Aku terpaksa pura-pura miskin untuk mencari wanita yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa memandang segi materi. Aku terlalu sering di tipu oleh berbagai wanita karena mereka hanya ingin hartaku, tapi bukan dengan diriku. Aku sangat trauma akan hal itu. Aku sebenarnya tak ingin beristri, tapi ibu dan ayahku selalu memaksaku agar cepat beristri. Jika aku tak beristri, maka tak akan ada cucu, yaitu anak biologis dariku dan jika tak ada cucu, maka tak ada pula pewaris perusahaan selanjutnya.
Apalah dayaku, jika aku seorang pewaris tunggal perusahaan dan harus melanjutkan sebuah usaha papi yang telah di bangunnya dari nol hingga maju pesat seperti sekarang ini, tapi aku juga tak ingin menikahi seorang wanita yang hanya menggerogoti hartaku saja. Aku ingin wanita yang benar-benar mencintai aku dari hati dan karena Allah, bukan karena sebuah ambisi untuk memiliki hartaku seperti sederet mantan kekasihku dulu dan bukan pula memandangku dari fisikku yang cool dan sedikit ganteng, bisa di bilang begitu sih!"****"Yah, ini kunci mobil beserta surat-surat penting lainnya." Aku memberikannya pada ayah."Makan dulu, Sien." ibu mengambilkan sepotong roti untukku."Maaf, Bu, aku mau cepat berangkat. Ini sudah terlambat." Aku menoleh arloji di pergelangan tangan kiriku."Pakai baju begituan?" kening ibu mengerut."Iya, Bu.”"Husein, jangan malu-maluin keluarga. Masa anak pengusaha sukses harus pakai baju yang seharusnya jadi serbet kayak begitu." Alis ibu terangkat ke atas."Terus harus bagai mana?""Bu, biarkan saja Husein menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia sudah dewasa." Ayah angkat bicara."Tapi, Yah?""Husien kan lagi menyamar, Bu.”Ketika ayah dan ibu memperdebatkan tentang penampilanku, terdengarlah suara ketukan pintu dari depan rumah.Tok ... tok ... tok ...."Bibi, tolong buka dong pintunya," teriak ibu memanggil Bi Lasmi, asisten rumah tangga kami yang telah lama ikut keluarga kami bekerja selama bertahun-tahun.Bibi tak menyahut sedikit pun. Mungkin ia terlalu sibuk mencuci dengan pancuran air kran yang deras hingga akhirnya tak mendengar panggilan mami dari meja makan."Biar aku saja, Bu, yang buka pintunya," sahutku.****Krek!"Ya Allah anggun sekali wanita ini,” bisikku.Ia sepertinya wanita lugu yang berasal dari kampung. Pakaiannya pun seadanya, tidak glamor seperti wanita kebanyakan, tapi ia sangat sopan dan memesona."Rezeki nomplok, pagi-pagi bidadari sudah berada diambang pintu, entah dari manakah Ia? Sungguh cantik. Hi hi hi." Aku sedikit tertawa bahagia."Hai.” Wanita itu mengibaskan tangan kanannya di depan wajahku."Oh, hai juga, selamat pagi Nona cantik." Rayuan mautku keluar juga. Untuk ronde pertama ini aku keluarkan sedikit jurus jitu merayu wanita."Pagi juga. Ah, bisa saja. Kenapa tadi melamun?""Enggak kok," jawabku sambil terus memandangnya dari ujung rambut sampai ujung kaki.Maaf ya, aku bukan LB alias liur baung seperti ikan baung, apa saja di embat, tapi wajarlah aku kan lelaki normal jadi ingin dapat calon istri yang bukan hanya sopan, tapi juga cantik jadi aku sedikit mengeluarkan jurus andalanku untuk memikat hati wanita."Ada yang salah dengan penampilanku?" tanya wanita itu padaku karena ia melihat tingkahku yang aneh saat memandangnya."Iya.""Apa?""Cantik." Aku sedikit tersenyum."Masa?""Benar.""Cantiknya kayak siapa?" tanya wanita itu dengan matanya melirik ke sana kemari karena takut menatap bola mataku yang tajam memandangnya."Kaya bidadari yang turun dari langit." Aku keluarkan jurus rayuan keduaku."Iya, memang aku seperti bidadari, tapi yang turun dari pohon kelapa. Ha ha ha." Aku tertawa terbahak.Gadis ini memang cantik apalagi jika ia tersenyum, aku jadi makin tertantang untuk mendapatkan cintanya dan memilikinya."Ya Allah beri aku jalan untuk bisa mendapatkan cinta dari gadis ini nan ayu jelita." Hatiku berbisik."Mau cari siapa Nona?""Maaf, benarkah ini rumah Pak Sastro Wijaya?" gadis itu bertanya balik padaku."Iya. Benar Nona," jawabku."Ah, jangan panggil Nona terus." Gadis yang berada di depan mataku ini tersipu malu."Lalu?""Panggil saja aku Jannah." Wanita itu mengajakku berjabat tangan."Aku Husien." Aku membalas jabatan tangan Jannah."Nama yang indah seperti pemiliknya. Ups ....” Aku menutup mulutku. Aku takut ketahuan memuji dia lagi."Apa Bang?""Enggak, tak apa. Ada perlu apa?" Aku mengalihkan pembicaraan."Aku ingin ketemu Pak Jaya.” Jannah dengan sedikit tersenyum."Untuk?""Melamar jadi asisten rumah tangga," ucap Jannah tanpa rasa malu."Hebat, wanita cantik seperti ini mau jadi asisten rumah tangga di rumahku? Mimpi apa aku tadi malam, tiba-tiba ada bidadari datang ke rumahku dan melamar jadi asisten rumah tangga?""Kenapa bengong?" Jannah mengibaskan tangannya di depan wajahku."Mari, silakan masuk!" Ajakku pada Jannah untuk masuk ke dalam rumahku."Kamu di sini sebagai apa?""Kok dia bertanya begitu." Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tak gatal."Kenapa ditanya malah menggaruk kepala, Bang?""Gatal, pagi tadi lupa keramas." Aku berbohong.Aku melihat diriku dan baju lusuh yang aku pakai juga penampilanku yang agak sedikit acak-acakkan. Oh, pantas saja Jannah bertanya begitu padaku karena aku tak terlihat seperti Tuan muda di rumah ini."Kenapa diam?" Jannah heran melihat gelagatku."Aku sopir di sini. Iya, aku sopir Tuan Jaya." Dengan sigap aku jawab pertanyaan Jannah."Besar sekali ya rumah Pak Jaya?""Iya, kan pengusaha sukses," jawabku."Anaknya ada berapa, Bang?""Satu. Cowok pula, ganteng loh." Pancingku pada Jannah."Oh, di mana sekarang?""Di luar negeri.""Kamu mau enggak punya suami orang kaya seperti putranya Pak Jaya?""Aku belum ke pikiran akan hal itu karena jodoh itu kan rahasia Allah," jawab Jannah dengan ramah dan santun sambil terus mengekorku."Memang putranya Pak Jaya belum menikah?""Belum, lagi pula ia masih kuliah di luar negeri dan belum ada calon." Aku mencoba memancing kembali Jannah."Oh.""Apa kamu tak tertarik?""Tidak.”"Kenapa? Dia kan kaya dan ganteng?""Mana mau dia sama wanita seperti diriku.""Maksudnya?""Miskin dan kampungan." Jannah tertawa dengan mengeluarkan sederet gigi putihnya."Ah, kamu bisa saja," ucapku."Benar, kok," sahut Jannah."Tunggu sebentar di sini," ucapku dengan tiba-tiba berhenti di ruang keluarga dengan memotong pembicaraan tadi."Kenapa?" Jannah bingung."Aku panggilkan mami dan papi dulu.""Apa?" Jannah terkejut."Maaf, maksudnya aku panggilkan Tuan dan Nyonya di ruang makan," jawabku dengan santai dan sedikit menggigit bibir."Baiklah."Untung saja aku bisa bersilat lidah dan tak ketahuan jika akulah sebenarnya Tuan muda di rumah ini. Foto keluarga? aduh, bikin ribet saja jika foto-fotoku yang terpampang di dinding di lihat oleh Jannah. Bibi! iya, Bi Lasmi." Otakku encer juga rupanya pagi ini, sambil berjalan ke meja makan aku berpikir."Bu," sapaku pada ibu yang sedang makan roti tawar bertabur selai coklat."Siapa yang datang?" tanya ayah."Yah," panggilku pada ayah."Apa Husien?" tanya ayah dan ibu berbarengan."Kita mulai jalankan rencana, ya?""Rencana apa?""Ada cewek cantik di depan yang mau melamar jadi asisten rumah tangga, tolong terima ya, Bu, tapi jangan bilang jika Husien ini anak ayah dan ibu. Bilang saja jika Husien adalah sopirnya ayah. Please.” Aku memohon pada ayah dan ibu."APA?" Mata ayah dan ibu melotot."Aku naksir sama dia, Bu? Bolehkan, jika aku naksir sama cewek yang status sosialnya beda dengan kita?" bujukku pada ayah dan ibu."Up to you, sayang," jawab ayah."Bu?" Aku meminta persetujuan ibu.Terdiam."Bu?" Aku memasang wajah memelas pada ibu."Oke, sayang.""Terima kasih, Yah." Aku memeluk ayah."Terima kasih juga, Bu." Aku mencium kening ibu."Mana dia?" tanya ibu."Tunggu sebentar. Aku bawa dia ke sini."****Sebelum aku menemui Jannah di ruang keluarga, aku menemui Bibi Lasmi yang sedang menjemur pakaian di belakang rumah."Bi, tolong ambil semua foto-fotoku yang terpampang di semua sudut ruangan di rumah ini," ucapku dengan pelan."Untuk apa, Den?""Ah, enggak usah banyak tanya, ini uang," kataku dengan memberikan sejumlah uang untuk Bi Lasmi."Oke, Den!" Uang pemberianku di ambil Bi Lasmi dan masuk ke dalam saku bajunya."Oh, ya satu lagi, jika gadis yang bernama Jannah itu tanya, bilang saja aku adalah sopir di sini," jelasku pada Bi Lasmi."Maksudnya?" Wajah Bi Lasmi terlihat bingung."Sudah! Ikuti saja perintahku dan jangan banyak tanya," bentakku pada Bi Lasmi."Adul, Den!""Hah, apa artinya?" mataku melotot."Ada duit urusan lancar, Den." Raut wajah Bi Lasmi tersipu malu."Mata duitan juga ini asisten rumah tangga." Kepalaku menggeleng.****Semua orang di rumah ini sudah aku kasih aba-aba, semoga rencana berjalan dengan lancar."Lama ya nunggu?""Enggak juga.""Ini foto kok kayaknya mirip kamu?" tanya Jannah dengan menunjuk fotoku saat wisuda beberapa tahun yang lalu."Bukan! Mungkin mata kamu ke balik kali. Masa anak Tuan besar di sini mirip aku yang cuma sopir di sini? enggak mungkin, ah!" Kutarik tangan Jannah berjalan menuju ruang makan.Jannah melihat tanganku yang sedang menggenggam telapak tangannya. Aku memberhentikan langkahku di depan ayah dan ibu. Aku melepas tanganku. Ups ... Maaf!” ucapku.Jannah tersenyum tipis."Oh, Jannah," seru ibu."Aku melongo.""Apa kabar sayang?" tanya ibu."Dahiku mengerut disertai dengan keringat.""Baik, Tante," jawab Jannah."Nyonya, kenal?" tanyaku pada ibu."Ini Jannah. Ia adalah gadis yang aku temui di pusat perbelanjaan waktu aku sedang keberatan membawa sejumlah belanjaan. Ia menolongku untuk membawakan belanjaanku dan membantu memasukkannya ke dalam mobil," tutur ibu."Lalu?" Aku masih penasaran dengan mengusap keringat pada keningku."Ia butuh pekerjaan jadi aku suruh ia bekerja di sini," jawab ibu.Ayah hanya diam."Bekerja sebagai apa ya, Yah?" tanya ibu.Tak ada jawaban."Bawa Jannah ke kamar di sebelah kamar Bi Lasmi biar nanti aku dan Tuan pikirkan pekerjaan untuk Jannah," perintah ibu padaku."Baik, Ibuku sayang.”Jannah melirikku."Ups ... Aku menutup mulutku kemudian membukanya kembali, maaf! maksudku, baik, Nyonya."Mungkin belum terbiasa berakting. Hampir saja keceplosan. Ayah dan ibu sampai mengangkat alis karena melihat tingkahku yang hampir saja keceplosan beberapa kali.Wanita ini sungguh memesona. Dari mimik wajahnya, ia terlihat lugu. Dengan kerudung merahnya yang serasi warna dengan gaunnya membuat ia terlihat sangat anggun dan shalehah. "Huh, apa-apaan ini? Dasar laki-laki, mengapa aku harus memikirkan dia terus? Rupanya aku memang sudah benar-benar cinta.” Aku memukul keningku dengan telapak tanganku sembari aku berjalan menuju ke ruang makan kembali setelah mengantar Jannah yang telah beristirahat di kamarnya. "Yah, mari aku antar?" Ayah melongo melihat tingkahku. "Tak usahlah, Sien," jawab ayah. "Masa Ibu lupa? Kita kan sedang bersandiwara ini." "Apa harus kamu Sien yang mengantar Papi ke kantor tiap pagi?" Tanya ayah diiringi kening yang mengerut. "Iya, Yah! Demi sebuah sandiwara.” Aku melebarkan senyum. "Terus toko baju yang baru kamu buka, bagai mana Sien? Siapa yang mengurusnya nanti?" ayah mengarahkan pandangannya ke ibu. "Iya, Sien, bagai mana tuh? Lagian kamu kan sudah beli toko itu sekalian sudah kamu isi tokonya dengan berbaga
"Baiklah.” Zay tersenyum. "Tolong jaga rahasia ini, jangan sampai bocor.” Aku mendekat dan berbisik di telinga Zay. "Kayak ember saja mulutku, enggak mungkin lah bocor, kamu itu sahabatku sejak dari kecil," sahut Zay. "Terus usaha toko bajuku bagai mana?" "Oke! Aku yang akan urus untuk sementara waktu," jawab Zay. "Terima kasih banyak. Kamu memang temanku yang paling baik.” Aku memuji Zay dengan menepuk pundaknya. Rencanaku mulai berjalan. Semua orang terdekatku mendukung rencanaku dan ikut menjalankan misiku. “Yes, yes. Semoga berjalan dengan lancar,” ucapku sembari tersenyum dalam hati. Zay terus memandangku dengan tatapan yang tak seperti biasa. Aku kemudian memegang wajahku, melihat bajuku, seluruh tubuhku, apa ada yang salah dengan penampilanku? Kok, Zay memandangku seperti itu. "Kenapa?" tanyaku dengan kening yang mengerut. "Aku hanya bingung," jawab Zay. "Kenapa bingung?" "Biasanya seleramu gadis papan atas dan berkelas, kok bisa ya kamu jatuh cinta sama asisten rumah
Kring! Suara ponsel jadul Jannah berdering. "Selamat pagi Tuan Putri.” Terdengar suara wanita dari balik telepon. "Selamat pagi juga. Siapa ini?" Tanya Jannah. "Apa nomorku enggak kamu simpan?" Tanyaku. Terkejut. Saat Jannah melihat nama pemanggil di layar kaca ponselnya, Jannah terkejut. "Astaga, Raudhatul?" Tanya Jannah dengan suara yang keras pada balik telepon layaknya menggetarkan bumi saja. "Iya, aku Raudhatul. Jangan teriak dong Jannah! Sakit nih telingaku mendengarnya,” Tegur Atul. "Bagaimana kabarmu?" Tanya Atul dari balik telepon. "Baik, kau sekarang ada di mana? Masih di kampung atau masih di luar kota?" Tanya Jannah sambil merapikan rambutnya di depan kaca. "Aku sudah di kota lain. Aku berhenti di tempat kerjaku yang dulu karena bosku gulung tikar.” Atul bersedih menceritakan nasibnya. "Di kota mana?" "Di kota yang begitu ramai penduduknya. Aku di sini bekerja sebagai ... Ah, aku malu." Atul kemudian meringis. "Kenapa harus malu? Kamu kan teman sepermainanku se
"Hmm ...." Aku pura-pura batuk. Sebenarnya tenggorokanku tidak gatal."Nah minum!" Jannah memberikanku sebotol air mineral."Iya, terima kasih." Aku meminumnya sesenggukan."Kamu pilih baju yang mana?" Tanyaku membuka pembicaraan."Entahlah, di sini bajunya bagus semua." Jannah bingung."Ini pegang." Aku memberikan botol air mineral padanya.Aku mencoba memilihkan gaun untuk Jannah, aku bolak-balik gaun jualanku sendiri. Aku pilih warna gaun yang cocok dengan kulit Jannah. Warna kuning langsat sebagai pilihanku. Ya, sepertinya ini cocok. "Ini, coba pakailah di ruang ganti." Aku memberikan gaun itu pada Jannah.Tanpa banyak tanya dan basa-basi Jannah menurut saja apa kataku."Ya Allah ini bidadari cantik sekali." Aku pusut-pusut kedua bola mataku berulang kali saat melihat Jannah keluar dari ruang ganti."Bagaimana? Bagus tidak?" Tanya Jannah yang telah berdiri tepat di hada
