Share

Bab 4

Penulis: Suwandi
Sabrina hanya lebih tua tiga bulan dari Fabian. Gadis desa yang seumuran dengan Sabrina biasanya sudah menikah dari dulu.

Selain itu, jangankan di desa, bahkan di Kota Dohar sekali pun, Sabrina juga termasuk wanita yang sangat cantik. Namun, kenapa Sabrina masih belum menikah sampai sekarang?

Ketika masih sekolah dulu, prestasi Sabrina tidaklah kalah dari Fabian. Namun, dia malah berhenti sekolah sebelum tamat SMA. Saat kaum muda desa pergi ke kota untuk bekerja, Sabrina juga tidak boleh pergi ke kota. Semua ini karena Hesti, ibunya Sabrina.

Hesti merasa tidak ada gunanya anak perempuan bersekolah. Jadi, dia langsung menyuruh Sabrina berhenti sekolah. Pada waktu itu, bahkan wali kelas dan kepala sekolah juga datang ke desa untuk membujuk Hesti, tetapi gagal membuat Hesti berubah pikiran.

Ayahnya Sabrina menghilang 20 tahun yang lalu. Jadi, Hesti yang membesarkan Sabrina seorang diri. Setelah membesarkan Sabrina dengan susah payah, Hesti tentu saja tidak akan membiarkan Sabrina bekerja di kota. Jika tidak, siapa yang akan membantunya di rumah dan ladang?

Selain itu, Hesti juga khawatir Sabrina akan kabur bersama pria di luar. Jika begitu, bukankah sia-sia saja usahanya untuk membesarkan putrinya?

Alasan Sabrina masih belum menikah sampai sekarang karena Hesti meminta mahar yang terlalu banyak.

Dulu, ada mak comblang yang sangat sering mengunjungi rumah Hesti. Namun, sebelum bertemu dengan orang yang akan dijodohkan kepada Sabrina, Hesti sudah terlebih dahulu meminta mahar sebesar 580 juta.

Bagi orang desa ini, 580 juta merupakan sejumlah uang yang sangat besar!

Pada akhirnya, tidak ada lagi yang berani memperkenalkan pasangan kepada Sabrina. Meskipun Hesti memohon pada mak comblang, mak comblang juga tidak memedulikannya. Bagaimanapun juga, mahar sebanyak 580 juta sangatlah tidak masuk akal.

Melihat Sabrina yang begitu malu dan sepertinya berharap dirinya ditelan bumi, Fabian merasa agak sedih dan bersimpati padanya.

Semua penduduk desa mengatakan bahwa Sabrina tidak akan mungkin bisa menikah seumur hidupnya dan akan hidup menyendiri di Desa Damai selamanya. Fabian teringat mereka pernah membicarakan hal ini dan Sabrina memberitahunya bahwa dia sudah menerima nasib.

“Bi ... Bian, jangan menatapku lagi, ya?” Sabrina menunduk sambil menggigit bibirnya.

“Bian, aku sudah boleh turunkan celanaku?” Sabrina bertanya dengan nada yang mengandung permohonan, “Boleh nggak?”

“Eeh ... bo ... boleh kok.”

Fabian melirik tangannya, lalu menggigit bibirnya sebelum menarik kembali tangannya.

“Bian, a ... apa yang kamu lakukan tadi?” tanya Sabrina. Dia baru merasa terkejut sekarang.

Sebelumnya, sebelah kaki Sabrina sudah menghitam. Namun, setelah ditekan Fabian beberapa kali, kakinya langsung sembuh. Dia awalnya mengira dirinya akan mati. Ini benar-benar ajaib!

Fabian menjawab sambil tersenyum, “Aku cuma memijatmu. Hebat, ‘kan?”

Sabrina mengangguk. “Hebat.”

Fabian bertanya, “Sudah merasa nyaman?”

Sabrina mengangguk lagi. “Sudah.”

“Gimana kalau aku pijatin kamu lagi lain hari?”

“Oke!” jawab Sabrina secara refleks. Selanjutnya, dia menunduk dengan malu. Setelah sesaat, dia baru berkata, “Bian, makasih.”

“Buat apa kamu berterima kasih?” Fabian berujar, “Tapi, kamu memang harus dipijat beberapa kali lagi. Soalnya, aku nggak tahu apa bisanya sudah sepenuhnya keluar atau belum.”

Fabian bukan ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan, melainkan karena benar-benar tidak yakin. Jika masih ada bisa ular yang tersisa dalam tubuh Sabrina dan menyebabkan komplikasi, hal itu akan gawat.

“Masih harus dipijat ....” Wajah Sabrina terasa sangat panas. Setelah teringat kejadian tadi, dia merasa lumayan malu. Namun, dia juga mulai menantikannya.

“Makasih,” kata Sabrina lagi.

“Buat apa kamu berterima kasih lagi?” tanya Fabian sambil berpura-pura marah.

“Jangan marah, dong.” Sabrina langsung panik dan merasa agak takut. Dia memalingkan wajah dan berujar, “Aku pikir aku akan mati dan terbebas dari belenggu. Tapi, waktu benar-benar harus hadapi kematian, aku ternyata lumayan takut .... Begitu dengar suaramu tadi, aku langsung nggak takut. Serius.”

Kemudian, Sabrina mengangkat kepalanya. Matanya yang cemerlang dipenuhi dengan kegembiraan. Kulitnya yang terpapar cahaya matahari benar-benar terlihat bening.

Hati Fabian pun berdebar. Sabrina bekerja di ladang sepanjang tahun, tetapi dia sepertinya sama sekali tidak menghitam meskipun terpapar matahari. Hal ini lumayan menakjubkan.

Ketika melihat tampang Sabrina berubah menjadi sedih, Fabian pun menurunkan tangannya.

“Kenapa kamu nggak coba untuk pergi ke luar?” tanya Fabian dengan tiba-tiba.

“Pergi ke luar?” Sabrina jelas dikejutkan oleh pertanyaan Fabian.

“Iya, pergi ke luar,” ucap Fabian.

Sabrina langsung menggeleng. “Aku nggak pernah berpikir begitu.”

“Kenapa?”

“Ibuku memang galak, tapi dia juga yang membesarkanku.”

Mendengar Sabrina yang menjawab dengan begitu wajar, Fabian pun terdiam sejenak.

“Oh iya. Bian, kenapa kamu datang kemari? Gimana dengan kakekmu?” Sabrina baru teringat hal ini.

“Kakekku sudah nggak apa-apa.”

Begitu mendengar jawaban Fabian, Sabrina merasa sangat terkejut. Tadi, dia melihat sendiri keadaan Hasan yang sekarat.

“Dia makan banyak banget siang tadi. Sekarang, dia seharusnya lagi ketemu sama Pak Bahri.”

Fabian merasa agak tidak berdaya. Bahri memang pernah mencarinya dan bertanya apakah dirinya berniat untuk menggantikan posisi Bahri. Namun, Hasan tidak menyetujui hal ini. Saat ini, kedua lelaki tua itu mungkin sedang bertengkar hebat.

“Serius? Baguslah kalau dia baik-baik saja,” ujar Sabrina. Selanjutnya, dia bertanya, “Kalau begitu, buat apa kamu datang kemari?”

“Kamu lihat Milo nggak?” tanya Fabian.

“Tadi, aku juga lagi panik. Jadi, aku nggak perhatikan Milo,” jawab Sabrina.

“Aku mau cari Milo. Kak Sabrina, kamu ....” Fabian melirik paha Sabrina.

Sabrina langsung berdiri. Pakaiannya sudah kering dari tadi akibat terpapar matahari yang terik. Pakaian yang sederhana dan longgar itu sama sekali tidak bisa menutupi kecantikan dan tubuh indahnya.

Dalam sekejap, Fabian mengalihkan pandangannya lagi.

“Bian ....” Sabrina menarik panjang suaranya.

“Kak Sabrina benar-benar cantik!” puji Fabian dengan tulus.

Sabrina pun tersipu lagi. Kali ini, bahkan lehernya juga memerah. Dia tidak pernah keluar dari desa, juga tidak pernah mendengar pria mana pun memujinya seperti ini. Hatinya pun berdegup kencang.

“A ... aku bisa pulang sendiri. Kamu cari saja Milo.”

Kemudian, Sabrina berbalik dan hendak berjalan turun gunung. Namun, Fabian malah menariknya.

“Bian? Ah!”

Di bawah seruan terkejut Sabrina, Fabian pun menggendongnya di punggung.

“Tempat ini masih jauh banget dari desa, juga adalah jalan gunung. Sebaiknya kamu perhatikan kakimu. Jangan sampai tertinggal cedera permanen.”

