Rara menanting piala dengan raut gembiranya. Pun Dino ikut tersenyum lebar. Ternyata improvisasinya tadi mendapat nilai plus dari para juri. Dan akhirnya membawa keuntungan untuk mereka. Tadi setidaknya itu pencapaian yang bagus untuk anak-anak kecil seperti mereka yang berani mengambil tindakan lebih di situasi terjepit pun. Mereka berfoto-foto ria sebelum kembali ke rumah.
Dalam perjalanan pulang, Rara berceloteh. Eforia kesenangan masih melingkupi dirinya.Sampai di rumah, sudah malam. Akhirnya mereka langsung mandi dan beristirahat tanpa sempat mengintip menu makan malam. Lagipula dalam perjalanan pulang tadi mereka sudah mampir makan dengan rombongan.Dan jika sudah sampai di rumah seperti ini, sifat dingin Kiara kembali.-----Di dalam kamarnya, Kiara melihat-lihat poto hasil bidikan tadi. Tangannya mengusap salah satu foto yang menampilkan keluarga kecil mereka.Mereka kelihatan seperti keluarga bahagia bukan? Senyum lebar Rara, j"Kamu...."Kiara menatap Satrio tak percaya.Satrio mengangguk."Aku memang salah dari awal. Obsesiku untuk mendapatkanmu membuatku lupa diri. Aku terpengaruh dengan rencana Nina. Karena itu aku menyetujuinya.Tapi, akhir-akhir ini aku sadar. Dia wanita gila. Kalau saja aku menurutinya, sama saja aku gila. Semenjak itu aku berfikir, dan mulai keluar dari jalur rencana gilanya."Kiara menggenggam ponsel itu dengan gemuruh di dadanya menahan marah dan kesal sekaligus merasa terhianati. Selama ini dia percaya dengan Satrio. Tapi...."Aku akui aku salah, Ra. Aku minta maaf. Terserah kau mau membenciku, aku tak apa. Tapi, aku mohon pertahankan pak Devan. Aku tidak tahu apa yang di lakukan wanita licik itu. Tapi aku tahu, kalau ada apa-apa, itu hanya bagian dari akal bulusnya. Tetaplah bertahan dengan pak Devan."..Kiara melangkah lunglai. Tadi dia diantar Satrio kembali ke sekolah Rara. Melihat fakta baru yang di ketahuinya, membuatnya bimb
Sekitar setengah jam kemudian, sampai juga di rumah Kiara."Ayo, masuk dulu pokoknya," ujar Kiara.Mereka melangkah masuk."Ya begini, rumahnya Devan. Hehe," tukas Kiara."Ini mah bagus banget. Nyaman lagi," ucap Tasya. Kiara tersenyum. "Duduk dulu, aku ke belakang dulu ya."Tasya mengangguk."Sayang ganti baju dulu, yuk," ajak Kiara"Iya ma."Rara berlari kecil ke kamarnya. Dan Kiara ke belakang mengambilkan minuman dingin juga cemilan."Silakan diminum. Adanya begini. Hehe," ujarnya dan meletakkan gelas di depan Tasya dan Dino."Haduh, malah repot-repot.""Gak repot. Orang sudah ada kok."Tak lama Rara turun membawa Chimmy dan kucing tersayangnya, Shooky."Dino, sini mainan kucing. Ini kucing aku," ujarnya semangat.Dino yang notabene penyuka hewan, langsung bergegas menghampiri Rara. Mereka bermain dengan hewan lucu itu di bawah."Seneng ya, lihat anak-anak juga akur. Jadinya
Darimana saja kamu."Kiara menatap tajam ke arah Nina yang sedang di dapur, mencari makan. Dia langsung menemui Nina, karena teringat dengan ide gila Nina pada dirinya dan Devan. Rara sendiri langsung mandi di atas.Nina mendengkus. Menatap remeh pada wanita di depannya."Bukan urusanmu," ketusnya, menyahuti wanita yang sempat menjadi nyonyanya tersebut.Kiara menyeringai tipis."Siapa bilang itu bukan urusanku? Ini rumah suamiku. Dan kamu? Ch! Cuma penumpang!" "Siapa bilang? Sebentar lagi aku jadi nyonya disini? Kau tidak lihat perutku hah!" bentaknya balik."Yakin? Itu benihnya Devan? Bukan benih dari pria yang kau tiduri di club malam itu?" