"Aaa... aem sayang... Nah, pinter."
Rara tersenyum, dia duduk di kursi rodanya. Kiara dengan lembut menyuapi putri kesayangannya.Ya, Rara berhasil melewati masa kritisnya. Dia di rawat seminggu setelah sadar. Dan baru beberapa hari ini dibawa pulang. Tapi dia minta agar mamanya ikut pulang ke rumah. Mau tak mau Kiara menurutinya.Devan tentu saja merasa senang. Dengan demikian dia bisa mengawasi dua orang tercintanya lebih dekat."Rara pengen nyapa adek gak?" tawar Kiara. Rara mengangguk semangat.Kiara berdiri dan mendekatkan perut buncitnya pada Rara."Dedek. Kakak kangen nih."Rara terkekeh. Dia menempelkan telinganya di perut mamanya."Ma, kok gak ada suaranya?" tanyanya polos."Belum sayang. Nanti dong kalau udah keluar. Baru dedeknya ada suaranya.""Ih, jadi gak sabar pengen lihat adek Rara. Kira-kira cewek atau cowok ya ma?""Emmm... apa ya? Kayaknya mending jadi kejutan aja deh. Biar penasaran."Rara menganggu"Argh! Sialan! Jadi dia sudah merencanakannya selama ini?" geramnya.Ya, pada akhirnya Satrio menceritakan semuanya. Termasuk semua rencana-rencana Nina terdahulu. Memberitahu Devan tentang isi Chat Nina padanya."Ya. Dan semua yang terjadi sebenarnya bagian dari rencananya," imbuh Satrio."Haish! Bisa-bisanya aku percaya dengan wanita ular itu," gerutunya."Karena kamu bodoh," timpal Satrio santai."Apa katamu? Kau mengataiku bodoh?" ucapnya tak suka."Memang benar kan? Kalau bukan bodoh lalu apa? Di beri tahu istrinya sendiri bukannya mendengarkan malah mengabaikan dan membentak-bentak. Kan aneh," tukas Satrio.Devan mendecak. Mau menyangkal tapi memang benar. Tapi, ah ... Padahal dia sempat curiga. Hanya gara-gara setitik asumsi membuat kecurigaan itu menguap."Aku pikir, tidak mungkin Indira menjebakku. Lagipula memang saat itu aku melakukannya. Jadi aku pikir aku harus bertanggung jawab," ucapnya. "Yah, meski agak curiga sih.
Sore datang.Devan kini kembali bersemangat. Kehadiran keluarga kecilnya yang lengkap lagi membuat sumber kebahagiaannya kembali."Eh, Van. Sudah pulang?"Devan tersenyum tipis."Sudah. Rasanya tak sabar pengen cepat sampai rumah," tukasnya."Kenapa? Apa karena ingin bertemu calon anakmu"Devan tersenyum, mengalihkan pandangan ke atas."Dimana Rara dan Kiara?" tukasnya, mengabaikan pertanyaan Nina tadi.Seketika wajah Nina berubah. "Mengapa kamu langsung mencari mereka?""Tidak apa. Aku hanya merindukan mereka. Tidak boleh kah?"Nina mengepalkan tangannya."Van! Kenapa sih kamu berubah. Semenjak wanita itu datang, kamu jadi perhatian dengan dia. Lagipula dia bukan mengandung anakmu! Dia hamil dengan pria lain. Kau harus sadar!" pekiknya marah.Devan menyeringai."Lalu kenapa? Aku tidak peduli. Yang penting dia masih istriku," ucapnya."Tapi aku yang mengandung anakmu! Tak bisakah kau menyapa bayimu lebih dulu? Se
Dino dan Tasya berpamitan pulang. Mereka mengantar sampai depan."Dadah Dino. Jangan lupa ya besok," teriak Rara.Dino tersenyum, mengacungkan jempolnya dari balik kaca mobil.Mobil perlahan keluar dari halaman rumah Devan. Sampai belok ke jalan raya, dan hilang dari pandangan."Yuk masuk sayang," ajak Kiara. Mendorong kursi roda Rara.------"Mampus!" Seringainya licik. Menatap lantai yang licin karena dia tuangkan minyak goreng diatasnya."Setelah ini, aku pastikan bayimu hilang dari peredaran. Alias keguguran. Haha," tawa Nina jahat. Dia tuang minyak goreng lagi, menambahkan hingga melebar di depan kamar Kiara.Dia menutup botol minyak goreng tersebut. Menyeringai puas. Kiara sedang keluar tadi. Membeli bahan makanan yang sudah habis. Dan Rara juga ikut, meski tak lepas dari kursi rodanya."Ah, tinggal persiapkan diri. Nanti pura-pura terkejut saja. Ikut menangis karena bayinya mati. Haha ... kau memang p
Pantat Devan sangat sakit. Tentu saja. Dia menghantam lantai dengan keras. Meski begitu, marahnya mengalahkan segalanya. Dia menatap tajam Indira yang gemetar ketakutan."Siapa yang menumpahkan minyak disini?" tatapnya tajam. Rahang Devan sampai mengeras saking emosinya dia.Indira menunduk. Takut."Jawab! Siapa!" bentaknya. Kalau tidak ingat wanita ini sedang hamil, ingin rasanya dia menghajar wanita iblis ini."De-Devan ... aku tidak bermaksud ....""Oo... jadi kamu. Apa maksudmu? Kau ingin mencelakai Kiara, hah!""Bu-bukan begitu. Aku hanya ....""Lalu ini apa? Kau berniat bukan? Untung saja aku yang terkena. Kalau Kiara ... ah, sungguh aku tidak bisa membayangkan. Kamu keterlaluan ya Ra. Apa sih yang membuat kamu setega ini melakukannya pada Kiara? Aku tak habis pikir dengan jalan pikirmu?" Indira mengangkat wajahnya. Balik menatap tajam Devan."Kau pikir kenapa? Itu karena aku benci wanita itu! Dia yang merebut kamu
Keesokan harinya, benar yang dikatakan Satrio. Dia mengantar seorang wanita muda yang kira-kira berusia dua puluh delapan tahunan."Namanya Riris. Meski perawakannya kecil, jangan salah. Dia ini jago taekwondo loh," ujar Satrio. Riris menundukkan kepala, tersenyum menyapa pada tuan rumah."Justru, kecil-kecil cabe rawit. Hehe," ujar Devan. Kiara langsung menyenggolnya."Hehe.. iya sayang. Kan cuma bercanda. Sayangku, cintaku tetep kamu kok," ucapnya mengedipkan sebelah matanya. Satrio merotasikan bola matanya malas."Jangan heran ya Ris. Jangan mual juga. Mereka emang kadang bucinnya kelewatan," tukas Satrio."Gak papa. Itu kan memang wajar bagi pasangan suami istri.""Nah loh. Makanya jangan jomblo mulu. Sana, nikah!""Kampret. Mentang-mentang ya. Kalau saja kemarin Kiara aku culik paling juga udah nangis-nangis," tutur Satrio."Heh! Cari mati?" desahnya kesal.Satrio malah tertawa."Sudah. Katanya mau cek up. Biar aku temani R
Sepeninggal Nina, kehidupan rumah tangga Devan dan Kiara kembali harmonis. Apalagi Rara juga kini sudah sembuh dan kembali bersekolah seperti biasa. Ada Riris yang selalu mengawasi mereka. Dan selama ini Nina tak pernah menampakkan dirinya. Entah masih hidup atau sudah mati wanita itu. Tak ada yang peduli, dan tak ada yang berniat untuk mencari. Yang penting mereka berjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, dengan cara mengawasi sekitar. Takutnya tiba-tiba wanita itu muncul untuk membalas dendam.Kandungan Kiara juga sudah semakin besar. Sekarang menginjak usia tujuh bulan. Saat-saat paling riskan, karena banyak juga ibu hamil yang melahirkan di usia segitu.Kehidupan normal berjalan lancar. Senyum Kiara kini tak henti terukir setiap waktu. Impiannya untuk menjalani kehidupan wanita hamil pada umumnya, kini dia rasakan. Limpahan kasih sayang dari suaminya, anaknya, sahabatnya, dan pokoknya kini semua terasa membahagiakan.Devan pun kini lebih sering berjal
Riris hanya menjagai mereka sampai Devan pulang. Devan juga sekarang pulangnya lebih awal. Kerinduan akan istri dan putri serta calon anaknya lah yang membuatnya selalu kangen rumah.Seperti biasa, setelah Devan datang, Riris langsung berpamitan pulang. Dia wanita yang tangguh. Meski begitu, Devan tak bisa membiarkannya pulang sendiri. Jadi dia menyuruh Satrio untuk mampir menjemput Riris."Gagal," ujar Devan pada Kiara."Maksudnya?" tanya Kiara. Dia menyantolkan jas suaminya ke hanger, lalu duduk di samping Devan dengan mengelus perut buncitnya. Kebiasaan yang akhir-akhir ini kerap tanpa dia sadari. Kebiasaan ibu hamil tua."Iya. Satrio ternyata sudah menyukai wanita lain," tukasnya."Oh, begiut. Ya gimana. Mungkin belum jodohnya kali.""Iya juga sih. Tapi takutnya dokter Sarah sudah terlanjur berharap bagaimana?"Kiara tersenyum. Memijit bahu Devan."Dia akan baik-baik saja. Aku kenal Sarah dengan baik," ujarnya."Semoga saja
"Ma, Rara berangkat dulu," pamit Rara.Devamn juga mendekat dan mencium keningnya. Tak lupa berpamitan dengan baby di perut sang istri."Papa berangkat sayang. Jangan nakalin mama yah," ucapnya. Kiara tersenyum. Melambaikan tangannya, dan memandang mereka hingga menghilang dari pandangan.Setelah itu dia masuk ke dalam. Masih ada waktu beberapa jam sampai menunggu waktu istirahat mereka. Ya, mereka tak bisa izin begitu saja. Jadi harus memanfaatkan waktu yang sedikit itu. Kalau malam hari, pastilah Devan tidak mengizinkannya. Karena itulah mereka pilih siang saja. Meski sebenarnya waktu sempit itu mana cukup untuk obat kangen, tapi tak apalah. Daripada tidak sama sekali.Tapi dia tadi meminta kelonggaran pada suaminya untuk memberi jam tambahan istirahat pada kedua sahabatnya tersebut.Sekarang dia beres-beres rumah dulu.-------Alarm berbunyi mengganggu indera pendengaran. Membangunkan Kiara dari tidur sejenaknya. Dia bergegas beranj