Devan sedari tadi diam. Mereka menyusuri lorong rumah sakit, untuk menuju apotik menebus obat.
Sampai disana, Satrio yang menebuskan resepnya, sedangkan Devan termangu di kursi tunggu. Dia bingung, sebenarnya nyidamnya ini karena siapa? Nina atau Kiara? Tapi Nina juga sejauh ini baik-baik saja. Dan kalaupun itu Kiara, ah, makin merasa bersalahlah dia."Hey! Satrio kan?"Satrio menoleh kaget. Ternyata Dokter Sarah. Satrio tersenyum mengangguk."Sedang apa? Kok balik rumah sakit lagi?""A ... itu ..." Satrio melirik Devan, karena jarak mereka tak terlalu jauh. Jadi Devan masih bisa mendengar percakapannya. Apalagi saat ini adam memandang ke arah mereka berdua."Em, itu ... mengantar boss ku," ucap satrio tersenyum tipis.Sarah manggut-manggut."Oo... la tadi kirain libur? Berarti tadi cuma nganterin Ki ...""Iya .. tadi cuma nganter Ki ... Kiki, iya, Kiki " potong Satrio. Sarah mengernyitkan dahinya. Kok jadi Kiki? Namun isRumah sepi dan suram semenjak Kiara pergi. Bahkan tak ada celoteh Rara seperti biasanya. Tak ada dia yang mainan di ruang tengah dengan Shooky, kucingnya, atau Chimmy, boneka kesayangannya. Suasana rumah seperti tak ada kehidupan. Semuanya terasa menyedihkan.Tubuhnya memang masih lemas, tapi dia tak pernah lupa untuk menyambangi putrinya. Apalagi semenjak kepergian mamanya, Rara seringkali murung. Tak ada sorot semangat di wajahnya seperti dulu. Sebenarnya Devan tak tega meninggalkan Rara sendirian seperti ini, tapi bagaimana lagi, dia harus bekerja. Untung saja ada Indira yang dari dulu memang menyayangi Rara. Meski dia lihat Rara tak terlalu menanggapi Indira, tapi setidaknya perhatian Indira pasti perlahan memberi hiburan pada Rara.Satu persatu kakinya melangkahi tangga ke lantai atas. Menghampiri kamar Rara sebagai tujuannya.Cklek!Dilihatnya putri kecilnya sedang tertidur dengan memeluk Chimmy nya. Posisi yang meyayat hati. Karena sia
Matahari masih mengintip samar di arah timur sana. Tapi Satrio sudah bersiap-siap. Bagaimana lagi? Semenjak hari itu Devan jadi sering mengandalkannya. Menjadikan dirinya supir pribadi. Alias berangkat harus menjemput dirinya dan pulangnya juga mengantar dulu. Dan parahnya, dirinya tidak bisa menggunakan mobilnya. Jadi dia ke rumah Devan pagi-pagi dengan taksi atau kalau kepepet ojek, dan pulangnya juga sama. Terkadang orang yang sedang nyidam memang nyebelin ya.Kiara merasa heran melihatnya. Saat ini dia menyiapkan sarapan untuk Satrio. Perutnya sudah kelihatan buncitnya. Karena memang sudah jalan lima bulan ini. Waktu memang berlalu cepat."Memang Devan masih sering mual di kantor?" ranya Kiara. Dia tahu alasan kenapa Satrio tidak lagi memakai mobilnya. Itu karena tingkah nyidam Devan yang menyebalkan. Kasihan sih, tapi pengen ngakak juga. Lagian aneh-aneh juga. Kenapa yang jadi korbannya Satrio coba?"Masih, tapi tidak terlalu sih. Parah juga ya efekny
"Ni-Nina," gumamnya kaget. Nina bersidekap dengan tatapan sinis. Kiara melihat perut Nina yang sudah besar, sama dengan dirinya. Entah kenapa, dia merasa sesak melihatnya."Kebetulan kita ketemu lagi. Hey, apa kabar? Yang pastinya bukan kabar baik kan? Haha," remehnya. Kiara menggenggam ponsel itu kuat."Makasih loh. Akhirnya kamu sadar diri juga kalau kamu itu gak pantas bersanding dengan Devan," tukasnya.("Kiaraa, sabar...")"Wow. Kamu hamil juga? Kok bisa samaan? Atau jangan-jangan ini anak mantan kamu itu ya? Oh ya jelas. Kalian memang pasangan yang serasi. Jal*ng dan juga pengecut. Memang pantas bersama!"Plak!Nina meringis, memegangi pipinya yang di tampar Kiara. Orang-orang yang ada di situ kaget dengan pertengkaran tersebut. Memandang dengan berbisik-bisik."Jaga ya mulutmu. Kamu itu yang jal*ng! Perebut suami orang dengan memberinya obat perangsang. Puas setelah merusak rumah tangga orang hah!" bentaknya dengan air
"Siapa orangnya?""Dia...""Tring! Tring!"Kiara mengernyit heran. Nomor bu guru Rara. Kiara memberi isyarat untuk menerima telpon lebih dulu."Ya, halo bu.""Ibu Kiara ya?""Benar bu. Ada apa?""Maaf bu. Bisakah ke rumah sakit Medika sekarang?"Kiara mengerutkan dahi. Kebetulan ini rumah sakit Medika. Ada apa gerangan."Ada apa ya bu?" tanyanya, jantungnya berdegup lebih kencang."Maafkan kelalaian kami bu. Rara di rumah sakit sekarang.""A-apa?" pekiknya. Wajahnya berubah kalut. "Di-di ruangan mana sekarang bu?" paniknya."Di ruang Melati unit gawat darurat.""Ba-baik. Saya kesana sekarang." Dia langsung bergegas keluar."Tunggu, Ra. Ada apa?"Kiara terlanjur jauh...Kiara sampai di rumah sakit dan bergegas menuju ruangan Rara. Disana sudah ada Dino dan gurunya juga ada seorang anak lelaki kecil yang memeluk ibunya ketakutan. Tapi dia tak terlalu memperhatikan."Bagaima
Devan mondar mandir. Demi mendengar kabar dari Tasya, dia segera meluncur ke rumah sakit. Tasya menyusul tak lama kemudian. Dia juga tak kalah kaget. Apalagi dia tahu ada istrinya di dalam, perasaan haru tapi khawatir menjadi satu. Entah bagaimana ada Kiara di dalam sana, Devan juga tak tahu. Yabg jelas perasaannya sekarang campur aduk.Kini di depan mereka ibu Rio dan Rio. Rio menunduk dan ikut menangis. Bagaimanapun juga, bu Rahma merasa bersalah atas kenakalan anaknya. Dia sudah mendengar cerita dari Dino tadi, juga patah-patah dari Rio. Rio memang nakal. Dia anak broken home. Bu Rahma sebenarnya adalah nenek dari Rio. Memang beliau belum terlalu tua, hingga kadang ada yang menyangka bahwa beliau ini mama Rio.Akibat dari broken home, kurang kasih sayang, kurang pengawasan juga akhirnya membuat Rio tak terkendali. Dia jadi nakal. Tapi dari sekian kenakalannya, baru kali ini dia melukai anak lain.Dan lihatlah wajah ketakutannya. Dia tak berani mengangka
Kepala Kiara terasa berat. Pening juga. Dia memegangi kepalanya yang rasanya berputar. Perhatiannya langsung tertuju pada Rara yang masih belum juga terbangun. Juga... Astaga, Devan!Kiara tersentak. Dia buru-buru bergegas keluar, sebelum pria itu terbangun.Namun sialnya, kakinya terantuk kaki ranjang dan mengakibatkan mulutnya memekik, mengaduh."A' aaw... ish, sakit," keluhnya.Devan lamat-lamat mendengarnya, terbangun dari tidurnya. Menyadari Devan bangun, Kiara bergegas melangkah dengan kaki tertatih."Ra, tunggu!"Kiara tak peduli. Dia terus saja melangkah. Membuka pintu ruangan Rara. Namun, tangannya terhenti memutar knop pintu, saat tangan kekar memeluknya dari belakang."Jangan pergi," ucap Devan lirih.Kiara memberontak."Lepas!"Devan bergeming. Tak melepaskan pelukannya. "Aku merindukanmu, dan bayi kita..." ucapnya.Kiara kembali menangis. Sakit, sedih, tapi dia juga merasa
Sampai malam tiba pun Rara belum juga sadarkan diri. Tadi sore Dino di temani Tasya dan Yuda datang menjenguk sembari membawakan makanan untuk mereka. Mereka tidak tahu kalau Devan dan Kiara sedang mode diam-diaman. Setahu mereka Kiara jarang mengantar Rara lagi karena memang di gantikan Devan sendiri. Mereka tidak tahu kalau wanita itu pergi dari rumah.Lebih kaget lagi saat mereka melihat Kiara yang hamil besar. Jadi mereka berfikir karena hamil itulah makanya Kiara jarang kesekolahan. Sedangkan Dino pikir Rara jadi pemurung karena dia mau punya adik, karena itu dia takut tersaingi. Tanpa mereka tahu ada sebab hebat di baliknya.Devan juga belum menghubungi orang tuanya terkait keadaan Rara saat ini. Dia juga takut orang tuanya akan jadi tahu kekisruhan rumah tangganya.Dan saat malam tiba, mereka tidur dalam satu ranjang tunggu tersebut. Karena mau dimana lagi? Tak ada tempat tidur lagi. Meski harus berdempetan. Bagi Devan sih tidak masalah, malah bisa
Nina mondar mandir di rumah. Dari kemarin Devan tak bisa di hubungi. Rara juga tak pulang. Mau menyusul Rara ke sekolah, mager. Lagian biasanya kan bareng sama Dino, atau kalau gak dijemput Devan diantar pulang dulu, lalu balik ke kantor lagi. Dia pikir untuk menunggui mereka sampai sore. Tapi ternyata sampai dia ketiduran dan bangun pagi Devan dan Rara tak kunjung pulang."Kemana sih mereka? Gak niat minggat kan? Gila aja. Ini kan rumah mereka. Kalau mereka yang minggat apa kabar aku? Bisa-bisa gak makan gak pegang duit," gerutunya.Dia menekan nomor Devan, memanggilnya berkali-kali. Berdering, tapi tak ada yang mengangkatnya. Parah bukan? Sengaja sekali mereka mengabaikan dirinya. Mana laper lagi"Apa jangan-jangan mereka ketemu sama Kiara? Terus mereka menginap di rumah Satrio? Haish! Sialan! Kenapa kemarin aku membiarkannya lepas? Menyebalkan. Harusnya lain kali aku lukai saja, biar lenyap sekalian," gerutunya.Merasa kesal, Nina bergegas mengganti