Kepala Kiara terasa berat. Pening juga. Dia memegangi kepalanya yang rasanya berputar.
Perhatiannya langsung tertuju pada Rara yang masih belum juga terbangun. Juga... Astaga, Devan!Kiara tersentak. Dia buru-buru bergegas keluar, sebelum pria itu terbangun.Namun sialnya, kakinya terantuk kaki ranjang dan mengakibatkan mulutnya memekik, mengaduh."A' aaw... ish, sakit," keluhnya.Devan lamat-lamat mendengarnya, terbangun dari tidurnya. Menyadari Devan bangun, Kiara bergegas melangkah dengan kaki tertatih."Ra, tunggu!"Kiara tak peduli. Dia terus saja melangkah. Membuka pintu ruangan Rara. Namun, tangannya terhenti memutar knop pintu, saat tangan kekar memeluknya dari belakang."Jangan pergi," ucap Devan lirih.Kiara memberontak."Lepas!"Devan bergeming. Tak melepaskan pelukannya."Aku merindukanmu, dan bayi kita..." ucapnya.Kiara kembali menangis. Sakit, sedih, tapi dia juga merasaSampai malam tiba pun Rara belum juga sadarkan diri. Tadi sore Dino di temani Tasya dan Yuda datang menjenguk sembari membawakan makanan untuk mereka. Mereka tidak tahu kalau Devan dan Kiara sedang mode diam-diaman. Setahu mereka Kiara jarang mengantar Rara lagi karena memang di gantikan Devan sendiri. Mereka tidak tahu kalau wanita itu pergi dari rumah.Lebih kaget lagi saat mereka melihat Kiara yang hamil besar. Jadi mereka berfikir karena hamil itulah makanya Kiara jarang kesekolahan. Sedangkan Dino pikir Rara jadi pemurung karena dia mau punya adik, karena itu dia takut tersaingi. Tanpa mereka tahu ada sebab hebat di baliknya.Devan juga belum menghubungi orang tuanya terkait keadaan Rara saat ini. Dia juga takut orang tuanya akan jadi tahu kekisruhan rumah tangganya.Dan saat malam tiba, mereka tidur dalam satu ranjang tunggu tersebut. Karena mau dimana lagi? Tak ada tempat tidur lagi. Meski harus berdempetan. Bagi Devan sih tidak masalah, malah bisa
Nina mondar mandir di rumah. Dari kemarin Devan tak bisa di hubungi. Rara juga tak pulang. Mau menyusul Rara ke sekolah, mager. Lagian biasanya kan bareng sama Dino, atau kalau gak dijemput Devan diantar pulang dulu, lalu balik ke kantor lagi. Dia pikir untuk menunggui mereka sampai sore. Tapi ternyata sampai dia ketiduran dan bangun pagi Devan dan Rara tak kunjung pulang."Kemana sih mereka? Gak niat minggat kan? Gila aja. Ini kan rumah mereka. Kalau mereka yang minggat apa kabar aku? Bisa-bisa gak makan gak pegang duit," gerutunya.Dia menekan nomor Devan, memanggilnya berkali-kali. Berdering, tapi tak ada yang mengangkatnya. Parah bukan? Sengaja sekali mereka mengabaikan dirinya. Mana laper lagi"Apa jangan-jangan mereka ketemu sama Kiara? Terus mereka menginap di rumah Satrio? Haish! Sialan! Kenapa kemarin aku membiarkannya lepas? Menyebalkan. Harusnya lain kali aku lukai saja, biar lenyap sekalian," gerutunya.Merasa kesal, Nina bergegas mengganti
"Kok bisa tahu aku disini?" tanya Devan."Itu... a-aku tadi.. emm, kebetulan lagi cek up. Dan melihat kamu. Makanya aku ikutin. Terus aku lihat kamu masuk kamar ini. Dan karena penasaran, aku tanya sama dokter yang kebetulan lewat. Katanya Rara yang di rawat. Jadi aku langsung masuk tadi."Devan tak berekspresi."Awalnya aku tidak berniat mengikuti kalian. Tapi rasa penasaran dan khawatir, apalagi dari kemarin kan kalian gak pulang. Makanya aku ikutin. Dan benar, insting ibu hamil memang gak bohong," ucapnya.Devan melirik kandungan Nina. Besarnya sama dengan perut Kiara. Bagaimana bisa? Apa mereka hamilnya juga di waktu yang sama?"Tap-tapi.. aku lihat tadi Kiara hamil juga ya?"Devan mengangguk."Berapa bulan? Kok dia gak ngomong sama kamu? Atau jangan-jangan itu bayinya dengan Satrio? Makanya dia menghindar?" Ucapnya memanas-manasi.Devan diam saja tak berekspresi. Sebaliknya Nina makin semangat menjelek-jelekkan Kiara.
Sepulang sekolah, Dino dan Rio mengunjungi Rara. Rio terlihat sangat menyesali kelakuannya. Dia menunduk sejak tadi."Makan dulu, Rio juga," ucap Tasya menyodorkan nasi kotak."Makasih tante," ucapnya pelan.Tasya mengangguk."Doakan saja Rara cepet sembuh ya?""Iya tante," jawabnya dengan kepala tertunduk.Sementara di dalam."Makanlah dulu," ucap Kiara datar. Dia menunggui Rara duduk di samping tubuh mungil itu.Devan mengangguk. Semenjak Kiara kembali dari ruangan Sarah tadi, Devan memang lebih banyak diamnya. Hal yang membuat Kiara heran sebenarnya, hanya saja dia mengabaikannya."Sayang, kamu gak kangen mama kah? Ayoloh. Buka matamu sayang. Mama kangen," ucapnya lirih. Kembali air matanya berderai. Sungguh, sebenarnya hatinya sakit melihat buah hatinya terbaring tak berdaya seperti ini. Tapi karena ada Devan yang merusak suasana hatinya, jadi dia tidak terlalu menampakkan perasaannya yang sesungguhnya."Mama janji
"Aaa... aem sayang... Nah, pinter."Rara tersenyum, dia duduk di kursi rodanya. Kiara dengan lembut menyuapi putri kesayangannya.Ya, Rara berhasil melewati masa kritisnya. Dia di rawat seminggu setelah sadar. Dan baru beberapa hari ini dibawa pulang. Tapi dia minta agar mamanya ikut pulang ke rumah. Mau tak mau Kiara menurutinya. Devan tentu saja merasa senang. Dengan demikian dia bisa mengawasi dua orang tercintanya lebih dekat. "Rara pengen nyapa adek gak?" tawar Kiara. Rara mengangguk semangat.Kiara berdiri dan mendekatkan perut buncitnya pada Rara."Dedek. Kakak kangen nih."Rara terkekeh. Dia menempelkan telinganya di perut mamanya."Ma, kok gak ada suaranya?" tanyanya polos."Belum sayang. Nanti dong kalau udah keluar. Baru dedeknya ada suaranya.""Ih, jadi gak sabar pengen lihat adek Rara. Kira-kira cewek atau cowok ya ma?""Emmm... apa ya? Kayaknya mending jadi kejutan aja deh. Biar penasaran."Rara menganggu
"Argh! Sialan! Jadi dia sudah merencanakannya selama ini?" geramnya.Ya, pada akhirnya Satrio menceritakan semuanya. Termasuk semua rencana-rencana Nina terdahulu. Memberitahu Devan tentang isi Chat Nina padanya."Ya. Dan semua yang terjadi sebenarnya bagian dari rencananya," imbuh Satrio."Haish! Bisa-bisanya aku percaya dengan wanita ular itu," gerutunya."Karena kamu bodoh," timpal Satrio santai."Apa katamu? Kau mengataiku bodoh?" ucapnya tak suka."Memang benar kan? Kalau bukan bodoh lalu apa? Di beri tahu istrinya sendiri bukannya mendengarkan malah mengabaikan dan membentak-bentak. Kan aneh," tukas Satrio.Devan mendecak. Mau menyangkal tapi memang benar. Tapi, ah ... Padahal dia sempat curiga. Hanya gara-gara setitik asumsi membuat kecurigaan itu menguap."Aku pikir, tidak mungkin Indira menjebakku. Lagipula memang saat itu aku melakukannya. Jadi aku pikir aku harus bertanggung jawab," ucapnya. "Yah, meski agak curiga sih.
Sore datang.Devan kini kembali bersemangat. Kehadiran keluarga kecilnya yang lengkap lagi membuat sumber kebahagiaannya kembali."Eh, Van. Sudah pulang?"Devan tersenyum tipis."Sudah. Rasanya tak sabar pengen cepat sampai rumah," tukasnya."Kenapa? Apa karena ingin bertemu calon anakmu"Devan tersenyum, mengalihkan pandangan ke atas."Dimana Rara dan Kiara?" tukasnya, mengabaikan pertanyaan Nina tadi.Seketika wajah Nina berubah. "Mengapa kamu langsung mencari mereka?""Tidak apa. Aku hanya merindukan mereka. Tidak boleh kah?"Nina mengepalkan tangannya."Van! Kenapa sih kamu berubah. Semenjak wanita itu datang, kamu jadi perhatian dengan dia. Lagipula dia bukan mengandung anakmu! Dia hamil dengan pria lain. Kau harus sadar!" pekiknya marah.Devan menyeringai."Lalu kenapa? Aku tidak peduli. Yang penting dia masih istriku," ucapnya."Tapi aku yang mengandung anakmu! Tak bisakah kau menyapa bayimu lebih dulu? Se
Dino dan Tasya berpamitan pulang. Mereka mengantar sampai depan."Dadah Dino. Jangan lupa ya besok," teriak Rara.Dino tersenyum, mengacungkan jempolnya dari balik kaca mobil.Mobil perlahan keluar dari halaman rumah Devan. Sampai belok ke jalan raya, dan hilang dari pandangan."Yuk masuk sayang," ajak Kiara. Mendorong kursi roda Rara.------"Mampus!" Seringainya licik. Menatap lantai yang licin karena dia tuangkan minyak goreng diatasnya."Setelah ini, aku pastikan bayimu hilang dari peredaran. Alias keguguran. Haha," tawa Nina jahat. Dia tuang minyak goreng lagi, menambahkan hingga melebar di depan kamar Kiara.Dia menutup botol minyak goreng tersebut. Menyeringai puas. Kiara sedang keluar tadi. Membeli bahan makanan yang sudah habis. Dan Rara juga ikut, meski tak lepas dari kursi rodanya."Ah, tinggal persiapkan diri. Nanti pura-pura terkejut saja. Ikut menangis karena bayinya mati. Haha ... kau memang p