Air mata masih ada, rasa sakit pun masih terasa denyutannya. Sepanjang perjalanan tidak ada yang bisa dilakukan Vania selain menggerakkan kemudi, menekan pedal gas maupun rem. Lidah terasa kaku untuk sekedar mengeluarkan beberapa kalimat. Padahal beberapa kali ada panggilan telepon dari Leo, namun Vania tidak memiliki kekuatan lagi untuk mengangkat.Susah payah dengan mempertaruhkan rumah tangganya Leo ingin memperingatkan Vania, tetapi tidak ada jawaban. Di tempat lain, Leo diburu rasa khawatir. Sedangkan Vania, diselimuti kabut kesedihan. Berduka atas hilangnya suatu kepercayaan yang menjadi penyebab terputusnya ikatan.Belum sampai rumah pun Vania sudah bingung bagaimana menghadapi Vira.Dipecat dari pekerjaan Vania masih bisa menjelaskannya. Tetapi marahnya Valerie padanya? Vania tidak tau harus mulai dari mana.Lagi-lagi harus bertengkar karena pria. Di saat itu, barulah Vania menyadari ada mobil yang mengikutinya.Tadi warna hitam, sekarang warna silver.Vania buru-buru men
‘’Val, kalau ada masalah jangan dibiarkan berlarut, Nak. Apalagi sama saudara sendiri.’’Anak Vira hanya ada dua. Jika saling berselisih bagaimana bisa saling menyayangi seperti harapannya dan mendiang sang suami.Tadi malam Vira mimpi buruk tentang Vania. Tubuhnya terbujur kaku setelah digigit ular. Padahal Valerie ada didekat sang kakak, namun Valerie hanya menonton dan tidak menolong.Paginya sebelum meminta Valerie datang, Vira bertanya pada Vania dan akhirnya terbongkarlah kejadian kemarin siang.Menurut Vira, semua masalah bisa diselesaikan dengan bicara dari hati ke hati terlebih pada kakak kandung.‘’Dari dulu mama selalu bela Mbak Van. Sekarang juga sama. Kenapa mama nggak ngerti perasaan Valerie, sih, Ma.’’Vira bergeser beberapa senti di sebelah Valerie. Mendekati dengan maksud.Sebagai seorang ibu, tidak ada niatnya untuk membela Vania atau berat sebelah. Vira hanya ingin anak-anaknya berdamai.‘’Jangan salah paham, Nak. Mama yakin, Vania sudah bicara sejujur-jujurnya.’’‘
Bertahun-tahun menyimpannya, mempertanyakan apakah rasa itu masih ada, kini Leo memberanikan diri bertanya.Vania tampak bahagia akan pernikahannya yang kedua sebelum badai datang, begitu pula Leo yang kini masih bertahan walau sedikit di terpa angin ribut.‘’Tidak,’’ Vania berkata jujur.Walau Leo adalah mantan terbaik. Tetapi tidak mampu membuatnya menyisakan perasaan meski hanya sedikit.Hatinya sudah kosong.Sekosong harapannya untuk bisa mendapatkan laki-laki yang tepat.Laki-laki terakhir sehidup semati denganya. Tampaknya tidak akan bisa Vania jumpai.Hidup meninggalkan masa lalu, tidak akan membuat masa depannya lebih cerah.Vania sudah pasrah.Kini tinggal bagaimana Tuhan saja. ‘’Dalam status pernikahan aku memang janda. Tadi aku tidak sendiri, Mas. Aku masih punya mama dan Gia.’’Leo jadi tersentuh hatinya.Vania sangat baik. Begitu bijak menyikapi masalah. Juga Vania telah banyak berubah. Asam garam di hidupnya mengajarkannya menjadi wanita kuat. Berprinsip teguh dan berke
‘’Kayaknya nggak perlu nunggu Elsa deh. Nanti juga paling dikasih tau lewat grup.’’Grup?Grup apa?Vania masuk dalam grup kantor di aplikasi hijau, tetapi, pembahasan disana seputar pekerjaan tidak ada yang lain.Apa jangan-jangan, ada grup yang tidak diketahuinya?‘’Sudah, yuk, kita pulang.’’Ting.Suara lift terbuka, bisik-bisik tetangga itu juga ikut hilang.Setelahnya Vania langsung menatap meja kosong di depannya, pada komputer tanpa sang tuan.Rendi dan Elsa sama-sama tidak masuk. Vania mendengar jika Arka dan Naya datang, artinya, sidang seperti dulu akan terulang.Tapi syukurlah, karena Vania bisa leluasa memeriksa tanpa takut ketahuan.‘’Astaga.’’Banyak sekali foto-fotonya di folder Elsa. Terutama ketika bersama Leo. Potret dengan sudut berbeda akan menghasilkan makna yang berbeda pula.Bahkan foto yang kelihatan seakan Vania ingin memeluk Leo pun terkirim pada Valerie.‘’Ya Tuhan.’’Juga pada grup kantor. Kecuali dirinya, Rendi dan Leo, semua karyawan ada di sana.Namun le
‘’Kenapa kamu kelihatan kayak orang gelisah gitu, sih, Mas? Ayo dimakan.’’Susah payah Valerie memasak, tetapi Leo malas-malasan untuk menyantap. Berbeda dengan Rian. Begitu lahap sampai lauk untuk Leo dihabiskannya sendiri.‘’Iya, Papi. Enak kok ini ikannya. Nih Rian makannya bersih sampai ke tulang-tulangnya.’’ Benar-benar hanya tersisa tulang belulang saja.Bahkan untuk membalas pembenaran Rian saja bibir Leo terasa berat untuk berucap.Kembali Leo mengecek ponselnya. Nihil. Tidak ada balasan dengan dua centang tak berwarna. Artinya dibaca pun tidak.‘’Rian. Sudah makannya, Nak? Sekarang masuk ke kamar, ya.’’‘’Siap, Mami.’’ Begitu melihat pintu Rian menutup, seketika Valerie merampas ponsel yang sejak tadi dipegang Leo.‘’Mbak Van? Ngapain kamu chat-chat dia sih, Mas?’’ Valerie melotot, sakit sekali berada di posisinya. ‘’Vania lagi ngerjain kerjaan mas yang deadlinenya besok. Mas penasaran dia masih di kantor apa tidak,’’ serunya dengan wajah khawatir.Belum lagi. Tak lama Vira
‘’Mbak!’’Dengan segera Leo menutupi tubuh Vania dengan jas, lalu melarikanbta menuju rumah sakit secepat mungkin.Sepanjangan perjalanan Valerie menangis tidak henti-hentinya. Tidak bisa membayangkan kejadian itu seperti apa, hingga dirinya begitu terpukul.Baru beberapa jam dilihatnya, tapi kejadian itu merenggut Vania lebih cepat.Dalam perjalanan Vania masih tak sadarkan diri. Banyak memar di berbagai titik. Darah beku berada di ujung bibir. Tak hanya itu, setitik air tersisa di ujung mata Vania.‘’Mas, cepat. Valerie mohon mas.’’Begitu tiba di rumah sakit Vania langsung ditangani. Keadaannya benar-benar buruk ternyata ada benturan di kepala yang baru dilihat Valerie dan Leo.Mungkin itu disebabkan oleh benda tumpul.Dari pintu kaca Valerie melihat Vania tengah mengadu nasib, Vira pun tak kuasa melihat anak sulungnya terbaring berjuang sendirian.Mimpi ular itu benar-benar nyata.‘’Ma, Mbak Van, Ma.’’ Tangis sesal kian membanjiri. Vira dan Valerie saling berpelukan menguatkan sat
Arka segera berbaring di brankar bersebelahan dengan Vania. Mantan menantunya itu terlihat sangat mengenaskan. Bersiap mendonorkan darahnya.Valerie bertanya-tanya mengapa Leo enggan menolong bahkan hingga semua keluarga ada di dalam pun, Leo tetap tidak masuk.Tetapi Valerie bersyukur karena papa mertuanya mau membantu.Mungkin sejak dulu dan kini, Valerie selalu tahu jika menantu yang disayang Arka hanyalah Vania dan belum tergantikan hingga sekarang.Walau tidak tampak, tetapi semua orang bisa mengetahuinya.Kasih sayang yang tidak dilontarkan lewat kata, namun lewat tatapan dan juga pengorbanan.‘’Itu mama kamu sudah dikasih darah sama opa, artinya bentar lagi sembuh, Gi.’’ Alia terus menyemangati Gia meski matanya sudah sangat mengantuk. ‘’Kira-kira kapan mamaku sadar?’’ tanya Gia langsung.‘’Tidak sekarang, Sayang. Mungkin setelah prosesnya selesai. Dan sekarang, Mama Vania butuh istirahat,’’ jelas Lili yang memang mengerti itu semua.‘’Sebaiknya kita antarkan anak-anak pulang
Banyak mobil-mobil polisi terparkir di halaman ketika Sandra sampai di gerbang. Yura dan Dani keluar bersama seorang polisi, artinya, tidak ada penangkapan sama sekali.Sandra lekas putar arah mencari kemana Gavi. Tengah malam ditemani tetesan air hujan, juga bayi yang masih di dalam perut, otak Sandra memikirkan di mana Gavi sekarang.Rumah sakit?Tidak mungkin.‘’Elsa, kamu tahu di mana Gavi?’’ tanyanya begitu panggilan terhubung.‘’Hah? Gavi? Apa kamu lupa kita sudah tidak bertukar tempat lagi?’’ jawab Elsa setengah mengantuk. Tak heran karena sekarang sudah hampir setengah satu pagi.‘’Maksudku, apa kamu tahu dia di mana? Apa dia pernah cerita punya rumah lain atau…’’Saat itulah Sandra melihat suami yang dirinya cari.Gavi masuk ke dalam sebuah rumah mewah. ‘’Sudah dulu. Aku nggak jadi tanya!’’‘’Dasar.’’Diam-diam Sandra memarkirkan mobilnya. Dilihatnya Gavi masuk tanpa kesulitan, artinya, Gavi lah pemilik rumah tersebut.Sandra memukul kemudi kesal. Bertanya-tanya mengapa Gavi
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu