Pagi ini Satrio izin untuk tidak masuk. Dan beruntung, meski Devan dalam mood yang buruk tapi dia memberi izin juga.
Dan sudah setengah jam lebih Satrio menunggui Kiara yang sedang berdandan di atas. Sembari menunggu dia rebahan di sofa ruang tengah dengan memainkan game di ponselnya. Padahal niatnya siap-siap dari pagi supaya tidak terlalu antri di rumah sakit sana. Juga, biar lebih cepat di urusnya. Tapi ternyata espektasi tak sesuai dengan realiti. Sampai capek dia main game tetap saja Kiara belum selesai. Sampai akhirnya lama-lama dia tertidur.Memang itulah bedanya pria dan wanita ketika bersiap-siap. Pria cenderung simpel dan apa adanya. Sedangkan wanita, dia akan lebih teliti pada penampilannya. Bahkan hal-hal kecil dan cenderung sepele pun tak luput dari perhatiannya.Setelah melewati setengah jam pertama, sekitar lima belas menitan lebih kemudian akhirnya Kiara selesai juga. Dia keluar dari kamarnya dan menuruni tangga.Netranya menangkap SatrKiara mengangguk. Di depannya seorang dokter yang sepertinya sebaya dengan dirinya menyambut ramah. Namun ada yang mengusiknya. Otak kecilnya megatakan sosok dokter ini gak asing. Dia seperti pernah melihatnya tapi entah kapan."Emm, baru pertama kali cek ya, Mom?""Iya dok. Dulu ngecek sendiri pakai testpack," jelas Kiaraa sembari tetap memandangi wajah dokter tersebut. Sumpahlah, dia sungguh merasa pernah melihat wajah dokter ini. Dokter itu manggut-manggut."Seharusnya meski sudah cek pakai testpack, tetap harus periksa ke dokter bu. Supaya lebih jelas. Lain kali begitu ya, Mom?"Kiara mengangguk tersenyum. "Maaf pak. Diantar istrinya ke sana," tunjuk dokter itu ke sebuah ranjang.Satrio mengangguk kikuk. Apalagi Kiara. Jadi dokter itu menganggap Satrio itu suaminya."Ini kehamilan yang keberapa, mom?""Sudah ke dua dokter.""Wah. Sudah pengalaman kalau begitu ya. Hehe," tukas Dokter itu sembari memeriksa Kiara. Kiara terse
"Hoek! Hoek!"Devan menutupi mulutnya. Padahal dia sedang rapat dengan para petinggi pegawainya."Kalian apa gak mandi atau gimana sih!" ujarnya kesal. Sedari tadi dia mual-mual. Rasanya aroma ruangan ini membuat isi perutnya seperti di aduk.Para karyawan diam, saling pandang, menggendikkan bahu. Perasaan baunya baik-baik saja. Wangi malah. Tapi bisa-bisanya Devan menuduh mereka belum mandi. Devan menyandarkan tubuhnya di kursinya. Memijit pelipisnya. Hari ini tak terhitung dia mual-mual. Dan penyebabnya sama. Aroma di rumah dan di kantor sama saja. Membuatnya mual. Apa semua orang tidak mandi hari ini? Kenapa bau sekali."Sudah, lanjutkan," ucapnya kesal, tapi juga lemas.Kepala bagian eksekutif yang sedang presentasi tapi di hentikan tadi melanjutkan penjelasannya.Namun baru juga beberapa patah kata, Devan kembali mual-mual. Persis seperti ibu-ibu hamil. Atau jangan-jangan Presdir mereka sedang hamil? Eh. Alhasil dia me
Devan sedari tadi diam. Mereka menyusuri lorong rumah sakit, untuk menuju apotik menebus obat.Sampai disana, Satrio yang menebuskan resepnya, sedangkan Devan termangu di kursi tunggu. Dia bingung, sebenarnya nyidamnya ini karena siapa? Nina atau Kiara? Tapi Nina juga sejauh ini baik-baik saja. Dan kalaupun itu Kiara, ah, makin merasa bersalahlah dia. "Hey! Satrio kan?"Satrio menoleh kaget. Ternyata Dokter Sarah. Satrio tersenyum mengangguk."Sedang apa? Kok balik rumah sakit lagi?""A ... itu ..." Satrio melirik Devan, karena jarak mereka tak terlalu jauh. Jadi Devan masih bisa mendengar percakapannya. Apalagi saat ini adam memandang ke arah mereka berdua."Em, itu ... mengantar boss ku," ucap satrio tersenyum tipis.Sarah manggut-manggut."Oo... la tadi kirain libur? Berarti tadi cuma nganterin Ki ...""Iya .. tadi cuma nganter Ki ... Kiki, iya, Kiki " potong Satrio. Sarah mengernyitkan dahinya. Kok jadi Kiki? Namun is
Rumah sepi dan suram semenjak Kiara pergi. Bahkan tak ada celoteh Rara seperti biasanya. Tak ada dia yang mainan di ruang tengah dengan Shooky, kucingnya, atau Chimmy, boneka kesayangannya. Suasana rumah seperti tak ada kehidupan. Semuanya terasa menyedihkan.Tubuhnya memang masih lemas, tapi dia tak pernah lupa untuk menyambangi putrinya. Apalagi semenjak kepergian mamanya, Rara seringkali murung. Tak ada sorot semangat di wajahnya seperti dulu. Sebenarnya Devan tak tega meninggalkan Rara sendirian seperti ini, tapi bagaimana lagi, dia harus bekerja. Untung saja ada Indira yang dari dulu memang menyayangi Rara. Meski dia lihat Rara tak terlalu menanggapi Indira, tapi setidaknya perhatian Indira pasti perlahan memberi hiburan pada Rara.Satu persatu kakinya melangkahi tangga ke lantai atas. Menghampiri kamar Rara sebagai tujuannya.Cklek!Dilihatnya putri kecilnya sedang tertidur dengan memeluk Chimmy nya. Posisi yang meyayat hati. Karena sia
Matahari masih mengintip samar di arah timur sana. Tapi Satrio sudah bersiap-siap. Bagaimana lagi? Semenjak hari itu Devan jadi sering mengandalkannya. Menjadikan dirinya supir pribadi. Alias berangkat harus menjemput dirinya dan pulangnya juga mengantar dulu. Dan parahnya, dirinya tidak bisa menggunakan mobilnya. Jadi dia ke rumah Devan pagi-pagi dengan taksi atau kalau kepepet ojek, dan pulangnya juga sama. Terkadang orang yang sedang nyidam memang nyebelin ya.Kiara merasa heran melihatnya. Saat ini dia menyiapkan sarapan untuk Satrio. Perutnya sudah kelihatan buncitnya. Karena memang sudah jalan lima bulan ini. Waktu memang berlalu cepat."Memang Devan masih sering mual di kantor?" ranya Kiara. Dia tahu alasan kenapa Satrio tidak lagi memakai mobilnya. Itu karena tingkah nyidam Devan yang menyebalkan. Kasihan sih, tapi pengen ngakak juga. Lagian aneh-aneh juga. Kenapa yang jadi korbannya Satrio coba?"Masih, tapi tidak terlalu sih. Parah juga ya efekny
"Ni-Nina," gumamnya kaget. Nina bersidekap dengan tatapan sinis. Kiara melihat perut Nina yang sudah besar, sama dengan dirinya. Entah kenapa, dia merasa sesak melihatnya."Kebetulan kita ketemu lagi. Hey, apa kabar? Yang pastinya bukan kabar baik kan? Haha," remehnya. Kiara menggenggam ponsel itu kuat."Makasih loh. Akhirnya kamu sadar diri juga kalau kamu itu gak pantas bersanding dengan Devan," tukasnya.("Kiaraa, sabar...")"Wow. Kamu hamil juga? Kok bisa samaan? Atau jangan-jangan ini anak mantan kamu itu ya? Oh ya jelas. Kalian memang pasangan yang serasi. Jal*ng dan juga pengecut. Memang pantas bersama!"Plak!Nina meringis, memegangi pipinya yang di tampar Kiara. Orang-orang yang ada di situ kaget dengan pertengkaran tersebut. Memandang dengan berbisik-bisik."Jaga ya mulutmu. Kamu itu yang jal*ng! Perebut suami orang dengan memberinya obat perangsang. Puas setelah merusak rumah tangga orang hah!" bentaknya dengan air
"Siapa orangnya?""Dia...""Tring! Tring!"Kiara mengernyit heran. Nomor bu guru Rara. Kiara memberi isyarat untuk menerima telpon lebih dulu."Ya, halo bu.""Ibu Kiara ya?""Benar bu. Ada apa?""Maaf bu. Bisakah ke rumah sakit Medika sekarang?"Kiara mengerutkan dahi. Kebetulan ini rumah sakit Medika. Ada apa gerangan."Ada apa ya bu?" tanyanya, jantungnya berdegup lebih kencang."Maafkan kelalaian kami bu. Rara di rumah sakit sekarang.""A-apa?" pekiknya. Wajahnya berubah kalut. "Di-di ruangan mana sekarang bu?" paniknya."Di ruang Melati unit gawat darurat.""Ba-baik. Saya kesana sekarang." Dia langsung bergegas keluar."Tunggu, Ra. Ada apa?"Kiara terlanjur jauh...Kiara sampai di rumah sakit dan bergegas menuju ruangan Rara. Disana sudah ada Dino dan gurunya juga ada seorang anak lelaki kecil yang memeluk ibunya ketakutan. Tapi dia tak terlalu memperhatikan."Bagaima
Devan mondar mandir. Demi mendengar kabar dari Tasya, dia segera meluncur ke rumah sakit. Tasya menyusul tak lama kemudian. Dia juga tak kalah kaget. Apalagi dia tahu ada istrinya di dalam, perasaan haru tapi khawatir menjadi satu. Entah bagaimana ada Kiara di dalam sana, Devan juga tak tahu. Yabg jelas perasaannya sekarang campur aduk.Kini di depan mereka ibu Rio dan Rio. Rio menunduk dan ikut menangis. Bagaimanapun juga, bu Rahma merasa bersalah atas kenakalan anaknya. Dia sudah mendengar cerita dari Dino tadi, juga patah-patah dari Rio. Rio memang nakal. Dia anak broken home. Bu Rahma sebenarnya adalah nenek dari Rio. Memang beliau belum terlalu tua, hingga kadang ada yang menyangka bahwa beliau ini mama Rio.Akibat dari broken home, kurang kasih sayang, kurang pengawasan juga akhirnya membuat Rio tak terkendali. Dia jadi nakal. Tapi dari sekian kenakalannya, baru kali ini dia melukai anak lain.Dan lihatlah wajah ketakutannya. Dia tak berani mengangka