"Kok bisa tahu aku disini?" tanya Devan.
"Itu... a-aku tadi.. emm, kebetulan lagi cek up. Dan melihat kamu. Makanya aku ikutin. Terus aku lihat kamu masuk kamar ini. Dan karena penasaran, aku tanya sama dokter yang kebetulan lewat. Katanya Rara yang di rawat. Jadi aku langsung masuk tadi."Devan tak berekspresi."Awalnya aku tidak berniat mengikuti kalian. Tapi rasa penasaran dan khawatir, apalagi dari kemarin kan kalian gak pulang. Makanya aku ikutin. Dan benar, insting ibu hamil memang gak bohong," ucapnya.Devan melirik kandungan Nina. Besarnya sama dengan perut Kiara. Bagaimana bisa? Apa mereka hamilnya juga di waktu yang sama?"Tap-tapi.. aku lihat tadi Kiara hamil juga ya?"Devan mengangguk."Berapa bulan? Kok dia gak ngomong sama kamu? Atau jangan-jangan itu bayinya dengan Satrio? Makanya dia menghindar?" Ucapnya memanas-manasi.Devan diam saja tak berekspresi. Sebaliknya Nina makin semangat menjelek-jelekkan Kiara.Sepulang sekolah, Dino dan Rio mengunjungi Rara. Rio terlihat sangat menyesali kelakuannya. Dia menunduk sejak tadi."Makan dulu, Rio juga," ucap Tasya menyodorkan nasi kotak."Makasih tante," ucapnya pelan.Tasya mengangguk."Doakan saja Rara cepet sembuh ya?""Iya tante," jawabnya dengan kepala tertunduk.Sementara di dalam."Makanlah dulu," ucap Kiara datar. Dia menunggui Rara duduk di samping tubuh mungil itu.Devan mengangguk. Semenjak Kiara kembali dari ruangan Sarah tadi, Devan memang lebih banyak diamnya. Hal yang membuat Kiara heran sebenarnya, hanya saja dia mengabaikannya."Sayang, kamu gak kangen mama kah? Ayoloh. Buka matamu sayang. Mama kangen," ucapnya lirih. Kembali air matanya berderai. Sungguh, sebenarnya hatinya sakit melihat buah hatinya terbaring tak berdaya seperti ini. Tapi karena ada Devan yang merusak suasana hatinya, jadi dia tidak terlalu menampakkan perasaannya yang sesungguhnya."Mama janji
"Aaa... aem sayang... Nah, pinter."Rara tersenyum, dia duduk di kursi rodanya. Kiara dengan lembut menyuapi putri kesayangannya.Ya, Rara berhasil melewati masa kritisnya. Dia di rawat seminggu setelah sadar. Dan baru beberapa hari ini dibawa pulang. Tapi dia minta agar mamanya ikut pulang ke rumah. Mau tak mau Kiara menurutinya. Devan tentu saja merasa senang. Dengan demikian dia bisa mengawasi dua orang tercintanya lebih dekat. "Rara pengen nyapa adek gak?" tawar Kiara. Rara mengangguk semangat.Kiara berdiri dan mendekatkan perut buncitnya pada Rara."Dedek. Kakak kangen nih."Rara terkekeh. Dia menempelkan telinganya di perut mamanya."Ma, kok gak ada suaranya?" tanyanya polos."Belum sayang. Nanti dong kalau udah keluar. Baru dedeknya ada suaranya.""Ih, jadi gak sabar pengen lihat adek Rara. Kira-kira cewek atau cowok ya ma?""Emmm... apa ya? Kayaknya mending jadi kejutan aja deh. Biar penasaran."Rara menganggu
"Argh! Sialan! Jadi dia sudah merencanakannya selama ini?" geramnya.Ya, pada akhirnya Satrio menceritakan semuanya. Termasuk semua rencana-rencana Nina terdahulu. Memberitahu Devan tentang isi Chat Nina padanya."Ya. Dan semua yang terjadi sebenarnya bagian dari rencananya," imbuh Satrio."Haish! Bisa-bisanya aku percaya dengan wanita ular itu," gerutunya."Karena kamu bodoh," timpal Satrio santai."Apa katamu? Kau mengataiku bodoh?" ucapnya tak suka."Memang benar kan? Kalau bukan bodoh lalu apa? Di beri tahu istrinya sendiri bukannya mendengarkan malah mengabaikan dan membentak-bentak. Kan aneh," tukas Satrio.Devan mendecak. Mau menyangkal tapi memang benar. Tapi, ah ... Padahal dia sempat curiga. Hanya gara-gara setitik asumsi membuat kecurigaan itu menguap."Aku pikir, tidak mungkin Indira menjebakku. Lagipula memang saat itu aku melakukannya. Jadi aku pikir aku harus bertanggung jawab," ucapnya. "Yah, meski agak curiga sih.
Sore datang.Devan kini kembali bersemangat. Kehadiran keluarga kecilnya yang lengkap lagi membuat sumber kebahagiaannya kembali."Eh, Van. Sudah pulang?"Devan tersenyum tipis."Sudah. Rasanya tak sabar pengen cepat sampai rumah," tukasnya."Kenapa? Apa karena ingin bertemu calon anakmu"Devan tersenyum, mengalihkan pandangan ke atas."Dimana Rara dan Kiara?" tukasnya, mengabaikan pertanyaan Nina tadi.Seketika wajah Nina berubah. "Mengapa kamu langsung mencari mereka?""Tidak apa. Aku hanya merindukan mereka. Tidak boleh kah?"Nina mengepalkan tangannya."Van! Kenapa sih kamu berubah. Semenjak wanita itu datang, kamu jadi perhatian dengan dia. Lagipula dia bukan mengandung anakmu! Dia hamil dengan pria lain. Kau harus sadar!" pekiknya marah.Devan menyeringai."Lalu kenapa? Aku tidak peduli. Yang penting dia masih istriku," ucapnya."Tapi aku yang mengandung anakmu! Tak bisakah kau menyapa bayimu lebih dulu? Se
Dino dan Tasya berpamitan pulang. Mereka mengantar sampai depan."Dadah Dino. Jangan lupa ya besok," teriak Rara.Dino tersenyum, mengacungkan jempolnya dari balik kaca mobil.Mobil perlahan keluar dari halaman rumah Devan. Sampai belok ke jalan raya, dan hilang dari pandangan."Yuk masuk sayang," ajak Kiara. Mendorong kursi roda Rara.------"Mampus!" Seringainya licik. Menatap lantai yang licin karena dia tuangkan minyak goreng diatasnya."Setelah ini, aku pastikan bayimu hilang dari peredaran. Alias keguguran. Haha," tawa Nina jahat. Dia tuang minyak goreng lagi, menambahkan hingga melebar di depan kamar Kiara.Dia menutup botol minyak goreng tersebut. Menyeringai puas. Kiara sedang keluar tadi. Membeli bahan makanan yang sudah habis. Dan Rara juga ikut, meski tak lepas dari kursi rodanya."Ah, tinggal persiapkan diri. Nanti pura-pura terkejut saja. Ikut menangis karena bayinya mati. Haha ... kau memang p
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal