Kakang Senayudha, kematian ketua memang telah memukul kita. Akan tetapi, itu jangan membuat kita lemah. Kita harus tetap membalaskan dendam kematiannya. Juga, merebut perguruan Tangan Seribu dari Paksi Jingga dan kawan-kawannya. Sebelum tewas, ketua telah berpesan agar menyingkirkan Paksi Jingga dan merebut pedang sulur naga dari tangannya. Dengan pedang itu perguruan Tangan Seribu akan kuat."
Senayudha mendongak pada Manggala. Wajahnya bersimbah air mata. Sungguh mengenaskan keadaan pemuda itu. Sangat jauh berbeda saat sebelum perguruannya diambil alih oleh Paksi Jingga dan perkumpulan Sapu Tangan Merah. Saat itu Senayudha demikian gagah, tampan, dan ditakuti lawan."Ayahku berpesan begitu padamu?" tanyanya belum percaya."Tentu, ... tentu, Kakang Senayudha." Manggala sedikit gelagapan. Senayudha mengedarkan pandangan ke arah perguruan Tangan Seribu. Dia tidak pernah membayangkan akan seperti ini nasibnya. Hidup terlunta-lunta dan harus menyingkir dari t"Berhenti!" Dua orang berambut panjang dengan ikat kepala merah itu menarik tali kekang kuda mereka. Kuda mereka terpaksa berhenti karena dua orang berpenutup wajah tengah menghadang di tengah jalan. Keduanya menatap dua lelaki berpenutup wajah yang menghadang di tengah jalan dengan heran. Mereka bisa meraba bahwa dua penghadang itu berniat tidak baik.Salah satu pendekar dari perguruan Pedang Buana itu berkata. "Maaf, Kisanak. Kami sedang terburu-buru jadi minggirlah dan beri kami jalan." Manggala maju tiga langkah. Tangannya langsung mencabut pedang tipis yang membelit pinggangnya. Pedang itu berkelok-kelok saat dimainkan. "Apa-apaan ini?" Lelaki berkumis tipis yang bertanya. Dia sedikit tersinggung dengan sikap orang itu. Bukannya menjawab dan minggir malah mencabut senjata, kentara sekali kalau mereka tidak berniat baik."Kalian dari mana?" tanya Manggala."Kami dari perguruan Pedang Buana. Murid Ki Buanapala," jawab pria
"Kau selalu mengambil keputusan yang tepat, Manggala," puji Senayudha sambil memeriksa keadaan dua lawan mereka. Kedua orang itu tewas seketika."Masih banyak lagi pendekar yang harus dibereskan, Kakang." Manggala menyobek kain baju dua korbannya kemudian menggunakan darah mereka untuk menuliskan sesuatu di sobekan kain itu. Senayudha tersenyum puas dengan kerja Manggala."Otak adik iparku ini memang penuh dengan rencana licik sampai terkadang aku sendiri ngeri dibuatnya," gumam Senayudha sambil mengawasi Manggala. Seandainya dia tahu kalau Manggala adalah pembunuh ayahnya, pasti jiwanya akan terguncang saat itu juga."Siapa yang tidak mau mendukung Paksi Jingga, tinggalkan nyawa, Pendekar Pedang Sulur Naga." Senayudha membaca tulisan darah pada selembar kain. Matanya berbinar-binar senang."Kau melemparkan masalah ini pada Pendekar Pedang Sulur Naga?" Senayudha mengeryitkan dahi. Manggala membersihkan sisa darah di tangannya pada kain baju salah
Wanita itu mencebik lalu memasukkan cuilan pinang dan sirih ke mulutnya. Perpaduan keduanya membuat perasaan yang tadi sedikit tersinggung kini berubah tenang. Paksi Jingga terlihat kurang puas dengan kehadiran para undangan. Seharusnya semua orang datang hari ini. Pemuda itu meminta izin pada semua tamu untuk keluar.Ki Sempana melihat kegelisahan pada ketuanya. Pemimpin kelompok musik gendingswara itu memberi isyarat pada Ludro Mangun untuk mengikuti ketua mereka. Lelaki penabuh musik itu bergerak mengikuti Paksi Jingga."Ketua, aku bisa meringankan bebanmu. Perintahkan aku untuk melaksanakan tugas itu," ujar Ludro Mangun menawarkan diri. Paksi Jingga menarik capingnya ke belakang. Guratan luka memenuhi wajahnya yang sebenarnya tampan. Demi melindungi dirinya dari kecurigaan orang-orang perguruan Tangan Seribu, dia rela merusak wajahnya sendiri. Ludro Mangun sangat mengerti kalau sekarang pemuda ini ingin menjadikan perguruan Tangan Seribu menjadi ketu
Wanita itu mencebik lalu memasukkan cuilan pinang dan sirih ke mulutnya. Perpaduan keduanya membuat perasaan yang tadi sedikit tersinggung kini berubah tenang. Paksi Jingga terlihat kurang puas dengan kehadiran para undangan. Seharusnya semua orang datang hari ini. Pemuda itu meminta izin pada semua tamu untuk keluar.Ki Sempana melihat kegelisahan pada ketuanya. Pemimpin kelompok musik gendingswara itu memberi isyarat pada Ludro Mangun untuk mengikuti ketua mereka. Lelaki penabuh musik itu bergerak mengikuti Paksi Jingga."Ketua, aku bisa meringankan bebanmu. Perintahkan aku untuk melaksanakan tugas itu," ujar Ludro Mangun menawarkan diri. Paksi Jingga menarik capingnya ke belakang. Guratan luka memenuhi wajahnya yang sebenarnya tampan. Demi melindungi dirinya dari kecurigaan orang-orang perguruan Tangan Seribu, dia rela merusak wajahnya sendiri. Ludro Mangun sangat mengerti kalau sekarang pemuda ini ingin menjadikan perguruan Tangan Seribu menjadi ketu
"Setahuku, mereka berdua adalah murid Ki Buanapala. Luka ini begitu sempurna pasti pelakunya orang yang berilmu tinggi. Kalian periksa sekitar tempat ini. Kau laporkan kejadian ini pada ketua. Sementara kau tetap di sini menunggu teman yang lain.""Baik, Kang."Mereka menyebar untuk mencari petunjuk atau mungkin ada korban jiwa yang lain. Satu orang bertugas melapor kepada Paksi Jingga segera melarikan kuda mereka ke perguruan Tangan Seribu. Ludro Mangun menarik sobekan kain baju korban yang ditulis menggunakan darah korban. Kening laki-laki itu berkerut saat membacanya. "Pendekar Pedang Sulur Naga," desisnya.Tidak lama kemudian, terdengar teriakan teman mereka memberitahukan bahwa ada mayat lagi. Mereka segera berlari menuju suara. Betapa terkejutnya mereka saat melihat tubuh-tubuh itu. Mereka mengepal geram melihat saudara-saudara mereka juga terbunuh di tempat itu. "Bedebah! Mereka juga tewas terbunuh seperti dua murid Ki Buanapala," maki Lud
Ludro Mangun pun mencabut pedangnya dan segera menangkis pedang tipis Manggala. Ludro Mangun menarik pedangnya untuk melakukan serangan berikutnya, alangkah terkejutnya lelaki itu karena pedangnya dan pedang Manggala telah menempel kuat. Manggala tersenyum dingin kemudian menarik pedangnya yang telah lengket dengan pedang Ludro Mangun. Lelaki dari perkumpulan Sapu Tangan Merah itu juga ikut tertarik beberapa langkah.Agar tidak menjadi bulan-bulanan Manggala, Ludro Mangun terpaksa melepaskan gagang pedangnya untuk menghindari putaran yang dilakukan Manggala. Kemudian Kaki Ludro Mangun bergerak mengejar, menendang, mengejar lagi. ...."Aaaa ...!"Ludro Mangun terpelanting ke samping dengan paha berdarah terkena sabetan pedang miliknya sendiri yang dilemparkan Manggala. Lelaki itu meringis kesakitan. Cekatan tangannya menotok titik-titik nadi di sekitar luka agar darahnya mampat."Hanya begitu kemampuanmu, Ludro Mangun?" ejek Manggala mendekati Ludr
Sekar Wangi berkelit dari kejaran pedang tipis Manggala yang terus berseliweran di sekitar tubuhnya. Perempuan dari bangsa lelembut itu membalas serangan Manggala dengan pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi. Pemuda itu jungkir balik menghindari serangan perempuan cantik itu. Saat tubuhnya memutar, dia melepaskan pukulan tenaga dalam tepat ke dada Sekar Wangi. Tubuh perempuan cantik itu terpental menabrak pohon kemudian lenyap. Manggala menarik kembali tenaganya dengan sikap tegak. Ni Sapta tersenyum bangga melihat kesaktian pemuda itu. Tidak salah dia mendukung rencana pemuda itu. "Perempuan lelembut itu seharusnya menjadi sekutu kita. Malah dia melawan kita dan memihak orang-orang perguruan Tangan Seribu," gumam Ni Sapta. Manggala menyeringai.Senayudha menghampiri keduanya. Entah kenapa saat ini dia kurang begitu suka dengan Manggala. Pemuda itu terlalu mencurigakan dan menakutkan baginya. Manggala mengerutkan dahi saat melihat saudara ip
"Nini Sekar Pandan, hentikan! Kau tidak boleh menyerang ketua perguruan Tangan Seribu!" hardik Ki Sempana berusaha melerai. Sekar Pandan menunjuk-nunjuk Paksi Jingga dengan wajah merah karena marah. Raden Prana Kusuma segera berdiri di samping Sekar Pandan untuk membantu gadis itu."Maaf, Ki. Sekar Pandan menyerang dia bukan tanpa alasan. Pemuda itu telah melakukan dosa yang sangat besar padanya." Pemuda itu berganti menatap Paksi Jingga."Kisanak, jadi kau yang bernama Paksi Jingga?""Aku lah Paksi Jingga. Ketua perguruan Tangan Seribu," jawab Paksi Jingga berwibawa."Dan pasti kau mengenal gadis yang ada di sampingku ini."Paksi Jingga menatap Sekar Pandan sebentar kemudian berpaling. Tentu saja dia tahu gadis itu, gadis pemilik Pedang Sulur Naga. Dialah yang memerintah Elang Gunung untuk mengambil pedang milik Sekar Pandan dari tangannya. "Tentu mengenalnya karena dia telah berjasa banyak kepada perkumpulan Sapu Tangan Merah.