Wanita ini sungguh memesona. Dari mimik wajahnya, ia terlihat lugu. Dengan kerudung merahnya yang serasi warna dengan gaunnya membuat ia terlihat sangat anggun dan shalehah.
"Huh, apa-apaan ini? Dasar laki-laki, mengapa aku harus memikirkan dia terus? Rupanya aku memang sudah benar-benar cinta.” Aku memukul keningku dengan telapak tanganku sembari aku berjalan menuju ke ruang makan kembali setelah mengantar Jannah yang telah beristirahat di kamarnya."Yah, mari aku antar?"Ayah melongo melihat tingkahku."Tak usahlah, Sien," jawab ayah."Masa Ibu lupa? Kita kan sedang bersandiwara ini.""Apa harus kamu Sien yang mengantar Papi ke kantor tiap pagi?" Tanya ayah diiringi kening yang mengerut."Iya, Yah! Demi sebuah sandiwara.” Aku melebarkan senyum."Terus toko baju yang baru kamu buka, bagai mana Sien? Siapa yang mengurusnya nanti?" ayah mengarahkan pandangannya ke ibu."Iya, Sien, bagai mana tuh? Lagian kamu kan sudah beli toko itu sekalian sudah kamu isi tokonya dengan berbagai macam model gaun wanita," ucap ibu dengan menyeduh segelas teh."Gampanglah itu, Bu, biar Husien pikirkan,” jawabku dengan senyum yang melebar serta menyipitkan mataku."Ingin menyamar jadi orang miskin supaya dapat gadis yang baik di luar sana untuk dijadikan istri malah gadisnya datang sendiri ke rumah terpaksa menyamar jadi sopir Ayah," kata ibu dengan tertawa cekikikan bersama ayah."Ah, Ibu, jangan menggoda.” Aku cemberut."Den, itu fo ...." tunjuk Bi Lasmi.“Hus, Bi Lasmi!” Aku menutup mulut Bi Lasmi dengan tangan kanan dan kiriku.Bi Lasmi nongol ketika aku dan ayah juga ibu sedang berbicara di ruang makan."Jangan panggil aku Den dulu untuk saat ini dengan waktu yang tidak ditentukan. Panggil saja aku Husien.” Aku mengedipkan mata kiriku pada Bi Lasmi."Baik Pak sopir.” Bi Lasmi hormat padaku."Laksanakan tugasmu? Ayo ke dapur lagi.” Aku menunjuk jalan dapur dengan telunjukku.Bi Lasmi memalingkan badannya tanpa banyak tanya, kemudian ia berjalan menuju dapur. Satu masalah sudah selesai. Bi Lasmi menurut dengan perintahku dan ikut bergabung dalam sebuah misiku untuk mencari calon istri yang shalehah, semoga gadis yang di dalam kamar itu adalah gadis yang tepat untukku."Ayo, kita ke kantor sopir tampanku?" Ajak ayah padaku."Sien,” panggil ibu ketika ibu melihat pakaian yang aku kenakan. Sepertinya mau protes lagi dengan penampilanku."Tenang, Yah. Nanti baju ini aku ganti di kantor. Aku sudah siap baju ganti di dalam kantong keresek," jawabku.Ibu terdiam. Tanpa banyak bicara lagi, aku mengekor ayah menuju teras.****"Nyonya, aku di sini bekerja sebagai apa?" tanya Jannah ke ibu."Sabar, ya, nanti aku pikirkan dulu.""Aku enggak enak kalau aku di sini hanya berpangku tangan saja,” ucap Jannah sembari menundukkan kepala."Nah, begini saja, bagai mana kalau kamu hanya merawat bunga-bunga di sekitar rumah ini, disiram atau dipupuk sama bantuin Bi Lasmi memasak? Bagai mana? Kamu mau enggak?" Tanya ibu sembari menepuk pundak Jannah."Sekarang aku mulai boleh Nyonya?" Tanya Jannah dengan senyum bahagia terpancar dari wajah Jannah."Kamu enggak tanya gaji?" Tanya mami sembari mengerutkan kening. Bingung."Terserah Nyonya saja yang penting aku bisa bekerja di sini," jawab Jannah dengan semangat empat lima."Hah?" Kedua bola mata ibu membulat memandang Jannah. Terkejut."Memang kenapa Nyonya jika aku tak mempersoalkan gaji?""Kamu enggak apa jika gajinya kecil?""Enggak apa Nyonya yang penting aku bisa bekerja dan uang gajiku bisa buat menabung untuk biaya kuliahku," jawab Jannah tersipu malu."Oh, kamu mau kuliah?""Iya, Tante. Maaf! Nyonya maksudnya.” Jannah menundukkan wajahnya kembali."Jangan panggil aku Nyonya, panggil saja Tante.""Enggak apa, Nyonya?""Enggak, lagian aku enggak punya anak gadis, jadi aku anggap kamu sebagai anak gadisku, kamu mau?""Dengan senang hati aku mau banget Tante.” Lagi-lagi Jannah tersipu malu."Kamu mau enggak aku kuliahkan?""Kuliah?""Iya, kuliah. Kamu mau enggak?" Tanya ibu kemudian mendekat pada Jannah yang terduduk di kursi ruang keluarga setelah mendengar mami ingin kuliahkannya."Aduh Tante baik banget. Aku jadi serba enggak enak. Belum memulai pekerjaan di sini sudah mau dikuliahkan. Sebaiknya enggak usah Tante. Biar aku menabung saja untuk biaya kuliahku," jawab Jannah dengan mata yang berkaca-kaca seolah ia sangat bahagia dengan kepercayaan dan kebaikan mami padanya."Enggak apa Jannah, Tante ikhlas kok kuliahkan kamu karena kamu itu baik banget kemarin sama Tante. Dari mimik wajah kamu saja, Tante sudah bisa menilai jika kamu itu gadis yang baik," kata ibu dengan lebih mendekat lagi pada Jannah."Terima kasih Tante.” Jannah memeluk ibu dengan air mata yang berlinang."Ada syaratnya?" pinta ibu."Apa syaratnya?""Kamu harus diantar dan jemput oleh sopir om biar Tante enggak khawatir sama kamu, bagaimana?” Usul ibu lalu mengajak Jannah berjabat tangan."Oke, setuju Tante.” Jannah meraih jabatan tangan ibu.****"Sore, Nyonya," sapaku pada ibu."Sore juga," sahut ibu.Mataku melirik ke semua sudut ruangan di ruang keluarga. Bi Lasmi mengacungkan jempol dari balik pintu. Rupanya tahu benar Bi Lasmi jika aku sedang melihat foto-foto di ruang keluarga. Ternyata fotoku telah diambil oleh Bik Lasmi dan disimpan oleh mami, sesuai saja ibu diam tanpa tanya sama aku."Eh, Bang Husien baru balik nih?" tanya Jannah yang ketika itu sedang membawa secangkir gelas berisi jus."Iya. Lelah sekali hari ini," jawabku."Itu buat siapa?""Buat Tante." Jannah tersenyum."Ya Allah senyumnya membuat aku lunglai saja. Aku enggak tahan memandang senyum manisnya. Gereget rasanya kalau melihat wajah emutnya.""Kamu kerjanya apa di sini?" tanyaku penasaran."Jadi asisten Bik Lasmi.”"Haaa ...." Aku tertawa geli sambil berjalan menuju kamarku.“Rupanya Bi Lasmi sekarang punya asisten juga,” gerutuku sembari menggelengkan kepalaku. Memang ya ibu bisa saja.Kening Jannah mengerut seketika. Ia bingung melihat tingkahku yang aneh.****"Bang, jangan dong nanti asin telurku," tegur Jannah ketika sedang menggoreng telur mata sapi untuk makan malamnya."Aku tambahkan lagi nih garamnya.""Ih, Bang Husien. Jangan dong," teriak Jannah."Oke, maaf! pis, pis.” Aku mengangkat kedua telunjukku sebagai tanda maaf."Iya, Bang.”"Aku mau dong dibuatkan telur dadar juga,” pintaku sembari aku senggol tangan kanan Jannah."Duhai asyiknya pacaran di rumah sendiri,” ucapku dalam hati."Bikin sendiri dong Bang!”"Enggak mau. Aku merajuk nih.” Aku mencoba sedikit mengancam."Ya sudah. Aku mau makan sendiri saja.” Aku membuang wajahku ke tempat sampah yang terletak di sudut dapur."Kenapa wajahnya dibuang, Bang?""Enggak. Cuma dialihkan saja.”"Iya, iya, aku buatkan telur dadarnya, tapi jangan merajuk ya, Bang? Aku enggak bisa lihat temanku merajuk kayak begini. Takut aku,” bujuk Jannah sembari memutar wajahku menoleh padanya."Takut kenapa?""Takut kalau Abang menangis karena ember pun enggak akan cukup untuk menampung air mata Abang.” Jannah mencubit pinggangku."Jannah,” kataku lalu aku cubit pula pipi emutnya.""Aduh, sakit Bang,” jerit Jannah.Duh, mesranya. Seandainya saja Jannah jadi istriku dan bisa mesra-mesraan terus setiap hari seperti ini rasanya dunia bagaikan surga. Mulai lagi khayalan tingkat tinggiku keluar."Hai.” Jannah mengibaskan tangan kanannya ke wajahku."Iya.”"Mau dibuatkan telur mata apa?""Mata buaya," jawabku sambil tersenyum mengeluarkan satu lesung pipiku."Ah, Abang.” Jannah mencubit pinggangku lagi."Kamu betah enggak tinggal di sini?" Tanyaku untuk membuka pembicaraan memancing Jannah kembali.Aku hanya sekedar ingin tahu bagaimana sifatnya? Apa ia wanita yang baik? Aku tak ingin lagi tergoda pada wanita karena hanya memandang wajah cantiknya saja. Aku ingin seorang wanita yang bukan hanya cantik wajahnya tapi juga cantik hatinya."Betah, ada apa tanya seperti itu?""Kenapa kamu bisa betah tinggal di sini?" Tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaan Jannah."Itu semua karena Tante dan Om baik sama aku," jawab Jannah dengan membalik telur dadar mata sapi yang aku pinta."Hanya itu?""Iya, hanya itu. Ih, apaan sih Bang tanya terus," jawab Jannah sambil menjinjing daun telingaku."Aduh, sakit Tuan putri," jawabku yang seolah-olah kesakitan."Kamu, sih!""Kenapa?""Tanya terus, nih telur mata buayanya. Pesanan kamu.” Jannah memberikan telur dadar yang sudah berada diatas piring itu untukku.****"Husien," teriak ibu."Iya, Nyonya. Sebentar!” Aku berlari ke ruang tamu dan aku tinggalkan Jannah di dapur beserta telur dadar yang telah aku taruh di atas meja."Ini ada Zay," tunjuk mama pada Zay yang tengah duduk di kursi."Selamat malam, Bos," ucap Zay kemudian berdiri dari kursi sembari mengulurkan pergelangan tangan kanannya."Malam juga," jawabku sembari menyambut uluran tangan Zay."Mari silakan duduk,” ajakku pada Zay sembari melebarkan tangan kananku."Terima kasih," sahut Zay sambil tersenyum."Bagai mana kabarmu?""Ya, seperti yang kau lihat ini," jawabku santai."Makin tampan saja ya kamu," puji Zay padaku."Terima kasih My Best Friends.” Aku tersenyum dengan mengeluarkan sederet gigi putihku. Biasalah senyum pepsodent."Manis." Mata Zay melirik ke kanan."Siapa?""Yang di belakangmu." mata Zay tak berkedip sedikit pun.Aku toleh ke belakangku. Rupanya Jannah sedang membawakan dua gelas jus untuk kami."Asisten rumah tangga baru?" Tunjuk Zay pada Jannah."Iya," jawabku."Bang, kok kamu sih yang jawab, harusnya aku kan yang jawab," ucap Jannah."Ya, jelaslah dia yang jawab karena dia ....," Zay menghentikan perkataannya.Aduh, aku lupa tadi bilang sama Zay jika aku sedang menjalankan drama cinta dalam rumahku sendiri."Dia apa? Siapa dia?" Jannah bingung sambil menatap wajahku."Maksudnya dia ....," Aku terhenti karena ibu memanggil Jannah."Jannah, ambilkan Tante buah di dalam kulkas," teriak mami dari dalam kamar."Iya Tante," jawab Jannah sambil berlari ke arah panggilan itu."Syukurlah," Aku mengelus dadaku perlahan."Apa yang terjadi?" Tanya Zay bingung.Aku mendekat pada Zay dan aku mencoba menjelaskan secara perlahan. Semoga Zay mengerti dan ikut bergabung dalam misiku."Bagaimana Zay?"Zay terdiam dan berpikir sejenak."Baiklah.” Zay tersenyum. "Tolong jaga rahasia ini, jangan sampai bocor.” Aku mendekat dan berbisik di telinga Zay. "Kayak ember saja mulutku, enggak mungkin lah bocor, kamu itu sahabatku sejak dari kecil," sahut Zay. "Terus usaha toko bajuku bagai mana?" "Oke! Aku yang akan urus untuk sementara waktu," jawab Zay. "Terima kasih banyak. Kamu memang temanku yang paling baik.” Aku memuji Zay dengan menepuk pundaknya. Rencanaku mulai berjalan. Semua orang terdekatku mendukung rencanaku dan ikut menjalankan misiku. “Yes, yes. Semoga berjalan dengan lancar,” ucapku sembari tersenyum dalam hati. Zay terus memandangku dengan tatapan yang tak seperti biasa. Aku kemudian memegang wajahku, melihat bajuku, seluruh tubuhku, apa ada yang salah dengan penampilanku? Kok, Zay memandangku seperti itu. "Kenapa?" tanyaku dengan kening yang mengerut. "Aku hanya bingung," jawab Zay. "Kenapa bingung?" "Biasanya seleramu gadis papan atas dan berkelas, kok bisa ya kamu jatuh cinta sama asisten rumah
Kring! Suara ponsel jadul Jannah berdering. "Selamat pagi Tuan Putri.” Terdengar suara wanita dari balik telepon. "Selamat pagi juga. Siapa ini?" Tanya Jannah. "Apa nomorku enggak kamu simpan?" Tanyaku. Terkejut. Saat Jannah melihat nama pemanggil di layar kaca ponselnya, Jannah terkejut. "Astaga, Raudhatul?" Tanya Jannah dengan suara yang keras pada balik telepon layaknya menggetarkan bumi saja. "Iya, aku Raudhatul. Jangan teriak dong Jannah! Sakit nih telingaku mendengarnya,” Tegur Atul. "Bagaimana kabarmu?" Tanya Atul dari balik telepon. "Baik, kau sekarang ada di mana? Masih di kampung atau masih di luar kota?" Tanya Jannah sambil merapikan rambutnya di depan kaca. "Aku sudah di kota lain. Aku berhenti di tempat kerjaku yang dulu karena bosku gulung tikar.” Atul bersedih menceritakan nasibnya. "Di kota mana?" "Di kota yang begitu ramai penduduknya. Aku di sini bekerja sebagai ... Ah, aku malu." Atul kemudian meringis. "Kenapa harus malu? Kamu kan teman sepermainanku se
"Hmm ...." Aku pura-pura batuk. Sebenarnya tenggorokanku tidak gatal."Nah minum!" Jannah memberikanku sebotol air mineral."Iya, terima kasih." Aku meminumnya sesenggukan."Kamu pilih baju yang mana?" Tanyaku membuka pembicaraan."Entahlah, di sini bajunya bagus semua." Jannah bingung."Ini pegang." Aku memberikan botol air mineral padanya.Aku mencoba memilihkan gaun untuk Jannah, aku bolak-balik gaun jualanku sendiri. Aku pilih warna gaun yang cocok dengan kulit Jannah. Warna kuning langsat sebagai pilihanku. Ya, sepertinya ini cocok. "Ini, coba pakailah di ruang ganti." Aku memberikan gaun itu pada Jannah.Tanpa banyak tanya dan basa-basi Jannah menurut saja apa kataku."Ya Allah ini bidadari cantik sekali." Aku pusut-pusut kedua bola mataku berulang kali saat melihat Jannah keluar dari ruang ganti."Bagaimana? Bagus tidak?" Tanya Jannah yang telah berdiri tepat di hada
“Sudah?” tanyaku sambil menaruh piring di atas meja yang terletak di sudut kamar. “Iya, terima kasih,” jawab Jannah sembari menyapu mulutnya dengan tisu. “Minum obat dulu,” pintaku dengan membuka bungkus obat lalu memberikannya ke telapak tangan kanan Jannah. “Ini airnya.” Kuberikan sebotol air mineral. Saat Jannah meminum obat, kurapikan bantalnya. “Istirahatlah!” perintahku lalu aku belai rambut Jannah. Saat ia pingsan tadi aku meminta Atul untuk melepas Jilbabnya. Tanpa banyak komentar Jannah merebahkan tubuhnya kembali di atas kasur tepat bersebelahan dengan Atul. Aku ambil selimutnya yang tersusun di lemari, kuselimutkan ke tubuhnya agar ia merasa hangat. “Terima kasih.” begitulah sahutan dari mulut Jannah sebelum ia menutup mata untuk bermimpi indah malam itu. “Selamat malam. Tidur yang nyenyak.” kuakhiri kata dengan menutup pintu kamarnya. Pagi yang indah. Malam tadi aku serasa tak bisa tidur. Kugulingkan tubuhku ke sana kemari. Aku selalu ke pikiran Jannah. Aku takut j
“Sudah siap?” tanyaku dengan diiringi kedua bola mataku yang membulat melihat penampilan Jannah malam ini. Bola matanya yang indah, bulu matanya yang tebal dan panjang, tetapi tak lentik. Hidungnya yang seperti hidungku bak piramida. Begitu pula dengan polesan lipstik merah delima di bibirnya. Duhai Jannah, jantungku terasa bergendang begitu cepat. “Hai.” Ibu mengibaskan tangan kanannya tepat di depan wajahku. “E-iya, Bu,” perasaan gugup menyelimutiku saat aku berada di depan Jannah. “Kamu kenapa?” tanya ibu. “Enggak kenapa-napa,” jawabku. Kedua bola mataku terus tertuju ke arah Jannah. “Kamu terpesona ya dengan kecantikan Jannah?” bisik ibu di telinga sebelah kananku. “Enggak.” Aku menyembunyikan perasaanku yang menggebu. “Kenapa bola matamu melotot ke arah Jannah terus?” tanya ibu. “Telat nih! Aku tunggu di mobil.” Aku mengalihkan pembicaraan dan berlalu pergi meninggalkan ibu dan Jannah. **** “Tante, aku pamit dulu ya,” Jannah mencium punggung tangan kanan ibuku. “Iya, h
“Ibuuuu ....,” Liana mendekati wanita itu seraya memeluknya. “Memalukan,” ucap wanita itu dengan wajah yang tampak malu. “Aku masih mencintai Bang Husien, Bu,” lirihnya. “Ayo, pulang!” Wanita itu memaksa Liana untuk pulang. Wanita setengah baya itu rupanya ialah ibu Liana, ia datang ke pesta itu bersama Liana. Ibu Liana adalah saudara dari sang pemilik pesta mewah malam ini. “Aku masih ingin di sini. Aku masih ingin menikmati pesta ini,” jawab Liana dengan menangis hebat di dalam pelukan ibunya. “Ibu malu dengan olahmu malam ini,” bisik ibunya di telinga Liana dengan menarik tangan kirinya membawa Liana masuk ke dalam mobil. Atul yang melihat akan hal itu. Sesuatu yang sangat tampak di depan matanya. Sebuah pertunjukkan gratis tentang cinta. Mulailah terlintas pikiran konyolnya. “Seandainya aku di perebutkan oleh dua lelaki sekaligus atau bahkan tiga lelaki. Duh ... senangnya.” Kata itulah yang terlintas di pikiran Atul. Sejenak Atul termenung membayangkan betapa indahnya jika
Dengan melirik kaca spion mobil, aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Gawaiku terus berdering, tapi tak aku hiraukan. Ia berkonsentrasi dalam menyetir mobil untuk melihat jalanan dengan tatapan mata yang tajam. Jannah sangat ketakutan. Mulutnya mit komat kamit memanjatkan doa kepada Sang Pencipta agar aku dan dia selamat dari kejaran orang-orang tersebut. “Sien, hati-hati!” teriak Jannah. “Iya, sayang,” sahut Husien. Jannah melongo. Mata Jannah membulat disertai dengan bibir Jannah membentuk huruf O. Rasa tak percaya dengan apa yang telah didengarnya tadi. Ia mengucek-ngucek kedua matanya kemudian mencubit pipinya sendiri. “Aw, sakit,” teriaknya. “Kenapa?” tanyaku dengan menurunkan kecepatan mobil. “Aku hanya mencubit pipiku sendiri,” jawab Jannah menyembunyikan wajahnya di balik jilbabnya. Tingkah konyol Jannah membuatku malu ketika aku mendengar dan bertanya tentang sebuah teriakan yang menggetarkan mobilku dan membuat telingaku sakit. “Oh, aku kira kamu kenapa-napa
Tepat pukul 08.00 pagi, aku telah berada di ruang meeting. Sementara itu, Jannah kutinggal sebentar di kampus. Aku bilang padanya jika aku akan mengantar Nyonya berbelanja ke Mall. Jannah percaya saja. Berarti satu masalah telah selesai. Sekarang aku akan menyelesaikan masalah yang lain dulu, yaitu kerja sama tentang pengembangan pabrik tekstilku ini dengan perusahaan yang menyediakan bahan baku. Masalah lain yang harus kuselesaikan ialah tentang restoranku karena ada beberapa data keuangan yang ganjil. Seperti inilah menjadi seorang pengusaha harus menghadapi segelintiran orang yang tak bertanggung jawab. Sikap yang diambil dalam hal ini harus teliti dan sabar dalam bertindak. Jangan gegabah. Itu yang selalu diingatkan ayah padaku. “Selamat pagi.” Aku mengucapkan salam pada semua orang yang telah menunggu kedatanganku sedari tadi di dalam ruangan ber AC. “Pagi, Pak.” Mereka menyahut salam dariku. Aku duduk di kursi takhtaku. Kubuka laptop dan beberapa lembar kertas yang harus sege