Home / Romansa / Pijatan Nikmat Sang CEO / Bab 7: Pertemuan yang Tak Terduga

Share

Bab 7: Pertemuan yang Tak Terduga

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-01-26 10:42:00

Nathaniel Alvaro duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan penting. Namun, matanya tidak fokus pada layar komputernya atau grafik yang terus bergerak. Semua itu tampak kabur baginya. Pikirannya kembali pada sesi pijat yang ia terima beberapa hari lalu—pijat sederhana, namun memiliki efek yang lebih mendalam daripada yang bisa ia bayangkan.

Biasanya, ia adalah sosok yang selalu mengendalikan segala hal di sekitar dirinya. Namun, ada sesuatu tentang Arissa—sesuatu yang membuatnya merasa lebih manusiawi. Sifat Arissa yang lembut, namun kuat, memancarkan ketenangan yang selama ini sulit ia temukan di dunia kerjanya yang penuh dengan tekanan. Bahkan ketika ia berusaha untuk tetap kaku dan menjaga jarak, Arissa tak pernah memberi ruang untuk ketegangan itu berkembang lebih jauh.

“Kenapa aku terus memikirkan itu?” Nathaniel bergumam pelan, menggoyangkan kepalanya seakan berusaha menyingkirkan pikiran itu. Namun, semakin ia mencoba untuk melupakan, semakin kuat perasaan itu kembali muncul.

Sudah beberapa hari sejak kunjungannya ke klinik kecil itu, dan meskipun ia sibuk dengan rutinitas perusahaannya yang padat, pikirannya masih melayang pada Arissa. Sesuatu dalam dirinya merasa aneh, seolah ada kaitan yang lebih dalam dengan terapis muda itu daripada sekadar pertemuan bisnis atau kebetulan.

“Seharusnya aku tidak perlu peduli,” pikir Nathaniel. Namun, seiring berjalannya waktu, keinginan untuk kembali ke klinik itu semakin kuat. Tubuhnya terasa lebih rileks, dan pikirannya lebih tenang setelah sesi pijat itu. Bahkan tekanan dari dewan direksi dan persaingan bisnis yang selalu membebaninya tampak sedikit lebih ringan.

Setelah beberapa detik diam, Nathaniel akhirnya menarik napas dalam-dalam dan meraih telepon genggamnya. Tanpa berpikir panjang, ia mencari nomor klinik Arissa dan menekan tombol panggil.

Arissa sedang merapikan ruangannya setelah beberapa pasien lainnya meninggalkan klinik. Saat ia menyelesaikan pekerjaannya, ponselnya berdering. Melihat nomor yang muncul di layar, hatinya sedikit berdegup kencang. Itu adalah nomor yang dikenalnya.

“Arissa,” suara Nathaniel terdengar di ujung telepon, tenang dan penuh ketegasan. “Saya ingin membuat janji untuk sesi pijat lagi. Apakah kamu tersedia hari ini?”

Arissa sedikit terkejut, tetapi mencoba untuk tetap tenang. “Tentu, Nathaniel. Ada waktu yang tepat bagi Anda?”

“Pukul enam sore. Saya akan datang setelah bekerja,” jawab Nathaniel tanpa keraguan. Suaranya terdengar sedikit lebih santai dari biasanya, meskipun masih ada rasa keseriusan dalam kata-katanya.

“Baiklah. Saya akan menunggu Anda,” jawab Arissa, mencoba menyembunyikan rasa terkejut dan rasa ingin tahunya.

Setelah menutup telepon, Arissa merasa sedikit bingung. Ia tidak pernah mengira bahwa Nathaniel akan kembali begitu cepat. Meskipun ia merasa senang bisa memberikan kenyamanan bagi seorang pria seperti Nathaniel, ia juga tidak bisa menghindari rasa penasaran yang semakin tumbuh dalam dirinya. Apa yang sebenarnya membuatnya kembali? Apakah hanya karena pijatan itu, atau ada alasan lain?

Ketika malam tiba dan Nathaniel muncul di klinik, Arissa sudah siap. Kali ini, suasana terasa sedikit berbeda. Meskipun mereka berdua telah melalui satu sesi bersama sebelumnya, ada ketegangan yang masih terasa di antara mereka. Mungkin ini karena kedekatan yang terjalin meski hanya dalam ruang pijat yang sederhana.

Nathaniel memasuki ruangan dengan langkah tenang, mengenakan jas hitam yang tetap membuatnya terlihat berkelas meski dalam suasana santai. Ia menatap Arissa dengan sedikit keraguan, seolah mencari tahu apakah ia benar-benar siap untuk merasakan ketenangan lagi.

“Selamat malam, Arissa,” kata Nathaniel, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

“Selamat malam, Nathaniel. Silakan duduk dan bersantai. Saya akan mulai segera,” jawab Arissa, meskipun dalam hatinya ada sedikit perasaan cemas.

Setelah Nathaniel duduk di atas meja pijat, Arissa mulai mempersiapkan perlengkapannya. Ia bekerja dengan cekatan, namun tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kehadiran Nathaniel kali ini terasa lebih penuh makna. Mungkin ia juga merasa lebih canggung, meski mencoba untuk tetap menjaga profesionalisme.

Saat pijatan dimulai, suasana di ruangan itu terasa lebih tenang daripada sebelumnya. Nathaniel menutup matanya dan menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Beberapa menit berlalu, dan Arissa merasakan perubahan dalam tubuhnya. Nathaniel lebih santai, lebih terbuka pada kenyamanan, seolah ia mulai melepaskan ketegangan yang selama ini membebaninya.

“Ini... lebih baik dari yang saya kira,” ujar Nathaniel, membuka matanya sejenak dan tersenyum kecil. “Saya merasa lebih tenang.”

Arissa hanya tersenyum, meskipun hatinya sedikit berdebar. "Senang bisa membantu," jawabnya singkat, berusaha fokus pada pekerjaannya.

Namun, meskipun suasana kini terasa lebih santai, Arissa tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang lebih besar antara mereka. Nathaniel yang selalu tampak begitu terkendali, kini terlihat sedikit lebih rapuh dan manusiawi.

Dan bagi Arissa, itu adalah sebuah sisi baru dari Nathaniel yang ingin ia pahami lebih jauh. Namun, ia tahu bahwa ia harus berhati-hati. Dunia mereka begitu berbeda. Ia tidak bisa terlalu terlarut dalam perasaan ini, meskipun seiring berjalannya waktu, ia merasa lebih sulit untuk menjaga jarak.

Saat pijatan selesai, Nathaniel berdiri, merasakan tubuhnya yang kembali terasa lebih ringan. “Terima kasih, Arissa,” katanya, kali ini lebih tulus. “Kamu benar-benar tahu apa yang saya butuhkan.”

Arissa tersenyum kecil, merasa sedikit lebih lega. “Senang bisa membantu, Nathaniel. Semoga ini bisa membuat hari-hari Anda lebih baik.”

Nathaniel berdiri di sana untuk sesaat, seakan ragu untuk pergi. “Saya... saya akan kembali. Saya rasa saya perlu lebih sering datang ke sini.”

Arissa menatapnya dengan ragu. “Tentu saja. Anda selalu diterima di sini.”

Nathaniel mengangguk, namun sebelum berbalik untuk pergi, ia menambahkan satu kalimat yang membuat Arissa terdiam.

“Terima kasih telah membuat saya merasa seperti manusia biasa, Arissa.”

Arissa merasa seolah ada sesuatu yang lebih besar dari kata-kata itu. Namun, ia tetap mengangguk, berusaha menyembunyikan perasaan yang tiba-tiba muncul.

Ketika Nathaniel keluar dari klinik dan melangkah kembali ke dunia luar yang penuh tekanan, Arissa merasa seolah pintu yang tertutup rapat selama ini sedikit terbuka. Tapi apakah ia siap untuk menghadapinya? Waktu yang akan menjawab.

Bab 7: Pertemuan yang Tak Terduga (Lanjutan)

Arissa berdiri di depan pintu klinik, menatap ke arah jalan yang kosong setelah Nathaniel pergi. Pikirannya berkecamuk, seolah dunia di luar klinik itu begitu jauh dari kehidupannya yang sederhana. Meskipun Nathaniel sudah pergi, atmosfer di klinik masih terasa berbeda—lebih berat, namun penuh dengan rasa penasaran yang sulit untuk ditepis.

Ia mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaan, menyelesaikan beberapa catatan dan membersihkan ruangan. Namun, pikirannya terus kembali pada pria itu. Nathaniel Alvaro, CEO muda yang tampaknya memiliki segala yang diinginkan dunia—kekayaan, kekuasaan, dan status. Namun, ia baru saja merasakan sisi yang lebih rapuh dari pria itu, sebuah sisi yang jarang terlihat oleh orang lain.

Arissa menyandarkan punggungnya pada dinding klinik, mengingat kata-kata Nathaniel yang terakhir. “Terima kasih telah membuat saya merasa seperti manusia biasa.” Kata-kata itu terasa begitu dalam, seolah-olah menyentuh bagian dari dirinya yang selama ini tersembunyi. Ia tahu bahwa dalam setiap kata itu, ada sebuah kejujuran yang jarang ia temui di dunia yang selalu mengutamakan tampilan luar.

Namun, Arissa juga tahu bahwa perasaan ini—perasaan ingin mengetahui lebih banyak tentang Nathaniel—adalah perasaan yang harus ia kendalikan. Ia tidak bisa terbawa arus. Dunia mereka sangat berbeda. Nathaniel memiliki kehidupan yang penuh dengan ketegangan dan tekanan yang tidak bisa ia bayangkan. Sedangkan ia hanya seorang terapis pijat yang menjalani hidup sederhana dan penuh tantangan. Bagaimana mungkin dua dunia yang begitu jauh bisa bersatu?

“Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang belum pasti,” Arissa bergumam pada dirinya sendiri, berusaha untuk mengusir kebingungannya.

Sambil membersihkan meja dan menyiapkan ruangan untuk sesi berikutnya, ia berusaha menyibukkan diri. Namun, meskipun ia berusaha keras, wajah Nathaniel terus muncul dalam pikirannya—suaranya, tatapannya, dan senyum kecil yang hampir tak terlihat saat ia berterima kasih.

Keesokan harinya, Arissa kembali ke klinik seperti biasa, mencoba untuk mengabaikan perasaan yang muncul setelah pertemuannya dengan Nathaniel. Namun, tak dapat dipungkiri, setiap kali seseorang menyebutkan nama Nathaniel Alvaro, ia merasakan sedikit getaran di dalam dirinya.

Selama beberapa hari berikutnya, Nathaniel tidak kembali ke klinik. Arissa merasa sedikit lega, tetapi juga ada rasa kekosongan yang aneh. Apakah ia sudah salah menilai hubungan yang begitu singkat itu? Atau apakah perasaan ini hanya sekadar perasaan sementara yang muncul karena ketegangan yang ia rasakan selama sesi pijat?

Namun, kemudian, tanpa diduga, Nathaniel kembali.

Pagi itu, saat Arissa sedang merapikan beberapa perlengkapan pijat, ia mendengar pintu klinik terbuka. Ia menoleh dan melihat Nathaniel berjalan masuk dengan langkah pasti. Namun, kali ini, penampilannya sedikit berbeda. Tidak hanya wajahnya yang terlihat lebih segar, tapi ada sesuatu dalam cara dia berjalan—lebih santai, lebih terbuka.

“Arissa,” suara Nathaniel terdengar lembut namun penuh makna. “Apakah kamu bisa meluangkan waktu untuk saya lagi?”

Arissa tersentak, merasakan sebuah perasaan campur aduk. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang. “Tentu saja, Nathaniel. Saya bisa melayani Anda lagi.”

Nathaniel mengangguk dan duduk di meja pijat seperti sebelumnya, hanya kali ini suasana terasa sedikit lebih nyaman. Ia tidak langsung berbicara, tetapi Arissa bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Mungkin dia mulai merasa lebih terbuka.

Saat Arissa memulai sesi pijat, suasana kali ini terasa lebih tenang. Nathaniel tidak terlihat terburu-buru, dan Arissa merasa lebih rileks. Mereka berbicara sedikit tentang kehidupan masing-masing—namun hanya hal-hal kecil. Nathaniel jarang berbicara tentang pekerjaannya atau masalahnya yang lebih pribadi, tetapi Arissa bisa merasakan bahwa pria itu sudah mulai merasa lebih nyaman di sekitarnya.

“Sepertinya, ini bukan hanya soal pijat,” ujar Nathaniel setelah beberapa saat berbaring dengan mata terpejam.

Arissa tersenyum ringan, menyelesaikan pijatannya dengan hati-hati. “Terkadang, tubuh kita membutuhkan lebih dari sekadar istirahat fisik, bukan? Kadang kita hanya butuh sedikit waktu untuk berhenti sejenak dari dunia luar.”

Nathaniel mengangguk pelan. “Saya rasa itu benar. Mungkin saya sudah terlalu lama terjebak dalam rutinitas.”

Pijat selesai, dan Arissa membantu Nathaniel bangun dari meja. Kali ini, keduanya saling bertatap mata lebih lama dari biasanya, dan ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka. Sesuatu yang lebih dari sekadar rasa terima kasih atau profesionalisme.

“Terima kasih, Arissa. Saya rasa saya mulai mengerti mengapa orang-orang lebih memilih cara sederhana untuk mengatasi masalah mereka,” kata Nathaniel, masih terlihat sedikit merenung.

Arissa hanya tersenyum, meskipun hatinya sedikit berdebar. “Saya hanya berusaha membantu, Nathaniel. Tidak ada yang lebih dari itu.”

Namun, meskipun ia mencoba untuk tetap rendah hati, ada rasa hangat yang tumbuh di dalam dirinya. Nathaniel mulai membuka dirinya sedikit demi sedikit, meskipun ia masih menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri.

Seperti halnya Nathaniel, Arissa juga merasa sulit untuk mengungkapkan perasaannya yang semakin berkembang. Ia tidak tahu apakah itu hanya ketertarikan sementara atau apakah ia benar-benar ingin lebih dekat dengan pria itu.

Namun, satu hal yang pasti—sesuatu di antara mereka mulai berubah, meskipun mereka belum siap untuk menghadapinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 8: Tawaran yang Menggoda

    Beberapa hari setelah pertemuan keduanya yang penuh dengan ketegangan itu, Nathaniel kembali muncul di klinik. Pagi itu, Arissa sedang sibuk menyusun beberapa catatan dan menyiapkan perlengkapan pijat untuk kliennya yang lain. Ia terkejut saat mendengar suara pintu dibuka, dan untuk kedua kalinya, Nathaniel muncul, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Ia tidak terlihat hanya ingin relaksasi sesaat. Ada tujuan yang jelas, dan ia membawa aura yang lebih serius daripada sebelumnya.Arissa menatapnya sejenak, merasa canggung meski sudah mengenal pria itu lebih baik. "Nathaniel, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, berusaha tetap profesional, meskipun hatinya sedikit berdebar.Nathaniel berdiri di ambang pintu, memandang Arissa dengan tatapan yang penuh ketegasan, tetapi juga ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan. "Saya ingin menawarkan sesuatu kepada Anda," katanya, suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya, seolah menyimpan beban berat.

    Last Updated : 2025-01-26
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 9: Batas yang Tertantang

    Hari pertama sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai. Arissa merasa sedikit cemas, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sejak pagi, ia mempersiapkan ruangan klinik dengan lebih hati-hati dari biasanya. Semua peralatan yang diperlukan sudah siap, dan suasana di dalam ruangannya sudah diatur agar terasa nyaman dan tenang. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitasnya sebagai seorang terapis.Ketika bel pintu berbunyi, Arissa menoleh dan melihat Nathaniel berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang rapi dan wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, dan sesaat suasana menjadi canggung. Arissa mencoba menenangkan diri dan mengingat batas yang telah ia tetapkan sebelumnya.“Selamat sore, Nathaniel,” sapa Arissa dengan nada formal. “Silakan duduk. Sesi ini hanya untuk relaksasi, sesuai dengan kesepakatan kita

    Last Updated : 2025-01-26
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 10: Keputusan yang Sulit

    Arissa duduk di meja kerjanya, menatap secangkir teh yang kini hampir dingin di depannya. Pikirannya masih berputar-putar tentang percakapan tadi dengan Nathaniel. Hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya, dan meski ia berusaha menenangkan diri, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah keputusan ini benar? Apa yang akan terjadi jika ia setuju untuk menjadi terapis pribadi Nathaniel?Ia menghela napas panjang. Sebagai seorang terapis yang berkomitmen pada pekerjaannya, ia selalu memegang prinsip untuk menjaga profesionalisme dalam segala hal. Namun, tawaran Nathaniel berbeda. Ia bukan hanya seorang klien biasa. Nathaniel adalah CEO sukses dengan dunia bisnis yang rumit dan penuh tekanan, serta seorang pria yang sudah mulai menguji batasan-batasannya. Arissa tahu bahwa kedekatannya dengannya, meskipun hanya dalam kapasitas profesional, bisa menambah beban pada hidupnya yang sudah cukup rumit.Namun, di sisi lain, tawaran itu begitu menggoda. Bayaran yang jauh le

    Last Updated : 2025-01-27
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 11: Tawaran Tak Terduga

    Pagi itu, klinik pijat Arissa tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa pelanggan reguler sudah menunggu di ruang tunggu, dan suasana di dalam klinik penuh dengan percakapan ringan. Arissa, seperti biasa, sibuk melayani klien dengan senyum ramah. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi hari ini.Benar saja, sekitar tengah hari, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan klinik. Dari dalamnya, Nathaniel Alvaro turun dengan langkah percaya diri, mengenakan setelan jas rapi yang membuatnya terlihat seperti sosok yang tak tersentuh. Kehadirannya langsung menarik perhatian para pelanggan dan staf di klinik. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria tampan dan berkarisma itu.Arissa, yang baru saja selesai dengan klien terakhirnya, memandang ke arah pintu depan dan hampir terdiam melihat Nathaniel. Ia merasa aneh melihat pria itu datang di siang hari, terutama dengan penampi

    Last Updated : 2025-01-28
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 12: Menegakkan Prinsip

    Arissa duduk di meja kerjanya di apartemen kecilnya, kontrak dari Nathaniel terbuka di hadapannya. Pikirannya dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang bertentangan. Di satu sisi, angka bayaran dalam kontrak itu sangat menggoda, sesuatu yang bisa membantunya mengubah hidup. Namun, di sisi lain, beberapa syarat dalam kontrak tersebut membuatnya merasa tidak nyaman, terutama bagian yang mengharuskannya selalu siaga kapan pun Nathaniel membutuhkannya.Ia membaca ulang salah satu klausul dalam kontrak:"Terapis wajib memberikan prioritas penuh pada klien, tanpa memandang waktu atau lokasi."Arissa menghela napas panjang. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan terikat dalam pekerjaan seperti itu, apalagi dengan seseorang seperti Nathaniel Alvaro. Ia tahu betapa kerasnya dunia kerja pria itu, tetapi ia tidak ingin kehilangan kendali atas hidupnya sendiri hanya karena uang.Diskusi dengan MariaKeesokan harinya, di ru

    Last Updated : 2025-01-29
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 13: Sebuah Pendekatan Baru

    Nathaniel duduk di ruang kerjanya yang luas, jendela besar di belakangnya menampilkan pemandangan kota yang berkilauan. Tapi pikirannya jauh dari pemandangan itu. Ia memikirkan Arissa—wanita yang tidak hanya menolak tawarannya tetapi juga melakukannya dengan sopan dan tegas.Nathaniel mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, sesuatu yang jarang ia lakukan. Penolakan itu terasa aneh baginya. Selama ini, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, entah itu dalam bisnis atau kehidupan pribadi. Namun, untuk pertama kalinya, seseorang menolaknya tanpa rasa takut.“Dia berbeda,” gumamnya pelan.Refleksi NathanielSambil menyandarkan diri di kursinya, Nathaniel teringat kata-kata Arissa. Cara dia berbicara, dengan nada yang penuh rasa hormat tetapi tak tergoyahkan, meninggalkan kesan mendalam.Nathaniel memanggil asistennya, James, masuk ke ruangan. James adalah satu dari sedikit orang yang bisa ia percayai sepenuhnya.

    Last Updated : 2025-01-30
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 14: Dilema Arissa

    Arissa duduk di sofa kecil di ruang tamu apartemennya yang sederhana, memandangi dokumen yang ia bawa pulang dari klinik. Dokumen itu bukanlah kontrak Nathaniel, tetapi laporan pengeluaran klinik yang menunjukkan betapa tipisnya margin keuntungan yang mereka hasilkan setiap bulan. Pikiran tentang bagaimana tawaran Nathaniel dapat mengubah situasinya terus menghantui.Dia menarik napas panjang, mengeluarkan ponsel, dan menelepon sahabatnya, Lila.“Arissa! Akhirnya kau meneleponku. Aku sudah lama ingin tahu bagaimana kabarmu,” kata Lila dengan suara ceria di seberang telepon.Arissa tersenyum tipis meski sahabatnya tidak bisa melihat. “Aku baik-baik saja, Lil. Tapi... ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”“Sepertinya serius,” balas Lila, suaranya berubah menjadi lebih perhatian. “Apa yang terjadi?”Selama beberapa menit berikutnya, Arissa menceritakan semua yang terjadi—dari pertemuannya de

    Last Updated : 2025-01-31
  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 15: Pendekatan yang Lebih Personal

    Nathaniel duduk di dalam mobilnya, menatap gedung klinik yang sederhana namun memiliki daya tarik tersendiri baginya. Selama beberapa hari terakhir, ia terus memikirkan Arissa dan sikap tegasnya. Bukan hanya karena keahliannya yang luar biasa, tetapi juga karena kepribadiannya yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya.“Kali ini aku harus berbicara dengan cara yang berbeda,” gumam Nathaniel pelan.Sore itu, Arissa sedang sibuk membantu seorang pelanggan lanjut usia. Ia tak menyadari bahwa Nathaniel telah masuk ke klinik dan duduk di ruang tunggu. Ketika akhirnya ia selesai, ia terkejut menemukan pria itu lagi.“Pak Alvaro?” tanyanya dengan nada sedikit canggung.Nathaniel berdiri dan tersenyum kecil. “Nathaniel saja,” koreksinya lembut. “Aku ingin berbicara sebentar, kalau kau punya waktu.”Meski ragu, Arissa mengangguk. Mereka masuk ke ruang konsultasi yang sama, tempat mereka terakhir berbic

    Last Updated : 2025-01-31

Latest chapter

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 226: melalui komitmen hati dan jiwa

    "Karena aku mengenalmu," jawab Arissa sederhana. "Dan aku tahu hatimu. Itu saja yang diperlukan."Sepanjang sisa kelas, mereka belajar tentang tahapan kehamilan, proses persalinan, dan perawatan bayi dasar. Instruktur mendorong mereka untuk mempraktikkan mengganti popok pada boneka bayi, membuat Nathaniel dan Arissa tertawa saat mereka berjuang dengan perekat dan posisi yang tepat."Ini lebih sulit dari yang terlihat," kata Nathaniel, akhirnya berhasil mengamankan popok pada boneka."Tunggu sampai bayi sungguhan yang bergerak-gerak dan mungkin menangis," instruktur tertawa."Atau, yang lebih buruk, mungkin buang air saat kamu sedang mengganti popoknya," tambah seorang ayah berpengalaman di kelas, membuat semua orang tertawa.Di akhir kelas, instruktur memberikan mereka masing-masing sebuah jurnal. "Saya mendorong kalian semua untuk mulai menuliskan pikiran, harapan, dan kekhawatiran kalian tentang menjadi orangtua. Ini tidak hanya merupakan cara ya

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 225: Apakah sulit?

    "Baiklah, daftar kita untuk kelasnya," kata Arissa, mencium pipi Nathaniel. "Tapi aku juga ingin kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menikmati perjalanan ini—untuk tidak terlalu terjebak dalam rencana dan daftar periksa sehingga kita lupa untuk merasakan kegembiraan dan ketakjuban dari semuanya."Nathaniel melingkarkan lengannya di pinggang Arissa, menariknya lebih dekat. "Aku berjanji. Dan ngomong-ngomong tentang kegembiraan dan ketakjuban..." Tatapannya berubah menggoda. "Kita mungkin perlu latihan lebih banyak untuk bagian 'mencoba memiliki bayi'."Arissa tertawa, memutar matanya dengan gaya. "Kamu benar-benar tidak ada harapan, kamu tahu itu?""Ya, tapi itulah sebabnya kamu mencintaiku," balas Nathaniel, mencium bibirnya dengan lembut.Arissa meleleh dalam pelukannya, pikiran tentang bayi dan pernikahan dan masa depan berputar-putar di kepalanya seperti bintang-bintang yang berkilauan. Ada banyak hal yang tidak pasti di masa depan, banyak

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 224: Terima kasih

    "Itu rencana yang bagus," Sophie tersenyum. "Hanya saja, bersiaplah untuk fleksibel. Hidup memiliki caranya sendiri untuk mengejutkanmu.""Seperti Lily?" tanya Arissa, mengingat bahwa Sophie pernah bercerita bahwa kehamilannya tidak direncanakan, meskipun sangat diinginkan.Sophie tertawa pelan. "Tepat sekali. Daniel dan aku masih ingin menunggu setahun lagi, tapi kemudian Lily memutuskan bahwa dia sudah siap untuk bergabung dengan kami." Dia menatap putrinya dengan penuh cinta. "Dan aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia sekarang."Arissa meraih tangan kecil Lily, terpesona dengan jari-jari mungilnya yang sempurna. "Dia benar-benar indah, Soph.""Dia memang indah," Sophie setuju. "Tapi aku tidak akan berbohong padamu, Ris. Enam bulan pertama ini... sulit. Sangat sulit. Kurang tidur, ASI yang tidak lancar, kolik yang membuat Lily menangis selama berjam-jam... ada hari-hari di mana aku hampir kehilangan akal sehatku."Arissa menatap sahabatnya

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 223: Aku hanya ingin kita siap

    "Hei, jagoan, kamu tidak apa-apa?" tanyanya lembut, membersihkan debu dari lutut anak itu.Anak laki-laki itu, dengan mata besar dan pipi berisi, mengangguk berani meskipun air mata menggenang di pelupuk matanya. "Aku baik-baik saja, terima kasih, Paman."Seorang wanita berlari mendekat, wajahnya penuh kecemasan. "Oh, Noah! Aku sudah bilang jangan lari terlalu cepat." Dia menatap Nathaniel dengan rasa terima kasih. "Terima kasih sudah membantunya.""Bukan masalah," Nathaniel tersenyum. "Dia anak yang berani."Setelah wanita itu dan anaknya pergi, Arissa menatap Nathaniel dengan senyum penuh arti. "Lihat? Kamu sudah memiliki insting seorang ayah."Nathaniel tersipu. "Itu hanya... refleks, kurasa.""Refleks yang bagus," kata Arissa, mencium pipinya ringan. "Dan ini hanya menguatkan keyakinanku bahwa kamu akan menjadi ayah yang luar biasa suatu hari nanti."Malam itu, ketika mereka berbaring di tempat tidur, pikiran-pikiran tentang masa depan mengisi keheningan di antara mereka. Arissa m

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 222: Kamu... melamarku?

    Minggu-minggu berikutnya, pembicaraan tentang memiliki anak menjadi lebih sering muncul dalam percakapan sehari-hari mereka. Terkadang sebagai lelucon ringan ("Anakmu yang mengajarimu komentar sarkastik seperti itu?"), dan lain kali sebagai diskusi serius tentang nilai-nilai yang ingin mereka tanamkan dan gaya pengasuhan yang mereka yakini.Suatu pagi Minggu, Nathaniel menemukan Arissa membaca artikel tentang persiapan kehamilan di tabletnya."Riset, huh?" godanya, sambil menuangkan kopi untuk mereka berdua.Arissa mengangkat bahu, sedikit tersipu. "Hanya ingin tahu lebih banyak. Tidak ada salahnya bersiap dari sekarang, kan?"Nathaniel duduk di sebelahnya, mengintip artikel tersebut. "Wow, ada banyak yang perlu dipertimbangkan. Suplemen, perubahan pola makan, berhenti minum alkohol...""Ya, ternyata tubuhku perlu dalam kondisi optimal sebelum kita bahkan mencoba," kata Arissa. "Dan itu butuh waktu. Beberapa bulan, setidaknya.""Bagaimana denganku?" tanya Nathaniel. "Maksudku, apa ada

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 221: Masa Depan yang Dibayangkan

    Senja merayap perlahan di jendela apartemen, melukis langit dengan warna oranye dan merah muda yang lembut. Nathaniel duduk di balkon kecil mereka, secangkir kopi hangat di tangannya, matanya menerawang ke kejauhan. Arissa memperhatikannya dari ambang pintu, bersandar di bingkai dengan senyum tipis terpampang di wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri pria itu belakangan ini—sebuah ketenangan yang baru, seolah ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan yang telah lama menghantuinya."Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Arissa lembut, melangkah keluar dan duduk di kursi di sebelahnya.Nathaniel menoleh, matanya bertemu dengan mata Arissa, dan senyumnya melebar. "Masa depan," jawabnya sederhana.Arissa mengangkat alisnya. "Dan apa yang kamu lihat di sana?"Nathaniel meletakkan cangkirnya dan menggenggam tangan Arissa. Tangannya hangat dan kokoh, memberikan perasaan aman yang selalu ia rasakan sejak pertama kali mereka bertemu."Aku melihat kita," katanya pelan. "Kita, membangun

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 220: Pernikahan adalah proses, bukan?

    "Maaf aku terlambat," kata Arissa begitu membuka pintu, menemukan Nathaniel sedang menata meja makan."Hei, tidak apa-apa. Hanya 15 menit," Nathaniel tersenyum, mendekati istrinya dan mengecup keningnya. "Meeting berjalan lancar?"Arissa mendesah. "Tidak seperti yang kuharapkan. Investor punya banyak persyaratan yang... well, cukup mengintervensi.""Ceritakan padaku sambil makan?" Nathaniel menarik kursi untuk Arissa. "Aku membuat carbonara. Dan ada tiramisu untuk pencuci mulut.""Kau yang terbaik," Arissa tersenyum lelah tapi penuh terima kasih.Selama makan malam, Arissa menceritakan tentang meeting dan dilema yang ia hadapi mengenai investasi tersebut. Nathaniel mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan sudut pandang yang berbeda."Bagaimana menurutmu?" tanya Arissa setelah menjelaskan semuanya. "Apakah aku terlalu keras kepala dengan menolak mengubah fokus klinik?"Nathaniel memikirkannya sejenak. "Aku pikir prinsip

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 219: Harmoni dan Tantangan

    Kehidupan pasca-pernikahan mereka dimulai dengan penuh kebahagiaan, meskipun tidak tanpa tantangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari sebagai pasangan suami istri, dan meskipun mereka lebih damai, kadang-kadang ada hal-hal kecil yang menantang mereka. Misalnya, Arissa yang kini harus mengatur waktu antara kliniknya yang semakin berkembang dan peran barunya sebagai istri Nathaniel. Nathaniel juga harus menyeimbangkan kehidupan pribadi dan tanggung jawab yang masih ada di luar bisnis.Pagi itu, Arissa terbangun dengan suara alarm yang berbunyi nyaring di samping tempat tidur. Tangannya meraba-raba meja kecil di samping ranjang untuk mematikan suara yang mengganggu tidurnya. Ketika matanya terbuka sepenuhnya, ia menyadari bahwa sisi ranjang di sampingnya telah kosong. Nathaniel pasti sudah bangun lebih awal. Aroma kopi yang menguar dari arah dapur mengonfirmasi dugaannya."Selamat pagi," sapa Nathaniel dengan senyum hangat ketika Arissa muncul di

  • Pijatan Nikmat Sang CEO   Bab 218: Untuk Istriku, Sahabatku, Cintaku

    "Kau tahu," kata Arissa di sela-sela menonton film ketiga mereka, "dulu aku selalu menganggap hujan sebagai gangguan. Apalagi saat ada rencana outdoor.""Dan sekarang?" tanya Nathaniel, memainkan rambut Arissa yang bersandar di dadanya."Sekarang aku melihatnya sebagai undangan untuk menikmati waktu dengan cara berbeda," jawabnya. "Seperti hari ini. Bagaimana hujan membuat kita menciptakan kenangan yang tidak kalah indahnya dengan hari-hari cerah.""Filosofis sekali, istriku," Nathaniel tersenyum. "Tapi aku setuju. Mungkin itulah yang perlu kita ingat dalam pernikahan—bahwa tidak semua hari akan cerah, dan itu tidak apa-apa. Kita bisa menemukan keindahan bahkan dalam badai sekalipun, selama kita bersama."Malam itu, setelah hujan reda, mereka duduk di beranda dengan secangkir teh hangat. Udara terasa segar setelah hujan seharian, dan langit malam tampak lebih jernih dari biasanya. Nathaniel tiba-tiba mengeluarkan sebuah buku kecil dari sakunya&mdash

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status