Kasir itu hanya terdiam. Ia tampak semakin bingung dengan sikapku, tapi aku santai saja. Apa pun penilaian kasir itu terhadapku, itu tidak penting bagiku. Yang terpenting saat ini adalah Jannah. Aku takut jika Jannah merajuk karena aku terlambat pulang ke rumah.
Kulihat ke langit, matahari sudah hampir menyembunyikan wajahnya. Sudah hampir malam. Aku segera pulang ke rumah walaupun hujan masih belum juga reda. Hujan masih terus saja mengguyur ibu kota sedangkan petirnya telah berhenti.Aku berlari menuju ke arah parkiran mobil dan dengan cepat membuka pintunya. Aku segera masuk ke dalam mobilku dan segera aku hidup kan mesinnya. Huh, bajuku sedikit basah. Tak apalah, yang penting aku harus berhati-hati menyetir mobil untuk melintasi jalan dengan hujan yang cukup deras seperti ini.Ponselku berdering lagi. Kulihat pada layar depan ternyata panggilan itu dari Jannah. Ah, bagaimana ini? Aku terima sambungan teleponnya atau ...?” aku pikir-pikir“Tante?” tanya Jannah padaku. Bingung.“Bukan Tante, si cerewet ini hanya salah bicara saja.” Kutoyor adik lucky itu.“Apaan sih?” tanyanya tanpa tahu permasalahannya.“Maksudnya bukan Tante, tetapi Ibu. Iya kan?” tanya ibunya Lucky sambil mengedipkan satu mata pada anak bungsunya itu.“I-iya ...,” jawab adik Lucky.Jannah tersenyum ke arahku. Hampir saja ketahuan. Untung saja tanteku bisa meyakinkan Jannah.Selama di rumah orang tua Lucky, Jannah disambut dengan baik oleh mereka. Jannah sangat pandai bicara pada orang tua Lucky hingga mereka cepat akrab dengan Jannah.Saat Jannah sedang berada di toilet, ibunya Lucky memuji Jannah padaku. “Beruntung sekali kamu, Sien,” bisik tanteku.“Maksudnya?” kedua bola mataku terbelalak. Tak paham.“Beruntung karena kamu telah memilih Jannah menjadi calon pendamping hidupmu. Ia baik, cantik, dan lugu,” ucap tante.Aku tersenyum.
Kugeser layar utama ponselku lalu kupencet tombol hijau dan panggilan pun akhirnya tersambung. “Halo,” ucapku.“Halo, Bang Husien. Cepatlah pulang ke rumah,” sahut Atul dari balik telepon. Dari nada bicaranya seperti terlihat gugup dan khawatir.“Apa yang terjadi?” tanyaku yang ikut-ikutan khawatir, tetapi tak gugup.“Jannah, Bang,” jawab Atul.“Kenapa?”Tak ada jawaban.“Ada apa dengannya?” tanyaku lagi dengan perasaan yang makin khawatir ketika kudengar nama Jannah.“Jannah membereskan pakaiannya. Ia akan segera pulang ke kampung dan berhenti bekerja di rumahmu, Bang,” jawab Atul.“Ayah dan Ibu tak melarangnya atau berusaha menghentikan langkahnya?” tanyaku lagi.“Awalnya sih, iya, tetapi kelamaan mereka mengikuti apa maunya Jannah karena Jannah bersikeras untuk berhenti bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahmu, Bang. Kamu cepatlah pulang ke rumah jika kamu memang mencintai Ja
Aku terpaksa pura-pura miskin untuk mencari wanita yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa memandang segi materi. Aku terlalu sering di tipu oleh berbagai wanita karena mereka hanya ingin hartaku, tapi bukan dengan diriku. Aku sangat trauma akan hal itu. Aku sebenarnya tak ingin beristri, tapi ibu dan ayahku selalu memaksaku agar cepat beristri. Jika aku tak beristri, maka tak akan ada cucu, yaitu anak biologis dariku dan jika tak ada cucu, maka tak ada pula pewaris perusahaan selanjutnya. Apalah dayaku, jika aku seorang pewaris tunggal perusahaan dan harus melanjutkan sebuah usaha papi yang telah di bangunnya dari nol hingga maju pesat seperti sekarang ini, tapi aku juga tak ingin menikahi seorang wanita yang hanya menggerogoti hartaku saja. Aku ingin wanita yang benar-benar mencintai aku dari hati dan karena Allah, bukan karena sebuah ambisi untuk memiliki hartaku seperti sederet mantan kekasihku dulu dan bukan pula memandangku dari fisikku yang cool dan sedikit ganteng, bisa di bi
Wanita ini sungguh memesona. Dari mimik wajahnya, ia terlihat lugu. Dengan kerudung merahnya yang serasi warna dengan gaunnya membuat ia terlihat sangat anggun dan shalehah. "Huh, apa-apaan ini? Dasar laki-laki, mengapa aku harus memikirkan dia terus? Rupanya aku memang sudah benar-benar cinta.” Aku memukul keningku dengan telapak tanganku sembari aku berjalan menuju ke ruang makan kembali setelah mengantar Jannah yang telah beristirahat di kamarnya. "Yah, mari aku antar?" Ayah melongo melihat tingkahku. "Tak usahlah, Sien," jawab ayah. "Masa Ibu lupa? Kita kan sedang bersandiwara ini." "Apa harus kamu Sien yang mengantar Papi ke kantor tiap pagi?" Tanya ayah diiringi kening yang mengerut. "Iya, Yah! Demi sebuah sandiwara.” Aku melebarkan senyum. "Terus toko baju yang baru kamu buka, bagai mana Sien? Siapa yang mengurusnya nanti?" ayah mengarahkan pandangannya ke ibu. "Iya, Sien, bagai mana tuh? Lagian kamu kan sudah beli toko itu sekalian sudah kamu isi tokonya dengan berbaga
