Suasana Restoran semakin ramai saja sampai sore ini. Jika masih ramai seperti ini terpaksa semua karyawan harus di lemburkan sampai Restoran sepi pengunjung. Aku juga sangat kelelahan. Dari tadi aku mondar mandir sedari pagi melayani para pengunjung. Kalau lagi lelah begini jika aku melihat wajah Jannah atau hanya dengar suaranya saja, rasa lelahku akan punah seketika. Jannah memang jantung hatiku. Ia penyemangat hari-hari yang aku lalui. Lebih baik aku telepon saja dia. Sedang apa dia sekarang ini? Aku merogoh ponselku di dalam saku celanaku.
"Hai," sapa Lucki yang membuatku terkejut.Aku terperanjat. Rasa mau copot saja jantungku. Ia tiba-tiba muncul di depanku."Mana gadismu?"Lucki tiba-tiba menanyakan tentang calon istriku. Rasa penasaran tingkat tinggi masih saja bertengger di kepalanya.Aku hanya diam."Mana?" tanyanya lagi."A-nu ... Dia ... Ya, dia ada di rumah sakit,” jawabku. Pasti Lucki tertawa karena"Ayo masuk!" aku menarik tangan kiri Lucki."Oh, kamu ternyata sudah bangun sayang?" tanyaku saat melihat Jannah membuka matanya."Iya, kamu baru datang ya? Nyonya mana?" tanya Jannah dengan mata menyebar ke sekitar ruangan itu."Nyonya sudah pulang ke rumah. Sekarang aku yang nunggu kamu di sini." Lucki masih tetap berada di sampingku. Ia menatap pekat wajah Jannah."Ingat, jangan jatuh cinta!" Aku bisikkan kalimat itu di telinga kiri Lucki."Iya, aku tahu." Lucki membalas bisikanku."Itu siapa?" tanya Jannah ketika melihat Lucki yang sedari tadi tersenyum simpul padanya."Oh, ini putranya Nyonya. Ia baru saja pulang dari luar negeri. Mulai hari ini, ia akan tinggal di Indonesia dan membantu Tuan besar untuk mengurus beberapa usahanya di sini." Mulai lagi kebohonganku yang ke sekian kalinya terhadap Jannah."Oh, kenalkan namaku Jannah. Aku salah satu asisten rumah tangga yang sudah cukup lama bekerja d
Pagi ini Jannah sudah menyiram bunga di halaman belakang, samping, hingga pada halaman depan rumah. Rupanya Jannah telah tampak sehat. Syukurlah. Kulihat pemandangan di sana seperti orang yang pernah kukenal sebelumnya. Ah, dia rupanya Lucki. Pandangannya ada yang aneh saat melihat Jannah. Jangan-jangan ia kepincut dengan pesona Jannah. Sesuai perjanjian, Lucki tidak boleh jatuh cinta. Jika Lucki melanggar perjanjian itu, maka ia akan tahu akibatnya. Aku akan melakukan apa pun agar Jannah tidak bisa jatuh hati pada Lucki."Sini! Biar kubantu." Lucki mendekati Jannah."Enggak usah, Den," tolak Jannah."Enggak apa! Biar kamu tidak terlalu lelah. Kamu kan baru sembuh." Lucki mengambil slang air yang berada di dalam genggam Jannah."Aku enggak enak sama Nyonya jika aku hanya berdiam diri saja," ucap Jannah."Ah, enggak apa. Nyonya pasti mengerti." Lucki menyemburkan air di slang ke beberapa tanaman serta bunga-bunga di halama
Seharian di sibukkan dengan pekerjaan yang begitu banyak. Bertemu dengan klien, survei lapangan, belum lagi meeting dengan beberapa karyawan. Huh, sangat melelahkan. Aku mengusap seluruh keringat yang mengucur di seluruh wajahku. Teringat janjiku pada Jannah, ketika aku melihat jam pada pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek telah menunjukkan angka lima sedangkan jarum panjangnya telah menunjukkan angka dua belas. Huh, Jannah pasti telah menungguku. Jika aku terlambat, ia pasti memasang wajah cemberut.Lagi-lagi aku bertukar peran dengan Lucki. Seolah-olah Lucki adalah anak dari orang tuaku sedangkan aku adalah anak dari orang tuanya Lucki. Syukurlah Lucki dan orang tuanya mau bertukar peran denganku. Mereka juga mau melakukan semua itu demi kebaikanku karena bukan hanya aku dan mereka masih ada ikatan keluarga, tapi juga Lucki dan aku sejak kecil selalu bersama layaknya Lucki seperti adikku sendiri.Kring!Ponselku berdering. Kulihat pada
Kasir itu hanya terdiam. Ia tampak semakin bingung dengan sikapku, tapi aku santai saja. Apa pun penilaian kasir itu terhadapku, itu tidak penting bagiku. Yang terpenting saat ini adalah Jannah. Aku takut jika Jannah merajuk karena aku terlambat pulang ke rumah. Kulihat ke langit, matahari sudah hampir menyembunyikan wajahnya. Sudah hampir malam. Aku segera pulang ke rumah walaupun hujan masih belum juga reda. Hujan masih terus saja mengguyur ibu kota sedangkan petirnya telah berhenti.Aku berlari menuju ke arah parkiran mobil dan dengan cepat membuka pintunya. Aku segera masuk ke dalam mobilku dan segera aku hidup kan mesinnya. Huh, bajuku sedikit basah. Tak apalah, yang penting aku harus berhati-hati menyetir mobil untuk melintasi jalan dengan hujan yang cukup deras seperti ini.Ponselku berdering lagi. Kulihat pada layar depan ternyata panggilan itu dari Jannah. Ah, bagaimana ini? Aku terima sambungan teleponnya atau ...?” aku pikir-pikir
“Tante?” tanya Jannah padaku. Bingung.“Bukan Tante, si cerewet ini hanya salah bicara saja.” Kutoyor adik lucky itu.“Apaan sih?” tanyanya tanpa tahu permasalahannya.“Maksudnya bukan Tante, tetapi Ibu. Iya kan?” tanya ibunya Lucky sambil mengedipkan satu mata pada anak bungsunya itu.“I-iya ...,” jawab adik Lucky.Jannah tersenyum ke arahku. Hampir saja ketahuan. Untung saja tanteku bisa meyakinkan Jannah.Selama di rumah orang tua Lucky, Jannah disambut dengan baik oleh mereka. Jannah sangat pandai bicara pada orang tua Lucky hingga mereka cepat akrab dengan Jannah.Saat Jannah sedang berada di toilet, ibunya Lucky memuji Jannah padaku. “Beruntung sekali kamu, Sien,” bisik tanteku.“Maksudnya?” kedua bola mataku terbelalak. Tak paham.“Beruntung karena kamu telah memilih Jannah menjadi calon pendamping hidupmu. Ia baik, cantik, dan lugu,” ucap tante.Aku tersenyum.
Kugeser layar utama ponselku lalu kupencet tombol hijau dan panggilan pun akhirnya tersambung. “Halo,” ucapku.“Halo, Bang Husien. Cepatlah pulang ke rumah,” sahut Atul dari balik telepon. Dari nada bicaranya seperti terlihat gugup dan khawatir.“Apa yang terjadi?” tanyaku yang ikut-ikutan khawatir, tetapi tak gugup.“Jannah, Bang,” jawab Atul.“Kenapa?”Tak ada jawaban.“Ada apa dengannya?” tanyaku lagi dengan perasaan yang makin khawatir ketika kudengar nama Jannah.“Jannah membereskan pakaiannya. Ia akan segera pulang ke kampung dan berhenti bekerja di rumahmu, Bang,” jawab Atul.“Ayah dan Ibu tak melarangnya atau berusaha menghentikan langkahnya?” tanyaku lagi.“Awalnya sih, iya, tetapi kelamaan mereka mengikuti apa maunya Jannah karena Jannah bersikeras untuk berhenti bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahmu, Bang. Kamu cepatlah pulang ke rumah jika kamu memang mencintai Ja
Aku terpaksa pura-pura miskin untuk mencari wanita yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa memandang segi materi. Aku terlalu sering di tipu oleh berbagai wanita karena mereka hanya ingin hartaku, tapi bukan dengan diriku. Aku sangat trauma akan hal itu. Aku sebenarnya tak ingin beristri, tapi ibu dan ayahku selalu memaksaku agar cepat beristri. Jika aku tak beristri, maka tak akan ada cucu, yaitu anak biologis dariku dan jika tak ada cucu, maka tak ada pula pewaris perusahaan selanjutnya. Apalah dayaku, jika aku seorang pewaris tunggal perusahaan dan harus melanjutkan sebuah usaha papi yang telah di bangunnya dari nol hingga maju pesat seperti sekarang ini, tapi aku juga tak ingin menikahi seorang wanita yang hanya menggerogoti hartaku saja. Aku ingin wanita yang benar-benar mencintai aku dari hati dan karena Allah, bukan karena sebuah ambisi untuk memiliki hartaku seperti sederet mantan kekasihku dulu dan bukan pula memandangku dari fisikku yang cool dan sedikit ganteng, bisa di bi
Wanita ini sungguh memesona. Dari mimik wajahnya, ia terlihat lugu. Dengan kerudung merahnya yang serasi warna dengan gaunnya membuat ia terlihat sangat anggun dan shalehah. "Huh, apa-apaan ini? Dasar laki-laki, mengapa aku harus memikirkan dia terus? Rupanya aku memang sudah benar-benar cinta.” Aku memukul keningku dengan telapak tanganku sembari aku berjalan menuju ke ruang makan kembali setelah mengantar Jannah yang telah beristirahat di kamarnya. "Yah, mari aku antar?" Ayah melongo melihat tingkahku. "Tak usahlah, Sien," jawab ayah. "Masa Ibu lupa? Kita kan sedang bersandiwara ini." "Apa harus kamu Sien yang mengantar Papi ke kantor tiap pagi?" Tanya ayah diiringi kening yang mengerut. "Iya, Yah! Demi sebuah sandiwara.” Aku melebarkan senyum. "Terus toko baju yang baru kamu buka, bagai mana Sien? Siapa yang mengurusnya nanti?" ayah mengarahkan pandangannya ke ibu. "Iya, Sien, bagai mana tuh? Lagian kamu kan sudah beli toko itu sekalian sudah kamu isi tokonya dengan berbaga