Hari-hari berikutnya diisi dengan diskusi-diskusi tentang rencana mereka. Mereka membicarakan tentang kemungkinan pindah ke rumah yang lebih besar, tentang persiapan finansial, dan tentang bagaimana mereka akan menyeimbangkan karir dengan tanggung jawab sebagai orang tua.
Pada Sabtu sore, mereka mengunjungi sebuah kompleks perumahan yang tidak terlalu jauh dari pusat kota. Dengan bantuan seorang agen real estate, mereka melihat-lihat beberapa rumah yang masih dalam tahap pembangunan.
"Yang ini memiliki tiga kamar tidur," jelas sang agen, menunjukkan denah rumah yang cukup luas. "Halaman belakangnya juga cukup besar, sempurna untuk anak-anak bermain."
Arissa dan Nathaniel saling berpandangan, keduanya membayangkan bagaimana kehidupan mereka akan terlihat di rumah itu. Membayangkan suara tawa anak-anak memenuhi setiap sudut rumah, membayangkan pagi-pagi yang sibuk dengan persiapan sekolah, dan malam-malam yang tenang saat mereka berkumpul bersama di ruang keluarga
"Itu berita luar biasa," Robert menepuk-nepuk bahu Nathaniel dengan bangga. "Kalian akan menjadi orang tua yang hebat, aku yakin itu.""Kalian yakin ini saat yang tepat?" tanya Elizabeth, masih dengan air mata haru di wajahnya. "Dengan karir kalian yang sedang berkembang?""Tidak ada waktu yang sempurna untuk memiliki anak, Bu," jawab Arissa bijak. "Tapi kami merasa siap. Kami sudah membicarakan ini dengan matang.""Dan kami akan saling mendukung, seperti yang selalu kami lakukan," tambah Nathaniel, menatap istrinya dengan penuh cinta.Elizabeth dan Robert saling berpandangan, keduanya terlihat sangat bahagia dengan berita ini. "Kalian tahu," kata Elizabeth setelah beberapa saat, "ayah kalian dan aku sangat menantikan saat menjadi kakek dan nenek. Dan sekarang, meskipun kami akan pindah ke Florida, kami berjanji akan hadir dalam setiap momen penting pertumbuhan cucu kami.""Kami akan sering berkunjung," Robert meyakinkan. "Atau kalian bisa membawa
"Cheers," kata Nathaniel, mengangkat botol birnya. "Untuk rumah baru dan awal baru.""Untuk rumah baru dan awal baru," ulang Arissa, menyentuhkan botolnya ke botol Nathaniel.Mereka minum dalam diam, menikmati ketenangan setelah hari yang sibuk. Dari jendela besar di ruang tamu, mereka bisa melihat langit malam yang dipenuhi bintang-bintang, jauh lebih jelas dari yang bisa mereka lihat dari apartemen lama mereka di pusat kota."Indah, bukan?" bisik Nathaniel, mengikuti arah pandang Arissa."Sangat indah," jawab Arissa, tersenyum kecil. "Aku senang kita memutuskan untuk pindah ke sini.""Aku juga." Nathaniel meletakkan botol birnya, lalu meraih tangan Arissa. "Arissa, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.""Oh?" Arissa menoleh, penasaran.Nathaniel merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua. "Aku tahu ini mungkin sedikit klise, memberikan hadiah di rumah baru... tapi aku ingin memberikan ini sebagai si
Pagi itu, Nathaniel terbangun dengan perasaan yang berbeda. Sudut-sudut kamar yang besar itu diterangi oleh cahaya matahari yang lembut menembus tirai jendela. Di sampingnya, Arissa masih tertidur pulas, rambut hitamnya menyebar di atas bantal putih, wajahnya damai seperti lukisan sempurna.Ini sudah dua bulan sejak mereka mengucapkan janji pernikahan di hadapan keluarga dan teman-teman. Dua bulan yang terasa seperti mimpi indah yang tak pernah ingin ia bangunkan. Nathaniel tersenyum, mengamati istrinya dengan penuh kasih. Dahulu, saat-saat seperti ini—bangun pagi tanpa terburu-buru memeriksa email atau menghadiri rapat—terasa seperti pemborosan waktu baginya. Kini, momen-momen hening inilah yang paling ia hargai."Apa yang kau lihat?" tanya Arissa lembut, matanya perlahan terbuka."Keajaiban," jawab Nathaniel singkat, tangannya membelai pipi Arissa dengan lembut.Arissa tersenyum, lalu menggeser tubuhnya lebih dekat pada suaminya. "Kau tahu, dulu aku tidak pernah berpikir seorang Nat
