"Kau yakin dia bisa dibujuk?" tanya Manggala penasaran. Mayang mengulum senyum. Dia yakin Sekar Pandan akan bersedia mengikuti sarannya. Selama ini gadis itu juga sangat baik padanya .
"Dia pasti mau, Kakang. Percayalah padaku. Sekarang kita harus menyusul dia dan rombongan. Kami berencana untuk pergi ke perguruan Tangan Seribu." Kening Manggala berkerut saat mendengar rombongan. Tiba-tiba pemuda tinggi itu ingin tahu siapa saja orang-orang di rombongan istrinya."Siapa saja temanmu yang ada di rombongan?" Mayang menggenggam tangan suaminya dengan hati menghangat. Hari ini suaminya begitu baik dan manis."Jika kuceritakan, Kakang tidak akan percaya. Di sana selain Sekar Pandan, ada juga seorang pemuda tampan dan gagah yang bernama Prana Kusuma. Ada juga pemuda dari negeri seberang, kami memanggilnya Tuan muda Zhang. Ada Ludro Gempol yang selalu mengawal gusti putri Dewi Gayatri. Ada juga Selasih dan gadis-gadis dari perkumpulan Kencana Emas." Mayang mulaiTubuh Manggala melayang ke atas punggung kuda. Ringan sekali gerakannya saat memutar tubuh Mayang untuk didudukkan di punggung kuda lalu disusul dengan dirinya. Sekali gebrak, kuda itu membawa mereka berlari meninggalkan kawan lelaki yang dicelakai Manggala."Hei, tunggu! Kembali kataku!" Lelaki berselempang kain itu berteriak memanggil. Namun, Manggala tidak peduli. Dia terus saja memacu kudanya dengan kencang. Sambil memaki-maki, orang itu menarik kekang kudanya, memutar lalu kembali berbalik arah. Tubuh temannya jatuh tertelungkup di atas rumput kering. Punggungnya berdarah dengan batu terbenam di dalamnya.Napas orang itu naik turun dengan cepat karena marah melihat kawannya telah tewas tanpa perlawanan. Tangannya mengepal kuat hingga menimbulkan bunyi "krutuk" pada buku-buku jarinya."Dendam ini akan menuntunku menuju padamu, Orang sombong! Akan kubuat kau lebih menderita lagi dari saudaraku ini. Umbara tidak akan diam melihat saudaranya dilenyapkan d
"Sepertinya ada yang menuju ke sini, Prana Kusuma," ujar Mahisa Dahana. Semua orang menghentikan kuda yang ditunggangi lalu memutar kuda ke arah belakang. Kening mereka mengernyit saat melihat seekor kuda dinaiki dua orang. Wajah mereka sumringah karena berhasil mengenali perempuan yang di atas kuda itu."Aku kembali!" Mayang berteriak memberitahu teman-temannya. Kedua tangan perempuan itu melambai dengan senyum lebar menghiasai wajah cantiknya.Sekar Pandan memutar kudanya dengan tidak sabar lalu menyongsong Mayang. Gadis berjuluk Dewi Bunga Malam itu benar-benar bahagia karena sahabatnya telah kembali dari tangan Bimala dan Elakshi. Dua wanita seram dari dasar jurang Hung Leliwungan.Manggala menghentikan lari kudanya karena kuda Sekar Pandan telah sampai. Manggala menunduk agar tidak beradu pandang dengan Sekar Pandan. Bagaimana pun mereka pernah bentrok di dalam hutan saat dia mengejar rombongan Paksi Jingga dan Mahisa Dahana."Mayang." Bibir
Raden Prana Kusuma sesekali menoleh ke belakang. Di belakangnya, rombongan para perempuan tengah memacu kuda mereka dan di belakang para wanita ini, kuda Ludro Gempol dan Tuan muda Zhang dipacu untuk menjaga mereka dari bahaya. Itu perintah Raden Prana Kusuma untuk melindungi para perempuan dari bahaya yang datang sewaktu-waktu. Dia sendiri dan Mahisa Dahana berkuda paling depan."Ada yang membuat hatimu gelisah, Prana Kusuma?" Mahisa Dahana melempar pertanyaan pada pemuda gagah di sampingnya. Dia sendiri melihat kawannya itu sesekali mencuri pandang ke belakang. "Aku hanya memastikan tidak ada yang lelah karena perjalanan jauh ini." Raden Prana Kusuma berusaha membuat keadaan tetap biasa saja. Namun, naluri keprajuritan yang digembleng sejak kecil akan tetap berjalan, membuat Raden Prana Kusuma harus senantiasa waspada.Sepanjang perjalanan dia tidak menemukan tanda bahaya dari Telik sandi yang menjadi kaki tangannya. Itu artinya tidak ada yang perlu dik
"Ke mana aku harus mengikutimu?" ucap pemuda itu. Kekuatan pemikat yang dihembuskan Ni Sapti mulai mengikat tubuh Raden Prana Kusuma. Makin lama makin kuat. Pemuda dari kota raja Majapahit itu memejamkan kedua matanya. Setetes keringat jatuh dari keningnya, menandakan adanya perlawanan yang kuat pada batinnya.Ludro Gempol yang merupakan pengawal setia keluarga Raden Prana Kusuma mendekati junjungannya itu. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres terjadi di hadapannya. Junjungannya itu tengah melawan kekuatan tak kasat mata. Dia ingin membantu, tetapi tidak tahu harus membantu dengan cara apa. Pemuda yang usianya jauh di atas Raden Prana Kusuma itu hanya berdiri di samping junjungannya.Tuan muda Zhang mengembangkan kipas di depan dada. Mata sipitnya menangkap gelagat tidak baik dari salah satu nenek kembar di depannya. Namun, dia tidak melihat gerakan menyerang. Dua nenek itu hanya berdiri tidak jauh di depan Raden Prana Kusuma. Salah satu nenek menatap wajah Rade
"Dua nenek itu memiliki kesaktian yang tinggi. Prana Kusuma telah dibawa salah satu di antara mereka. Kau beristirahatlah di sini, biarkan mereka yang menghadapi nenek itu." Manggala berkata pada Sekar Pandan dengan suara yang dibuat sedikit rendah dari suara yang didengar Sekar Pandan tadi. Sesekali tangannya memegang leher sambil batuk-batuk kecil."Kenapa suaranya berubah?" Sekar Pandan bertanya dalam hati. Namun, pikirannya kembali tertuju pada Raden Prana Kusuma. Pemuda itu telah lenyap dibawa Ni Sapta. Jika dalam keadaan biasa, mungkin dia tidak secemas ini pada keselamatan pemuda yang dicintainya itu. Sekarang keadaan pemuda itu tidak sadar. Entah apa yang menimpa Raden Prana Kusuma hingga terlihat bodoh saat berhadapan dengan dua nenek berselendang hitam. Kepintaran dan kepiawaian yang dimilikinya seolah tak berguna di depan dua nenek renta.Tanpa meminta izin pada Manggala, Sekar Pandan bangkit lalu berlari menuju kudanya sambil memegangi perutnya. Dengan
"Dua nenek yang luar biasa. Aku harus bisa membuat mereka mendukungku. Kudengar mereka tidak menyukai Mahisa Aji si pendekar Pedang Sulur Naga. Kurasa aku bisa memanfaatkan mereka." Manggala berlari menyusul Ni Sapti yang telah hilang ditelan kegelapan. Bagi pemuda itu, dia tidak akan pernah kehilangan jejak karena bau Ni Sapti telah dia hafal dengan baik, jadi lebih mudah melacaknya.Berbeda dengan Sekar Pandan. Gadis itu kehilangan jejak Ni Sapta. Di tengah hutan dia menghentikan langkah kudanya. Mulutnya mendesis menahan sakit di perut. Suasana gelap menghalangi pandangannya. Dalam keadaan seperti itu, panca inderanya dikerahkan untuk mengetahui adanya bahaya, terutama dari serangan binatang buas.Tangan Sekar Pandan menepuk bokong kuda dengan pelan. Kuda itu berjalan pelan mengikuti arah bintang di langit. Tangan kiri memegang pelana sedangkan tangan kanan memegang ujung selendang yang tersampir di pundak. Suara derap kuda terdengar menyatu dengan suara jangkri
Kalasri tersungkur di depan kaki salah satu penjaga karena penjaga yang menangkapnya telah mendorong punggungnya dengan kasar. Perempuan itu memekik tertahan. Seluruh tubuhnya gemetar dan bibir pucatnya terbata ketika menjawab pertanyaan dua penjaga."Sekarang bukan waktunya memberi makan tawanan. Cepat kembali! Awas kalau berani ke sini tanpa sepengetahuan kami!" Setelah berkata demikian, salah satu penjaga mengangkat tubuh Kalasri lalu mendorongnya pergi. Hampir saja Kalasri terjatuh karena dorongan itu. Sorot matanya tajam saat menoleh ke belakang.Perempuan itu tertatih-tatih meninggalkan depan gua. Sesekali masih menengok ke belakang. Buru-buru dia menyelinap di antara rimbunnya semak belukar saat salah satu penjaga berpamitan pada temannya karena kebelet buang air. Pandangan Kalasri mengikuti penjaga itu hingga hilang di antara gelapnya malam. Dengan hati-hati, perempuan yang biasa berkutat di dapur itu mendekati penjaga di depan gua. Sengaja dia menyingkap s
"Den ... Den Senayudha ...." Susah payah pelayan itu merayap hingga ke pintu gua. Antara sadar dan tidak tubuhnya ambruk di depan jeruji tahanan Senayudha. Kunci yang terjatuh menimpa batu yang sebagian masih tertanam di dalam tanah lalu terpental ke depan tahanan Senayudha."Kalasri. Apa yang terjadi padamu?" Tangan kiri Senayudha terulur ke luar jeruji untuk meraih jari tangan Kalasri yang tergeletak di depannya. Perempuan itu tidak menjawab karena nyawanya telah pergi bersamaan dengan tubuh yang tersungkur. Mengetahui pelayannya telah tewas, Senayudha meraih kunci itu. Dengan susah payah, tangan kirinya mencoba membuka gembok. Keadaan dirinya yang kini bertangan satu sudah dapat dia terima sebagai alasan untuk balas dendam pada Paksi Jingga.Lama pemuda itu membuka gembok. Mendengar gemerincing dan umpatan anaknya, Dewa Jari Maut bertanya dengan suara keras dari tempat tahanannya. "Kau kenapa, Senayudha?""Aku susah membuka gembok ini, Ayah."