan pernikahan dan masa depan berputar-putar di kepalanya seperti bintang-bintang yang berkilauan. Ada banyak hal yang tidak pasti di masa depan, banyak
"Karena aku mengenalmu," jawab Arissa sederhana. "Dan aku tahu hatimu. Itu saja yang diperlukan."Sepanjang sisa kelas, mereka belajar tentang tahapan kehamilan, proses persalinan, dan perawatan bayi dasar. Instruktur mendorong mereka untuk mempraktikkan mengganti popok pada boneka bayi, membuat Nathaniel dan Arissa tertawa saat mereka berjuang dengan perekat dan posisi yang tepat."Ini lebih sulit dari yang terlihat," kata Nathaniel, akhirnya berhasil mengamankan popok pada boneka."Tunggu sampai bayi sungguhan yang bergerak-gerak dan mungkin menangis," instruktur tertawa."Atau, yang lebih buruk, mungkin buang air saat kamu sedang mengganti popoknya," tambah seorang ayah berpengalaman di kelas, membuat semua orang tertawa.Di akhir kelas, instruktur memberikan mereka masing-masing sebuah jurnal. "Saya mendorong kalian semua untuk mulai menuliskan pikiran, harapan, dan kekhawatiran kalian tentang menjadi orangtua. Ini tidak hanya merupakan cara ya
Angin sore yang sejuk membelai lembut dedaunan di taman kota yang asri. Nathaniel menggenggam tangan Arissa sementara mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dihiasi bunga-bunga musim semi yang bermekaran. Ini adalah taman yang sama di mana beberapa tahun lalu, dengan jantung berdebar dan harapan yang membuncah, Nathaniel berlutut dan meminta Arissa untuk menjadi pendamping hidupnya."Kau ingat bangku itu?" tanya Nathaniel sambil menunjuk sebuah bangku kayu di bawah pohon maple besar yang daunnya mulai menguning.Arissa tersenyum, kenangan indah itu masih terasa segar di benaknya. "Tentu saja. Bagaimana mungkin aku lupa? Kau begitu gugup hingga nyaris menjatuhkan cincinnya."Nathaniel tertawa kecil, wajahnya sedikit memerah mengingat momen itu. "Tanganku gemetar tak terkendali. Aku takut kau akan berkata tidak.""Setelah semua yang kita lalui bersama? Kau meragukan jawabanku?" goda Arissa sambil memukul pelan bahu suaminya.Mereka mendekati bangku itu dan duduk, sama seperti yang
"Kau pikir kita siap?" tanya Arissa, campuran kegembiraan dan kekhawatiran terdengar dalam suaranya.Nathaniel tertawa kecil. "Siapa yang benar-benar siap untuk menjadi orang tua? Tapi aku yakin, dengan semua yang telah kita lalui bersama, kita bisa menghadapi tantangan ini juga."Arissa tersenyum, hatinya terasa hangat memikirkan kemungkinan itu. "Aku suka ide itu, Nate. Sangat suka."Nathaniel mencium lembut bibir Arissa, sebuah ciuman yang menyimpan seribu janji untuk masa depan mereka. "Kalau begitu, mari kita mulai petualangan baru ini," bisiknya tepat di telinga Arissa.Senja mulai turun, menyelimuti taman dengan cahaya keemasan yang magis. Bayangan mereka memanjang di atas rumput, berpadu menjadi satu seperti kehidupan yang telah mereka rajut bersama. Nathaniel bangkit dari bangku, mengulurkan tangannya kepada Arissa."Mau berjalan-jalan lagi?" tawarnya.Arissa menerima uluran tangan itu, dan mereka kembali menyusuri jalan setapak taman yang mulai lengang. Sekelebat kenangan ma
"Entahlah. Hanya firasat." Nathaniel mengangkat bahunya. "Dia terdengar... berbeda. Lebih bersemangat dari biasanya.""Hmm, menarik. Kita akan tahu nanti, kurasa."Setelah beberapa puluh menit, makan malam pun siap. Mereka menata meja dengan rapi, menyalakan lilin untuk menambah suasana romantis, dan menuangkan anggur merah ke dalam gelas kristal—hadiah pernikahan dari paman Nathaniel."Untuk kita," Nathaniel mengangkat gelasnya untuk bersulang."Dan untuk masa depan kita," tambah Arissa, menyentuhkan gelasnya ke gelas Nathaniel.Mereka menikmati makan malam dengan santai, berbicara tentang berbagai hal—mulai dari pasien kecil Arissa yang akhirnya sembuh setelah perjuangan panjang, hingga proyek baru yang sedang dikerjakan oleh tim Nathaniel. Pembicaraan mengalir dengan mudah, diselingi tawa dan momen-momen reflektif.Setelah makan malam dan pencuci mulut, mereka duduk bersama di sofa ruang tamu. Nathaniel menyalakan musik klasik favoritnya, sementara Arissa menyandarkan kepalanya di
"Selamat malam, Nate."Ketika Nathaniel sudah tertidur lelap, Arissa masih terjaga, menatap langit-langit kamar mereka. Hatinya dipenuhi dengan berbagai emosi—kegembiraan, antisipasi, dan sedikit kecemasan. Tapi di atas semua itu, ada perasaan damai yang mendalam, sebuah keyakinan bahwa apa pun yang terjadi di masa depan, mereka akan menghadapinya bersama.Ia melirik ke samping, mengamati wajah suaminya yang terlelap. Dalam cahaya samar-samar yang masuk melalui jendela, Nathaniel terlihat damai dan tampan, seperti hari pertama mereka bertemu. Arissa tersenyum, merasa sangat bersyukur atas kehadiran pria ini dalam hidupnya.Dengan pikiran penuh harapan untuk masa depan, Arissa pun akhirnya terlelap, bermimpi tentang tawa anak-anak dan tahun-tahun bahagia yang menanti mereka di depan.Pagi datang dengan cahaya matahari yang menembus tirai kamar mereka. Arissa terbangun lebih dulu, seperti biasa. Ia menghabiskan beberapa menit hanya untuk mengamati Nat
Hari-hari berikutnya diisi dengan diskusi-diskusi tentang rencana mereka. Mereka membicarakan tentang kemungkinan pindah ke rumah yang lebih besar, tentang persiapan finansial, dan tentang bagaimana mereka akan menyeimbangkan karir dengan tanggung jawab sebagai orang tua.Pada Sabtu sore, mereka mengunjungi sebuah kompleks perumahan yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Dengan bantuan seorang agen real estate, mereka melihat-lihat beberapa rumah yang masih dalam tahap pembangunan."Yang ini memiliki tiga kamar tidur," jelas sang agen, menunjukkan denah rumah yang cukup luas. "Halaman belakangnya juga cukup besar, sempurna untuk anak-anak bermain."Arissa dan Nathaniel saling berpandangan, keduanya membayangkan bagaimana kehidupan mereka akan terlihat di rumah itu. Membayangkan suara tawa anak-anak memenuhi setiap sudut rumah, membayangkan pagi-pagi yang sibuk dengan persiapan sekolah, dan malam-malam yang tenang saat mereka berkumpul bersama di ruang keluarga
"Itu berita luar biasa," Robert menepuk-nepuk bahu Nathaniel dengan bangga. "Kalian akan menjadi orang tua yang hebat, aku yakin itu.""Kalian yakin ini saat yang tepat?" tanya Elizabeth, masih dengan air mata haru di wajahnya. "Dengan karir kalian yang sedang berkembang?""Tidak ada waktu yang sempurna untuk memiliki anak, Bu," jawab Arissa bijak. "Tapi kami merasa siap. Kami sudah membicarakan ini dengan matang.""Dan kami akan saling mendukung, seperti yang selalu kami lakukan," tambah Nathaniel, menatap istrinya dengan penuh cinta.Elizabeth dan Robert saling berpandangan, keduanya terlihat sangat bahagia dengan berita ini. "Kalian tahu," kata Elizabeth setelah beberapa saat, "ayah kalian dan aku sangat menantikan saat menjadi kakek dan nenek. Dan sekarang, meskipun kami akan pindah ke Florida, kami berjanji akan hadir dalam setiap momen penting pertumbuhan cucu kami.""Kami akan sering berkunjung," Robert meyakinkan. "Atau kalian bisa membawa
Arissa berjalan masuk ke klinik pijat kecil tempatnya bekerja. Dinding yang mulai kusam dan aroma minyak esensial yang menenangkan sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Klinik ini bukan tempat mewah, tetapi baginya, ini adalah rumah kedua."Pagi, Arissa! Datang lebih awal lagi, ya?" sapa Lina, rekan kerjanya, sambil menata handuk di rak.Arissa tersenyum kecil. "Seperti biasa, kan? Lebih baik bersiap sebelum klien datang."Ia segera menata meja pijat, mempersiapkan minyak aromaterapi, dan memastikan setiap ruangan bersih dan nyaman. Meskipun kerja keras ini melelahkan, ia melakukannya dengan tulus. Pekerjaan ini bukan sekadar mata pencaharian, tetapi juga caranya membantu orang lain menemukan ketenangan.Hari itu, klinik cukup ramai. Klien datang dengan berbagai keluhan, dan Arissa dengan sabar mendengarkan serta meredakan ketegangan mereka. Salah satu kliennya, seorang wanita muda yang baru pertama kali berkunjung, tampak ragu-ragu saat duduk di ruang tunggu."Ini pertama kalinya s
"Itu berita luar biasa," Robert menepuk-nepuk bahu Nathaniel dengan bangga. "Kalian akan menjadi orang tua yang hebat, aku yakin itu.""Kalian yakin ini saat yang tepat?" tanya Elizabeth, masih dengan air mata haru di wajahnya. "Dengan karir kalian yang sedang berkembang?""Tidak ada waktu yang sempurna untuk memiliki anak, Bu," jawab Arissa bijak. "Tapi kami merasa siap. Kami sudah membicarakan ini dengan matang.""Dan kami akan saling mendukung, seperti yang selalu kami lakukan," tambah Nathaniel, menatap istrinya dengan penuh cinta.Elizabeth dan Robert saling berpandangan, keduanya terlihat sangat bahagia dengan berita ini. "Kalian tahu," kata Elizabeth setelah beberapa saat, "ayah kalian dan aku sangat menantikan saat menjadi kakek dan nenek. Dan sekarang, meskipun kami akan pindah ke Florida, kami berjanji akan hadir dalam setiap momen penting pertumbuhan cucu kami.""Kami akan sering berkunjung," Robert meyakinkan. "Atau kalian bisa membawa
Hari-hari berikutnya diisi dengan diskusi-diskusi tentang rencana mereka. Mereka membicarakan tentang kemungkinan pindah ke rumah yang lebih besar, tentang persiapan finansial, dan tentang bagaimana mereka akan menyeimbangkan karir dengan tanggung jawab sebagai orang tua.Pada Sabtu sore, mereka mengunjungi sebuah kompleks perumahan yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Dengan bantuan seorang agen real estate, mereka melihat-lihat beberapa rumah yang masih dalam tahap pembangunan."Yang ini memiliki tiga kamar tidur," jelas sang agen, menunjukkan denah rumah yang cukup luas. "Halaman belakangnya juga cukup besar, sempurna untuk anak-anak bermain."Arissa dan Nathaniel saling berpandangan, keduanya membayangkan bagaimana kehidupan mereka akan terlihat di rumah itu. Membayangkan suara tawa anak-anak memenuhi setiap sudut rumah, membayangkan pagi-pagi yang sibuk dengan persiapan sekolah, dan malam-malam yang tenang saat mereka berkumpul bersama di ruang keluarga
"Selamat malam, Nate."Ketika Nathaniel sudah tertidur lelap, Arissa masih terjaga, menatap langit-langit kamar mereka. Hatinya dipenuhi dengan berbagai emosi—kegembiraan, antisipasi, dan sedikit kecemasan. Tapi di atas semua itu, ada perasaan damai yang mendalam, sebuah keyakinan bahwa apa pun yang terjadi di masa depan, mereka akan menghadapinya bersama.Ia melirik ke samping, mengamati wajah suaminya yang terlelap. Dalam cahaya samar-samar yang masuk melalui jendela, Nathaniel terlihat damai dan tampan, seperti hari pertama mereka bertemu. Arissa tersenyum, merasa sangat bersyukur atas kehadiran pria ini dalam hidupnya.Dengan pikiran penuh harapan untuk masa depan, Arissa pun akhirnya terlelap, bermimpi tentang tawa anak-anak dan tahun-tahun bahagia yang menanti mereka di depan.Pagi datang dengan cahaya matahari yang menembus tirai kamar mereka. Arissa terbangun lebih dulu, seperti biasa. Ia menghabiskan beberapa menit hanya untuk mengamati Nat
"Entahlah. Hanya firasat." Nathaniel mengangkat bahunya. "Dia terdengar... berbeda. Lebih bersemangat dari biasanya.""Hmm, menarik. Kita akan tahu nanti, kurasa."Setelah beberapa puluh menit, makan malam pun siap. Mereka menata meja dengan rapi, menyalakan lilin untuk menambah suasana romantis, dan menuangkan anggur merah ke dalam gelas kristal—hadiah pernikahan dari paman Nathaniel."Untuk kita," Nathaniel mengangkat gelasnya untuk bersulang."Dan untuk masa depan kita," tambah Arissa, menyentuhkan gelasnya ke gelas Nathaniel.Mereka menikmati makan malam dengan santai, berbicara tentang berbagai hal—mulai dari pasien kecil Arissa yang akhirnya sembuh setelah perjuangan panjang, hingga proyek baru yang sedang dikerjakan oleh tim Nathaniel. Pembicaraan mengalir dengan mudah, diselingi tawa dan momen-momen reflektif.Setelah makan malam dan pencuci mulut, mereka duduk bersama di sofa ruang tamu. Nathaniel menyalakan musik klasik favoritnya, sementara Arissa menyandarkan kepalanya di
"Kau pikir kita siap?" tanya Arissa, campuran kegembiraan dan kekhawatiran terdengar dalam suaranya.Nathaniel tertawa kecil. "Siapa yang benar-benar siap untuk menjadi orang tua? Tapi aku yakin, dengan semua yang telah kita lalui bersama, kita bisa menghadapi tantangan ini juga."Arissa tersenyum, hatinya terasa hangat memikirkan kemungkinan itu. "Aku suka ide itu, Nate. Sangat suka."Nathaniel mencium lembut bibir Arissa, sebuah ciuman yang menyimpan seribu janji untuk masa depan mereka. "Kalau begitu, mari kita mulai petualangan baru ini," bisiknya tepat di telinga Arissa.Senja mulai turun, menyelimuti taman dengan cahaya keemasan yang magis. Bayangan mereka memanjang di atas rumput, berpadu menjadi satu seperti kehidupan yang telah mereka rajut bersama. Nathaniel bangkit dari bangku, mengulurkan tangannya kepada Arissa."Mau berjalan-jalan lagi?" tawarnya.Arissa menerima uluran tangan itu, dan mereka kembali menyusuri jalan setapak taman yang mulai lengang. Sekelebat kenangan ma
Angin sore yang sejuk membelai lembut dedaunan di taman kota yang asri. Nathaniel menggenggam tangan Arissa sementara mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dihiasi bunga-bunga musim semi yang bermekaran. Ini adalah taman yang sama di mana beberapa tahun lalu, dengan jantung berdebar dan harapan yang membuncah, Nathaniel berlutut dan meminta Arissa untuk menjadi pendamping hidupnya."Kau ingat bangku itu?" tanya Nathaniel sambil menunjuk sebuah bangku kayu di bawah pohon maple besar yang daunnya mulai menguning.Arissa tersenyum, kenangan indah itu masih terasa segar di benaknya. "Tentu saja. Bagaimana mungkin aku lupa? Kau begitu gugup hingga nyaris menjatuhkan cincinnya."Nathaniel tertawa kecil, wajahnya sedikit memerah mengingat momen itu. "Tanganku gemetar tak terkendali. Aku takut kau akan berkata tidak.""Setelah semua yang kita lalui bersama? Kau meragukan jawabanku?" goda Arissa sambil memukul pelan bahu suaminya.Mereka mendekati bangku itu dan duduk, sama seperti yang
"Karena aku mengenalmu," jawab Arissa sederhana. "Dan aku tahu hatimu. Itu saja yang diperlukan."Sepanjang sisa kelas, mereka belajar tentang tahapan kehamilan, proses persalinan, dan perawatan bayi dasar. Instruktur mendorong mereka untuk mempraktikkan mengganti popok pada boneka bayi, membuat Nathaniel dan Arissa tertawa saat mereka berjuang dengan perekat dan posisi yang tepat."Ini lebih sulit dari yang terlihat," kata Nathaniel, akhirnya berhasil mengamankan popok pada boneka."Tunggu sampai bayi sungguhan yang bergerak-gerak dan mungkin menangis," instruktur tertawa."Atau, yang lebih buruk, mungkin buang air saat kamu sedang mengganti popoknya," tambah seorang ayah berpengalaman di kelas, membuat semua orang tertawa.Di akhir kelas, instruktur memberikan mereka masing-masing sebuah jurnal. "Saya mendorong kalian semua untuk mulai menuliskan pikiran, harapan, dan kekhawatiran kalian tentang menjadi orangtua. Ini tidak hanya merupakan cara ya
"Baiklah, daftar kita untuk kelasnya," kata Arissa, mencium pipi Nathaniel. "Tapi aku juga ingin kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menikmati perjalanan ini—untuk tidak terlalu terjebak dalam rencana dan daftar periksa sehingga kita lupa untuk merasakan kegembiraan dan ketakjuban dari semuanya."Nathaniel melingkarkan lengannya di pinggang Arissa, menariknya lebih dekat. "Aku berjanji. Dan ngomong-ngomong tentang kegembiraan dan ketakjuban..." Tatapannya berubah menggoda. "Kita mungkin perlu latihan lebih banyak untuk bagian 'mencoba memiliki bayi'."Arissa tertawa, memutar matanya dengan gaya. "Kamu benar-benar tidak ada harapan, kamu tahu itu?""Ya, tapi itulah sebabnya kamu mencintaiku," balas Nathaniel, mencium bibirnya dengan lembut.Arissa meleleh dalam pelukannya, pikiran tentang bayi dan pernikahan dan masa depan berputar-putar di kepalanya seperti bintang-bintang yang berkilauan. Ada banyak hal yang tidak pasti di masa depan, banyak
"Itu rencana yang bagus," Sophie tersenyum. "Hanya saja, bersiaplah untuk fleksibel. Hidup memiliki caranya sendiri untuk mengejutkanmu.""Seperti Lily?" tanya Arissa, mengingat bahwa Sophie pernah bercerita bahwa kehamilannya tidak direncanakan, meskipun sangat diinginkan.Sophie tertawa pelan. "Tepat sekali. Daniel dan aku masih ingin menunggu setahun lagi, tapi kemudian Lily memutuskan bahwa dia sudah siap untuk bergabung dengan kami." Dia menatap putrinya dengan penuh cinta. "Dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia sekarang."Arissa meraih tangan kecil Lily, terpesona dengan jari-jari mungilnya yang sempurna. "Dia benar-benar indah, Soph.""Dia memang indah," Sophie setuju. "Tapi aku tidak akan berbohong padamu, Ris. Enam bulan pertama ini... sulit. Sangat sulit. Kurang tidur, ASI yang tidak lancar, kolik yang membuat Lily menangis selama berjam-jam... ada hari-hari di mana aku hampir kehilangan akal sehatku."Arissa menatap sahabatnya