‘’Mana Leo?’’Vania tidak menyangka lama tidak berkabar Gavi datang malah marah-marah.‘’Kamu sembunyikan dia di mana?’’ Gavi beralih menyingkap selimut. Tapi, kosong. Tidak ada siapapun.‘’Aku ke sini untuk bekerja bukan tidur dengan suami orang!’’ tegas Vania masih di depan pintu.Jika Gavi melakukan kekerasan kembali Vania akan segera kabur dan berteriak kencang.Pikirannya sudah mengarah ke sana karena gelagat Gavi seperti monster yang diberi nyawa. Tampak bengis dan mengerikan.‘’Kau tidak berhak bicara seperti itu, Pelacur!’’‘’Aku tidak seperti istri sirimu!’’ Vania tidak akan tinggal diam lagi bila direndahkan. Terlebih mengatai seenaknya pelacur. Bisa-bisa Devano Mahendra akan bangkit dari kubur bila tahu anaknya memang berprofesi seperti itu dan bukannya sekretaris.‘’Berani-beraninya—’’‘’Tujuanmu apa kemari?’’ Vania memotong gerakan Gavi yang terlihat ingin melakukan kekerasan.‘’Aku akan membawamu pulang! Kemasi barangmu sekarang!’’‘’Jangan lupa kalau aku tidak mendapa
Karena kejadian tersebut, Rendi pun memutuskan untuk tidak memperpanjang menginap di hotel. Mereka pulang dengan urusan bisnis yang sebenarnya sudah selesai dua hari lalu.Kekhawatiran Valerie, Leo lah yang melakukannya demi Vania. Padahal sebenarnya adalah Rendi, demi bisa berdua dengan Elsa.Leo terpaksa mengikut saja demi Valerie tidak curiga juga Delia dan Alin tidak banyak tanya jika dirinya pulang duluan namun Rendi tidak.Sedangkan Vania, tidak tahu apa-apa karena lebih sering di kamar karena Leo tidak melibatkannya dalam pertemuan.‘’Mama!’’Gia begitu senang Vania sudah kembali. Anak dan ibu itu berpelukan hangat melepas rindu. Semangat hidup Vania tinggal Gia. Anak itu yang Vania bela mati-matian untuk dibahagiakan. Tidak peduli apa yang dirasakannya meski pertemuan dengan Gavi seperti ditusuk belati, namun Vania berusaha tegar menutupinya.Gia harus hidup di rumah yang selalu tersenyum untuk putri kecilnya walau tidaklah utuh. Itu lebih baik dari pada punya ayah tapi lupa
‘’Tapi papa, papanya Rian bukan papanya Gia.’’‘’Rian punya dua papa. Satunya Papa Nathan. Juga dua mama. Mama Lili dan dan Mami Valerie. Kalau Rian punya begitu banyak. Kenapa Gia tidak?’’Gia sudah punya mama lain sebenarnya. Tetapi Gia tidak mau karena menurutnya Sandra adalah wanita jahat. Tidak seperti Alia, sahabatnya. Memiliki Valerie dan Lili yang baik seperti ibu peri.‘’Apa papa tidak cukup baik menjadi papanya Gia?’’‘’Papa baik. Gia sayang papa.’’ Gia kian mengeratkan pelukannya dengan air mata terus membanjiri.Dirinya begitu rindu sosok ayah, yang selalu bermain bersamanya. Menggendong dan menciuminya. Tetapi, sosok itu sudah lama tidak ada.Terkadang ingin bertanya pada sang mama kenapa Gavi tidak mencarinya? Apa tidak rindu dengannya?Namun urung karena tahu Gavi sudah tidak mencintainya maupun sang mama.Bukan tanpa alasan Gia berpikiran seperti itu. Sebabnya adalah…Beberapa bulan sebelum kepindahannya…‘’Gia, papa sayang banget sama Tante Sandra dan calon adik Gia
Tidak ada hujan tidak ada petir, khawatir dan cemburu bercampur menjadi satu.Valerie masuk ke kamarnya mengemasi semua barang-barang. Memesan tiket pulang ke Kalimantan.Rian yang mengabarkan hal itu pada Leo pun segera datang dan melihat kebenaran ucapan putranya.‘’Sayang, kamu kamu kemana?’’ Leo dan Rian saling menatap.Keduanya bingung. Tapi tidak berusaha menghentikan yang dilakukan Valerie.Rencana awal mereka menetap selamanya di rumah Vira. Rian pun sampai pindah sekolah. Tetapi setelah melihat Valerie mengumpulkan pakaian ke dalam koper, membuat mereka yakin jika Valerie berubah pikiran.Tapi, kenapa harus mendadak?‘’Mami nggak serius, kan?’’Gerakan Valerie berhenti. ‘’Apa mami terlihat sedang main-main?’’ Lalu kembali ke lemari, mengambil yang tersisa.‘’Kamu kenapa, Sayang? Apa ada yang mengganggumu?’’ Sepuluh menit lalu masih baik-baik saja dan sekarang Valerie berubah drastis. Tidak mungkin tidak ada apa-apanya.‘’Iya. Aku terganggu! Makanya aku mau kita pergi sekar
‘’Balik lagi kamu ke rumah ini, Val.’’Rumah yang menjadi saksi pecahnya peperangan. Rumah tempat Leo menyimpan Valerie dari Vania.‘’Mau bagaimana lagi? Dari pada aku sesak napas di rumah mama.’’ Baginya tempat ini seperti rumah perlindungan. Valerie merasa aman dan tidak memiliki ketakutan apapun.‘’Aneh. Di rumah di jauhin tapi di kantor, kan, mereka ketemu lagi.’’Valerie tahu akan begitu terang-terangan jika dipisahkan di rumah tapi di kantor juga. Karena itu Valerie akan menyelesaikannya satu persatu, dengan kepala dingin.‘’Bisa kita jangan bahas kakakku…’’‘’Val, bentar.’’Delia mengankat tangannya lalu tertegun melihat layar telepon. ‘’Kenapa nggak diangkat?’’‘’Dari panti asuhan. Kenapa, ya?’’ Bertahun-tahun lamanya setelah mengadopsi Raffi dan Rico, baru ini Delia mendapat telepon dari panti.‘’Angkat saja. Mana tau penting.’’‘’Halo.’’ Akhirnya Delia mengangkat dengan rasa penasaran.‘’Orang tua si kembar terlihat di panti? Kapan?’’‘’....’’‘’Jangan pernah berikan ident
‘’Van, tolong bawa berkas terkait pembelian batu bara kemarin.’’‘’Baik, Pak.’’Gagang telepon kembali ke tempatnya, Vania pun juga sibuk mencari file ketika mereka keluar kota kemarin.Elsa yang mejanya memang berseberangan dengan Vania pun mencuri perhatiannya.Elsa membuka satu kancing kemeja, sedikit melebarkan kerah sehingga belahannya mengintip. Vania menggeleng-geleng. Timbul rasa kasihan dengan istri-istri Rendi, tetapi, dirinya tidak berani mengungkapkannya. Terutama pada Alin.Maafkan aku, Kak. Aku tidak ingin jadi penyebab rusaknya rumah tangga seseorang.Bungkam memang tidak lebih baik, tetapi membongkarnya pun akan sama saja.Vania sudah merasakan perihnya hati diduakan, Alin pun juga sudah mengalami dan akan mendapatkan sakit hati lagi jika sampai tau tentang Elsa.‘’Van!’’Tersadar Vania dari lamunan nya. Tetapi matanya masih melihat ke dalam ruangan Rendi. Ketika ke luar kota kemarin pun, Elsa sekamar dengan Rendi dan Leo juga tahu. Harapan Vania semoga Tuhan member
Ini adalah kejutan yang luar biasa.Rencana Rendi memberikan syok terapi bagi semua orang.Semua mata tertuju pada Rendi yang dengan bangganya merangkul pinggang Elsa.Aku peringatkan. Berhenti bekerja dengan Leo dan pulang ke rumah. Waktumu tiga hari Vania.Pesan dari Gavi mengalihkan Vania dari drama di depannya.Memangnya apa yang bisa dilakukan Gavi jika tiga hari itu berakhir?Vania tidak lagi serumah, di kantor pun juga Gavi tak akan berani berbuat nekat. Vania pun menganggap pesan itu seperti angin lalu.Karena ada yang jauh lebih penting yaitu hubungannya dengan Valerie.‘’Bajingan! Berengsek kalian!’’Prang!Kini cermin di tembok menjadi korban. Yang dilempar Delia dengan bingkai foto keluarga.‘’Elsa sudah hamil empat bulan, mas tidak mungkin meninggalkan…’’‘’Apa?’’Itu berarti usia kandungan Elsa sama seperti Sandra. Vania menganga akan kebetulan itu.‘’Aku dan Alin tidak akan sudi kamu punya istri lagi!’’ teriak Delia sebelum meninggalkan ruangan. Disusul oleh Valerie kem
‘’Aku tahu Gia butuh sosok ayah. Tapi bisa, kan, kamu cari laki-laki lain di luar sana?’’Terpojok tak berdaya.Vania memang senang Gia mendapatkan pengganti Gavi, tetapi, Vania tidak berharap lebih. Kasarnya hanya sebatas menumpang kasih sayang. Antara ayah dan anak.Tidak ada hubungan dengannya.‘’Apa yang bisa mbak lakukan agar kamu tidak seperti ini lagi?’’ tanya Vania ditengah tangisnya.Rasa iba hilang tersapu emosi. Menyisakan segunung kebencian dan entah bagaimana menghilangkannya.Valerie pun tidak tahu Vania harus apa. Dirinya hanya tidak mau Leo dan Vania bertemu lagi. Titik.‘’Kalau kamu punya rasa malu, tinggalkan pekerjaan sebagai sekretaris suamiku!’’‘’Ada lagi?’’Padahal hanya dua kata, tetapi seakan menantangnya. Kedua tangan Valerie mengepal bersama napas memburu. ‘’Ada lagi? Menurutmu aku sampai seperti ini karena hal lain?!’’ sentaknya.‘’Bukan itu, Val. Kamu membahas Gia, mungkin kamu akan senang bila anakku tidak lagi memanggil Mas Leo papa.’’Walau tidak diut
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu