Mata Kiara membengkak. Dia sedari tadi tak henti menangis. Sakit hatinya mendengar bentakan Devan, lebih sakit dari perkataan kasar Nina kepadanya selama ini. Ditambah kondisinya yang sedang berbadan dua membuat moodnya semakin mudah jatuh."Percuma aku mempertahankanmu kalau kamu lebih memilih dia. Aku tak tahan lagi. Terserah. Aku tidak akan peduli denganmu lagi," ucapnya di sela isak tangisnya. Hatinya terlanjur sakit dan kecewa. Padahal saat ini dia sedang hamil juga. Tapi bisa-bisanya Devan membandingkan dirinya dengan wanita munafik itu.Kiara memasukkan baju-baju pentingnya di koper. Juga potonya pernikahannya. Memejamkan mata tak berani memandangnya. Dia sudah memutuskan akan pergi dari rumah ini. Untuk apa bertahan saat orang yang diandalkan saja sudah tak percaya padanya.Dengan gerakan pelan, dia mengambil kado yang dulunya akan dia berikan pada Devan. Air matanya kembali menderas. Memeluk erat benda tersebut."Sia sia. Aku kira kebahagiaan akan mengalir setelah aku mengaba
Satrio mengambilkan handuk kering untuk Kiara."Gantilah dulu bajumu. Nanti sakit," ucap Satrio. Kiara menerimanya dengan lemah. Membuka kopernya dan mengambil pakaiannya lalu beranjak ke kamar mandi.Tidak sampai sepuluh menit, Kiara keluar lagi. Menyerahkan handuk itu pada Satrio."Sudah. Pakai saja," ucapnya. Wanita itu mengangguk. Menundukkan kepala."Istirahatlah dulu. Besok baru katakan, apa yang terjadi."Wanita itu mengangguk lagi. Satrio tersenyum, dia lalu beranjak hendak keluar."Sat," panggilnya lirih.Satrio menghentikan langkahnya. Menoleh."Ada apa?""Bolehkah sementara aku tinggal disini?"Satrio terdiam. Dia bimbang."Devan?"Kiara menggeleng lemah."Jangan pikirkan dia. Dia tidak akan peduli. Dia tidak akan mencariku lagi," ucapnya getir.Satrio menghela napas. Benar dugaannya. Ini pasti kelakuan Nina. Sungguh keparat wanita itu. Satrio menatap tak tega pada Kiara. Perasaannya berubah menjadi rasa sayang yang layak."Aa... ka-kalau tak boleh juga gak papa. Biar besok
"Kamu gak ke kantor, Van?"Devan menoleh malas. Dia sebenarnya tahu siapa yang bertanya. Hanya reflektifitasnya saja membuat lehernya bergerak tipis. Pria itu menggeleng pelan."Kenapa?""Gak papa."Indira manggut-manggut. Dia memang bangun kesiangan tadi. Dan saat dia bangun, rumah sudah sepi. Devan beranjak."Mau kemana?""Ke atas."Dan setelah itu Devan menaiki tangga, lesu. Indira mengernyitkan dahi. Aneh sekali tingkah Devan pagi ini. Tak biasanya dia selemas ini. Seakan tak bertenaga.Dia mengangkat bahunya. Bergegas ke dapur. Perutnya keroncongan sejak tadi. Tapi alangkah terkejutnya saat mendapati tak ada makanan di meja. Dapur pun masih sama seperti kemarin."Ck. Kemana dia, tumben sekali gak masak. Apa jangan-jangan Devan bete karena gak dimasakin wanita sialan itu? Cih! Dasar pemalas," decaknya.Dia membuka kulkas, hanya ada telur. "Ya ampun. Bahkan isi kulka saja kos
Di rumah Satrio, Kiara sedang memijit lengan papa Satrio. Bercerita apa saja pada pria renta tersebut. Dia merasa senang, karena mendapat teman mengobrol, artinya dia tidak akan mati karena bosan.Papa Satrio terlihat bahagia. Dari sorot matanya dia menatap Kiara dengan perasaan senang, tapi juga sedih. Dia mendengar semua rencana buruk Satrio dan Nina saat itu. Dia khawatir keberadaan wanita ini di rumahnya sebab paksaan Satrio. Tapi saat melihat senyum ceria Kiara, papa Satrio merasa lega.Beliau tentu saja mengenal Kiara. Meski Satrio sering menutupi hubungannya dengan wanita ini dulu, tapi papanya pernah melihat foto Kiara. Dan kini dia melihanya di depan mata. Tak ada yang berubah dari beberapa tahun yang lalu. Tetap cantik."Aish! Bagaimana sih Satrio. Sudah tahu papanya sakit bukannya menyewa suster kek, buat jagain papanya, malah dibiarin sendirian di rumah," omelnya.Pak Andra menggeleng samar."Aah, tapi gak papa. Sekarang kan ada Ki
Pagi ini Satrio izin untuk tidak masuk. Dan beruntung, meski Devan dalam mood yang buruk tapi dia memberi izin juga.Dan sudah setengah jam lebih Satrio menunggui Kiara yang sedang berdandan di atas. Sembari menunggu dia rebahan di sofa ruang tengah dengan memainkan game di ponselnya. Padahal niatnya siap-siap dari pagi supaya tidak terlalu antri di rumah sakit sana. Juga, biar lebih cepat di urusnya. Tapi ternyata espektasi tak sesuai dengan realiti. Sampai capek dia main game tetap saja Kiara belum selesai. Sampai akhirnya lama-lama dia tertidur.Memang itulah bedanya pria dan wanita ketika bersiap-siap. Pria cenderung simpel dan apa adanya. Sedangkan wanita, dia akan lebih teliti pada penampilannya. Bahkan hal-hal kecil dan cenderung sepele pun tak luput dari perhatiannya.Setelah melewati setengah jam pertama, sekitar lima belas menitan lebih kemudian akhirnya Kiara selesai juga. Dia keluar dari kamarnya dan menuruni tangga.Netranya menangkap Satr
Kiara mengangguk. Di depannya seorang dokter yang sepertinya sebaya dengan dirinya menyambut ramah. Namun ada yang mengusiknya. Otak kecilnya megatakan sosok dokter ini gak asing. Dia seperti pernah melihatnya tapi entah kapan."Emm, baru pertama kali cek ya, Mom?""Iya dok. Dulu ngecek sendiri pakai testpack," jelas Kiaraa sembari tetap memandangi wajah dokter tersebut. Sumpahlah, dia sungguh merasa pernah melihat wajah dokter ini. Dokter itu manggut-manggut."Seharusnya meski sudah cek pakai testpack, tetap harus periksa ke dokter bu. Supaya lebih jelas. Lain kali begitu ya, Mom?"Kiara mengangguk tersenyum. "Maaf pak. Diantar istrinya ke sana," tunjuk dokter itu ke sebuah ranjang.Satrio mengangguk kikuk. Apalagi Kiara. Jadi dokter itu menganggap Satrio itu suaminya."Ini kehamilan yang keberapa, mom?""Sudah ke dua dokter.""Wah. Sudah pengalaman kalau begitu ya. Hehe," tukas Dokter itu sembari memeriksa Kiara. Kiara terse
"Hoek! Hoek!"Devan menutupi mulutnya. Padahal dia sedang rapat dengan para petinggi pegawainya."Kalian apa gak mandi atau gimana sih!" ujarnya kesal. Sedari tadi dia mual-mual. Rasanya aroma ruangan ini membuat isi perutnya seperti di aduk.Para karyawan diam, saling pandang, menggendikkan bahu. Perasaan baunya baik-baik saja. Wangi malah. Tapi bisa-bisanya Devan menuduh mereka belum mandi. Devan menyandarkan tubuhnya di kursinya. Memijit pelipisnya. Hari ini tak terhitung dia mual-mual. Dan penyebabnya sama. Aroma di rumah dan di kantor sama saja. Membuatnya mual. Apa semua orang tidak mandi hari ini? Kenapa bau sekali."Sudah, lanjutkan," ucapnya kesal, tapi juga lemas.Kepala bagian eksekutif yang sedang presentasi tapi di hentikan tadi melanjutkan penjelasannya.Namun baru juga beberapa patah kata, Devan kembali mual-mual. Persis seperti ibu-ibu hamil. Atau jangan-jangan Presdir mereka sedang hamil? Eh. Alhasil dia me
Devan sedari tadi diam. Mereka menyusuri lorong rumah sakit, untuk menuju apotik menebus obat.Sampai disana, Satrio yang menebuskan resepnya, sedangkan Devan termangu di kursi tunggu. Dia bingung, sebenarnya nyidamnya ini karena siapa? Nina atau Kiara? Tapi Nina juga sejauh ini baik-baik saja. Dan kalaupun itu Kiara, ah, makin merasa bersalahlah dia. "Hey! Satrio kan?"Satrio menoleh kaget. Ternyata Dokter Sarah. Satrio tersenyum mengangguk."Sedang apa? Kok balik rumah sakit lagi?""A ... itu ..." Satrio melirik Devan, karena jarak mereka tak terlalu jauh. Jadi Devan masih bisa mendengar percakapannya. Apalagi saat ini adam memandang ke arah mereka berdua."Em, itu ... mengantar boss ku," ucap satrio tersenyum tipis.Sarah manggut-manggut."Oo... la tadi kirain libur? Berarti tadi cuma nganterin Ki ...""Iya .. tadi cuma nganter Ki ... Kiki, iya, Kiki " potong Satrio. Sarah mengernyitkan dahinya. Kok jadi Kiki? Namun is