"Tapi itu berarti kita harus melakukan restrukturisasi besar-besaran, termasuk PHK terhadap ratusan karyawan lokal," lanjut Nathaniel, menunjukkan pemahaman mendalam terhadap situasi tersebut.Robert mengangguk. "Dahulu, kau mungkin akan langsung menerima tawaran ini tanpa ragu. Keuntungan besar, ekspansi pasar, nilai saham yang melonjak."Nathaniel tersenyum tipis. "Dan sekarang kau tidak yakin dengan keputusan apa yang akan kuambil?""Terus terang, ya. Kau... berbeda sejak menikah dengan Arissa."Nathaniel bersandar di kursinya, tatapannya menerawang ke luar jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian."Kau tahu, Robert, dulu aku berpikir menjadi pemimpin berarti mengambil keputusan sulit yang tidak semua orang bisa terima. Mengutamakan profit dan pertumbuhan di atas segalanya." Nathaniel berhenti sejenak. "Tapi sekarang aku mengerti bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang dampak keputusan kita terhadap kehidupan orang lain.""Jadi
"Tapi itu... itu proyek besar, Nathaniel. Butuh investasi sangat besar.""Aku tahu," Nathaniel mengangguk. "Aku sudah bicara dengan tim keuangan. Kita bisa mengalokasikan 35% keuntungan tahunan perusahaan untuk ini, plus sumbangan dari jaringan pengusaha yang kukenal. Dalam lima tahun, universitas ini bisa beroperasi penuh."Arissa menatap suaminya dengan kagum. Dulu, Nathaniel selalu berbicara tentang merger, akuisisi, dan pertumbuhan profit. Sekarang, pria yang sama berbicara dengan semangat yang sama besarnya tentang memberikan pendidikan bagi mereka yang kurang beruntung."Kau benar-benar telah berubah," kata Arissa lembut, tangannya meraih tangan Nathaniel di atas meja."Bukan berubah, sayang. Hanya kembali pada diriku yang sesungguhnya," jawab Nathaniel. "Kau tahu, ayahku membesarkanku dengan keyakinan bahwa nilai seorang pria diukur dari kesuksesannya dalam bisnis. Saat dia meninggal dan aku mewarisi perusahaan di usia muda, aku merasa harus membuk
Nathaniel tertawa kecil. "Hati yang sangat pandai bersembunyi, maksudmu. Butuh seorang Arissa Wijaya untuk menemukannya."Ponsel Nathaniel berbunyi, menampilkan nama Robert di layar. Dengan sedikit helaan napas, Nathaniel mengangkatnya."Robert, ada kabar?""Goldstein setuju dengan syarat kita, Nat," kata Robert dari seberang, suaranya terdengar tidak percaya. "Mereka akan mempertahankan 90% tenaga kerja lokal dan menjamin tidak ada PHK dalam dua tahun pertama."Nathaniel tersenyum lebar. "Bagus. Siapkan dokumen finalnya. Kita akan menandatanganinya minggu depan."Setelah menutup telepon, Nathaniel berbalik pada Arissa yang menatapnya dengan penasaran."Kabar baik?" tanya Arissa."Kabar terbaik," jawab Nathaniel. "Goldstein Corp setuju dengan semua syarat kita. Tidak ada karyawan yang akan kehilangan pekerjaan."Arissa menghampiri Nathaniel dan memeluknya erat. "Aku sangat bangga padamu.""Ini berkat kau, Arissa. Kau yan
"Persis seperti yang kau ajarkan padaku," kata Nathaniel, mengecup lembut pipi istrinya.Saat mereka sedang mengobrol dengan kepala proyek konstruksi, ponsel Nathaniel berbunyi. Nomor tidak dikenal muncul di layar, tapi Nathaniel tetap mengangkatnya."Nathaniel Kingston," jawabnya formal.Suara di seberang terdengar familiar, namun Nathaniel tak bisa segera mengingatnya. "Mr. Kingston, ini Marcus Williams dari Global Humanitarian Award Foundation. Saya menelepon untuk memberitahu bahwa Anda dan istri Anda, Ny. Arissa Kingston, terpilih sebagai penerima Global Humanitarian Award tahun ini atas dedikasi luar biasa dalam bidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat."Nathaniel terdiam sejenak, terkejut dengan kabar tersebut. "Saya... terima kasih, Mr. Williams. Ini kehormatan besar bagi kami."Setelah mendapat detail lebih lanjut dan menutup telepon, Nathaniel berbalik pada Arissa yang menatapnya penasaran."Siapa itu?" tanya Arissa."M
“Terima kasih, Arissa," kata Nathaniel tiba-tiba, suaranya menjadi serius."Untuk apa?""Untuk tidak menyerah padaku. Untuk melihat kebaikan dalam diriku bahkan ketika aku sendiri tidak melihatnya." Nathaniel berhenti, menatap dalam mata istrinya. "Kau bisa dengan mudah membenciku dan pergi, tapi kau memilih untuk tetap dan memperjuangkan apa yang kau yakini. Dan dalam prosesnya, kau menyelamatkanku dari kehidupan tanpa makna yang kujalani."Arissa mengulurkan tangannya, menyentuh lembut pipi Nathaniel. "Aku tidak menyelamatkanmu, Nathaniel. Kau yang menyelamatkan dirimu sendiri. Aku hanya menunjukkan jalan.""Dan itu jalan terbaik yang pernah kutempuh," kata Nathaniel, membawa tangan Arissa ke bibirnya dan mengecupnya lembut. "Bersamamu."Enam bulan berlalu sejak malam penganugerahan itu. Kampus Kingston-Wijaya University hampir selesai dibangun, dan Nathaniel mulai mendelegasikan lebih banyak tanggung jawab di Kingston Enterprise untuk foku
"Selamat siang semua," sapa Arissa dengan senyum hangat. "Hari ini kita akan mulai dengan pemahaman dasar tentang aliran energi dalam tubuh. Mari kita lihat apa yang telah kalian pelajari dari bacaan yang saya berikan minggu lalu."Selama satu jam berikutnya, Arissa memimpin diskusi yang hidup tentang titik-titik akupresur dan jalur meridian. Ia menekankan pentingnya pemahaman teoritis sebelum mereka mulai mempraktikkan teknik pijat."Ingat," katanya sambil menunjuk ke model anatomi, "pijat bukan hanya tentang menghilangkan ketegangan otot. Ini tentang memahami bagaimana tubuh bekerja sebagai satu kesatuan. Ketika kalian menekan titik ini," ia menunjuk ke titik di belakang telinga pada model, "kalian tidak hanya meredakan sakit kepala, tetapi juga membantu keseimbangan sistem dalam tubuh secara keseluruhan."Para siswa mencatat dengan tekun. Arissa dapat melihat ketulusan dan keinginan untuk belajar di mata mereka—mata yang sama seperti yang ia miliki bertahun-tahun lalu ketika ia sen
Arissa, di sisi lain, terus berkembang dalam kariernya. Klinik pijat yang dulu hanya menjadi impian, kini menjadi salah satu tempat terkemuka yang sangat dicari banyak orang. Dengan pengalaman dan dedikasinya, Arissa berhasil membawa kliniknya ke tingkat yang lebih tinggi. Selain itu, ia juga mulai memberikan pelatihan kepada para terapis muda, mengajarkan mereka tentang pentingnya empati dan perhatian dalam memberikan perawatan.Setiap pagi, Arissa bangun dengan perasaan yang berbeda dari masa lalunya. Tidak ada lagi beban yang menindih dadanya, tidak ada kekhawatiran tentang bagaimana ia akan membayar tagihan bulan depan. Kini, ketika ia melangkah masuk ke kliniknya yang dinamai "Sentuhan Hati", sebuah kebanggaan yang tak terkatakan selalu menyapanya."Selamat pagi, Bu Arissa," sapa Dewi, resepsionis yang telah bekerja dengannya sejak tahun pertama klinik dibuka. Gadis muda dengan senyum ramah itu kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kesuksesan Sentuhan Hati."Pagi, Dewi.
“Terima kasih, Arissa," kata Nathaniel tiba-tiba, suaranya menjadi serius."Untuk apa?""Untuk tidak menyerah padaku. Untuk melihat kebaikan dalam diriku bahkan ketika aku sendiri tidak melihatnya." Nathaniel berhenti, menatap dalam mata istrinya. "Kau bisa dengan mudah membenciku dan pergi, tapi kau memilih untuk tetap dan memperjuangkan apa yang kau yakini. Dan dalam prosesnya, kau menyelamatkanku dari kehidupan tanpa makna yang kujalani."Arissa mengulurkan tangannya, menyentuh lembut pipi Nathaniel. "Aku tidak menyelamatkanmu, Nathaniel. Kau yang menyelamatkan dirimu sendiri. Aku hanya menunjukkan jalan.""Dan itu jalan terbaik yang pernah kutempuh," kata Nathaniel, membawa tangan Arissa ke bibirnya dan mengecupnya lembut. "Bersamamu."Enam bulan berlalu sejak malam penganugerahan itu. Kampus Kingston-Wijaya University hampir selesai dibangun, dan Nathaniel mulai mendelegasikan lebih banyak tanggung jawab di Kingston Enterprise untuk foku
"Persis seperti yang kau ajarkan padaku," kata Nathaniel, mengecup lembut pipi istrinya.Saat mereka sedang mengobrol dengan kepala proyek konstruksi, ponsel Nathaniel berbunyi. Nomor tidak dikenal muncul di layar, tapi Nathaniel tetap mengangkatnya."Nathaniel Kingston," jawabnya formal.Suara di seberang terdengar familiar, namun Nathaniel tak bisa segera mengingatnya. "Mr. Kingston, ini Marcus Williams dari Global Humanitarian Award Foundation. Saya menelepon untuk memberitahu bahwa Anda dan istri Anda, Ny. Arissa Kingston, terpilih sebagai penerima Global Humanitarian Award tahun ini atas dedikasi luar biasa dalam bidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat."Nathaniel terdiam sejenak, terkejut dengan kabar tersebut. "Saya... terima kasih, Mr. Williams. Ini kehormatan besar bagi kami."Setelah mendapat detail lebih lanjut dan menutup telepon, Nathaniel berbalik pada Arissa yang menatapnya penasaran."Siapa itu?" tanya Arissa."M
Nathaniel tertawa kecil. "Hati yang sangat pandai bersembunyi, maksudmu. Butuh seorang Arissa Wijaya untuk menemukannya."Ponsel Nathaniel berbunyi, menampilkan nama Robert di layar. Dengan sedikit helaan napas, Nathaniel mengangkatnya."Robert, ada kabar?""Goldstein setuju dengan syarat kita, Nat," kata Robert dari seberang, suaranya terdengar tidak percaya. "Mereka akan mempertahankan 90% tenaga kerja lokal dan menjamin tidak ada PHK dalam dua tahun pertama."Nathaniel tersenyum lebar. "Bagus. Siapkan dokumen finalnya. Kita akan menandatanganinya minggu depan."Setelah menutup telepon, Nathaniel berbalik pada Arissa yang menatapnya dengan penasaran."Kabar baik?" tanya Arissa."Kabar terbaik," jawab Nathaniel. "Goldstein Corp setuju dengan semua syarat kita. Tidak ada karyawan yang akan kehilangan pekerjaan."Arissa menghampiri Nathaniel dan memeluknya erat. "Aku sangat bangga padamu.""Ini berkat kau, Arissa. Kau yan
"Tapi itu... itu proyek besar, Nathaniel. Butuh investasi sangat besar.""Aku tahu," Nathaniel mengangguk. "Aku sudah bicara dengan tim keuangan. Kita bisa mengalokasikan 35% keuntungan tahunan perusahaan untuk ini, plus sumbangan dari jaringan pengusaha yang kukenal. Dalam lima tahun, universitas ini bisa beroperasi penuh."Arissa menatap suaminya dengan kagum. Dulu, Nathaniel selalu berbicara tentang merger, akuisisi, dan pertumbuhan profit. Sekarang, pria yang sama berbicara dengan semangat yang sama besarnya tentang memberikan pendidikan bagi mereka yang kurang beruntung."Kau benar-benar telah berubah," kata Arissa lembut, tangannya meraih tangan Nathaniel di atas meja."Bukan berubah, sayang. Hanya kembali pada diriku yang sesungguhnya," jawab Nathaniel. "Kau tahu, ayahku membesarkanku dengan keyakinan bahwa nilai seorang pria diukur dari kesuksesannya dalam bisnis. Saat dia meninggal dan aku mewarisi perusahaan di usia muda, aku merasa harus membuk