Tanpa peduli apakah Sabrina keberatan atau tidak, Fabian menggendongnya dan berjalan ke arah yang berlawanan dari jalan pulang ke desa.

Sepanjang perjalanan, Sabrina tidak bersuara. Dia bahkan berusaha mengendalikan napasnya.

Fabian berjalan dengan kurang fokus. Terutama ketika langkahnya goyah dan dia tersandung beberapa kali, perasaan itu ...

Berbeda dari wanita kota, Sabrina bekerja di ladang sepanjang tahun dan memiliki tubuh yang lebih berotot. Anehnya, cahaya matahari sepertinya tidak memberikan pengaruh buruk pada kulit Sabrina. Kulitnya tetap sangat putih dan kencang.

Ketika sudah tiba di tepi sungai, Fabian baru menurunkan Sabrina. Sabrina menghela napas panjang dan tubuhnya yang tegang akhirnya sedikit rileks.

“Milo nggak ada di sini.”

Fabian melihat ke sekeliling, tetapi tidak menemukan sosok Milo.

“Apa nggak apa-apa?” tanya Sabrina dengan khawatir.

“Nggak apa-apa. Milo sangat pintar. Mungkin saja dia sudah pulang.”

Fabian menatap batu yang muncul di permukaan sungai itu. Setelah berpikir sejenak, dia pun melompat masuk.

“Bian, hati-hati!” seru Sabrina dengan terburu-buru.

“Aku tahu. Kak Sabrina, kalau aku ngambang di permukaan sungai sambil pejamkan mata, kamu nggak usah pedulikan aku. Tunggu aku sebentar, ya!”

Kemudian, Fabian berenang ke tengah sungai dan memegang batu itu dengan tangan kanannya. Namun, tidak peduli apa pun yang dilakukannya, dia tetap tidak dapat masuk ke kebun spiritual lagi.

Setelah beberapa saat, di bawah tatapan bingung Sabrina, Fabian akhirnya berenang kembali ke tepi sungai dengan tampang tidak berdaya. Pakaiannya sudah basah kuyup, tetapi tidak masalah. Matahari sedang bersinar dengan terik. Sebentar lagi, pakaiannya akan kering.

Ketika pakaiannya sudah lumayan kering, Fabian menggendong Sabrina di punggungnya lagi. “Ayo kita pulang.”

Mungkin karena sudah terbiasa, Sabrina tidak lagi merasa setegang tadi. Dia malah merasa sangat nyaman. Sementara itu, Fabian juga tidak berpikir yang tidak-tidak. Dia sedang merasa bingung kenapa dirinya tidak dapat masuk ke kebun spiritual lagi.

“Kak Sabrina, aku nggak rencana untuk kembali ke kota.”

Fabian tiba-tiba melontarkan kata-kata itu.

“Hah?” Sabrina merasa sangat terkejut. Kemudian, dia menunduk dengan malu dan bertanya dengan suara sekecil nyamuk, “Kenapa?”

“Kehidupan di desa lebih baik dari di luar sana. Orangnya juga lebih baik.”

“Memangnya ... orangnya ... lebih baik? Tapi, apa sepadan?”

“Sepadan.”

“Benarkah? Tapi, ibuku ....”

“Kak Sabrina, kamu pasti bisa hidup dengan sangat baik ke depannya. Percayalah padaku.”

“A ... aku percaya ....”

Fabian merasa Sabrina agak aneh, tetapi tidak berpikir kejauhan.

Ketika Fabian dan Sabrina tiba di desa, langit sudah gelap. Keadaan di pegunungan memang begitu. Langit bisa tiba-tiba gelap.

“Fabian, aku sudah boleh turun? Ng ... nggak akan bagus kalau kelihatan orang ...,” ujar Sabrina.

Fabian menurunkan Sabrina, lalu Sabrina tiba-tiba berkata, “Bian, aku senang banget. Sudah lama aku nggak merasa sesenang ini. Serius.”

Seusai berbicara, Sabrina langsung berlari pergi.

Fabian menatap punggung Sabrina sambil bergumam, “Apa Kak Sabrina salah paham?”

“Nak, orangnya sudah nggak kelihatan, kenapa kamu masih termenung?”

Seorang pria berusia sekitar 30 tahun yang rambutnya tersisir rapi berjalan keluar. Dia menggigit sehelai rumput dan berkata sambil terkekeh, “Pantas saja kamu nggak mau tinggalkan desa ini. Ternyata kamu incar Sabrina. Tapi, apa kamu bisa keluarin 580 juta?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 5

    Pria itu bernama Raihan. Dia tidak memiliki orang tua sejak kecil dan tumbuh besar dengan bantuan penduduk desa. Dia sudah berusia 30 tahun, tetapi masih melajang. Dia juga melupakan kebaikan penduduk desa terhadapnya dan malah melakukan hal-hal tercela di desa ini.Di Desa Damai, tidak ada orang yang menyukai Raihan.Fabian melirik Raihan, lalu berbalik dan berjalan pergi.“Apa?” Raihan memelototi Fabian. “Kamu bahkan nggak menyapaku? Fabian, sudah hebat kamu?”Ketika berbicara, Raihan juga langsung mengulurkan tangannya untuk mencengkeram Fabian. Gerakannya sangat cepat, tetapi Fabian berhasil menghindarinya. Raihan pun tertegun. Sejak kapan anak ini menjadi begitu hebat?“Mentang-mentang sudah hebat dikit, kamu nggak takut lagi sama aku?” Meskipun batang hidung Fabian sudah tidak terlihat lagi, Raihan masih lanjut mengomel, “Tunggu saja! Aku akan memberimu pelajaran. Nanti, kamu akan tahu seberapa hebat aku!”Begitu tiba di rumah, Fabian langsung melihat Milo yang berbaring di kand

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 6

    Setelah Hesti pergi, para penduduk desa yang berkumpul untuk menonton keramaian juga bubar. Namun, mereka masih membicarakan hal mengenai Fabian dan Sabrina.Setelah melihat tampang muram ibunya, Fabian buru-buru mencari alasan untuk keluar.“Bian ....” Lenka mengejar sampai pintu, tetapi sosok Fabian sudah hilang. Dia pun merasa sangat marah.Suwandi berjalan menghampirinya dan berkata dengan santai, “Buat apa kamu berpikir kejauhan. Bian ....”Sebelum Suwandi menyelesaikan kata-katanya, Lenka sudah berseru, “Ada apa ini sebenarnya! Kalau Bian benar-benar bersama Sabrina, dari mana kita bisa kumpulkan 580 juta? Kalau nggak bisa kasih Hesti 580 juta itu, si gila itu akan gantung diri di depan pintu rumah kita! Gimana kita bisa lanjut hidup?”“Kamu itu ayahnya! Memangnya kamu nggak bisa ambil keputusan? Apa gunanya kamu!”“Aku bawa Milo pergi berobat dulu.” Suwandi menaruh Milo ke becaknya, lalu langsung pergi tanpa peduli pada Lenka yang masih gelisah.“Kamu!” Lenka merasa sangat marah

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 7

    Fabian tiba di rumah pada tengah malam dan orang tuanya telah tidur. Setelah mandi, dia pun berbaring di tempat tidur sambil menatap telapak tangannya. Entah sejak kapan, gambar patung monyet itu sudah hilang.Fabian mencoba untuk berlatih Mantra Keabadian dan masih bisa melakukannya. Pewaris kebun spiritual ....‘Apa itu berarti Ayah Angkat pemilik kebun spiritual, makanya aku itu pewarisnya?’ pikir Fabian.Hal ini benar-benar ajaib dan sulit untuk dipercaya. Fabian adalah lulusan universitas terkemuka yang menerima pendidikan tinggi. Jika ada orang yang memberitahunya mengenai hal seperti ini dulu, dia tidak mungkin percaya dan pasti memaki orang itu sudah gila. Pewaris kebun spiritual? Itu hanya mimpi! Namun ....Fabian sangat yakin ini semua bukan mimpi. Pir di kebun pir merupakan buktinya. Selain itu, bagaimana seseorang bisa menjelaskan tentang kakeknya yang sudah pulih total dan sangat sehati sekarang? Perubahan dirinya sendiri juga sudah cukup untuk membuktikannya.Dunia ini p

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 8

    “Dik, 16 ribu per kilo sudah nggak murah, lho!” Pria berjanggut itu melebarkan mata sipitnya, lalu menepuk-nepuk keranjang pirnya sambil berkata, “Aku bahkan cuma jual pirku 14 ribu per kilo, tapi aku mau beli pirmu dengan harga 16 ribu per kilo. Kamu masih keberatan?”Fabian malas meladeninya. Dia hendak menjual pirnya 80 ribu per kilogram, tetapi pria berjanggut itu malah ingin membelinya dengan harga 16 ribu per kilogram. Apa yang dipikirkannya?Namun, pria berjanggut itu masih tidak menyerah. Bagaimanapun juga, ini adalah bisnis yang sangat menguntungkan. Dia sangat yakin pirnya Fabian pasti akan laku keras apabila dijual dengan harga 20 ribu per kilogram.Sekarang masih bukan musim pir. Jadi, pir yang begitu bagus dan terlihat sangat enak itu pasti gampang dijual. Pria berjanggut itu berkata lagi, “Umm .... Tadi, aku yang salah. Aku minta maaf. Maafkan aku, ya? Lihat, aku sudah minta maaf. Sekarang, kamu sudah bisa jual pirmu padaku, ‘kan?”Melihat Fabian yang masih tidak menangga

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 9

    Restoran Imperial terletak di tepi pantai. Uang yang diinvestasi untuk restoran ini sangat besar, sedangkan harga makanannya juga mahal. Orang biasa tidak akan mampu makan di restoran ini.Kiara duduk di kantornya yang luas. Begitu berbalik, dia bisa langsung menikmati laut biru yang indah. Bekerja di kantor seperti ini pasti menyenangkan, baik secara fisik maupun mental. Namun, Kiara tidak berhenti memijat dahinya. Ekspresinya terlihat cemas. Dia sedang menunggu.Akhir-akhir ini, Restoran Imperial sedang mengalami sedikit masalah. Restoran Sun, saingan terbesar mereka itu telah mempekerjakan seorang koki dari restoran tiga bintang Michelin di luar negeri. Hal ini langsung menyebabkan kemerosotan bisnis Restoran Imperial.Sebenarnya, keterampilan memasak koki Restoran Imperial tidak lebih buruk dari Restoran Sun. Leluhur Kiara adalah koki istana, dan keterampilan memasak mereka diwariskan dari generasi ke generasi. Paman keduanya adalah koki terkemuka yang dikenal di seluruh negeri.

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 10

    Guk! Guk!Di gerbang Desa Damai.Seekor anjing berwarna hitam berjalan berjejer seperti sedang berpatroli. Ketika melihat sepeda motor yang melaju mendekat, beberapa ekor anjing pun menggonggong.Ketika menemukan Milo yang berjongkok di pijakan sepeda motor, anjing hitam yang besar itu menggonggong sekali. Dalam sekejap, belasan ekor anjing langsung menerjang ke arah Milo. Sebelum Fabian sempat menghentikan sepeda motor, Milo sudah melompat turun dan menggigit anjing hitam besar itu.Awoo ....Biasanya, anjing hitam besar ini sangat garang dan selalu menindas semua anjing di desa ini. Setiap hari, ia akan membawa sekelompok bawahannya dan berkeliling di desa. Setiap melihatnya, Milo juga langsung bersembunyi. Kali ini, Milo malah langsung menerjang ke arahnya.Mungkin karena aura Milo sudah terpancar, beberapa ekor anjing yang sedang menggonggong pun menghindar. Mereka hanya menggonggong sesekali, lalu berkumpul di samping untuk menonton perkelahian Milo dengan anjing hitam besar itu.

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 11

    Seusai makan malam, Fabian pergi ke kebun di belakang gunung. Dia berjalan ke bawah sebuah pohon pir besar yang terlihat subur dan sudah tumbuh banyak buah. Jika dia mempercepat kematangan buahnya, pir yang bisa dihasilkannya mungkin mencapai sekitar 250 atau 300 kilogram.Fabian berdiri di bawah pohon dan menyesuaikan keadaannya. Sementara itu, Milo tidak berhenti berlarian dan terlihat sangat energik. Namun, Fabian tidak peduli padanya. Dia memejamkan mata, lalu kedua tangannya yang terkulai mulai bergerak membentuk gerakan aneh.“Teknik Hujan Spiritual!” gumam Fabian.Fabian adalah pewaris kebun spiritual, juga sudah mendapatkan informasi dalam jumlah besar. Teknik utamanya adalah Mantra Keabadian, tetapi Teknik Hujan Spiritual juga merupakan salah satunya. Teknik Hujan Spiritual memiliki manfaat yang lebih bagus dalam mempercepat pertumbuhan tanaman daripada berlatih Mantra Keabadian di bawah pohon.Setelah melakukan gerakan dan membaca mantranya, energi spiritual di sekitar pun be

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 12

    “Kamu jelas-jelas ada di halaman belakang. Kenapa malah bilang nggak ada di sana? Lagi ngapain kamu?”Suara Hesti terdengar makin dekat. Cahaya senter yang memancar ke arahnya membuat Sabrina tidak dapat membuka matanya. Dia langsung berteriak, “Ng ... nggak ngapa-ngapain. Bian nggak ada di sini.”“Bian? Fabian?”Hesti berlari sambil memegang senter. “Kamu dan Fabian diam-diam ketemu di halaman belakang? Tunggu saja! Aku pasti akan memukulmu! Dasar gadis nggak tahu malu!”“Mana orangnya? Fabian, keluar!” Hesti mencari ke mana-mana dengan senter.Sabrina terlihat putus asa. Anehnya, Fabian jelas-jelas ada di depannya. Bagaimana mungkin ibunya tidak melihat Fabian? Eh? Di mana Fabian?Sabrina juga tidak melihat Fabian. Kemudian, raut wajahnya terlihat sedikit lebih baik.Hesti mengalihkan kembali cahaya senter ke wajah Sabrina. Sabrina pun menutup matanya dengan satu tangan dan bertanya dengan suara manja, “Ibu, ngapain kamu?”“Tadi, Fabian datang kemari?” Hesti berbicara sambil berjongk

Bab terbaru

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 50

    "Pak ... Raka ...," panggil Mila. Raka jarang datang ke showroom. Mila yang baru bekerja 1 bulan hanya pernah melihat Raka sekali, tetapi Mila bisa mengenali Raka. Tubuh Mila gemetaran saat dipanggil Raka."Jangan takut, sini," bujuk Raka. Dia membawa Mila masuk ke showroom. Leo merasa ada yang tidak beres.Ternyata Raka memerintah manajer, "Urus prosedur masuk kerja untuk dia."Manajer langsung menyahut tanpa ragu, "Oke, Pak Raka."Raka melirik Leo sekilas, lalu berucap, "Mengenai dia, kamu urus saja sendiri.""Aku paham," sahut manajer seraya mengangguk. Kemudian, dia menggeleng kepada Leo.Leo tampak terkejut. Dia hendak bicara, tetapi dia mengurungkan niatnya begitu melihat manajer mengernyit.Raka berkata kepada Mila sambil tersenyum, "Ayo, selesaikan penjualanmu.""Aku ...," ujar Mila. Dia menangis lagi.Manajer tertawa, lalu mengomentari, "Dasar cengeng."Raka tidak menanggapi ucapan manajer lagi. Dia menarik Priska, lalu menanyakan beberapa hal. Setelah tahu ayahnya makan jagun

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 49

    Leo mengerjap. Dia memandangi Fabian dengan ekspresi bingung, lalu melihat Priska. Sementara itu, Priska mendengus dan memalingkan wajahnya.Leo kebingungan, dia merasa sepertinya dirinya menyinggung klien. Leo mengulangi ucapannya lagi, "Pak, tolong tunjukkan KTP dan SIM-mu. Aku ...."Fabian mengernyit, sedangkan Priska menyela ucapan Leo dengan ekspresi gusar, "Kamu berisik sekali."Ekspresi Leo berubah drastis. Apa yang terjadi? Priska mencebik. Dia menarik Fabian ke meja lain sembari berujar, "Bian, kita duduk di sana saja."Leo merasa canggung. Jika dia mengikuti mereka, kemungkinan klien akan pindah ke tempat lain. Jika tidak mengikuti mereka, takutnya dia akan kehilangan penjualan mobil Ford Raptor.Saat Leo sedang ragu-ragu untuk mengikuti Fabian dan Priska, terdengar suara tangisan. Mila yang membawa barangnya berjalan sambil menunduk dan menangis. Dia dipecat.Manajer juga berjalan keluar. Dia tidak memedulikan Mila yang menangis. Manajer melihat ke arah Fabian, apa yang terj

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 48

    Mila baru tamat kuliah. Dia bekerja di showroom ini selama 1 bulan. Sebagai karyawan magang, staf penjualan lain tidak memberi Mila kesempatan untuk melayani klien. Hari ini, akhirnya Mila mendapatkan kesempatan bagus dan klien langsung mengatakan ingin membeli mobil.Mila hendak menyiapkan dokumen, tetapi rekan kerjanya malah berniat mengusirnya. Mila adalah karyawan baru, jadi dia tidak berani menentang. Mila hanya bisa diam-diam menyeka air matanya sambil membantu rekan kerjanya memfotokopi dokumen.Leo yang sudah mengambil dokumen menghampiri Fabian, lalu duduk di samping dan berbicara sembari tersenyum, "Halo, ini dokumennya. Coba kalian lihat dulu, nanti aku jelaskan pada kalian."Fabian tertegun sejenak, kenapa orang yang melayaninya tiba-tiba diganti? Leo melihat hanya ada 1 gelas air di atas meja. Dia melihat Mila yang lewat dan membentak seraya mengernyit, "Kamu bisa kerja, nggak?""Ha?" sahut Mila. Langkahnya terhenti. Dia tidak tahu kesalahan apa yang diperbuatnya."Sekaran

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 47

    Donny berucap, "Begini saja, Hugo dari Restoran Imperial itu teman sekolahku. Nanti aku akan meluangkan waktu untuk mencari Hugo biar mereka membagi jagung itu kepada kita."Donny menambahkan, "Nggak, nanti aku langsung telepon Hugo saja."Raka menimpali, "Oke, Kakak Ipar. Kamu telepon saja. Aku mau sekalian lihat kondisi showroom setelah datang ke sini. Satu bulan belakangan ini penjualan menurun drastis. Aku nggak tahu apa yang mereka lakukan!"Kemudian, Raka naik ke mobil. Donny berpikir sejenak, lalu menelepon istrinya. Sesudah itu, Donny menelepon Hugo. Namun, panggilan teleponnya tidak terhubung.Di showroom mobil Ford. Priska bertanya kepada Fabian, "Bian, apa kita nggak perlu kabari Kak Wenda? Showroom ini milik paman kedua Kak Wenda.""Nggak usah. Kita lihat-lihat sendiri saja," sahut Fabian. Mereka berdua pun berjalan masuk ke showroom.Seorang staf penjualan pria tidak melihat mobil yang dikendarai Priska. Dia hanya melihat sekilas pakaian Fabian, lalu berujar kepada seorang

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 46

    Sebuah mobil Chevrolet Camaro merah berhenti di tepi jalan. Jendela mobil dibuka, Priska melepaskan kacamata hitamnya. Dia sangat cantik. Priska bertanya, "Bian, kenapa kamu baru datang?"Fabian baru turun dari bus. Orang di bus memandangi Priska. Seseorang berujar, "Wah, wanita ini cantik sekali. Nak, dia pacarmu, ya?"Fabian hanya tersenyum dan tidak menanggapi ucapan orang itu. Dia naik ke mobil Priska. Ekspresi Priska terlihat canggung. Bahkan, suaranya sangat kecil saat berkata pada Fabian, "Pakai sabuk pengaman."Fabian melihat Priska dengan ekspresi bingung. Bukannya tadi Priska mengeluh? Kenapa sekarang sikapnya berubah?Priska tersenyum sambil memakai kacamata hitamnya dan menjalankan mobil. Fabian sangat rileks. Mobil Chevrolet Camaro ini jauh lebih nyaman dari bus. Fabian berkomentar, "Wah, mobil bagus memang nyaman."Priska berucap, "Aku bilang mau jemput kamu, tapi kamu nggak mau. Tadi kamu bilang ada masalah waktu kirim pesan kepadaku. Apa yang terjadi?"Fabian menceritak

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 45

    Melihat itu, pria berkacamata itu langsung mendorong orang-orang di sekitarnya dan berusaha merampas uang dari tangan Lais.Pria paruh baya yang baru saja selamat pun mendengus dingin."Hmph, kamu pikir cuma kamu yang bisa mendengus? Kamu ...." Tiba-tiba, pria berkacamata itu terbelalak.Dia menatap pria paruh baya yang masih duduk di tanah. Wajah itu terlihat sangat familier! Dia segera melepaskan kacamatanya, mengucek matanya, lalu memakainya kembali.Saat melihat lagi, wajahnya langsung berubah pucat pasi. "Pak ... Pak Donny ...?"Sikap garangnya itu langsung menghilang, digantikan dengan senyuman penuh kepanikan. Akan tetapi, senyuman itu lebih terlihat lebih buruk daripada tangisan."Kamu menyuruh orang-orang jangan menyelamatkanku?" Suara pria paruh baya itu terdengar dingin."Pak, a ... aku nggak tahu kalau itu kamu! Toko kita mengadakan rapat, makanya aku buru-buru ke sana. Kalau aku tahu itu kamu, aku pasti sudah jadi orang pertama yang turun menolongmu, meskipun harus mati!"