"Baiklah.” Zay tersenyum. "Tolong jaga rahasia ini, jangan sampai bocor.” Aku mendekat dan berbisik di telinga Zay. "Kayak ember saja mulutku, enggak mungkin lah bocor, kamu itu sahabatku sejak dari kecil," sahut Zay. "Terus usaha toko bajuku bagai mana?" "Oke! Aku yang akan urus untuk sementara waktu," jawab Zay. "Terima kasih banyak. Kamu memang temanku yang paling baik.” Aku memuji Zay dengan menepuk pundaknya. Rencanaku mulai berjalan. Semua orang terdekatku mendukung rencanaku dan ikut menjalankan misiku. “Yes, yes. Semoga berjalan dengan lancar,” ucapku sembari tersenyum dalam hati. Zay terus memandangku dengan tatapan yang tak seperti biasa. Aku kemudian memegang wajahku, melihat bajuku, seluruh tubuhku, apa ada yang salah dengan penampilanku? Kok, Zay memandangku seperti itu. "Kenapa?" tanyaku dengan kening yang mengerut. "Aku hanya bingung," jawab Zay. "Kenapa bingung?" "Biasanya seleramu gadis papan atas dan berkelas, kok bisa ya kamu jatuh cinta sama asisten rumah
Kring! Suara ponsel jadul Jannah berdering. "Selamat pagi Tuan Putri.” Terdengar suara wanita dari balik telepon. "Selamat pagi juga. Siapa ini?" Tanya Jannah. "Apa nomorku enggak kamu simpan?" Tanyaku. Terkejut. Saat Jannah melihat nama pemanggil di layar kaca ponselnya, Jannah terkejut. "Astaga, Raudhatul?" Tanya Jannah dengan suara yang keras pada balik telepon layaknya menggetarkan bumi saja. "Iya, aku Raudhatul. Jangan teriak dong Jannah! Sakit nih telingaku mendengarnya,” Tegur Atul. "Bagaimana kabarmu?" Tanya Atul dari balik telepon. "Baik, kau sekarang ada di mana? Masih di kampung atau masih di luar kota?" Tanya Jannah sambil merapikan rambutnya di depan kaca. "Aku sudah di kota lain. Aku berhenti di tempat kerjaku yang dulu karena bosku gulung tikar.” Atul bersedih menceritakan nasibnya. "Di kota mana?" "Di kota yang begitu ramai penduduknya. Aku di sini bekerja sebagai ... Ah, aku malu." Atul kemudian meringis. "Kenapa harus malu? Kamu kan teman sepermainanku se
"Hmm ...." Aku pura-pura batuk. Sebenarnya tenggorokanku tidak gatal."Nah minum!" Jannah memberikanku sebotol air mineral."Iya, terima kasih." Aku meminumnya sesenggukan."Kamu pilih baju yang mana?" Tanyaku membuka pembicaraan."Entahlah, di sini bajunya bagus semua." Jannah bingung."Ini pegang." Aku memberikan botol air mineral padanya.Aku mencoba memilihkan gaun untuk Jannah, aku bolak-balik gaun jualanku sendiri. Aku pilih warna gaun yang cocok dengan kulit Jannah. Warna kuning langsat sebagai pilihanku. Ya, sepertinya ini cocok. "Ini, coba pakailah di ruang ganti." Aku memberikan gaun itu pada Jannah.Tanpa banyak tanya dan basa-basi Jannah menurut saja apa kataku."Ya Allah ini bidadari cantik sekali." Aku pusut-pusut kedua bola mataku berulang kali saat melihat Jannah keluar dari ruang ganti."Bagaimana? Bagus tidak?" Tanya Jannah yang telah berdiri tepat di hada
“Sudah?” tanyaku sambil menaruh piring di atas meja yang terletak di sudut kamar. “Iya, terima kasih,” jawab Jannah sembari menyapu mulutnya dengan tisu. “Minum obat dulu,” pintaku dengan membuka bungkus obat lalu memberikannya ke telapak tangan kanan Jannah. “Ini airnya.” Kuberikan sebotol air mineral. Saat Jannah meminum obat, kurapikan bantalnya. “Istirahatlah!” perintahku lalu aku belai rambut Jannah. Saat ia pingsan tadi aku meminta Atul untuk melepas Jilbabnya. Tanpa banyak komentar Jannah merebahkan tubuhnya kembali di atas kasur tepat bersebelahan dengan Atul. Aku ambil selimutnya yang tersusun di lemari, kuselimutkan ke tubuhnya agar ia merasa hangat. “Terima kasih.” begitulah sahutan dari mulut Jannah sebelum ia menutup mata untuk bermimpi indah malam itu. “Selamat malam. Tidur yang nyenyak.” kuakhiri kata dengan menutup pintu kamarnya. Pagi yang indah. Malam tadi aku serasa tak bisa tidur. Kugulingkan tubuhku ke sana kemari. Aku selalu ke pikiran Jannah. Aku takut j