“Sudah?” tanyaku sambil menaruh piring di atas meja yang terletak di sudut kamar. “Iya, terima kasih,” jawab Jannah sembari menyapu mulutnya dengan tisu. “Minum obat dulu,” pintaku dengan membuka bungkus obat lalu memberikannya ke telapak tangan kanan Jannah. “Ini airnya.” Kuberikan sebotol air mineral. Saat Jannah meminum obat, kurapikan bantalnya. “Istirahatlah!” perintahku lalu aku belai rambut Jannah. Saat ia pingsan tadi aku meminta Atul untuk melepas Jilbabnya. Tanpa banyak komentar Jannah merebahkan tubuhnya kembali di atas kasur tepat bersebelahan dengan Atul. Aku ambil selimutnya yang tersusun di lemari, kuselimutkan ke tubuhnya agar ia merasa hangat. “Terima kasih.” begitulah sahutan dari mulut Jannah sebelum ia menutup mata untuk bermimpi indah malam itu. “Selamat malam. Tidur yang nyenyak.” kuakhiri kata dengan menutup pintu kamarnya. Pagi yang indah. Malam tadi aku serasa tak bisa tidur. Kugulingkan tubuhku ke sana kemari. Aku selalu ke pikiran Jannah. Aku takut j
“Sudah siap?” tanyaku dengan diiringi kedua bola mataku yang membulat melihat penampilan Jannah malam ini. Bola matanya yang indah, bulu matanya yang tebal dan panjang, tetapi tak lentik. Hidungnya yang seperti hidungku bak piramida. Begitu pula dengan polesan lipstik merah delima di bibirnya. Duhai Jannah, jantungku terasa bergendang begitu cepat. “Hai.” Ibu mengibaskan tangan kanannya tepat di depan wajahku. “E-iya, Bu,” perasaan gugup menyelimutiku saat aku berada di depan Jannah. “Kamu kenapa?” tanya ibu. “Enggak kenapa-napa,” jawabku. Kedua bola mataku terus tertuju ke arah Jannah. “Kamu terpesona ya dengan kecantikan Jannah?” bisik ibu di telinga sebelah kananku. “Enggak.” Aku menyembunyikan perasaanku yang menggebu. “Kenapa bola matamu melotot ke arah Jannah terus?” tanya ibu. “Telat nih! Aku tunggu di mobil.” Aku mengalihkan pembicaraan dan berlalu pergi meninggalkan ibu dan Jannah. **** “Tante, aku pamit dulu ya,” Jannah mencium punggung tangan kanan ibuku. “Iya, h
“Ibuuuu ....,” Liana mendekati wanita itu seraya memeluknya. “Memalukan,” ucap wanita itu dengan wajah yang tampak malu. “Aku masih mencintai Bang Husien, Bu,” lirihnya. “Ayo, pulang!” Wanita itu memaksa Liana untuk pulang. Wanita setengah baya itu rupanya ialah ibu Liana, ia datang ke pesta itu bersama Liana. Ibu Liana adalah saudara dari sang pemilik pesta mewah malam ini. “Aku masih ingin di sini. Aku masih ingin menikmati pesta ini,” jawab Liana dengan menangis hebat di dalam pelukan ibunya. “Ibu malu dengan olahmu malam ini,” bisik ibunya di telinga Liana dengan menarik tangan kirinya membawa Liana masuk ke dalam mobil. Atul yang melihat akan hal itu. Sesuatu yang sangat tampak di depan matanya. Sebuah pertunjukkan gratis tentang cinta. Mulailah terlintas pikiran konyolnya. “Seandainya aku di perebutkan oleh dua lelaki sekaligus atau bahkan tiga lelaki. Duh ... senangnya.” Kata itulah yang terlintas di pikiran Atul. Sejenak Atul termenung membayangkan betapa indahnya jika
Dengan melirik kaca spion mobil, aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Gawaiku terus berdering, tapi tak aku hiraukan. Ia berkonsentrasi dalam menyetir mobil untuk melihat jalanan dengan tatapan mata yang tajam. Jannah sangat ketakutan. Mulutnya mit komat kamit memanjatkan doa kepada Sang Pencipta agar aku dan dia selamat dari kejaran orang-orang tersebut. “Sien, hati-hati!” teriak Jannah. “Iya, sayang,” sahut Husien. Jannah melongo. Mata Jannah membulat disertai dengan bibir Jannah membentuk huruf O. Rasa tak percaya dengan apa yang telah didengarnya tadi. Ia mengucek-ngucek kedua matanya kemudian mencubit pipinya sendiri. “Aw, sakit,” teriaknya. “Kenapa?” tanyaku dengan menurunkan kecepatan mobil. “Aku hanya mencubit pipiku sendiri,” jawab Jannah menyembunyikan wajahnya di balik jilbabnya. Tingkah konyol Jannah membuatku malu ketika aku mendengar dan bertanya tentang sebuah teriakan yang menggetarkan mobilku dan membuat telingaku sakit. “Oh, aku kira kamu kenapa-napa