"Den ... Den Senayudha ...." Susah payah pelayan itu merayap hingga ke pintu gua. Antara sadar dan tidak tubuhnya ambruk di depan jeruji tahanan Senayudha. Kunci yang terjatuh menimpa batu yang sebagian masih tertanam di dalam tanah lalu terpental ke depan tahanan Senayudha.
"Kalasri. Apa yang terjadi padamu?" Tangan kiri Senayudha terulur ke luar jeruji untuk meraih jari tangan Kalasri yang tergeletak di depannya. Perempuan itu tidak menjawab karena nyawanya telah pergi bersamaan dengan tubuh yang tersungkur. Mengetahui pelayannya telah tewas, Senayudha meraih kunci itu. Dengan susah payah, tangan kirinya mencoba membuka gembok. Keadaan dirinya yang kini bertangan satu sudah dapat dia terima sebagai alasan untuk balas dendam pada Paksi Jingga.Lama pemuda itu membuka gembok. Mendengar gemerincing dan umpatan anaknya, Dewa Jari Maut bertanya dengan suara keras dari tempat tahanannya."Kau kenapa, Senayudha?""Aku susah membuka gembok ini, Ayah."<"Saya tidak tahu," ujar Widari tetap tertunduk. Kedua tangan dan kakinya terasa dingin. Nyawanya seperti akan lepas dari tubuh saking takutnya. Setelah hari ini perempuan itu merasa tidak punya harapan untuk menghirup udara di perguruan Tangan Seribu. Dewa Jari Maut selama ini tidak pernah bersikap kasar pada pelayan. Dia juga tidak pernah memprotes masakan yang dihidangkan teman-temannya. Jauh berbeda dengan tabiat Paksi Jingga yang pemarah dan penuh curiga.Ki Sempana menghampiri Paksi Jingga. Dia berdiri di samping ketua perguruan Tangan Seribu, agak ke belakang sedikit karena dia harus bisa menempatkan diri di depan ketuanya. Lelaki itu menatap satu persatu para pelayan yang bersimpuh dengan tubuh gemetar."Kami tahu Dewa Jari Maut adalah ketua kalian dan Senayudha adalah tuan muda di sini. Namun, kalian harus ingat, sekarang ketua kalian adalah Den Paksi Jingga. Jadi tidak ada alasan untuk berkhianat. Kami masih bermurah hati pada kalian seharusnya itu menjadi
Lelaki berkumis tipis memeras kain bawahnya dari air sungai. Dia mengikuti saudara seperguruannya mendekati Sekar Pandan yang masih bermain air. Gadis itu tidak peduli dengan dua orang yang mendekatinya. Dia tetap berjongkok sambil menggerak-gerakkan tangannya di dalam air. Ikan-ikan kecil berdatangan menghampiri jari-jarinya. "Nini, kau berasal darimana?" Lelaki berkumis bertanya. Sekar Pandan menoleh sebentar kemudian kembali pada air di depannya.Gadis itu rindu air dan ikan-ikan di laut. Sudah lama dia tidak menyelam. Begitu melihat air dan ikan bagai obat mujarab baginya. Tidak heran jika gadis itu lebih menyukai air daripada dua orang yang tidak dia kenal. "Kau .... Kau juga mendapat undangan dari ketua perguruan Tangan Seribu?" Lelaki berkumis tipis yang bertanya. Sekar Pandan menggeleng tanpa menoleh.Dua orang itu saling pandang dengan kening berkerut. Mereka makin yakin bahwa gadis ini minggat dari rumah. Mungkin pikirannya sedang kalu
Bibir keriput itu komat kamit melantunkan dengungan sidhimantra. Telinga Raden Prana Kusuma yang menangkap dengung itu bergerak-gerak pelan. Kekuatannya mulai merasuki daya pikir dan melemahkan kesadarannya. Pemuda itu menggelengkan kepala untuk mengusir rasa tidak nyaman di dirinya."Kekuatan ini memintaku untuk menatap matanya. Permainan licik! Dia menggunakan ilmu menjijikan untuk menaklukkan aku." Raden Prana Kusuma melawan dorongan nafsu birahi yang berasal dari kekuatan yang dikeluarkan Ni Sapta dengan tenaga batin. Keris Naga Kemala dia silangkan ke depan dada. Pamornya menerangi dada dan wajahnya. Bias keris itu membentuk lengkungan perisai di depannya, melindungi sang pemilik keris dari gelombang kekuatan mantra. Suara Ni Sapta yang semula hanya berupa dengungan, kini terdengar keras. Wanita tua itu mengulang sidhimantra yang dilantunkan hingga beberapa kali. Setiap pengulangan dilambari kekuatan tenaga dalam yang kuat. Dia sangat ingin menaklukkan pemuda
"Jangan tertipu dengan omongannya. Mungkin dia pernah jujur dan membantumu, tapi sekarang dia tidak jujur. Bangsa jin akan mencari banyak cara dan jalan untuk terlihat baik di mata manusia, agar kita percaya pada mereka." Dengan kecewa Sekar Pandan menuliskan isi hatinya di telapak tangan pemuda tinggi itu. Raden Prana Kusuma hanya bisa menghela napas berat menghadapi gadis polos yang keras kepala itu."Sekar, dengarkan aku." Sekar Pandan melotot marah lalu menuliskan kembali ketidak setujuannya."Bukan begitu. Ah, bagaimana aku harus menjelaskannya padamu. Dia tidak seperti yang kau pikirkan. Dia ...." Raden Prana Kusuma membatalkan kalimatnya. Dia tidak mungkin menjelaskan pada Sekar Pandan tentang gerak gerik Sekar Wangi yang telah jatuh cinta padanya. Kehadiran Putri Dewi Gayatri saja sudah membuatnya tidak enak dengan Sekar Pandan, ditambah sekarang ada Sekar Wangi dari bangsa lelembut."Baiklah jika itu maumu. Dia boleh ikut, tapi kau jangan menyesal
"Kenapa kau diam, Manggala?" tanya Dewa Jari Maut karena menantunya itu hanya diam menunduk seperti tengah memikirkan sesuatu. Dewa Jari Maut mendongak ke arah gunung, tempat perguruan Tangan Seribu berada."Perguruan itu dibuat oleh ayahku. Jadi hanya keturunan ayahku lah yang pantas menjadi ketua," ujar Dewa Jari Maut menambahkan. Diam-diam Manggala mengumpat dalam hati. "Orang cacat seperti itu bagaimana bisa menjadi ketua perguruan Tangan Seribu."Dewa Jari Maut menepuk pundak menantinya dengan telapak tangan tanpa jari. "Manggala, kau harus bisa melenyapkan Paksi Jingga. Rebut perguruan Tangan Seribu dan juga pedang Sulur Naga. Dengan pedang itu kau bisa membantu kakak iparmu menjalankan kewajibannya di perguruan." Manggala menahan marah. Tujuan utamanya memang melenyapkan Paksi Jingga dan merebut pedang di tangannya. Namun, bukan untuk diserahkan kepada Senayudha, tetapi untuk dirinya sendiri. Senayudha menurutnya tidak akan mampu memega
Kakang Senayudha, kematian ketua memang telah memukul kita. Akan tetapi, itu jangan membuat kita lemah. Kita harus tetap membalaskan dendam kematiannya. Juga, merebut perguruan Tangan Seribu dari Paksi Jingga dan kawan-kawannya. Sebelum tewas, ketua telah berpesan agar menyingkirkan Paksi Jingga dan merebut pedang sulur naga dari tangannya. Dengan pedang itu perguruan Tangan Seribu akan kuat."Senayudha mendongak pada Manggala. Wajahnya bersimbah air mata. Sungguh mengenaskan keadaan pemuda itu. Sangat jauh berbeda saat sebelum perguruannya diambil alih oleh Paksi Jingga dan perkumpulan Sapu Tangan Merah. Saat itu Senayudha demikian gagah, tampan, dan ditakuti lawan. "Ayahku berpesan begitu padamu?" tanyanya belum percaya."Tentu, ... tentu, Kakang Senayudha." Manggala sedikit gelagapan. Senayudha mengedarkan pandangan ke arah perguruan Tangan Seribu. Dia tidak pernah membayangkan akan seperti ini nasibnya. Hidup terlunta-lunta dan harus menyingkir dari t
"Berhenti!" Dua orang berambut panjang dengan ikat kepala merah itu menarik tali kekang kuda mereka. Kuda mereka terpaksa berhenti karena dua orang berpenutup wajah tengah menghadang di tengah jalan. Keduanya menatap dua lelaki berpenutup wajah yang menghadang di tengah jalan dengan heran. Mereka bisa meraba bahwa dua penghadang itu berniat tidak baik.Salah satu pendekar dari perguruan Pedang Buana itu berkata. "Maaf, Kisanak. Kami sedang terburu-buru jadi minggirlah dan beri kami jalan." Manggala maju tiga langkah. Tangannya langsung mencabut pedang tipis yang membelit pinggangnya. Pedang itu berkelok-kelok saat dimainkan. "Apa-apaan ini?" Lelaki berkumis tipis yang bertanya. Dia sedikit tersinggung dengan sikap orang itu. Bukannya menjawab dan minggir malah mencabut senjata, kentara sekali kalau mereka tidak berniat baik."Kalian dari mana?" tanya Manggala."Kami dari perguruan Pedang Buana. Murid Ki Buanapala," jawab pria
"Kau selalu mengambil keputusan yang tepat, Manggala," puji Senayudha sambil memeriksa keadaan dua lawan mereka. Kedua orang itu tewas seketika."Masih banyak lagi pendekar yang harus dibereskan, Kakang." Manggala menyobek kain baju dua korbannya kemudian menggunakan darah mereka untuk menuliskan sesuatu di sobekan kain itu. Senayudha tersenyum puas dengan kerja Manggala."Otak adik iparku ini memang penuh dengan rencana licik sampai terkadang aku sendiri ngeri dibuatnya," gumam Senayudha sambil mengawasi Manggala. Seandainya dia tahu kalau Manggala adalah pembunuh ayahnya, pasti jiwanya akan terguncang saat itu juga."Siapa yang tidak mau mendukung Paksi Jingga, tinggalkan nyawa, Pendekar Pedang Sulur Naga." Senayudha membaca tulisan darah pada selembar kain. Matanya berbinar-binar senang."Kau melemparkan masalah ini pada Pendekar Pedang Sulur Naga?" Senayudha mengeryitkan dahi. Manggala membersihkan sisa darah di tangannya pada kain baju salah