Share

Bab 4 (Bertemu Teman Lama)

Kring!

Suara ponsel jadul Jannah berdering.

"Selamat pagi Tuan Putri.” Terdengar suara wanita dari balik telepon.

"Selamat pagi juga. Siapa ini?" Tanya Jannah.

"Apa nomorku enggak kamu simpan?" Tanyaku. Terkejut.

Saat Jannah melihat nama pemanggil di layar kaca ponselnya, Jannah terkejut.

"Astaga, Raudhatul?" Tanya Jannah dengan suara yang keras pada balik telepon layaknya menggetarkan bumi saja.

"Iya, aku Raudhatul. Jangan teriak dong Jannah! Sakit nih telingaku mendengarnya,” Tegur Atul.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Atul dari balik telepon.

"Baik, kau sekarang ada di mana? Masih di kampung atau masih di luar kota?" Tanya Jannah sambil merapikan rambutnya di depan kaca.

"Aku sudah di kota lain. Aku berhenti di tempat kerjaku yang dulu karena bosku gulung tikar.” Atul bersedih menceritakan nasibnya.

"Di kota mana?"

"Di kota yang begitu ramai penduduknya. Aku di sini bekerja sebagai ... Ah, aku malu." Atul kemudian meringis.

"Kenapa harus malu? Kamu kan teman sepermainanku sedari kecil. Santai saja. Aku enggak akan menertawakanmu," sahut Jannah.

"Aku bekerja sebagai sopir angkot." Atul bicara dengan nada pelan.

"Hah? Sopir angkot? Jangan bercanda dong. enggak asyik bercandanya." Bola mata Jannah membulat.

"Iya, bukan serius lagi tapi seribu. suwir kewer-kewer deh," ucap Atul meyakinkan Jannah.

"Kenapa kamu mau jadi sopir angkot? Zaman sekarang ini banyak loh tindak kejahatan yang terjadi di dalam angkot. Memangnya kamu enggak takut?"

"Terus harus bagaimana lagi? Aku kan harus membiayai hidup Ibu dan adik-adikku. Dari pada aku jual diri mending aku jadi sopir angkot." Atul memberikan alasannya pada Jannah.

Dulu memang Atul pernah belajar menyopir waktu di kampung. Ia belajar memakai mobil pamannya dengan sepupunya akhirnya ia bisa, tetapi Atul belajar menyopir hanya untuk mengisi waktu luangnya saja sedangkan sepupunya itu ketika sudah bisa menyopir, ia bekerja sebagai sopir pribadi.

"Memangnya enggak ada pekerjaan lain selain jadi sopir angkot? Kamu kan gadis. Aku takut kamu kenapa-napa karena sopir angkot itu kan risikonya besar di kota besar seperti ini.” Jannah sangat mengkhawatirkan Atul.

"Tidak ada yang mau menerima aku bekerja selain jadi buruh karena kamu tahu sendiri kan ijazahku hanya sekolah lanjutan tingkat pertama saja." Atul bicara dengan nada lesu.

"Iya, sabar ya teman." Jannah menguatkan Atul.

"Aku jalani saja dulu jadi sopir angkot untuk menyambung hidup sambil aku cari pekerjaan yang lain," ucap Atul.

"Oke, semangat!"

"Terima kasih teman."

Telepon pun terputus. Mungkin sinyal kurang bagus karena pagi ini cuaca memang tidak bersahabat. Mendung diiringi dengan hujan rintik-rintik.

****

"Jannah, sudah selesai riasnya?" Tanya mami yang diambang pintu kamar Jannah telah terbuka sedari tadi.

"Bentar lagi Tante. Ada apa?"

"Kamu di tunggu Pak sopir sama om di teras depan."

"Iya, Tante."

Hari ini adalah hari pertama Jannah ke kampus. Ternyata Tante sekaligus Nyonya tempat Jannah bekerja memang baik hati. Ia tahu artinya balas budi. Hanya karena Jannah yang awalnya dari kampung lalu bingung harus mencari pekerjaan di Ibu kota yang penduduknya sangat padat dan tidak ada kenalan atau teman satu orang pun untuk mewujudkan cita-citanya menjadi desainer terkenal akhirnya ia modal nekat untuk melamar kerja ke beberapa toko-toko, rumah makan, swalayan, ataupun instansi dan sejenisnya dengan ijazah sekolah lanjutan menengah atas, tapi selalu ditolak. Jannah ingin bekerja sekaligus kuliah dengan uang dari hasil kerjanya. Sebenarnya ibu dan bapak Jannah di kampung melarang Jannah untuk ke kota, tetapi Jannah adalah gadis yang sangat gigih untuk meraih cita-citanya sampai akhirnya ketika Jannah kelelahan karena sudah wara wiri keluar masuk pada beberapa instansi lalu bertemulah dengan maminya Husien yang ketika itu sedang keberatan membawa berbagai macam belanjaan untuk menyetok keperluan selama sebulan dan di saat itu pula sopir pribadinya sedang pulang kampung akhirnya ia bawa mobil sendiri ke sebuah pusat perbelanjaan.

Jannah yang ketika melihat ibunya Husien dengan banyak barang belanjaan akhirnya ia mendekati dan menawarkan diri untuk membawakannya tanpa tidak mau dibayar sedikit pun. Niatnya ikhlas untuk membantu. Akhirnya maminya Husien menawarkan pekerjaan untuk Jannah jadi asisten rumah tangga di rumahnya agar Jannah tak lontang lantung di kota besar dengan uang saku yang sudah hampir menipis.

Keberuntungan memang berpihak pada Jannah, ia bisa bekerja dan punya tempat berteduh sekaligus ia dikuliahkan pula oleh maminya Husien.

"Alhamdulillah. Allah memang baik padaku. Di saat kesulitanku, Allah mendatangkan bantuannya untukku. Akhirnya aku mendapatkan pekerjaan juga walaupun hanya sebagai asisten rumah tangga. Lumayanlah untuk menyambung hidup," seru Jannah di dalam hati beberapa hari yang lalu.

"Kamu nanti ke kampus diantar sama Husien ya setelah Husien mengantar Om ke kantor jadi sekalian saja kamu bareng sama mereka," saran mami.

"Iya, Tante."

****

“Wah, ini kampus bagus banget.” Netra Jannah melirik ke sana kemari. Takjub dengan keindahan kampus Ibu kota. Gadis kota pakaiannya semua bermerek dan mengikuti kemajuan zaman sedangkan Jannah masih memakai gaya ala gadis kampung dengan rok panjang yang berlipat-lipat berbentuk payung di sertai baju hem lengan panjang berwarna hijau juga dengan jilbab yang serasi warna dengan bajunya.

"Kenapa Jannah?" Tanya Husien dengan heran melihat tingkah Jannah yang bola matanya jelalatan ke sana kemari.

"Gadis kota cantik-cantik dan berkelas ya, Sien." Jannah minder.

"Biasa saja," jawab Husien dengan santai.

"Kamu tidak tertarik dengan mereka?"

"Aku tidak tertarik dengan gadis yang selalu ingin terus mengejar dunia."

"Maksudnya?"

"Dunia itu kan tidak akan pernah habis untuk dikejar.” Husien terus berjalan mengantar Jannah ke ruangan Rektor kampus.

"Oh," jawab Jannah singkat.

"Bulat?"

"Iya."

"Seperti donat?"

"Husien, jangan bergurau terus, jantungku deg-degan ini."

"Kenapa?"

"Deg-degan mau jadi mahasiswi baru di kampus ini."

"Santai saja.” Husien menghibur Jannah.

****

"Kamu kok masih di sini?" Tanya Jannah yang telah keluar dari kampus.

"Bagai mana belajarmu tadi? Dosennya galak enggak?" Husien membukakan pintu mobil untuk Jannah.

"Enggak kok."

"Teman barumu?"

"Seperti itulah, mereka agak aneh sih lihat penampilanku. Apa aku kelihatan jelek ya dengan pakaian ini?" Tanya Jannah dengan melihat wajahnya di spion mobil.

"Kamu cantik." Husien memandang wajah Jannah dengan pandangan yang tak biasa.

"Ih, apa-apaan sih?"

"Bener kok, bahkan aku cinta sama kamu."

"Apa maksudnya ucapanmu tadi?" Tanya Jannah sembari mengerutkan kening. Bingung.

"Maaf, maksudnya bukan cinta, tapi aku suka lihat wajah kamu yang emut-emut kayak marmut," jawab Husien dengan tertawa terbahak-bahak.

"Husien, jangan bercanda terus dong? Masa aku dibilang kayak marmut.” Jannah mengalihkan pandangannya ke jalan.

"Sorry teman, bagaimana dengan tawaran Zay kemarin?" Husien kembali mengingatkan janji Jannah.

"E-e aku ....," Jannah masih bingung.

Kring!

"Sebentar ya Bang, aku angkat telepon dulu," ucap Jannah dengan mengambil ponsel di dalam tas yang berwarna hitam.

"Halo, Tul, ada apa?"

"Hai, kamu lagi di mana?" Tanya Atul balik tanpa menjawab pertanyaan Jannah.

"Aku di kampus Permata, ada apa?"

"Kebetulan aku lagi mencari penumpang tepat di depan kampus itu. Apa kita bisa ketemu? Aku kangen sama kamu teman, bagaimana? Bisa enggak?"

"Boleh, tunggu sebentar! Aku segera meluncur," jawab Jannah dengan semangat.

"Alhamdulillah aku bisa ketemu sama teman masa kecilku lagi setelah sekian lama aku tak ketemu," lirih Jannah.

"Siapa yang telepon tadi?" Tanya Husien, penasaran.

"Temanku yang satu kampung denganku, tetapi kami lama enggak ketemu karena ia sering merantau ke luar kota untuk mencari pekerjaan," jawab Jannah dengan wajah yang berbinar-binar.

"Sekarang ia ada di mana?" tingkat penasaran Husien kambuh lagi. Ia selalu ingin tahu tentang sisi kehidupan Jannah.

"Katanya sih di depan kampus."

"Coba berhenti sebentar mobilnya," pinta Jannah pada Husien.

Mobil diberhentikan Husien tepat di depan kampus.

"Nah, ini dia yang berdiri di dekat angkot berwarna kuning dengan memakai jilbab biru," tunjuk Jannah pada Atul yang sedang berdiri di dekat angkotnya. Ia sedang mencari penumpang.

"Tul," sapa Jannah ketika keluar dari mobil mewah keluaran terbaru.

Kening Atul mengerut dan mulut Atul ternganga.

"Jannah, benarkah kau Jannah atau Tuan Putri yang turun dari kayangan?" Tanya Atul sembari menepuk pipinya sendiri.

“Aw, sakit," jerit Atul.

Jannah kemudian memeluk Atul.

"Jannah sekarang kau telah jadi orang sukses ya?" Atul melepas pelukan Jannah.

"Enggak. Aku bekerja sebagai asisten rumah tangga dan ini temanku. Ia juga bekerja sebagai sopir di rumah bosku," tunjuk Jannah padaku.

"Asisten rumah tangga? Sopir?" Mata Atul melirik ke arah Jannah dan ke arahku.

"Iya," sahutku berbarengan dengan Jannah.

"Terus mobil ini?" Tunjuk Atul pada mobil mewah kami yang terparkir tepat berada di sampingnya.

"Punya bos," sahutku dan Jannah berbarengan lagi.

"Kok kalian kompak sih jawabnya." Atul bingung.

"Mungkin hanya kebetulan," ucapku.

"Hai, aku Husien,” sapaku pada Atul kemudian aku mengajak Atul berjabat tangan.

"Aku Atul, sahabat Jannah dari kampung." Atul menyambut jabatan tanganku.

"Terus kok?" Tanya Atul dengan kebingungan melihat Jannah karena ia ada di depan kampus.

"Iya, Tul, aku jawab kebingunganmu itu, aku kuliah di sini. Biaya kuliahku dari bosku," jawab Jannah pelan.

"Hah?" Atul terkejut.

"Baik banget bosmu. Aku ingin juga ah punya bos kayak begitu," rengek Atul.

"Iya, sabar. Nanti juga ada jalannya kok," jawab Jannah yang mencoba menghibur Atul.

"Bagaimana ini?" Aku potong pembicaraan mereka.

"Apanya?" Tanya Jannah.

"Ke toko Zay?"

"Boleh, asal Atul diajak juga," jawab Jannah sembari melirik Atul.

"Wah, kamu kenal ya dulunya sama penceramah terkenal itu Zainudin. Beliau punya toko baju ya? Apa anaknya yang mewarisi usahanya sekarang?"

"Hah?" Aku dan Jannah terkejut berbarengan lagi.

"Kenapa sih kalian kok jawabnya kompakkan terus?" Tanya Atul sembari menggaruk rambutnya yang tertutup oleh jilbab birunya.

"Jangan-jangan kalian jodoh," tunjuk Atul pada wajahku dan Jannah sembari tersenyum.

"Ah, bisa saja," sahutku berbarengan lagi sama Jannah.

"Iya kan, barengan lagi menyahutnya," jawab Atul dengan tertawa lepas.

"Bagaimana Tul, kamu mau enggak ikut kami?" Tanyaku pada Atul.

"Boleh, tapi aku antar dulu ya angkotku pada pemiliknya. Angkot ini kan menyewa dan bayarnya sebulan sekali," kata Atul. Jujur.

"Iya, iya, aku percaya kok, sabar ya, Tul," jawab Jannah dengan memberi semangat.

****

"Hai, selamat siang, selamat datang di toko kami." ucapan salam dari karyawan toko itu.

Sebelumnya enam karyawan toko punyaku itu sudah aku kirimkan pesan singkat melalui whatshapp, jika seolah-olah mereka tidak mengenalku.

"Siang juga," sahutku.

"Apa yang dapat saya bantu Tuan dan Nyonya?" Tanya karyawanku itu.

"Saya mau bertemu dengan pemilik toko ini," jawabku tegas.

"Mari silakan duduk dulu di sofa itu dan tunggu sebentar Tuan dan Nyonya," kata karyawanku dengan ramah.

"Terima kasih," sahutku.

"Sama-sama."

****

"Waw, ini toko pakaian atau Mall? Besar sekali? “ Tanya Atul dengan terkagum-kagum melihat toko baju milikku yang sangat besar.

"Di depan tulisannya toko baju gunung berkah, tetapi besar sekali seperti Mall. Pengunjungnya juga banyak," lanjut Atul. Mulai lagi deh burung beo bicara setelah sepanjang perjalanan di dalam mobil tadi selalu bicara terus tanpa henti-hentinya.

"Jannah," panggil Atul dengan menyenggol tangan Jannah.

"Apa, Tul?"

"Kamu punya uang enggak untuk beli baju di sini?"

"Enggak."

"Bajunya bagus-bagus, tapi kayaknya mahal.” Atul membuka dompet pribadinya.

Sesaat kemudian ....

"Hai, Zay," sapaku.

Zay yang telah diberi tahu oleh karyawanku segera menghampiri kami setelah ia sibuk membereskan berkas-berkas penting di ruanganku.

"Hai, Sien, baru datang?" Tanya Zay dengan tangan kanannya yang di selampitkan di belakang pahanya menunjuk ke arah sebelah.

"Oke." Isyarat tanganku pun bermain seperti halnya Zay dan tentunya tanpa sepengetahuan Jannah.

"Ayo, dilihat-lihatlah," ajak Zay pada Jannah.

"Pilih mana yang kau suka," ucap Zay.

"Aku tak punya uang untuk membeli karena belum gajian,” kata Jannah. Jujur.

"Pilih saja. Aku gratiskan untuk kalian," ucap Zay yang seolah-olah bos benaran di tokoku itu.

"Bener ini?" Tanya Atul kegirangan.

Huh, burung beo yang angkat bicara. Jannah hanya terdiam.

"Iya, bolehlah. Ambil saja berapa pun yang kalian suka," lanjut Zay.

"Ayo," ajak Atul sembari menarik pergelangan tangan Jannah.

"Wah, Jannah. Ini bagus sekali, seumur-umur aku tak pernah melihat gaun sebagus ini," kata Atul mencoba memakainya di ruang ganti.

"Ini gaun harganya mahal sekali. Masa satu lembar ini saja harganya tiga juta. Ini jualan apa merampok? Kalau di hitung-hitung uang tiga juta itu kan titik keringatku selama sebulan jadi sopir angkot," cerocos Atul.

"Hus, ada pemiliknya," bisik Jannah pelan sembari menoleh ke arah Zay.

"Kamu pilih yang mana?" Tanyaku pada Jannah.

Jannah terdiam.

"Mau aku pilihkan?"

Jannah tetap saja terdiam. Tanpa menjawab sepatah kata pun, ia berjalan ke deretan gaun Muslimah dan aku terus mengekornya dari belakang. Aku tinggalkan Atul dan Zay yang sedang asyik bersenda gurau membahas selembar gaun yang menurut Atul harganya selangit setara dengan penghasilannya satu bulan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status