"Berhenti!"
Dua orang berambut panjang dengan ikat kepala merah itu menarik tali kekang kuda mereka. Kuda mereka terpaksa berhenti karena dua orang berpenutup wajah tengah menghadang di tengah jalan. Keduanya menatap dua lelaki berpenutup wajah yang menghadang di tengah jalan dengan heran. Mereka bisa meraba bahwa dua penghadang itu berniat tidak baik.Salah satu pendekar dari perguruan Pedang Buana itu berkata. "Maaf, Kisanak. Kami sedang terburu-buru jadi minggirlah dan beri kami jalan."Manggala maju tiga langkah. Tangannya langsung mencabut pedang tipis yang membelit pinggangnya. Pedang itu berkelok-kelok saat dimainkan."Apa-apaan ini?" Lelaki berkumis tipis yang bertanya. Dia sedikit tersinggung dengan sikap orang itu. Bukannya menjawab dan minggir malah mencabut senjata, kentara sekali kalau mereka tidak berniat baik."Kalian dari mana?" tanya Manggala."Kami dari perguruan Pedang Buana. Murid Ki Buanapala," jawab pria"Kau selalu mengambil keputusan yang tepat, Manggala," puji Senayudha sambil memeriksa keadaan dua lawan mereka. Kedua orang itu tewas seketika."Masih banyak lagi pendekar yang harus dibereskan, Kakang." Manggala menyobek kain baju dua korbannya kemudian menggunakan darah mereka untuk menuliskan sesuatu di sobekan kain itu. Senayudha tersenyum puas dengan kerja Manggala."Otak adik iparku ini memang penuh dengan rencana licik sampai terkadang aku sendiri ngeri dibuatnya," gumam Senayudha sambil mengawasi Manggala. Seandainya dia tahu kalau Manggala adalah pembunuh ayahnya, pasti jiwanya akan terguncang saat itu juga."Siapa yang tidak mau mendukung Paksi Jingga, tinggalkan nyawa, Pendekar Pedang Sulur Naga." Senayudha membaca tulisan darah pada selembar kain. Matanya berbinar-binar senang."Kau melemparkan masalah ini pada Pendekar Pedang Sulur Naga?" Senayudha mengeryitkan dahi. Manggala membersihkan sisa darah di tangannya pada kain baju salah
Wanita itu mencebik lalu memasukkan cuilan pinang dan sirih ke mulutnya. Perpaduan keduanya membuat perasaan yang tadi sedikit tersinggung kini berubah tenang. Paksi Jingga terlihat kurang puas dengan kehadiran para undangan. Seharusnya semua orang datang hari ini. Pemuda itu meminta izin pada semua tamu untuk keluar.Ki Sempana melihat kegelisahan pada ketuanya. Pemimpin kelompok musik gendingswara itu memberi isyarat pada Ludro Mangun untuk mengikuti ketua mereka. Lelaki penabuh musik itu bergerak mengikuti Paksi Jingga."Ketua, aku bisa meringankan bebanmu. Perintahkan aku untuk melaksanakan tugas itu," ujar Ludro Mangun menawarkan diri. Paksi Jingga menarik capingnya ke belakang. Guratan luka memenuhi wajahnya yang sebenarnya tampan. Demi melindungi dirinya dari kecurigaan orang-orang perguruan Tangan Seribu, dia rela merusak wajahnya sendiri. Ludro Mangun sangat mengerti kalau sekarang pemuda ini ingin menjadikan perguruan Tangan Seribu menjadi ketu
Wanita itu mencebik lalu memasukkan cuilan pinang dan sirih ke mulutnya. Perpaduan keduanya membuat perasaan yang tadi sedikit tersinggung kini berubah tenang. Paksi Jingga terlihat kurang puas dengan kehadiran para undangan. Seharusnya semua orang datang hari ini. Pemuda itu meminta izin pada semua tamu untuk keluar.Ki Sempana melihat kegelisahan pada ketuanya. Pemimpin kelompok musik gendingswara itu memberi isyarat pada Ludro Mangun untuk mengikuti ketua mereka. Lelaki penabuh musik itu bergerak mengikuti Paksi Jingga."Ketua, aku bisa meringankan bebanmu. Perintahkan aku untuk melaksanakan tugas itu," ujar Ludro Mangun menawarkan diri. Paksi Jingga menarik capingnya ke belakang. Guratan luka memenuhi wajahnya yang sebenarnya tampan. Demi melindungi dirinya dari kecurigaan orang-orang perguruan Tangan Seribu, dia rela merusak wajahnya sendiri. Ludro Mangun sangat mengerti kalau sekarang pemuda ini ingin menjadikan perguruan Tangan Seribu menjadi ketu
"Setahuku, mereka berdua adalah murid Ki Buanapala. Luka ini begitu sempurna pasti pelakunya orang yang berilmu tinggi. Kalian periksa sekitar tempat ini. Kau laporkan kejadian ini pada ketua. Sementara kau tetap di sini menunggu teman yang lain.""Baik, Kang."Mereka menyebar untuk mencari petunjuk atau mungkin ada korban jiwa yang lain. Satu orang bertugas melapor kepada Paksi Jingga segera melarikan kuda mereka ke perguruan Tangan Seribu. Ludro Mangun menarik sobekan kain baju korban yang ditulis menggunakan darah korban. Kening laki-laki itu berkerut saat membacanya. "Pendekar Pedang Sulur Naga," desisnya.Tidak lama kemudian, terdengar teriakan teman mereka memberitahukan bahwa ada mayat lagi. Mereka segera berlari menuju suara. Betapa terkejutnya mereka saat melihat tubuh-tubuh itu. Mereka mengepal geram melihat saudara-saudara mereka juga terbunuh di tempat itu. "Bedebah! Mereka juga tewas terbunuh seperti dua murid Ki Buanapala," maki Lud
Ludro Mangun pun mencabut pedangnya dan segera menangkis pedang tipis Manggala. Ludro Mangun menarik pedangnya untuk melakukan serangan berikutnya, alangkah terkejutnya lelaki itu karena pedangnya dan pedang Manggala telah menempel kuat. Manggala tersenyum dingin kemudian menarik pedangnya yang telah lengket dengan pedang Ludro Mangun. Lelaki dari perkumpulan Sapu Tangan Merah itu juga ikut tertarik beberapa langkah.Agar tidak menjadi bulan-bulanan Manggala, Ludro Mangun terpaksa melepaskan gagang pedangnya untuk menghindari putaran yang dilakukan Manggala. Kemudian Kaki Ludro Mangun bergerak mengejar, menendang, mengejar lagi. ...."Aaaa ...!"Ludro Mangun terpelanting ke samping dengan paha berdarah terkena sabetan pedang miliknya sendiri yang dilemparkan Manggala. Lelaki itu meringis kesakitan. Cekatan tangannya menotok titik-titik nadi di sekitar luka agar darahnya mampat."Hanya begitu kemampuanmu, Ludro Mangun?" ejek Manggala mendekati Ludr
Sekar Wangi berkelit dari kejaran pedang tipis Manggala yang terus berseliweran di sekitar tubuhnya. Perempuan dari bangsa lelembut itu membalas serangan Manggala dengan pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi. Pemuda itu jungkir balik menghindari serangan perempuan cantik itu. Saat tubuhnya memutar, dia melepaskan pukulan tenaga dalam tepat ke dada Sekar Wangi. Tubuh perempuan cantik itu terpental menabrak pohon kemudian lenyap. Manggala menarik kembali tenaganya dengan sikap tegak. Ni Sapta tersenyum bangga melihat kesaktian pemuda itu. Tidak salah dia mendukung rencana pemuda itu. "Perempuan lelembut itu seharusnya menjadi sekutu kita. Malah dia melawan kita dan memihak orang-orang perguruan Tangan Seribu," gumam Ni Sapta. Manggala menyeringai.Senayudha menghampiri keduanya. Entah kenapa saat ini dia kurang begitu suka dengan Manggala. Pemuda itu terlalu mencurigakan dan menakutkan baginya. Manggala mengerutkan dahi saat melihat saudara ip
"Nini Sekar Pandan, hentikan! Kau tidak boleh menyerang ketua perguruan Tangan Seribu!" hardik Ki Sempana berusaha melerai. Sekar Pandan menunjuk-nunjuk Paksi Jingga dengan wajah merah karena marah. Raden Prana Kusuma segera berdiri di samping Sekar Pandan untuk membantu gadis itu."Maaf, Ki. Sekar Pandan menyerang dia bukan tanpa alasan. Pemuda itu telah melakukan dosa yang sangat besar padanya." Pemuda itu berganti menatap Paksi Jingga."Kisanak, jadi kau yang bernama Paksi Jingga?""Aku lah Paksi Jingga. Ketua perguruan Tangan Seribu," jawab Paksi Jingga berwibawa."Dan pasti kau mengenal gadis yang ada di sampingku ini."Paksi Jingga menatap Sekar Pandan sebentar kemudian berpaling. Tentu saja dia tahu gadis itu, gadis pemilik Pedang Sulur Naga. Dialah yang memerintah Elang Gunung untuk mengambil pedang milik Sekar Pandan dari tangannya. "Tentu mengenalnya karena dia telah berjasa banyak kepada perkumpulan Sapu Tangan Merah.
Sebelum gadis itu makin jauh, Raden Prana Kusuma segera membawanya minggir. Gadis itu cemberut karena masih ingin memarahi Paksi Jingga, tetapi usahanya dihentikan. "Sudahlah, tahan amarahmu. Ini bukan istana," bisik Raden Prana Kusuma."Dia sudah menghinamu, Kangmas," tukas gadis itu kesal. Raden Prana Kusuma hanya menggeleng pelan.Sekar Pandan kembali menggoreskan aksara di telapak tangan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu membacanya lalu berkata kepada semua orang. "Jika benar pedang itu kau dapatkan dari Pendekar Pedang Sulur Naga, di mana kau mendapatkannya?"Ditantang seperti itu, Paksi Jingga menggertakkan rahangnya. Sorot matanya seperti ingin melumat pemuda berkain merah bata itu. Dia merasa pemuda yang bersama Sekar Pandan terlalu banyak tahu dan ikut campur. Bertujuan ingin melucuti dirinya di depan para tamu. "Apa yang kau inginkan?""Justru aku bertanya, apa yang kau inginkan dengan mencuri pedang dan menggunakan nama
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b