Share

Bab 6 (Perhatianku)

Author: Tuti Subekti
last update Last Updated: 2023-07-22 21:13:20

“Sudah?” tanyaku sambil menaruh piring di atas meja yang terletak di sudut kamar.

“Iya, terima kasih,” jawab Jannah sembari menyapu mulutnya dengan tisu.

“Minum obat dulu,” pintaku dengan membuka bungkus obat lalu memberikannya ke telapak tangan kanan Jannah.

“Ini airnya.” Kuberikan sebotol air mineral.

Saat Jannah meminum obat, kurapikan bantalnya.

“Istirahatlah!” perintahku lalu aku belai rambut Jannah. Saat ia pingsan tadi aku meminta Atul untuk melepas Jilbabnya.

Tanpa banyak komentar Jannah merebahkan tubuhnya kembali di atas kasur tepat bersebelahan dengan Atul. Aku ambil selimutnya yang tersusun di lemari, kuselimutkan ke tubuhnya agar ia merasa hangat.

“Terima kasih.” begitulah sahutan dari mulut Jannah sebelum ia menutup mata untuk bermimpi indah malam itu.

“Selamat malam. Tidur yang nyenyak.” kuakhiri kata dengan menutup pintu kamarnya.

Pagi yang indah. Malam tadi aku serasa tak bisa tidur. Kugulingkan tubuhku ke sana kemari. Aku selalu ke pikiran Jannah. Aku takut jika ia tidak bisa tidur juga sama sepertiku di sini.

Walaupun kami satu atap, tetapi beda kamar. Aku ingin mengetuk pintu kamarnya melihat keadaannya di tengah malam, tetapi aku takut jika terjadi fitnah.

Kulangkahkan kakiku menuju ke dapur. Biasanya jika pagi begini Jannah ada di dapur membantu Bi Lasmi yang sedang memasak untuk sarapan pagi bapak dan ibu.

Kutoleh ke kanan dan ke kiri, tapi yang kudapati hanya Bi Lasmi yang ada di dapur. Malah terdengar suara yang memanggilku dari belakang, sepertinya aku kenal benar dengan suara itu.

Aku menoleh mengikuti arah suara itu. “Bang Husien,” panggil Atul.

Huh, burung beo ini lagi. Aku memejamkan mataku dan menarik nafasku dalam-dalam lalu kuhembuskan lagi secara perlahan. Kupalingkan tubuhku ke arah Atul.

“Iya,” sahutku singkat.

“Jannah ke mana ya?” tanya Atul sembari menaikkan satu alisnya.

“Apa?” tanyaku dengan mata yang melotot memandang wajah Atul disertai dengan kenaikan kedua alisku.

“Kenapa jadi geram padaku?” tanya Atul dengan ketakutan yang hebat karena melihat wajahku yang bisa dibilang mirip harimau yang akan keluar dari sarangnya. Tidak seperti biasanya ekspresi wajahku seperti ini.

“Jam berapa Jannah sudah tidak ada di dalam kamar?” tanyaku panik.

“Dari aku bangun tidur Jannah sudah tidak ada di dalam kamar,” jawab Atul dengan gemetar.

“Sudah kamu cari ke semua penjuru rumah?” tanyaku yang tingkat kepanikannya luar biasa layaknya kehilangan separuh hatiku.

“Sudah kucari ke semua penjuru kamar. Bahkan, sampai ke lemari pakaian sekali pun. Namun, tidak jua kutemukan,” jawab Atul.

“Memangnya Jannah tikus, kamu cari juga ke lemari pakaian. Aku serius nih!” nada bicaraku naik.

“Aku juga serius.” Atul berkicau lagi.

“Ah, sudahlah! Aku cari sendiri saja.” aku mengibaskan tangan kananku dan berlalu meninggalkan Atul di dapur bersama Bi Lasmi.

Jantungku berdetak kencang. Aku takut terjadi sesuatu pada Jannah. Akhirnya pikiranku pun bermacam-macam. Aku takut jika Jannah diculik, tetapi siapa juga yang menculik Jannah? Untuk apa juga Jannah diculik? Jika hal itu sampai terjadi pada Jannah, mungkin bisa jadi Jannah diculik karena dia kan cantik atau bisa pula untuk dijual pada bos wanita malam. Aduh, bagaimana ini? Ketakutanku luar biasa.

Kucari ke ruang keluarga, ke kamar bapak dan ibuku, ke ruang tamu, ke ruang olahraga, ke teras depan, ke taman depan rumah, ke garasi mobil, ke halaman belakang rumah, bahkan ke semua sudut ruangan dan semua hasilnya nihil. Batang hidungnya Jannah tidak terlihat.

Aku terdiam di sudut dapur sambil melihat Bi Lasmi yang sedang masak buat sarapan pagi bapak dan ibu. Kupencet-pencet kepalaku dengan kedua tanganku. Pikiranku pusing saat Jannah menghilang dari rumah. Apa ia tersinggung dengan sikapku yang terlalu perhatian dengannya? Apa ia marah, jika aku telah berani memeluknya malam kemarin? Padahal aku cuma bercanda saja.

