Dengan melirik kaca spion mobil, aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Gawaiku terus berdering, tapi tak aku hiraukan. Ia berkonsentrasi dalam menyetir mobil untuk melihat jalanan dengan tatapan mata yang tajam. Jannah sangat ketakutan. Mulutnya mit komat kamit memanjatkan doa kepada Sang Pencipta agar aku dan dia selamat dari kejaran orang-orang tersebut. “Sien, hati-hati!” teriak Jannah. “Iya, sayang,” sahut Husien. Jannah melongo. Mata Jannah membulat disertai dengan bibir Jannah membentuk huruf O. Rasa tak percaya dengan apa yang telah didengarnya tadi. Ia mengucek-ngucek kedua matanya kemudian mencubit pipinya sendiri. “Aw, sakit,” teriaknya. “Kenapa?” tanyaku dengan menurunkan kecepatan mobil. “Aku hanya mencubit pipiku sendiri,” jawab Jannah menyembunyikan wajahnya di balik jilbabnya. Tingkah konyol Jannah membuatku malu ketika aku mendengar dan bertanya tentang sebuah teriakan yang menggetarkan mobilku dan membuat telingaku sakit. “Oh, aku kira kamu kenapa-napa
Tepat pukul 08.00 pagi, aku telah berada di ruang meeting. Sementara itu, Jannah kutinggal sebentar di kampus. Aku bilang padanya jika aku akan mengantar Nyonya berbelanja ke Mall. Jannah percaya saja. Berarti satu masalah telah selesai. Sekarang aku akan menyelesaikan masalah yang lain dulu, yaitu kerja sama tentang pengembangan pabrik tekstilku ini dengan perusahaan yang menyediakan bahan baku. Masalah lain yang harus kuselesaikan ialah tentang restoranku karena ada beberapa data keuangan yang ganjil. Seperti inilah menjadi seorang pengusaha harus menghadapi segelintiran orang yang tak bertanggung jawab. Sikap yang diambil dalam hal ini harus teliti dan sabar dalam bertindak. Jangan gegabah. Itu yang selalu diingatkan ayah padaku. “Selamat pagi.” Aku mengucapkan salam pada semua orang yang telah menunggu kedatanganku sedari tadi di dalam ruangan ber AC. “Pagi, Pak.” Mereka menyahut salam dariku. Aku duduk di kursi takhtaku. Kubuka laptop dan beberapa lembar kertas yang harus sege
Di sebuah gudang tua. Di sanalah Jannah di sandera. Sepi. Suasananya menyeramkan. Hening. Tak terlihat sedikit pun sesosok manusia berkeliaran. Aku terus mengayunkan langkah kakiku. Sementara itu, mobilku terparkir di samping rerimbunan pohon bambu hijau. Di sekeliling tempat ini hanya terdapat beberapa rumah warga sekitar. Itu pula jaraknya berjauhan. Di ujung kampung. Tepatnya di dekat hutan belantara. Seperti yang terlihat dari luar, dulu gudang ini adalah gudang yang di pergunakan warga untuk menggiling padi, tapi telah lama gudang ini tak beroperasi lagi. Sementara itu dari jarak kejauhan, beberapa bodyguardku beserta polisi telah mengintai. Mereka menyamar sebagai warga sekitar situ. Di dalam kantong sakuku telah terpasang alat perekam suara untuk menghubungkan aku ke beberapa bodyguardku. Kubuka pintu gudang itu. Senyap. Banyak sekali sarang laba-laba yang bergelantungan di tiap sudut ruangan. Ruangan itu terlihat sangat kotor. Terdengar suara wanita memanggil namaku. “Bang H
“Jannah, kau harus kuat. Kau harus bertahan untukku.” Derai air mataku jatuh lagi membasahi wajah Jannah, tetapi mata Jannah masih tertutup tanpa berkedip sedikit pun.“AKU MENCINTAIMU.” Aku dekatkan mulutku ke telinga kanannya. Beberapa kali kalimat itu aku ulang hingga aku tak sadar jika ada Atul yang sedang memperhatikanku di ruangan itu. Aku tak bisa main sandiwara lagi. Aku sangat takut kehilangan Jannah.Secara tidak di rencanakan Jannah bertemu dengan ibu di sebuah pusat perbelanjaan lalu Jannah datang ke rumahku untuk melamar menjadi asisten rumah tangga. Pada pandangan pertama, aku pun jatuh cinta. Rasa cintaku itu mulai tumbuh hanya sedikit hingga akhirnya kami seatap. Dari sanalah cinta mulai bersemi lalu akhirnya semakin subur dan mekar. Cinta yang tumbuh tanpa permisi dan rindu pun kerap berlabuh tanpa konfirmasi. Jatuh cinta pada Jannah adalah hal terbaik kedua yang pernah terjadi dalam hidupku. Yang pertama? Aku telah menemukannya.Hid
"Selamat pagi, Pak." Sekretaris Restoran telah menungguku di depan pintu masuk Restoran."Pagi," ucapku tak bergeming."Bagai mana keuangan Restoran hari ini?" tanyaku sambil berjalan menuju ke ruangan ayah. Ya, tepatnya ruangan Direktur Utama."Keuangan terus menyusut Pak, sedangkan pengeluaran semakin bertambah," jawab sekretaris bertubuh seksi itu padaku."APA?" tanyaku dengan kedua mata yang membulat serta diiringi dengan nada yang sangat tinggi. Terkejut."Maaf, Pak." Sekretaris ayahku itu merasa takut. Ia menundukkan kepalanya. "Aku yang seharusnya meminta maaf padamu. Aku hampir saja emosi," ucapku dengan memencet bagian kepalaku."Resta, mana laporan keuangannya?""Ini, Pak." Sekretaris yang sudah lama ikut bersama Ayah bekerja di Restoran ini memberikan laporan itu padaku dengan kepala yang masih menunduk.Aku cek semua data-data Restoran dan beberapa pengeluaran juga pemasuk
Satu ....Dua ....Tiga ....Jannah membuka kedua matanya lalu aku mengeluarkan sebuah kotak berbentuk persegi empat dengan berukuran kecil dari saku celanaku beserta sepucuk bunga untuk Jannah yang telah aku selipkan di punggungku.Betapa bahagianya Jannah ketika melihat sepucuk bunga yang kuberi padanya. Terlihat dari raut wajahnya yang berseri serta bola matanya yang berkaca-kaca. Ya, sebuah air mata bahagia. Ingin titik, tapi sengaja untuk ditahan."Ini kotak apa, Bang?" tanya Jannah dengan kedua matanya yang terus melirik kotak kecil yang masih berada di dalam genggaman tanganku."Ambillah!" perintahku. Jannah meraih kotak itu dari telapak tanganku."Buat aku?" tanya Jannah sembari menunjuk pada wajah anggunnya."Iya, bunganya juga untuk kamu. Ambillah!" perintahku lagi. Jannah mengambil sepucuk bunga yang juga berada pada telapak tanganku.Aku menempelkan sepucuk bunga itu tepat
“Bagai mana ini jika Ayah marah besar padaku tentang aku yang tak bisa menjaga Jannah dengan baik hingga ia terluka? Bisa-bisa aku belum boleh menikahi Jannah karena Ayah pasti bilang kamu belum cukup umur untuk menjadi seorang kepala rumah tangga.” Kepalaku menggeleng berulang kali. Pusing aku jadinya jika seperti ini.Memang sih jika mencintai seseorang itu harus bisa juga menjaga dan membahagiakannya. Itu memang tugas dari seorang laki-laki, tetapi jika teledor seperti ini, apakah ini juga salahku? Entahlah! Jadi, malah pusing kepalaku.Aku menyetir mobil sungguh tak konsen. Yang ada di dalam pikiranku ini selalu saja Jannah hingga salah satu bodyguardku menegurku karena melihat wajahku yang seakan terbawa ke dunia maya.“Den, biar aku ganti saja menyetirnya.” Bodyguardku menawarkan dirinya untuk menyetir mobilku. Sebenarnya aku lebih suka menyetir sendiri ketimbang orang lain yang menyetir mobil buatku, tapi ini demi kebaikanku, lebih
Kubuka sebelah mataku. Suasana kamar masih terlihat cahaya lampu sedangkan di luar sana masih terlihat gelap. Kulihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, ternyata masih jam empat pagi. Aku beranjak bangun dari sofa dengan mengucek-ngucek kedua mataku. Kutoleh ke arah Jannah, ternyata ia sudah bangun dan sedang duduk bersandar di atas kasur. Matanya terus menatap ke arah pintu. Saat kulihat ke arah pintu, tak ada siapa pun atau mungkin Jannah lagi mengkhayal. Yang ada di depan pintu cuma beberapa bodyguardku yang berjaga silih berganti. Terus apa yang sedang Jannah pikirkan? Aku jadi penasaran. Aku jadi ketularan Atul dan Bi Lasmi tentang rasa penasaran yang tingkat tinggi.Aku perlahan mendekati Jannah. Aku berjanji dalam hatiku sendiri jika aku akan membahagiakan Jannah dengan seluruh jiwa ragaku. Aku sangat ingin tahu tentang apa yang sedang Jannah pikirkan.Kulangkahkan kakiku perlahan dengan berharap semoga Jannah mau bicara padaku tentang m