Setelah Nathaniel pergi, Arissa merasa sedikit canggung dan bingung. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada sesuatu yang terasa berbeda setiap kali pria itu datang ke kliniknya. Pikirannya terus dipenuhi dengan wajah Nathaniel, sikapnya yang agak kaku namun penuh ketegasan, dan bahkan sedikit ketenangan yang ia rasakan setelah melayani pria itu. Sesi pijat tersebut terasa begitu berbeda dari biasanya.
Arissa berjalan keluar dari ruangannya, mengambil secangkir teh hangat, dan mencoba menenangkan dirinya. Namun, saat melangkah menuju ruang depan klinik, ia mendengar suara percakapan ringan dari beberapa kolega yang sedang berbincang di meja resepsionis.
"Hei, kamu tahu siapa yang baru saja datang kemarin malam?" tanya salah seorang kolega.
"Siapa?" jawab kolega lainnya dengan penasaran.
"Pria itu... yang datang dengan wajah lelah dan tampak sangat penting. Ternyata dia itu Nathaniel Alvaro, CEO Alvaro Group. Kamu tahu, yang sering muncul di berita itu!"
Arissa terhenti sejenak, secangkir teh di tangannya hampir terjatuh. Nathaniel Alvaro? Nama itu seperti menyentak kesadarannya. CEO terkenal yang sering muncul di berita dan menjadi sorotan media? Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa pria yang baru saja ia layani di klinik kecil ini adalah salah satu orang paling berpengaruh di dunia bisnis.
"Sungguh? Nathaniel Alvaro?" tanya kolega lainnya dengan nada terkejut. "Saya dengar dia cukup tertutup, jarang sekali terlihat tanpa pengawalan."
"Benar. Tapi saya dengar dia beberapa kali datang ke sini. Mungkin dia mencari ketenangan dari dunia yang penuh tekanan itu," jawab kolega yang pertama.
Arissa merasa tubuhnya mulai kaku. Pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Tak pernah ia bayangkan bahwa pria yang datang ke kliniknya adalah seorang CEO besar yang dikenal banyak orang. Itu menjelaskan mengapa dia begitu penuh dengan ketegasan dan aura yang sulit didekati. Namun, di sisi lain, itu juga membuat Arissa merasa sedikit tidak nyaman. Bagaimana bisa ia, seorang terapis pijat di klinik kecil, bertemu dengan seorang pria yang memiliki status setinggi itu?
Dengan perlahan, Arissa meletakkan cangkir teh di meja dan melangkah kembali ke ruangannya. Perasaannya campur aduk. Di satu sisi, ia merasa terkejut dan sedikit cemas, namun di sisi lain, ia tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membesar. Apa yang membuat Nathaniel Alvaro datang ke kliniknya? Apa yang dia cari di sini, di tempat yang jauh dari gemerlap dunia bisnisnya yang penuh intrik?
Keesokan harinya, Nathaniel kembali muncul di klinik, seperti yang sudah menjadi kebiasaannya. Namun kali ini, Arissa merasa ada sedikit ketegangan di dalam dirinya. Ia tahu, setelah mendengar gosip itu, bahwa pria ini bukanlah sembarang orang. Sejak pertama kali bertemu, Nathaniel sudah menunjukkan sisi-sisi yang menarik, namun kini, mengetahui siapa sebenarnya dia, membuat Arissa merasa sedikit canggung.
"Selamat pagi, Nathaniel," sapa Arissa dengan suara sedikit lebih hati-hati daripada sebelumnya. "Ada yang bisa saya bantu lagi?"
Nathaniel mengangguk, duduk di kursi ruang tunggu, lalu menatap Arissa dengan tatapan yang penuh perhatian. Meskipun dia tahu bahwa Arissa kini tahu siapa dirinya, ia tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan dalam sikapnya. "Pagi, Arissa. Saya hanya ingin melanjutkan yang kemarin," jawabnya singkat, namun ada sesuatu dalam suaranya yang terasa lebih lembut dibandingkan biasanya.
Arissa mengangguk, mencoba untuk tetap fokus pada tugasnya. "Tentu, silakan berbaring. Saya akan memulai."
Selama sesi pijat berlangsung, Arissa bisa merasakan ketegangan yang berbeda. Nathaniel lebih tenang, namun ada sesuatu yang mengendap di balik ketenangannya. Mungkin, setelah mengetahui bahwa Arissa tahu siapa dirinya, dia merasa lebih terbuka, meskipun tetap menjaga jarak. Arissa sendiri berusaha untuk tetap profesional, meskipun dalam pikirannya muncul banyak pertanyaan tentang pria ini.
Kenapa Nathaniel datang ke sini? Apa yang dia harapkan dari tempat yang sederhana ini? Apakah dia hanya mencari kenyamanan fisik, atau ada sesuatu yang lebih dalam dari itu?
Saat pijatan selesai, Nathaniel berbaring dengan mata tertutup sejenak, menikmati kenyamanan yang diberikan Arissa. Ia tampak lebih rileks daripada sebelumnya, namun dalam hatinya, ia merasakan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu yang berbeda dengan Arissa, sesuatu yang membuatnya merasa lebih manusiawi, lebih nyata. Di balik dunia bisnis yang selalu penuh dengan kalkulasi dan perhitungan, Arissa hadir sebagai oase yang menenangkan, meskipun ia hanyalah seorang terapis pijat di klinik kecil.
"Saya rasa saya akan sering ke sini," kata Nathaniel pelan, tanpa membuka matanya. "Tempat ini... berbeda."
Arissa tersenyum kecil, mencoba untuk tetap tidak terpengaruh oleh kata-kata itu. "Saya senang mendengarnya," jawabnya, meskipun hatinya mulai berdebar.
Setelah beberapa detik keheningan, Nathaniel membuka matanya dan menatap Arissa. "Jangan khawatir," katanya, memberikan senyum tipis. "Saya tidak akan mengganggu."
Arissa hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia merasa bingung dan penuh pertanyaan. Ada sesuatu tentang Nathaniel yang selalu membuatnya ingin tahu lebih banyak, namun ia tahu bahwa ia harus menjaga batas-batas profesionalisme. Dunia mereka terlalu berbeda, dan meskipun ada ketertarikan yang tak bisa dihindari, Arissa sadar bahwa ia tidak bisa terjebak dalam perasaan yang lebih dalam.
Namun, saat Nathaniel meninggalkan klinik, Arissa merasa bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ia tidak tahu bagaimana, tetapi satu hal yang pasti: pria ini telah memasuki hidupnya dengan cara yang tidak bisa ia pahami.
Arissa berdiri di depan pintu klinik, menatap Nathaniel yang semakin menjauh menuju mobil mewahnya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terikat pada pria itu, meskipun ia tahu hubungan mereka harus tetap profesional. Di satu sisi, ia merasa terganggu dengan kenyataan bahwa seorang CEO besar seperti Nathaniel bisa begitu saja datang ke klinik kecilnya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa seperti ada sebuah misteri yang belum terungkap di balik sikap dan ketenangan pria itu.
"Kenapa kamu harus membuatnya rumit seperti ini, Arissa?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Kliniknya sudah sepi, dan saat itulah Arissa merasakan kegelisahan yang tak biasa. Ia berusaha melepaskan perasaan itu dengan kembali menata ruangannya. Namun, bayangan Nathaniel, dengan segala kedalaman tatapannya dan sikap misteriusnya, terus menghantui pikirannya.
Esok harinya, Arissa kembali bekerja dengan rutinitas yang sama. Namun, pagi itu ada sesuatu yang berbeda. Pagi yang seharusnya biasa-biasa saja tiba-tiba terasa lebih tegang. Saat ia baru saja membuka pintu klinik, sosok yang sudah dikenalnya berdiri di sana, menunggu.
Nathaniel Alvaro.
"Selamat pagi, Arissa," sapanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. Ia tidak datang dengan sikap kaku seperti sebelumnya. "Apakah saya mengganggu?"
Arissa tersenyum ragu. "Tidak sama sekali, Nathaniel. Silakan masuk."
Nathaniel berjalan masuk dengan langkah yang tenang, dan Arissa bisa merasakan ada ketegangan yang perlahan berubah menjadi kenyamanan di antara mereka. Tidak ada lagi rasa canggung yang muncul seperti sebelumnya. Meskipun ada batasan yang jelas di antara mereka, ada ketertarikan yang semakin terasa.
"Saya ingin melanjutkan yang kemarin," katanya lagi dengan suara datar, namun ada nada lebih pribadi dalam kalimatnya kali ini.
Arissa mengangguk, merasa sedikit cemas tetapi berusaha profesional. "Baiklah, jika Anda siap, saya akan mulai."
Saat sesi pijat berlangsung, suasana di dalam ruangan terasa sangat berbeda. Nathaniel yang awalnya selalu tampak serius dan terkendali, kini terlihat lebih rileks. Arissa bisa merasakan tubuhnya yang kaku mulai melemas, dan napasnya yang semakin dalam menandakan bahwa ia mulai merasa lebih nyaman.
Tapi meskipun suasana menjadi lebih santai, Arissa tidak bisa mengabaikan ketegangan yang tetap ada di antara mereka. Nathaniel tetaplah seorang pria yang sangat berbeda dari orang kebanyakan. Meskipun ia berada di ruang yang sederhana ini, ia tetap membawa aura kekuasaan dan dominasi yang tidak bisa dihindari.
"Apa yang membuat Anda tertarik datang ke sini?" Arissa akhirnya bertanya, mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang terus mengganggu.
Nathaniel terdiam sejenak, seolah memikirkan jawaban yang tepat. "Kadang, dunia saya terlalu keras. Semua itu terasa sangat dingin. Saya... hanya butuh tempat untuk merasa lebih manusiawi."
Arissa merasa terkejut dengan jawaban itu. Untuk pertama kalinya, Nathaniel membuka sedikit sisi kelemahannya, meskipun ia tetap terlihat menjaga jarak. "Saya mengerti," kata Arissa pelan, berusaha untuk tidak terlalu menunjukkan keterkejutan dalam suaranya.
Nathaniel menghela napas panjang, seolah mengeluarkan beban yang selama ini ia tahan. "Dan saya kira tempat ini adalah satu-satunya tempat yang bisa memberikan ketenangan yang saya butuhkan."
Arissa melanjutkan pijatannya dengan hati-hati, berusaha menyampaikan kenyamanan tanpa menambah ketegangan yang sudah ada. Namun, setiap kali ia menyentuh kulit Nathaniel, ada perasaan yang muncul dalam dirinya yang sulit untuk diungkapkan. Ada perasaan bahwa, meskipun dunia mereka terpisah sangat jauh, mereka berdua memiliki kesamaan dalam hal ketegangan dan pencarian akan ketenangan.
Setelah sesi pijat selesai, Nathaniel duduk sejenak, seolah masih menikmati rasa tenang yang perlahan menguasai tubuhnya. Arissa berdiri di sampingnya, menunggu jika ia membutuhkan sesuatu lagi.
"Saya rasa, saya akan sering datang ke sini," kata Nathaniel dengan suara yang sedikit lebih ringan dari biasanya. "Tempat ini... bisa memberikan saya apa yang tidak bisa saya temukan di tempat lain."
Arissa hanya tersenyum kecil. "Saya senang bisa membantu," jawabnya sederhana.
Nathaniel berdiri, menatap Arissa untuk sejenak. "Terima kasih, Arissa. Kamu sangat berbakat."
Arissa merasa sedikit terkejut dengan pujian itu. Biasanya, orang-orang hanya datang untuk pijat dan pergi begitu saja, tetapi Nathaniel memberi penghargaan yang lebih. Sebuah penghargaan yang bukan hanya tentang keterampilan profesionalnya, tetapi juga tentang keberadaannya sebagai manusia yang bisa menawarkan kenyamanan.
