“Jannah, kau harus kuat. Kau harus bertahan untukku.” Derai air mataku jatuh lagi membasahi wajah Jannah, tetapi mata Jannah masih tertutup tanpa berkedip sedikit pun.“AKU MENCINTAIMU.” Aku dekatkan mulutku ke telinga kanannya. Beberapa kali kalimat itu aku ulang hingga aku tak sadar jika ada Atul yang sedang memperhatikanku di ruangan itu. Aku tak bisa main sandiwara lagi. Aku sangat takut kehilangan Jannah.Secara tidak di rencanakan Jannah bertemu dengan ibu di sebuah pusat perbelanjaan lalu Jannah datang ke rumahku untuk melamar menjadi asisten rumah tangga. Pada pandangan pertama, aku pun jatuh cinta. Rasa cintaku itu mulai tumbuh hanya sedikit hingga akhirnya kami seatap. Dari sanalah cinta mulai bersemi lalu akhirnya semakin subur dan mekar. Cinta yang tumbuh tanpa permisi dan rindu pun kerap berlabuh tanpa konfirmasi. Jatuh cinta pada Jannah adalah hal terbaik kedua yang pernah terjadi dalam hidupku. Yang pertama? Aku telah menemukannya.Hid
"Selamat pagi, Pak." Sekretaris Restoran telah menungguku di depan pintu masuk Restoran."Pagi," ucapku tak bergeming."Bagai mana keuangan Restoran hari ini?" tanyaku sambil berjalan menuju ke ruangan ayah. Ya, tepatnya ruangan Direktur Utama."Keuangan terus menyusut Pak, sedangkan pengeluaran semakin bertambah," jawab sekretaris bertubuh seksi itu padaku."APA?" tanyaku dengan kedua mata yang membulat serta diiringi dengan nada yang sangat tinggi. Terkejut."Maaf, Pak." Sekretaris ayahku itu merasa takut. Ia menundukkan kepalanya. "Aku yang seharusnya meminta maaf padamu. Aku hampir saja emosi," ucapku dengan memencet bagian kepalaku."Resta, mana laporan keuangannya?""Ini, Pak." Sekretaris yang sudah lama ikut bersama Ayah bekerja di Restoran ini memberikan laporan itu padaku dengan kepala yang masih menunduk.Aku cek semua data-data Restoran dan beberapa pengeluaran juga pemasuk
Satu ....Dua ....Tiga ....Jannah membuka kedua matanya lalu aku mengeluarkan sebuah kotak berbentuk persegi empat dengan berukuran kecil dari saku celanaku beserta sepucuk bunga untuk Jannah yang telah aku selipkan di punggungku.Betapa bahagianya Jannah ketika melihat sepucuk bunga yang kuberi padanya. Terlihat dari raut wajahnya yang berseri serta bola matanya yang berkaca-kaca. Ya, sebuah air mata bahagia. Ingin titik, tapi sengaja untuk ditahan."Ini kotak apa, Bang?" tanya Jannah dengan kedua matanya yang terus melirik kotak kecil yang masih berada di dalam genggaman tanganku."Ambillah!" perintahku. Jannah meraih kotak itu dari telapak tanganku."Buat aku?" tanya Jannah sembari menunjuk pada wajah anggunnya."Iya, bunganya juga untuk kamu. Ambillah!" perintahku lagi. Jannah mengambil sepucuk bunga yang juga berada pada telapak tanganku.Aku menempelkan sepucuk bunga itu tepat
“Bagai mana ini jika Ayah marah besar padaku tentang aku yang tak bisa menjaga Jannah dengan baik hingga ia terluka? Bisa-bisa aku belum boleh menikahi Jannah karena Ayah pasti bilang kamu belum cukup umur untuk menjadi seorang kepala rumah tangga.” Kepalaku menggeleng berulang kali. Pusing aku jadinya jika seperti ini.Memang sih jika mencintai seseorang itu harus bisa juga menjaga dan membahagiakannya. Itu memang tugas dari seorang laki-laki, tetapi jika teledor seperti ini, apakah ini juga salahku? Entahlah! Jadi, malah pusing kepalaku.Aku menyetir mobil sungguh tak konsen. Yang ada di dalam pikiranku ini selalu saja Jannah hingga salah satu bodyguardku menegurku karena melihat wajahku yang seakan terbawa ke dunia maya.“Den, biar aku ganti saja menyetirnya.” Bodyguardku menawarkan dirinya untuk menyetir mobilku. Sebenarnya aku lebih suka menyetir sendiri ketimbang orang lain yang menyetir mobil buatku, tapi ini demi kebaikanku, lebih
Kubuka sebelah mataku. Suasana kamar masih terlihat cahaya lampu sedangkan di luar sana masih terlihat gelap. Kulihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, ternyata masih jam empat pagi. Aku beranjak bangun dari sofa dengan mengucek-ngucek kedua mataku. Kutoleh ke arah Jannah, ternyata ia sudah bangun dan sedang duduk bersandar di atas kasur. Matanya terus menatap ke arah pintu. Saat kulihat ke arah pintu, tak ada siapa pun atau mungkin Jannah lagi mengkhayal. Yang ada di depan pintu cuma beberapa bodyguardku yang berjaga silih berganti. Terus apa yang sedang Jannah pikirkan? Aku jadi penasaran. Aku jadi ketularan Atul dan Bi Lasmi tentang rasa penasaran yang tingkat tinggi.Aku perlahan mendekati Jannah. Aku berjanji dalam hatiku sendiri jika aku akan membahagiakan Jannah dengan seluruh jiwa ragaku. Aku sangat ingin tahu tentang apa yang sedang Jannah pikirkan.Kulangkahkan kakiku perlahan dengan berharap semoga Jannah mau bicara padaku tentang m
Mobil telah terparkir di parkiran biasa aku memarkir mobilku. Sebuah parkiran khusus pemilik Restoran ini. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki kawasan Restoranku. Syukurlah pagi ini Restoran ramai pengunjung. Hari ini kan hari libur. Setiap hari libur Restoran selalu kebanjiran oleh pengunjung. “Selamat pagi, Tuan,” sambut satpam yang berada di ambang pintu Restoran.“Pagi,” sahutku sambil bergegas masuk ke area dalam Restoran.“Tuan besar sudah menunggu di ruangan utama.” Satpam itu mengikutiku.“Baik,” sahutku dengan sederet bodyguardku yang telah mengikutiku juga.Aku menghentikan langkahku. “Silakan kamu kembali pada posisimu!” tegurku pada satpam itu.“Siap, Den!” satpam itu membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju tempat pada posisinya semula.Aku melangkahkan kakiku lagi dengan cepat ke ruangan Direktur Utama. Tepatnya ruangan ayahku.Di depan pintu ruangan ayah langkahku terhenti. Kud
Suasana Restoran semakin ramai saja sampai sore ini. Jika masih ramai seperti ini terpaksa semua karyawan harus di lemburkan sampai Restoran sepi pengunjung. Aku juga sangat kelelahan. Dari tadi aku mondar mandir sedari pagi melayani para pengunjung. Kalau lagi lelah begini jika aku melihat wajah Jannah atau hanya dengar suaranya saja, rasa lelahku akan punah seketika. Jannah memang jantung hatiku. Ia penyemangat hari-hari yang aku lalui. Lebih baik aku telepon saja dia. Sedang apa dia sekarang ini? Aku merogoh ponselku di dalam saku celanaku. "Hai," sapa Lucki yang membuatku terkejut.Aku terperanjat. Rasa mau copot saja jantungku. Ia tiba-tiba muncul di depanku."Mana gadismu?"Lucki tiba-tiba menanyakan tentang calon istriku. Rasa penasaran tingkat tinggi masih saja bertengger di kepalanya.Aku hanya diam."Mana?" tanyanya lagi."A-nu ... Dia ... Ya, dia ada di rumah sakit,” jawabku. Pasti Lucki tertawa karena
"Ayo masuk!" aku menarik tangan kiri Lucki."Oh, kamu ternyata sudah bangun sayang?" tanyaku saat melihat Jannah membuka matanya."Iya, kamu baru datang ya? Nyonya mana?" tanya Jannah dengan mata menyebar ke sekitar ruangan itu."Nyonya sudah pulang ke rumah. Sekarang aku yang nunggu kamu di sini." Lucki masih tetap berada di sampingku. Ia menatap pekat wajah Jannah."Ingat, jangan jatuh cinta!" Aku bisikkan kalimat itu di telinga kiri Lucki."Iya, aku tahu." Lucki membalas bisikanku."Itu siapa?" tanya Jannah ketika melihat Lucki yang sedari tadi tersenyum simpul padanya."Oh, ini putranya Nyonya. Ia baru saja pulang dari luar negeri. Mulai hari ini, ia akan tinggal di Indonesia dan membantu Tuan besar untuk mengurus beberapa usahanya di sini." Mulai lagi kebohonganku yang ke sekian kalinya terhadap Jannah."Oh, kenalkan namaku Jannah. Aku salah satu asisten rumah tangga yang sudah cukup lama bekerja d