"Sepertinya ada yang menuju ke sini, Prana Kusuma," ujar Mahisa Dahana. Semua orang menghentikan kuda yang ditunggangi lalu memutar kuda ke arah belakang. Kening mereka mengernyit saat melihat seekor kuda dinaiki dua orang. Wajah mereka sumringah karena berhasil mengenali perempuan yang di atas kuda itu.
"Aku kembali!" Mayang berteriak memberitahu teman-temannya. Kedua tangan perempuan itu melambai dengan senyum lebar menghiasai wajah cantiknya.Sekar Pandan memutar kudanya dengan tidak sabar lalu menyongsong Mayang. Gadis berjuluk Dewi Bunga Malam itu benar-benar bahagia karena sahabatnya telah kembali dari tangan Bimala dan Elakshi. Dua wanita seram dari dasar jurang Hung Leliwungan.Manggala menghentikan lari kudanya karena kuda Sekar Pandan telah sampai. Manggala menunduk agar tidak beradu pandang dengan Sekar Pandan. Bagaimana pun mereka pernah bentrok di dalam hutan saat dia mengejar rombongan Paksi Jingga dan Mahisa Dahana."Mayang." BibirRaden Prana Kusuma sesekali menoleh ke belakang. Di belakangnya, rombongan para perempuan tengah memacu kuda mereka dan di belakang para wanita ini, kuda Ludro Gempol dan Tuan muda Zhang dipacu untuk menjaga mereka dari bahaya. Itu perintah Raden Prana Kusuma untuk melindungi para perempuan dari bahaya yang datang sewaktu-waktu. Dia sendiri dan Mahisa Dahana berkuda paling depan."Ada yang membuat hatimu gelisah, Prana Kusuma?" Mahisa Dahana melempar pertanyaan pada pemuda gagah di sampingnya. Dia sendiri melihat kawannya itu sesekali mencuri pandang ke belakang. "Aku hanya memastikan tidak ada yang lelah karena perjalanan jauh ini." Raden Prana Kusuma berusaha membuat keadaan tetap biasa saja. Namun, naluri keprajuritan yang digembleng sejak kecil akan tetap berjalan, membuat Raden Prana Kusuma harus senantiasa waspada.Sepanjang perjalanan dia tidak menemukan tanda bahaya dari Telik sandi yang menjadi kaki tangannya. Itu artinya tidak ada yang perlu dik
"Ke mana aku harus mengikutimu?" ucap pemuda itu. Kekuatan pemikat yang dihembuskan Ni Sapti mulai mengikat tubuh Raden Prana Kusuma. Makin lama makin kuat. Pemuda dari kota raja Majapahit itu memejamkan kedua matanya. Setetes keringat jatuh dari keningnya, menandakan adanya perlawanan yang kuat pada batinnya.Ludro Gempol yang merupakan pengawal setia keluarga Raden Prana Kusuma mendekati junjungannya itu. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres terjadi di hadapannya. Junjungannya itu tengah melawan kekuatan tak kasat mata. Dia ingin membantu, tetapi tidak tahu harus membantu dengan cara apa. Pemuda yang usianya jauh di atas Raden Prana Kusuma itu hanya berdiri di samping junjungannya.Tuan muda Zhang mengembangkan kipas di depan dada. Mata sipitnya menangkap gelagat tidak baik dari salah satu nenek kembar di depannya. Namun, dia tidak melihat gerakan menyerang. Dua nenek itu hanya berdiri tidak jauh di depan Raden Prana Kusuma. Salah satu nenek menatap wajah Rade
"Dua nenek itu memiliki kesaktian yang tinggi. Prana Kusuma telah dibawa salah satu di antara mereka. Kau beristirahatlah di sini, biarkan mereka yang menghadapi nenek itu." Manggala berkata pada Sekar Pandan dengan suara yang dibuat sedikit rendah dari suara yang didengar Sekar Pandan tadi. Sesekali tangannya memegang leher sambil batuk-batuk kecil."Kenapa suaranya berubah?" Sekar Pandan bertanya dalam hati. Namun, pikirannya kembali tertuju pada Raden Prana Kusuma. Pemuda itu telah lenyap dibawa Ni Sapta. Jika dalam keadaan biasa, mungkin dia tidak secemas ini pada keselamatan pemuda yang dicintainya itu. Sekarang keadaan pemuda itu tidak sadar. Entah apa yang menimpa Raden Prana Kusuma hingga terlihat bodoh saat berhadapan dengan dua nenek berselendang hitam. Kepintaran dan kepiawaian yang dimilikinya seolah tak berguna di depan dua nenek renta.Tanpa meminta izin pada Manggala, Sekar Pandan bangkit lalu berlari menuju kudanya sambil memegangi perutnya. Dengan
"Dua nenek yang luar biasa. Aku harus bisa membuat mereka mendukungku. Kudengar mereka tidak menyukai Mahisa Aji si pendekar Pedang Sulur Naga. Kurasa aku bisa memanfaatkan mereka." Manggala berlari menyusul Ni Sapti yang telah hilang ditelan kegelapan. Bagi pemuda itu, dia tidak akan pernah kehilangan jejak karena bau Ni Sapti telah dia hafal dengan baik, jadi lebih mudah melacaknya.Berbeda dengan Sekar Pandan. Gadis itu kehilangan jejak Ni Sapta. Di tengah hutan dia menghentikan langkah kudanya. Mulutnya mendesis menahan sakit di perut. Suasana gelap menghalangi pandangannya. Dalam keadaan seperti itu, panca inderanya dikerahkan untuk mengetahui adanya bahaya, terutama dari serangan binatang buas.Tangan Sekar Pandan menepuk bokong kuda dengan pelan. Kuda itu berjalan pelan mengikuti arah bintang di langit. Tangan kiri memegang pelana sedangkan tangan kanan memegang ujung selendang yang tersampir di pundak. Suara derap kuda terdengar menyatu dengan suara jangkri
Kalasri tersungkur di depan kaki salah satu penjaga karena penjaga yang menangkapnya telah mendorong punggungnya dengan kasar. Perempuan itu memekik tertahan. Seluruh tubuhnya gemetar dan bibir pucatnya terbata ketika menjawab pertanyaan dua penjaga."Sekarang bukan waktunya memberi makan tawanan. Cepat kembali! Awas kalau berani ke sini tanpa sepengetahuan kami!" Setelah berkata demikian, salah satu penjaga mengangkat tubuh Kalasri lalu mendorongnya pergi. Hampir saja Kalasri terjatuh karena dorongan itu. Sorot matanya tajam saat menoleh ke belakang.Perempuan itu tertatih-tatih meninggalkan depan gua. Sesekali masih menengok ke belakang. Buru-buru dia menyelinap di antara rimbunnya semak belukar saat salah satu penjaga berpamitan pada temannya karena kebelet buang air. Pandangan Kalasri mengikuti penjaga itu hingga hilang di antara gelapnya malam. Dengan hati-hati, perempuan yang biasa berkutat di dapur itu mendekati penjaga di depan gua. Sengaja dia menyingkap s
"Den ... Den Senayudha ...." Susah payah pelayan itu merayap hingga ke pintu gua. Antara sadar dan tidak tubuhnya ambruk di depan jeruji tahanan Senayudha. Kunci yang terjatuh menimpa batu yang sebagian masih tertanam di dalam tanah lalu terpental ke depan tahanan Senayudha."Kalasri. Apa yang terjadi padamu?" Tangan kiri Senayudha terulur ke luar jeruji untuk meraih jari tangan Kalasri yang tergeletak di depannya. Perempuan itu tidak menjawab karena nyawanya telah pergi bersamaan dengan tubuh yang tersungkur. Mengetahui pelayannya telah tewas, Senayudha meraih kunci itu. Dengan susah payah, tangan kirinya mencoba membuka gembok. Keadaan dirinya yang kini bertangan satu sudah dapat dia terima sebagai alasan untuk balas dendam pada Paksi Jingga.Lama pemuda itu membuka gembok. Mendengar gemerincing dan umpatan anaknya, Dewa Jari Maut bertanya dengan suara keras dari tempat tahanannya. "Kau kenapa, Senayudha?""Aku susah membuka gembok ini, Ayah."
"Saya tidak tahu," ujar Widari tetap tertunduk. Kedua tangan dan kakinya terasa dingin. Nyawanya seperti akan lepas dari tubuh saking takutnya. Setelah hari ini perempuan itu merasa tidak punya harapan untuk menghirup udara di perguruan Tangan Seribu. Dewa Jari Maut selama ini tidak pernah bersikap kasar pada pelayan. Dia juga tidak pernah memprotes masakan yang dihidangkan teman-temannya. Jauh berbeda dengan tabiat Paksi Jingga yang pemarah dan penuh curiga.Ki Sempana menghampiri Paksi Jingga. Dia berdiri di samping ketua perguruan Tangan Seribu, agak ke belakang sedikit karena dia harus bisa menempatkan diri di depan ketuanya. Lelaki itu menatap satu persatu para pelayan yang bersimpuh dengan tubuh gemetar."Kami tahu Dewa Jari Maut adalah ketua kalian dan Senayudha adalah tuan muda di sini. Namun, kalian harus ingat, sekarang ketua kalian adalah Den Paksi Jingga. Jadi tidak ada alasan untuk berkhianat. Kami masih bermurah hati pada kalian seharusnya itu menjadi
Lelaki berkumis tipis memeras kain bawahnya dari air sungai. Dia mengikuti saudara seperguruannya mendekati Sekar Pandan yang masih bermain air. Gadis itu tidak peduli dengan dua orang yang mendekatinya. Dia tetap berjongkok sambil menggerak-gerakkan tangannya di dalam air. Ikan-ikan kecil berdatangan menghampiri jari-jarinya. "Nini, kau berasal darimana?" Lelaki berkumis bertanya. Sekar Pandan menoleh sebentar kemudian kembali pada air di depannya.Gadis itu rindu air dan ikan-ikan di laut. Sudah lama dia tidak menyelam. Begitu melihat air dan ikan bagai obat mujarab baginya. Tidak heran jika gadis itu lebih menyukai air daripada dua orang yang tidak dia kenal. "Kau .... Kau juga mendapat undangan dari ketua perguruan Tangan Seribu?" Lelaki berkumis tipis yang bertanya. Sekar Pandan menggeleng tanpa menoleh.Dua orang itu saling pandang dengan kening berkerut. Mereka makin yakin bahwa gadis ini minggat dari rumah. Mungkin pikirannya sedang kalu
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b