Saat Nathaniel berbalik untuk meninggalkan klinik, Arissa merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Meskipun dia mencoba untuk tetap fokus pada pekerjaannya dan menjaga jarak dengan Nathaniel, ada perasaan yang sulit untuk diabaikan. Sesuatu tentang pria itu membuat Arissa ingin tahu lebih banyak, lebih banyak tentang dunia yang tersembunyi di balik sikap dingin dan misteriusnya.
Namun, seperti biasanya, Arissa tidak bisa membiarkan perasaan itu menguasai dirinya. Dunia mereka terlalu berbeda, dan ia sadar bahwa tidak ada tempat untuk perasaan yang lebih dari sekadar profesionalisme di ruang klinik ini.
Tapi saat Nathaniel menghilang di balik pintu, Arissa merasa bahwa hidupnya mungkin sudah berubah lebih banyak daripada yang ia inginkan.
Nathaniel Alvaro duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan penting. Namun, matanya tidak fokus pada layar komputernya atau grafik yang terus bergerak. Semua itu tampak kabur baginya. Pikirannya kembali pada sesi pijat yang ia terima beberapa hari lalu—pijat sederhana, namun memiliki efek yang lebih mendalam daripada yang bisa ia bayangkan.Biasanya, ia adalah sosok yang selalu mengendalikan segala hal di sekitar dirinya. Namun, ada sesuatu tentang Arissa—sesuatu yang membuatnya merasa lebih manusiawi. Sifat Arissa yang lembut, namun kuat, memancarkan ketenangan yang selama ini sulit ia temukan di dunia kerjanya yang penuh dengan tekanan. Bahkan ketika ia berusaha untuk tetap kaku dan menjaga jarak, Arissa tak pernah memberi ruang untuk ketegangan itu berkembang lebih jauh.“Kenapa aku terus memikirkan itu?” Nathaniel bergumam pelan, menggoyangkan kepalanya seakan berusaha menyingkirkan pikiran itu. Namun, s
Beberapa hari setelah pertemuan keduanya yang penuh dengan ketegangan itu, Nathaniel kembali muncul di klinik. Pagi itu, Arissa sedang sibuk menyusun beberapa catatan dan menyiapkan perlengkapan pijat untuk kliennya yang lain. Ia terkejut saat mendengar suara pintu dibuka, dan untuk kedua kalinya, Nathaniel muncul, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya. Ia tidak terlihat hanya ingin relaksasi sesaat. Ada tujuan yang jelas, dan ia membawa aura yang lebih serius daripada sebelumnya.Arissa menatapnya sejenak, merasa canggung meski sudah mengenal pria itu lebih baik. "Nathaniel, ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, berusaha tetap profesional, meskipun hatinya sedikit berdebar.Nathaniel berdiri di ambang pintu, memandang Arissa dengan tatapan yang penuh ketegasan, tetapi juga ada kelembutan yang tak bisa disembunyikan. "Saya ingin menawarkan sesuatu kepada Anda," katanya, suaranya terdengar lebih dalam dari sebelumnya, seolah menyimpan beban berat.
Hari pertama sebagai terapis pribadi Nathaniel dimulai. Arissa merasa sedikit cemas, meski ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana. Sejak pagi, ia mempersiapkan ruangan klinik dengan lebih hati-hati dari biasanya. Semua peralatan yang diperlukan sudah siap, dan suasana di dalam ruangannya sudah diatur agar terasa nyaman dan tenang. Namun, ada perasaan aneh yang tak bisa ia hilangkan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar rutinitasnya sebagai seorang terapis.Ketika bel pintu berbunyi, Arissa menoleh dan melihat Nathaniel berdiri di depan pintu, mengenakan jas hitamnya yang rapi dan wajahnya yang tampak lebih serius dari biasanya. Ia masuk tanpa berkata apa-apa, dan sesaat suasana menjadi canggung. Arissa mencoba menenangkan diri dan mengingat batas yang telah ia tetapkan sebelumnya.“Selamat sore, Nathaniel,” sapa Arissa dengan nada formal. “Silakan duduk. Sesi ini hanya untuk relaksasi, sesuai dengan kesepakatan kita
Arissa duduk di meja kerjanya, menatap secangkir teh yang kini hampir dingin di depannya. Pikirannya masih berputar-putar tentang percakapan tadi dengan Nathaniel. Hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya, dan meski ia berusaha menenangkan diri, ada keraguan yang terus menghantuinya. Apakah keputusan ini benar? Apa yang akan terjadi jika ia setuju untuk menjadi terapis pribadi Nathaniel?Ia menghela napas panjang. Sebagai seorang terapis yang berkomitmen pada pekerjaannya, ia selalu memegang prinsip untuk menjaga profesionalisme dalam segala hal. Namun, tawaran Nathaniel berbeda. Ia bukan hanya seorang klien biasa. Nathaniel adalah CEO sukses dengan dunia bisnis yang rumit dan penuh tekanan, serta seorang pria yang sudah mulai menguji batasan-batasannya. Arissa tahu bahwa kedekatannya dengannya, meskipun hanya dalam kapasitas profesional, bisa menambah beban pada hidupnya yang sudah cukup rumit.Namun, di sisi lain, tawaran itu begitu menggoda. Bayaran yang jauh le
Pagi itu, klinik pijat Arissa tampak lebih sibuk dari biasanya. Beberapa pelanggan reguler sudah menunggu di ruang tunggu, dan suasana di dalam klinik penuh dengan percakapan ringan. Arissa, seperti biasa, sibuk melayani klien dengan senyum ramah. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit gelisah. Ada sesuatu yang aneh, perasaan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi hari ini.Benar saja, sekitar tengah hari, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan klinik. Dari dalamnya, Nathaniel Alvaro turun dengan langkah percaya diri, mengenakan setelan jas rapi yang membuatnya terlihat seperti sosok yang tak tersentuh. Kehadirannya langsung menarik perhatian para pelanggan dan staf di klinik. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria tampan dan berkarisma itu.Arissa, yang baru saja selesai dengan klien terakhirnya, memandang ke arah pintu depan dan hampir terdiam melihat Nathaniel. Ia merasa aneh melihat pria itu datang di siang hari, terutama dengan penampi
Arissa duduk di meja kerjanya di apartemen kecilnya, kontrak dari Nathaniel terbuka di hadapannya. Pikirannya dipenuhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang bertentangan. Di satu sisi, angka bayaran dalam kontrak itu sangat menggoda, sesuatu yang bisa membantunya mengubah hidup. Namun, di sisi lain, beberapa syarat dalam kontrak tersebut membuatnya merasa tidak nyaman, terutama bagian yang mengharuskannya selalu siaga kapan pun Nathaniel membutuhkannya.Ia membaca ulang salah satu klausul dalam kontrak:"Terapis wajib memberikan prioritas penuh pada klien, tanpa memandang waktu atau lokasi."Arissa menghela napas panjang. Ia tidak pernah membayangkan dirinya akan terikat dalam pekerjaan seperti itu, apalagi dengan seseorang seperti Nathaniel Alvaro. Ia tahu betapa kerasnya dunia kerja pria itu, tetapi ia tidak ingin kehilangan kendali atas hidupnya sendiri hanya karena uang.Diskusi dengan MariaKeesokan harinya, di ru
Nathaniel duduk di ruang kerjanya yang luas, jendela besar di belakangnya menampilkan pemandangan kota yang berkilauan. Tapi pikirannya jauh dari pemandangan itu. Ia memikirkan Arissa—wanita yang tidak hanya menolak tawarannya tetapi juga melakukannya dengan sopan dan tegas.Nathaniel mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, sesuatu yang jarang ia lakukan. Penolakan itu terasa aneh baginya. Selama ini, ia terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan, entah itu dalam bisnis atau kehidupan pribadi. Namun, untuk pertama kalinya, seseorang menolaknya tanpa rasa takut.“Dia berbeda,” gumamnya pelan.Refleksi NathanielSambil menyandarkan diri di kursinya, Nathaniel teringat kata-kata Arissa. Cara dia berbicara, dengan nada yang penuh rasa hormat tetapi tak tergoyahkan, meninggalkan kesan mendalam.Nathaniel memanggil asistennya, James, masuk ke ruangan. James adalah satu dari sedikit orang yang bisa ia percayai sepenuhnya.
Arissa duduk di sofa kecil di ruang tamu apartemennya yang sederhana, memandangi dokumen yang ia bawa pulang dari klinik. Dokumen itu bukanlah kontrak Nathaniel, tetapi laporan pengeluaran klinik yang menunjukkan betapa tipisnya margin keuntungan yang mereka hasilkan setiap bulan. Pikiran tentang bagaimana tawaran Nathaniel dapat mengubah situasinya terus menghantui.Dia menarik napas panjang, mengeluarkan ponsel, dan menelepon sahabatnya, Lila.“Arissa! Akhirnya kau meneleponku. Aku sudah lama ingin tahu bagaimana kabarmu,” kata Lila dengan suara ceria di seberang telepon.Arissa tersenyum tipis meski sahabatnya tidak bisa melihat. “Aku baik-baik saja, Lil. Tapi... ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”“Sepertinya serius,” balas Lila, suaranya berubah menjadi lebih perhatian. “Apa yang terjadi?”Selama beberapa menit berikutnya, Arissa menceritakan semua yang terjadi—dari pertemuannya de
Di satu sisi, ia ingin mengabaikan semuanya dan tetap fokus pada pekerjaannya. Tetapi semakin hari, semakin sulit baginya untuk tidak merasa tertekan. Ruang kerja yang dulunya terasa nyaman kini berubah menjadi tempat yang menyesakkan. Bahkan, interaksinya dengan Nathaniel pun semakin berjarak, seolah mempertegas bahwa ia memang tidak lagi diterima di lingkungan ini.Puncaknya terjadi saat makan siang di kantin perusahaan. Saat Arissa masuk dan membawa nampannya ke meja biasa, beberapa karyawan yang sebelumnya sering makan bersamanya tiba-tiba terdiam dan saling bertukar pandang. Salah satu dari mereka, seorang wanita bernama Clara, berdehem pelan dan berkata, "Maaf, Arissa. Kursi ini sudah ditempati."Arissa menatap mereka dengan bingung. "Oh... aku bisa duduk di tempat lain.""Mungkin memang lebih baik begitu," sahut yang lain dengan nada tak bersahabat.Arissa merasakan hatinya mencelos, tetapi ia menelan perasaannya dan berjalan menuju sudut ruangan y
Tak butuh waktu lama sebelum perubahan ini mulai berdampak pada pekerjaan mereka. Karyawan lain mulai memperhatikan bagaimana interaksi mereka yang dulunya tampak lebih cair kini menjadi kaku dan formal. Ada bisikan di antara rekan-rekan mereka, spekulasi tentang apakah sesuatu telah terjadi antara bos mereka dan Arissa.Vanessa, yang selalu memperhatikan dengan penuh minat, tentu saja tidak melewatkan hal ini. Ia menyeringai puas saat melihat bagaimana Nathaniel tampaknya mulai menjauh dari Arissa. Baginya, ini adalah tanda bahwa rencananya mulai membuahkan hasil.Suatu hari, saat Arissa berada di pantry kantor, Vanessa mendekatinya dengan ekspresi yang tampak simpatik tetapi sarat kepalsuan. "Kau terlihat lelah akhir-akhir ini, Arissa. Sesuatu terjadi?"Arissa menoleh dan memberikan senyum tipis. "Aku baik-baik saja, Vanessa. Hanya sibuk dengan pekerjaan."Vanessa tertawa kecil. "Oh, aku mengerti. Pekerjaan memang bisa membuat seseorang stres, terutama
Setelah pria itu pergi, Nathaniel menyandarkan tubuhnya di kursi, pikirannya bekerja lebih cepat dari sebelumnya. Sekarang semuanya mulai masuk akal. Serangan ini terlalu terkoordinasi untuk sekadar kebetulan.Ia tahu bahwa ada dua hal yang harus ia lakukan. Pertama, ia harus memastikan bahwa Arissa tidak sampai terluka karena permainan licik ini. Kedua, ia harus menghadapi Vanessa secara langsung.Tanpa membuang waktu, ia mengambil ponselnya dan menghubungi Vanessa."Aku ingin bicara denganmu. Sekarang," katanya dengan suara penuh tekanan.Ada jeda di ujung telepon sebelum Vanessa menjawab dengan nada manis yang dibuat-buat. "Nathaniel, ada apa? Kau terdengar serius.""Kantorku. Lima belas menit."Nathaniel tidak memberi kesempatan Vanessa untuk menolak sebelum menutup teleponnya. Ia menatap keluar jendela, rahangnya mengeras.Jika Vanessa berpikir bahwa ia bisa bermain-main dengannya, maka ia akan segera menyadari betapa salahnya an
Nathaniel duduk di balik mejanya, menatap amplop yang sama yang diberikan Vanessa sehari sebelumnya. Sejak menerima laporan itu, pikirannya terus dihantui oleh informasi yang terkandung di dalamnya. Ia ingin mengabaikannya, ingin percaya bahwa Arissa tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Namun, semakin banyak laporan serupa berdatangan, semakin sulit baginya untuk menepis keraguan yang mulai tumbuh di benaknya.Di meja, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari salah satu eksekutif senior berbunyi:"Nathaniel, kita perlu membicarakan ini. Beberapa klien mulai mempertanyakan keamanan informasi perusahaan setelah rumor soal kebocoran data yang melibatkan seseorang dari staf pribadimu. Aku harap kau bisa memberikan klarifikasi segera."Nathaniel menghela napas panjang. Ia sudah terbiasa menghadapi serangan bisnis, tetapi kali ini berbeda. Serangan itu tidak hanya menargetkan dirinya, tetapi juga Arissa—seseorang yang, meskipun ia enggan mengakuinya, telah menjadi bagian penting dalam hidu
Vanessa tidak lagi sekadar bermain dalam bayangan. Setelah gagal mendapatkan hati Nathaniel, ia kini bertekad untuk memastikan bahwa Arissa hancur, tidak hanya dalam kariernya tetapi juga dalam hubungan pribadinya dengan Nathaniel.Dengan cermat, ia telah mengumpulkan berbagai informasi mengenai Arissa, dari latar belakang keluarga hingga kebiasaan kecilnya. Ia tahu bahwa untuk benar-benar menjatuhkan Arissa, ia tidak bisa hanya mengandalkan gosip atau fitnah biasa. Ia butuh sesuatu yang lebih kuat—sesuatu yang bisa mengguncang kepercayaan Nathaniel dan dewan direksi terhadap Arissa.Malam itu, di dalam apartemennya yang mewah, Vanessa duduk dengan segelas anggur merah di tangannya, menelusuri layar laptopnya. Di hadapannya, seorang pria bertubuh tegap dengan ekspresi licik menunggu instruksi lebih lanjut."Kau sudah mendapatkan semua yang kuminta?" Vanessa bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.Pria itu, seorang penyelidik bayaran yang sudah sering menangani pekerjaan ko
Hari itu, sebuah pertemuan bisnis besar diadakan di salah satu hotel mewah di pusat kota. Para klien dan mitra bisnis terbaik Nathaniel berkumpul untuk membahas beberapa proyek besar yang akan datang. Ini adalah kesempatan penting untuk menunjukkan kekuatan dan kredibilitas perusahaan, serta kemampuan Nathaniel untuk mengendalikan segala situasi yang datang.Namun, ketegangan sudah memuncak sejak pagi. Nathaniel merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Rasa cemas menggerogoti hatinya, dan ia tahu bahwa Markus Reinhardt tidak akan membiarkannya begitu saja. Hari itu adalah hari yang menantang, dan Nathaniel bisa merasakannya di setiap langkahnya.Pertemuan itu dimulai dengan lancar. Nathaniel memperkenalkan proyek-proyek baru yang akan membawa perusahaan ke level yang lebih tinggi. Para peserta terlihat antusias, banyak yang memberikan apresiasi terhadap ide-ide baru yang disampaikan Nathaniel. Namun, ketika suasana mulai mereda, Markus yang sudah lama menunggu momen yang tepat, berdiri
Arissa duduk di mejanya, matanya kosong menatap layar komputer yang sudah lama tidak ia sentuh. Seluruh ruangan terasa sepi dan berat. Pikirannya terus terbayang pada gosip yang beredar, yang semakin memengaruhi bukan hanya Nathaniel, tetapi juga dirinya. Meskipun ia berusaha tetap profesional, perasaan bersalah semakin menggerogoti hatinya.“Apakah semuanya akan menjadi lebih buruk karena aku?” pikirnya dalam hati. “Apa aku benar-benar pantas berada di sini?”Arissa merasa semakin terjebak. Kehadirannya di sisi Nathaniel, yang awalnya hanya sebatas hubungan profesional, kini telah menjadi pusat dari masalah besar. Gosip mengenai hubungan mereka yang lebih dari sekadar rekan kerja terus menyebar, dan meskipun Nathaniel berusaha untuk tetap tegar, Arissa tahu bahwa beban ini sangat berat bagi dirinya. Bahkan beberapa rekan kerja yang dulu ramah, kini mulai menghindarinya atau memberi tatapan penuh tanda tanya. Sebagian besar dari mereka mungkin tidak berani mengungkapkan secara langsun
Setelah rapat yang penuh ketegangan dengan dewan direksi, Nathaniel kembali merasakan beban berat di pundaknya. Meskipun ia sudah berusaha untuk menanggapi rumor yang beredar dengan tenang, tekanan dari dewan direksi semakin tidak bisa dihindari. Dewan merasa bahwa situasi ini tidak bisa diabaikan begitu saja—terutama karena gosip yang beredar sudah mulai memengaruhi hubungan dengan klien dan mitra bisnis utama perusahaan.Nathaniel tahu bahwa ia harus memberikan klarifikasi yang memadai. Tetapi, meskipun ia tetap berusaha menjaga sikap profesional, ada rasa frustasi yang tak bisa disembunyikan. Selama bertahun-tahun, ia telah membangun reputasi yang solid di dunia bisnis, dan sekarang, semua itu terancam oleh desas-desus yang tidak berdasar. Ia merasa semakin terpojok, namun ia tidak bisa membiarkan hal ini merusak segala yang telah ia capai.Pagi itu, di ruang rapat yang besar, Nathaniel duduk di hadapan dewan direksi. Mata mereka yang penuh keraguan dan perhatian membuat suasana se
Markus Reinhardt, yang selalu mencari cara untuk menggulingkan posisi Nathaniel, tidak menyia-nyiakan kesempatan setelah melihat keretakan yang mulai muncul dalam hubungan profesional Nathaniel dan Arissa. Sejak gala amal itu, dia mulai merencanakan langkah-langkah strategis untuk menjatuhkan reputasi Nathaniel. Gosip tentang kedekatan mereka mulai ia sebarkan secara sengaja di antara para klien dan mitra bisnis Nathaniel, dengan tujuan untuk menodai citra Nathaniel sebagai seorang pemimpin.Markus, yang selalu ahli dalam membaca situasi, mengetahui bahwa kekuatan Nathaniel terletak pada pengaruhnya yang luar biasa di dunia bisnis, dan bahwa reputasi adalah salah satu aset terpenting bagi seorang pemimpin. Oleh karena itu, ia mulai merancang narasi yang akan membuat Nathaniel tampak tidak profesional dan tidak dapat dipercaya. Rumor yang tersebar mulai mengguncang fondasi perusahaan Nathaniel."Apakah kamu mendengar tentang Nathaniel?" suara seorang mitra bisnis terdengar jelas di tel