"Tapi itu berarti kita harus melakukan restrukturisasi besar-besaran, termasuk PHK terhadap ratusan karyawan lokal," lanjut Nathaniel, menunjukkan pemahaman mendalam terhadap situasi tersebut.Robert mengangguk. "Dahulu, kau mungkin akan langsung menerima tawaran ini tanpa ragu. Keuntungan besar, ekspansi pasar, nilai saham yang melonjak."Nathaniel tersenyum tipis. "Dan sekarang kau tidak yakin dengan keputusan apa yang akan kuambil?""Terus terang, ya. Kau... berbeda sejak menikah dengan Arissa."Nathaniel bersandar di kursinya, tatapannya menerawang ke luar jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketinggian."Kau tahu, Robert, dulu aku berpikir menjadi pemimpin berarti mengambil keputusan sulit yang tidak semua orang bisa terima. Mengutamakan profit dan pertumbuhan di atas segalanya." Nathaniel berhenti sejenak. "Tapi sekarang aku mengerti bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang dampak keputusan kita terhadap kehidupan orang lain.""Jadi
Pagi itu, Nathaniel terbangun dengan perasaan yang berbeda. Sudut-sudut kamar yang besar itu diterangi oleh cahaya matahari yang lembut menembus tirai jendela. Di sampingnya, Arissa masih tertidur pulas, rambut hitamnya menyebar di atas bantal putih, wajahnya damai seperti lukisan sempurna.Ini sudah dua bulan sejak mereka mengucapkan janji pernikahan di hadapan keluarga dan teman-teman. Dua bulan yang terasa seperti mimpi indah yang tak pernah ingin ia bangunkan. Nathaniel tersenyum, mengamati istrinya dengan penuh kasih. Dahulu, saat-saat seperti ini—bangun pagi tanpa terburu-buru memeriksa email atau menghadiri rapat—terasa seperti pemborosan waktu baginya. Kini, momen-momen hening inilah yang paling ia hargai."Apa yang kau lihat?" tanya Arissa lembut, matanya perlahan terbuka."Keajaiban," jawab Nathaniel singkat, tangannya membelai pipi Arissa dengan lembut.Arissa tersenyum, lalu menggeser tubuhnya lebih dekat pada suaminya. "Kau tahu, dulu aku tidak pernah berpikir seorang Nat
"Cheers," kata Nathaniel, mengangkat botol birnya. "Untuk rumah baru dan awal baru.""Untuk rumah baru dan awal baru," ulang Arissa, menyentuhkan botolnya ke botol Nathaniel.Mereka minum dalam diam, menikmati ketenangan setelah hari yang sibuk. Dari jendela besar di ruang tamu, mereka bisa melihat langit malam yang dipenuhi bintang-bintang, jauh lebih jelas dari yang bisa mereka lihat dari apartemen lama mereka di pusat kota."Indah, bukan?" bisik Nathaniel, mengikuti arah pandang Arissa."Sangat indah," jawab Arissa, tersenyum kecil. "Aku senang kita memutuskan untuk pindah ke sini.""Aku juga." Nathaniel meletakkan botol birnya, lalu meraih tangan Arissa. "Arissa, ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.""Oh?" Arissa menoleh, penasaran.Nathaniel merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua. "Aku tahu ini mungkin sedikit klise, memberikan hadiah di rumah baru... tapi aku ingin memberikan ini sebagai si