Ya, aku ada ide. Aku akan menelepon beberapa bodyguard bapak yang biasa menemani bapak meeting atau keluar kota jika ada urusan penting. Kuambil gawaiku, kucari-cari nomor bodyguard yang tertera di kontak gawaiku. Saat aku sibuk mencari beberapa nomor itu, seseorang menepuk pundakku dari belakang.

“Ada apa, Sien?” tanya ayah.

“Jannah, Yah,” jawabku lemes. Seakan urat-urat sarafku rontok.

“Oh, Jannah, mungkin sama Ibu karena Ibu juga enggak ada tuh di kamar.”

“Ke mana Ibu?”

“Enggak tahu, tapi biasanya Ibumu itu jika hari minggu kayak begini sih olahraga. Biasalah lari pagi di sekitar Komplek perumahan ini,” jawab ayah dengan mencoba menenangkanku.

“Apa mungkin Ibu berolahraga dengan mengajak Jannah?” tanyaku pada ayah dengan masih dilanda ke tidak percayaan. Keningku mengerut. Bingung.

“Bisa jadi,” jawab ayah sembari duduk di meja makan sambil meminum kopi bikinan Bi Lasmi yang sudah terhidang di atas meja.

“Malam ini kamu gantikan Ayah ya datang ke acara teman Ayah,” pinta ayah untuk mengalihkan pembicaraan tentang Jannah.

“Husien.” Aku menunjuk hidungku yang lancip bak piramida.

“Iya, siapa lagi kalau bukan kamu? Anak bapak kan cuma kamu,” kata ayah dengan menyuap satu sendok nasi goreng hangat.

“Bagaimana Tuan rasanya?” tanya Bi Lasmi dari dapur.

“Mantap, Bi. Nasi goreng rasa restoran.” Selontaran pujian dilemparkan ayah pada Bi Lasmi.

“Terima kasih Tuan. Sesuatu itu loh,” jawab Bi Lasmi dengan mengibaskan rambutnya.

“Ah, dasar asisten rumah tangga centil,” ucapku dalam hati.

“Bagaimana ini Sien, tawaran Ayah?”

“Iya, Yah, tetapi aku ini kan lagi menyamar jadi sopir, bagaimana caranya aku bisa dandan layaknya Tuan muda. Nanti bisa terbongkar rahasia kita di depan Jannah?” tanyaku balik pada ayah setelah aku jawab pertanyaan ayah tadi tentang kesediaanku untuk datang ke acara pesta teman ayah.

“Ayah ada ide,” jawab ayah sembari mendekat padaku lalu berbisik sesuatu ke telingaku.

“Oke.” Ayah mengacungkan jari kelingking.

“Oke, Yah.” Aku merait jari kelingking ayah dengan jari kelingkingku.

Benar juga kata ayah, Jannah masuk lagi dalam permainanku. Aku semakin penasaran dengan Jannah. Seperti apakah ia sesungguhnya?

“Bang Husien,” panggil si burung beo. Atul.

“Kamu sudah sarapan apa belum?” tanyaku.

“Jannah ke mana ini? Aku sangat mengkhawatirkannya.” Atul menyapu air matanya. Eh, ia malah tanya balik tanpa menjawab pertanyaanku dulu.

“Tenang! Jannah mungkin di ajak Nyonya lari pagi di sekitar Komplek perumahan ini karena hari ini kan hari minggu.” Aku mencoba menenangkan Atul.

“Ya, sudahlah aku pamit pulang saja.” Atul berpamitan padaku dan ayah yang sedang duduk di meja makan.

“Tunggu!”

“Iya.” Atul memalingkan tubuhnya menghadap ke arahku dan ayah.

“Kamu jangan pulang dulu. Nanti malam kamu akan aku ajak ke pesta. Apa kamu mau?” tanyaku.

“Pesta? Benarkah?” Tanya Atul dengan kedua bola mata yang membulat.

“ Iya. Aku serius,” jawabku meyakinkan Atul.

“Asyik.” Atul bertepuk tangan layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan mainan.

“Huh, seperti anak-anak saja,” gumamku.

“Terima kasih My Best Friends.” Atul mendekat dan langsung memelukku.

Ayah tersenyum melihat tingkah Atul. Dengan jilbab yang agak miring sedikit disertai celak mata yang tebal dan panjang menjulang hingga naik ke alis dan tanpa rasa malu, Atul memelukku di depan ayah. Mungkin ia terlalu bahagia karena akan di ajak ke pesta.

“Iya, sama-sama.” Aku mencoba untuk melepas pelukan Atul.

“Bu, dari mana saja jam segini baru pulang?” tanyaku pada ibu.

“Dari taman kota untuk mencari udara segar sambil berolahraga bersama Jannah,” jawab ibu.

“Mana Jannah?” tanyaku. Aku memastikan jika Jannah baik-baik saja.

“Tuh, masih di toko sembako Bu Lala. Katanya mau beli minuman dingin. Dia kelelahan ikut Ibu berolahraga,” jawab ibu sembari menyapu keringatnya dengan handuk kecil yang tergantung di lehernya.

“Kalian sudah makan?” tanyaku khawatir.

“Sudah tadi di warteg depan,” jawab ibu sambil berlalu meninggalkanku di teras depan.

Syukurlah Jannah tak kenapa-kenapa. Lega rasanya. Rupanya dia telah sehat. Cinta ini tumbuh tanpa izin terlebih dahulu padaku. Begitu pun dengan rindu ini tanpa konfirmasi padaku. Huh, pusing aku memikirkan cinta. Campur aduk rasanya hatiku.

Aku akui Jannah memang gadis yang mandiri. Demi mewujudkan impiannya menjadi desainer, ia berangkat sendiri dari desa ke kota, tapi semandiri apa pun perempuan, meski ke mana pun sudah berani sendiri, dalam suatu masa akan ada perasaan ingin dilindungi. Sekuat apa pun dia, secara fitrahnya, ia ingin di lindungi, tentu saja yang namanya perempuan itu pasti ingin menggantungkan diri pada sesuatu yang menurutnya lebih kuat. Bukan karena perempuan itu lemah. Bukan pula karena dia tidak bisa, tapi lebih kepada perasaannya sendiri. Ada rasa nyaman ketika dilindungi oleh seseorang. Ada rasa nyaman ketika diperhatikan oleh seseorang. Seperti itulah wanita. Aku menepuk keningku berulang kali dengan tangan kananku lalu membalikkan tubuhku dan menutup pintu rumahku.

“Kamu baru pulang?” tanyaku pada Jannah yang akan masuk ke kamar mandi.

“Iya, aku mandi dulu,” jawab Jannah.

“Sebentar!” pintaku dengan menahan pintu kamar mandi yang akan Jannah tutup.

“Apa lagi Bang Husien? Mau ikut mandi?” tanya Jannah.

“Enggak!”

“Lalu apa? Gerah nih! Aku mau mandi dulu, ya,” ucap Jannah.

“Aku mau mengajak kamu malam ini bersama Atul untuk ke pesta. Kamu mau kan ke pesta denganku?”

“Pesta? Aku tidak punya gaun yang bagus,” jawab Jannah menunduk.

“Tuan yang menyuruh aku mengajakmu dan Nyonya yang siapkan gaun untukmu,” jawabku.

“Kok sopir yang disuruh ke pesta? Harusnya kan Tuan muda di rumah ini.” Jannah bingung.

“Iya, aku kan orang kepercayaannya Tuan dan aku sudah lama ikut bekerja di sini. Aku seolah-olah berperan menjadi Tuan muda berakting sebagai putranya Tuan dan Nyonya rumah ini nanti malam di pesta,” ucapku dengan semangat bendera merah putih yang berkobar.

“Pesta apa sih?”

“Pesta pertunangan kliennya Tuan besar,” jawabku tanpa basa-basi.

“Baiklah! Aku mandi dulu ya.” Jannah menutup pintu kamar mandi.

“Yes, yes, akhirnya bisa juga mengajak kencan Jannah malam ini.” Aku kegirangan sambil tersenyum dan menutup sebelah mata kiriku.

“Kau kenapa?” tanya Atul yang muncul dari depanku.

Ya Allah, ini burung beo, kenapa sih selalu saja mengganggu kesenanganku? Enggak bisa banget kayaknya lihat aku senang?

“Memang aku kenapa?” tanyaku balik.

“Kok tadi kulihat kamu tersenyum sendiri sambil kedua bola matamu itu tertutup sebelah,” tunjuk Atul pada mata kiriku.

“Enggak kok, kamu salah lihat saja,” jawabku sembari membulatkan bola mataku.

“Kenapa kamu marah? Aku kan cuma tanya. Salahkah aku?”

“Tadi kan kamu tanya, kenapa bola mata di tutup sebelah? Jadi kubulatkan saja kedua bola mataku ini. Puas?” Aku berlalu meninggalkan Atul yang masih kebingungan.

Atul masih saja mengucek-ngucek matanya. Ia masih bingung rupanya denganku. Biar saja dia. Malam ini yang penting bagiku adalah kencan dengan Jannah. Sementara Atul, aku suruh saja kencan dengan Zay. Kebetulan Zay juga di undang ke pesta itu karena Ayahnya Zay juga salah satu teman bisnis yang punya pesta itu, tetapi berhubung Ayahnya Zay terlalu sibuk mengurus bisnisnya di beberapa daerah akhirnya Zay yang berhadir ke pesta itu.

“Jannah mana, Sien?” tanya ibu ketika aku sedang mencuci mobilku.

“Mungkin di dapur. Dia kan tidak lepas dari dapur untuk membantu Bi Lasmi,” jawabku sambil menyemprot kaca mobil yang telah aku sabun.

“Cepat bersihkan mobilnya! Ini sudah terlalu sore. Acaranya di mulai setelah magrib, Sien!” perintah ibu.

“Iya, Bu.”

“Jannah,” panggil ibu sambil berjalan menuju dapur.

“Iya, Tante. Ada apa?” tanya Jannah yang telah selesai mencuci piring.

“Itu nanti saja dulu. Ikut Tante ke kamar, ya?”

Tanpa bertanya lagi, Jannah mengekor ibu ke kamar.

“Mana Atul?” tanya ibu yang sedang membuka gagang pintu kamar.

“Mungkin sedang bersolek Tante. Dia kan juga di ajak ke pesta malam ini,” jawab Jannah dengan senyum yang melebar.

Ibu membuka lemari pintu delapan dan di dalamnya banyak tersusun gaun yang bagus-bagus. Gaun itu banyak dibeli di luar negeri. Harganya mahal dan tren di jaman sekarang ini.

“Coba pakai yang ini,” pinta ibu dengan memberikan satu gaunnya pada Jannah.

Tanpa banyak komentar, Jannah memakainya.

“Nah, terlihat cantik sekali kan? Tubuh kamu itu hampir sama langsingnya dengan tubuh Tante. Jadi gaun milik tante ini selalu pas berada di tubuh kamu,” kata ibu seraya mengambilkan jilbab yang sama warnanya dengan gaun yang dipakai oleh Jannah barusan.

“Sekarang aku mulai meriasmu, ya.” Ibu mengambil alat riasnya yang terdapat di dalam laci pada meja rias.

Jannah hanya diam dan menurut saja dengan ucapan ibu.

“Nah, selesai. sekarang pakailah perhiasan ini,” pinta ibu dengan mengambilkan kotak perhiasan di dalam lemari kayu jati.

“Ayo, pakai!” Pinta ibu.

Tanpa banyak komentar lagi, Jannah memakainya.

“Wah, cantik sekali,” puji ibu.

“Kamu temani Husien ya malam ini ke pesta,” pinta ibu dengan memegang dagu Jannah.

“Iya, Tante.” Jannah memeluk ibu.

“Kenapa sayang?” tanya ibu.

“Terima kasih atas kebaikan Tante selama ini kepadaku. Aku bukan hanya asisten rumah tangga di sini, tetapi Tante menganggapku sebagai anak Tante sendiri,” jawab Jannah dengan memeluk ibu.

“Sama-sama Jannah. Sudah menangisnya. Nanti terhapus riasannya,” tegur ibu.

Aku mengintip keakraban ibu dan Jannah. Ternyata Jannah bukan hanya cantik, tetapi Jannah juga bisa mengambil hati ibuku. Jannah bisa seakrab itu dengan ibuku layaknya orang tua kandungnya sendiri. Rencana kedua berhasil. Jannah memang wanita yang sangat menghargai dan menyayangi orang yang lebih tua darinya. Rencana ketigaku akan terjawab di pesta nanti. Aku akan tahu lebih dalam lagi tentang Jannah.

Related chapters

  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 7 (Kekacauan Di Pesta)

    “Sudah siap?” tanyaku dengan diiringi kedua bola mataku yang membulat melihat penampilan Jannah malam ini. Bola matanya yang indah, bulu matanya yang tebal dan panjang, tetapi tak lentik. Hidungnya yang seperti hidungku bak piramida. Begitu pula dengan polesan lipstik merah delima di bibirnya. Duhai Jannah, jantungku terasa bergendang begitu cepat. “Hai.” Ibu mengibaskan tangan kanannya tepat di depan wajahku. “E-iya, Bu,” perasaan gugup menyelimutiku saat aku berada di depan Jannah. “Kamu kenapa?” tanya ibu. “Enggak kenapa-napa,” jawabku. Kedua bola mataku terus tertuju ke arah Jannah. “Kamu terpesona ya dengan kecantikan Jannah?” bisik ibu di telinga sebelah kananku. “Enggak.” Aku menyembunyikan perasaanku yang menggebu. “Kenapa bola matamu melotot ke arah Jannah terus?” tanya ibu. “Telat nih! Aku tunggu di mobil.” Aku mengalihkan pembicaraan dan berlalu pergi meninggalkan ibu dan Jannah. **** “Tante, aku pamit dulu ya,” Jannah mencium punggung tangan kanan ibuku. “Iya, h

    Last Updated : 2023-07-25
  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 8 (Kekhawatiran Ibu)

    “Ibuuuu ....,” Liana mendekati wanita itu seraya memeluknya. “Memalukan,” ucap wanita itu dengan wajah yang tampak malu. “Aku masih mencintai Bang Husien, Bu,” lirihnya. “Ayo, pulang!” Wanita itu memaksa Liana untuk pulang. Wanita setengah baya itu rupanya ialah ibu Liana, ia datang ke pesta itu bersama Liana. Ibu Liana adalah saudara dari sang pemilik pesta mewah malam ini. “Aku masih ingin di sini. Aku masih ingin menikmati pesta ini,” jawab Liana dengan menangis hebat di dalam pelukan ibunya. “Ibu malu dengan olahmu malam ini,” bisik ibunya di telinga Liana dengan menarik tangan kirinya membawa Liana masuk ke dalam mobil. Atul yang melihat akan hal itu. Sesuatu yang sangat tampak di depan matanya. Sebuah pertunjukkan gratis tentang cinta. Mulailah terlintas pikiran konyolnya. “Seandainya aku di perebutkan oleh dua lelaki sekaligus atau bahkan tiga lelaki. Duh ... senangnya.” Kata itulah yang terlintas di pikiran Atul. Sejenak Atul termenung membayangkan betapa indahnya jika

    Last Updated : 2023-07-25
  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 9 (Dikejar Seseorang Tak Dikenal)

    Dengan melirik kaca spion mobil, aku melajukan mobilku dengan kecepatan tinggi. Gawaiku terus berdering, tapi tak aku hiraukan. Ia berkonsentrasi dalam menyetir mobil untuk melihat jalanan dengan tatapan mata yang tajam. Jannah sangat ketakutan. Mulutnya mit komat kamit memanjatkan doa kepada Sang Pencipta agar aku dan dia selamat dari kejaran orang-orang tersebut. “Sien, hati-hati!” teriak Jannah. “Iya, sayang,” sahut Husien. Jannah melongo. Mata Jannah membulat disertai dengan bibir Jannah membentuk huruf O. Rasa tak percaya dengan apa yang telah didengarnya tadi. Ia mengucek-ngucek kedua matanya kemudian mencubit pipinya sendiri. “Aw, sakit,” teriaknya. “Kenapa?” tanyaku dengan menurunkan kecepatan mobil. “Aku hanya mencubit pipiku sendiri,” jawab Jannah menyembunyikan wajahnya di balik jilbabnya. Tingkah konyol Jannah membuatku malu ketika aku mendengar dan bertanya tentang sebuah teriakan yang menggetarkan mobilku dan membuat telingaku sakit. “Oh, aku kira kamu kenapa-napa

    Last Updated : 2023-07-25
  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 10 (Kepanikan Husien)

    Tepat pukul 08.00 pagi, aku telah berada di ruang meeting. Sementara itu, Jannah kutinggal sebentar di kampus. Aku bilang padanya jika aku akan mengantar Nyonya berbelanja ke Mall. Jannah percaya saja. Berarti satu masalah telah selesai. Sekarang aku akan menyelesaikan masalah yang lain dulu, yaitu kerja sama tentang pengembangan pabrik tekstilku ini dengan perusahaan yang menyediakan bahan baku. Masalah lain yang harus kuselesaikan ialah tentang restoranku karena ada beberapa data keuangan yang ganjil. Seperti inilah menjadi seorang pengusaha harus menghadapi segelintiran orang yang tak bertanggung jawab. Sikap yang diambil dalam hal ini harus teliti dan sabar dalam bertindak. Jangan gegabah. Itu yang selalu diingatkan ayah padaku. “Selamat pagi.” Aku mengucapkan salam pada semua orang yang telah menunggu kedatanganku sedari tadi di dalam ruangan ber AC. “Pagi, Pak.” Mereka menyahut salam dariku. Aku duduk di kursi takhtaku. Kubuka laptop dan beberapa lembar kertas yang harus sege

    Last Updated : 2023-07-25
  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 11 (Penyelamatan Jannah)

    Di sebuah gudang tua. Di sanalah Jannah di sandera. Sepi. Suasananya menyeramkan. Hening. Tak terlihat sedikit pun sesosok manusia berkeliaran. Aku terus mengayunkan langkah kakiku. Sementara itu, mobilku terparkir di samping rerimbunan pohon bambu hijau. Di sekeliling tempat ini hanya terdapat beberapa rumah warga sekitar. Itu pula jaraknya berjauhan. Di ujung kampung. Tepatnya di dekat hutan belantara. Seperti yang terlihat dari luar, dulu gudang ini adalah gudang yang di pergunakan warga untuk menggiling padi, tapi telah lama gudang ini tak beroperasi lagi. Sementara itu dari jarak kejauhan, beberapa bodyguardku beserta polisi telah mengintai. Mereka menyamar sebagai warga sekitar situ. Di dalam kantong sakuku telah terpasang alat perekam suara untuk menghubungkan aku ke beberapa bodyguardku. Kubuka pintu gudang itu. Senyap. Banyak sekali sarang laba-laba yang bergelantungan di tiap sudut ruangan. Ruangan itu terlihat sangat kotor. Terdengar suara wanita memanggil namaku. “Bang H

    Last Updated : 2023-07-25
  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 12 (Ibu Dan Atul Saling Kompak)

    “Jannah, kau harus kuat. Kau harus bertahan untukku.” Derai air mataku jatuh lagi membasahi wajah Jannah, tetapi mata Jannah masih tertutup tanpa berkedip sedikit pun.“AKU MENCINTAIMU.” Aku dekatkan mulutku ke telinga kanannya. Beberapa kali kalimat itu aku ulang hingga aku tak sadar jika ada Atul yang sedang memperhatikanku di ruangan itu. Aku tak bisa main sandiwara lagi. Aku sangat takut kehilangan Jannah.Secara tidak di rencanakan Jannah bertemu dengan ibu di sebuah pusat perbelanjaan lalu Jannah datang ke rumahku untuk melamar menjadi asisten rumah tangga. Pada pandangan pertama, aku pun jatuh cinta. Rasa cintaku itu mulai tumbuh hanya sedikit hingga akhirnya kami seatap. Dari sanalah cinta mulai bersemi lalu akhirnya semakin subur dan mekar. Cinta yang tumbuh tanpa permisi dan rindu pun kerap berlabuh tanpa konfirmasi. Jatuh cinta pada Jannah adalah hal terbaik kedua yang pernah terjadi dalam hidupku. Yang pertama? Aku telah menemukannya.Hid

    Last Updated : 2023-08-01
  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 13 (Hadiah Untuk Jannah)

    "Selamat pagi, Pak." Sekretaris Restoran telah menungguku di depan pintu masuk Restoran."Pagi," ucapku tak bergeming."Bagai mana keuangan Restoran hari ini?" tanyaku sambil berjalan menuju ke ruangan ayah. Ya, tepatnya ruangan Direktur Utama."Keuangan terus menyusut Pak, sedangkan pengeluaran semakin bertambah," jawab sekretaris bertubuh seksi itu padaku."APA?" tanyaku dengan kedua mata yang membulat serta diiringi dengan nada yang sangat tinggi. Terkejut."Maaf, Pak." Sekretaris ayahku itu merasa takut. Ia menundukkan kepalanya. "Aku yang seharusnya meminta maaf padamu. Aku hampir saja emosi," ucapku dengan memencet bagian kepalaku."Resta, mana laporan keuangannya?""Ini, Pak." Sekretaris yang sudah lama ikut bersama Ayah bekerja di Restoran ini memberikan laporan itu padaku dengan kepala yang masih menunduk.Aku cek semua data-data Restoran dan beberapa pengeluaran juga pemasuk

    Last Updated : 2023-08-08
  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 14 (Terkejut)

    Satu ....Dua ....Tiga ....Jannah membuka kedua matanya lalu aku mengeluarkan sebuah kotak berbentuk persegi empat dengan berukuran kecil dari saku celanaku beserta sepucuk bunga untuk Jannah yang telah aku selipkan di punggungku.Betapa bahagianya Jannah ketika melihat sepucuk bunga yang kuberi padanya. Terlihat dari raut wajahnya yang berseri serta bola matanya yang berkaca-kaca. Ya, sebuah air mata bahagia. Ingin titik, tapi sengaja untuk ditahan."Ini kotak apa, Bang?" tanya Jannah dengan kedua matanya yang terus melirik kotak kecil yang masih berada di dalam genggaman tanganku."Ambillah!" perintahku. Jannah meraih kotak itu dari telapak tanganku."Buat aku?" tanya Jannah sembari menunjuk pada wajah anggunnya."Iya, bunganya juga untuk kamu. Ambillah!" perintahku lagi. Jannah mengambil sepucuk bunga yang juga berada pada telapak tanganku.Aku menempelkan sepucuk bunga itu tepat

    Last Updated : 2023-08-12

Latest chapter

  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 24 (Tamat)

    Kugeser layar utama ponselku lalu kupencet tombol hijau dan panggilan pun akhirnya tersambung. “Halo,” ucapku.“Halo, Bang Husien. Cepatlah pulang ke rumah,” sahut Atul dari balik telepon. Dari nada bicaranya seperti terlihat gugup dan khawatir.“Apa yang terjadi?” tanyaku yang ikut-ikutan khawatir, tetapi tak gugup.“Jannah, Bang,” jawab Atul.“Kenapa?”Tak ada jawaban.“Ada apa dengannya?” tanyaku lagi dengan perasaan yang makin khawatir ketika kudengar nama Jannah.“Jannah membereskan pakaiannya. Ia akan segera pulang ke kampung dan berhenti bekerja di rumahmu, Bang,” jawab Atul.“Ayah dan Ibu tak melarangnya atau berusaha menghentikan langkahnya?” tanyaku lagi.“Awalnya sih, iya, tetapi kelamaan mereka mengikuti apa maunya Jannah karena Jannah bersikeras untuk berhenti bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumahmu, Bang. Kamu cepatlah pulang ke rumah jika kamu memang mencintai Ja

  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 23 (Jujur)

    “Tante?” tanya Jannah padaku. Bingung.“Bukan Tante, si cerewet ini hanya salah bicara saja.” Kutoyor adik lucky itu.“Apaan sih?” tanyanya tanpa tahu permasalahannya.“Maksudnya bukan Tante, tetapi Ibu. Iya kan?” tanya ibunya Lucky sambil mengedipkan satu mata pada anak bungsunya itu.“I-iya ...,” jawab adik Lucky.Jannah tersenyum ke arahku. Hampir saja ketahuan. Untung saja tanteku bisa meyakinkan Jannah.Selama di rumah orang tua Lucky, Jannah disambut dengan baik oleh mereka. Jannah sangat pandai bicara pada orang tua Lucky hingga mereka cepat akrab dengan Jannah.Saat Jannah sedang berada di toilet, ibunya Lucky memuji Jannah padaku. “Beruntung sekali kamu, Sien,” bisik tanteku.“Maksudnya?” kedua bola mataku terbelalak. Tak paham.“Beruntung karena kamu telah memilih Jannah menjadi calon pendamping hidupmu. Ia baik, cantik, dan lugu,” ucap tante.Aku tersenyum.

  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 22 (Sebuah Kejutan)

    Kasir itu hanya terdiam. Ia tampak semakin bingung dengan sikapku, tapi aku santai saja. Apa pun penilaian kasir itu terhadapku, itu tidak penting bagiku. Yang terpenting saat ini adalah Jannah. Aku takut jika Jannah merajuk karena aku terlambat pulang ke rumah. Kulihat ke langit, matahari sudah hampir menyembunyikan wajahnya. Sudah hampir malam. Aku segera pulang ke rumah walaupun hujan masih belum juga reda. Hujan masih terus saja mengguyur ibu kota sedangkan petirnya telah berhenti.Aku berlari menuju ke arah parkiran mobil dan dengan cepat membuka pintunya. Aku segera masuk ke dalam mobilku dan segera aku hidup kan mesinnya. Huh, bajuku sedikit basah. Tak apalah, yang penting aku harus berhati-hati menyetir mobil untuk melintasi jalan dengan hujan yang cukup deras seperti ini.Ponselku berdering lagi. Kulihat pada layar depan ternyata panggilan itu dari Jannah. Ah, bagaimana ini? Aku terima sambungan teleponnya atau ...?” aku pikir-pikir

  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 21 (Hadiah Untuk Jannah)

    Seharian di sibukkan dengan pekerjaan yang begitu banyak. Bertemu dengan klien, survei lapangan, belum lagi meeting dengan beberapa karyawan. Huh, sangat melelahkan. Aku mengusap seluruh keringat yang mengucur di seluruh wajahku. Teringat janjiku pada Jannah, ketika aku melihat jam pada pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek telah menunjukkan angka lima sedangkan jarum panjangnya telah menunjukkan angka dua belas. Huh, Jannah pasti telah menungguku. Jika aku terlambat, ia pasti memasang wajah cemberut.Lagi-lagi aku bertukar peran dengan Lucki. Seolah-olah Lucki adalah anak dari orang tuaku sedangkan aku adalah anak dari orang tuanya Lucki. Syukurlah Lucki dan orang tuanya mau bertukar peran denganku. Mereka juga mau melakukan semua itu demi kebaikanku karena bukan hanya aku dan mereka masih ada ikatan keluarga, tapi juga Lucki dan aku sejak kecil selalu bersama layaknya Lucki seperti adikku sendiri.Kring!Ponselku berdering. Kulihat pada

  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 20 (Kebingungan Atul)

    Pagi ini Jannah sudah menyiram bunga di halaman belakang, samping, hingga pada halaman depan rumah. Rupanya Jannah telah tampak sehat. Syukurlah. Kulihat pemandangan di sana seperti orang yang pernah kukenal sebelumnya. Ah, dia rupanya Lucki. Pandangannya ada yang aneh saat melihat Jannah. Jangan-jangan ia kepincut dengan pesona Jannah. Sesuai perjanjian, Lucki tidak boleh jatuh cinta. Jika Lucki melanggar perjanjian itu, maka ia akan tahu akibatnya. Aku akan melakukan apa pun agar Jannah tidak bisa jatuh hati pada Lucki."Sini! Biar kubantu." Lucki mendekati Jannah."Enggak usah, Den," tolak Jannah."Enggak apa! Biar kamu tidak terlalu lelah. Kamu kan baru sembuh." Lucki mengambil slang air yang berada di dalam genggam Jannah."Aku enggak enak sama Nyonya jika aku hanya berdiam diri saja," ucap Jannah."Ah, enggak apa. Nyonya pasti mengerti." Lucki menyemburkan air di slang ke beberapa tanaman serta bunga-bunga di halama

  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 19 (Kecurigaan Jannah)

    "Ayo masuk!" aku menarik tangan kiri Lucki."Oh, kamu ternyata sudah bangun sayang?" tanyaku saat melihat Jannah membuka matanya."Iya, kamu baru datang ya? Nyonya mana?" tanya Jannah dengan mata menyebar ke sekitar ruangan itu."Nyonya sudah pulang ke rumah. Sekarang aku yang nunggu kamu di sini." Lucki masih tetap berada di sampingku. Ia menatap pekat wajah Jannah."Ingat, jangan jatuh cinta!" Aku bisikkan kalimat itu di telinga kiri Lucki."Iya, aku tahu." Lucki membalas bisikanku."Itu siapa?" tanya Jannah ketika melihat Lucki yang sedari tadi tersenyum simpul padanya."Oh, ini putranya Nyonya. Ia baru saja pulang dari luar negeri. Mulai hari ini, ia akan tinggal di Indonesia dan membantu Tuan besar untuk mengurus beberapa usahanya di sini." Mulai lagi kebohonganku yang ke sekian kalinya terhadap Jannah."Oh, kenalkan namaku Jannah. Aku salah satu asisten rumah tangga yang sudah cukup lama bekerja d

  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 18 (Rencana Baru Husien)

    Suasana Restoran semakin ramai saja sampai sore ini. Jika masih ramai seperti ini terpaksa semua karyawan harus di lemburkan sampai Restoran sepi pengunjung. Aku juga sangat kelelahan. Dari tadi aku mondar mandir sedari pagi melayani para pengunjung. Kalau lagi lelah begini jika aku melihat wajah Jannah atau hanya dengar suaranya saja, rasa lelahku akan punah seketika. Jannah memang jantung hatiku. Ia penyemangat hari-hari yang aku lalui. Lebih baik aku telepon saja dia. Sedang apa dia sekarang ini? Aku merogoh ponselku di dalam saku celanaku. "Hai," sapa Lucki yang membuatku terkejut.Aku terperanjat. Rasa mau copot saja jantungku. Ia tiba-tiba muncul di depanku."Mana gadismu?"Lucki tiba-tiba menanyakan tentang calon istriku. Rasa penasaran tingkat tinggi masih saja bertengger di kepalanya.Aku hanya diam."Mana?" tanyanya lagi."A-nu ... Dia ... Ya, dia ada di rumah sakit,” jawabku. Pasti Lucki tertawa karena

  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 17 (Rapat Penting)

    Mobil telah terparkir di parkiran biasa aku memarkir mobilku. Sebuah parkiran khusus pemilik Restoran ini. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki kawasan Restoranku. Syukurlah pagi ini Restoran ramai pengunjung. Hari ini kan hari libur. Setiap hari libur Restoran selalu kebanjiran oleh pengunjung. “Selamat pagi, Tuan,” sambut satpam yang berada di ambang pintu Restoran.“Pagi,” sahutku sambil bergegas masuk ke area dalam Restoran.“Tuan besar sudah menunggu di ruangan utama.” Satpam itu mengikutiku.“Baik,” sahutku dengan sederet bodyguardku yang telah mengikutiku juga.Aku menghentikan langkahku. “Silakan kamu kembali pada posisimu!” tegurku pada satpam itu.“Siap, Den!” satpam itu membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju tempat pada posisinya semula.Aku melangkahkan kakiku lagi dengan cepat ke ruangan Direktur Utama. Tepatnya ruangan ayahku.Di depan pintu ruangan ayah langkahku terhenti. Kud

  • Pewaris Tunggal Pura-pura Miskin   Bab 16 (Husien Didesak Oleh Jannah)

    Kubuka sebelah mataku. Suasana kamar masih terlihat cahaya lampu sedangkan di luar sana masih terlihat gelap. Kulihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, ternyata masih jam empat pagi. Aku beranjak bangun dari sofa dengan mengucek-ngucek kedua mataku. Kutoleh ke arah Jannah, ternyata ia sudah bangun dan sedang duduk bersandar di atas kasur. Matanya terus menatap ke arah pintu. Saat kulihat ke arah pintu, tak ada siapa pun atau mungkin Jannah lagi mengkhayal. Yang ada di depan pintu cuma beberapa bodyguardku yang berjaga silih berganti. Terus apa yang sedang Jannah pikirkan? Aku jadi penasaran. Aku jadi ketularan Atul dan Bi Lasmi tentang rasa penasaran yang tingkat tinggi.Aku perlahan mendekati Jannah. Aku berjanji dalam hatiku sendiri jika aku akan membahagiakan Jannah dengan seluruh jiwa ragaku. Aku sangat ingin tahu tentang apa yang sedang Jannah pikirkan.Kulangkahkan kakiku perlahan dengan berharap semoga Jannah mau bicara padaku tentang m

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status