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 44

    Suasana menjadi hening. Dedaunan yang tertiup angin terdengar begitu jelas di telinga. Beberapa orang masih pucat pasi karena ketakutan.Suara gemuruh mobil yang jatuh ke jurang tadi masih terngiang di benak mereka. Jurang sedalam itu, jika seseorang jatuh ke dalamnya .... Tidak ada yang berani membayangkan lebih jauh.Tiba-tiba! Sebuah tangan muncul di pinggir tebing!"Dik?" Seseorang berteriak kaget.Mereka baru teringat bahwa tadi Fabian sudah mengikatkan tali ke tubuh sopir yang pingsan dan talinya tidak putus. Seketika, orang-orang mulai tersenyum lega.Kemudian, kepala Fabian muncul dari tepi tebing. Dia memegang erat pinggiran tebing dengan satu tangan, sementara tangan lainnya masih memeluk sopir yang pingsan."Anak ini kuat sekali!" puji seseorang."Tolong tarik kami!" Fabian menggertakkan giginya."Benar, benar! Ayo, bantu angkat mereka!"Lais langsung berteriak, "Cepat bantu! Ayo, semua!"Tak butuh waktu lama, dengan bantuan banyak orang, Fabian dan sopir yang pingsan berhas

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 43

    "Hm." Fabian tidak bertindak sembarangan lagi. Dia menoleh ke sekitar, mencari solusi.Whoosh .... Angin bertiup kencang. Kreek ... kreek ....Mobil itu kembali bergoyang. Suara gesekan besi terdengar menusuk telinga, membuat bulu kuduk meremang. Bagian depan mobil semakin condong ke bawah!"To ... tolong selamatkan aku ...!" Pria paruh baya di dalam mobil semakin panik. Keringat sampai mengucur deras dari dahinya. Wajahnya pucat pasi.Ciittt! Tiba-tiba, bus kecil yang sudah melaju puluhan meter berhenti."Kenapa berhenti lagi? Lais, kamu cari masalah denganku ya?" Pria berkacamata itu berteriak histeris.Namun, sopir bus tidak lagi peduli padanya. Lais bergegas turun diikuti beberapa penumpang."Ada rantai besi?" tanya Fabian.Lais menggeleng."Kalau tali?""Ada!" Lais segera berlari ke sisi lain bus."Mau ikut campur ya? Aku mau lihat gimana kalian membuat mobil itu jatuh ke jurang!" Pria berkacamata itu menyilangkan tangan di depan dada, wajahnya penuh kekesalan."Kamu ini kenapa si

  • Petani Kaya yang Ajaib   Bab 42

    Malam itu, Fabian menggunakan Teknik Hujan Spiritual untuk menyiram tiga pohon pir di kebun. Air hujan yang terkumpul dalam ember lantas digunakan untuk menyiram ladang jagung.Keesokan paginya, orang tuanya berangkat lebih awal dengan mobil, membawa buah pir dan jagung ke Restoran Imperial.Sementara itu, Fabian baru keluar rumah sekitar pukul 9 pagi. Dia berjalan lima kilometer sebelum akhirnya menaiki bus kecil menuju kota.Bus kecil itu melaju di jalan pegunungan yang berkelok-kelok, membuat penumpang terguncang hebat. Beberapa bagian jalan sangat berbahaya. Sedikit saja kesalahan, bus akan tergelincir ke jurang. Namun, penumpang sudah terbiasa. Ada yang mengantuk, ada yang asyik mengobrol.Tiba-tiba ... ciiittt! Sopir menginjak rem mendadak. Para penumpang langsung berteriak kaget. Ada yang terbentur dan marah-marah kepada sopir."Kalian lihat itu! Ada mobil hampir jatuh ke jurang!"Seketika, suasana di dalam bus menjadi hening.Di depan, sebuah mobil off-road hitam besar menabrak

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status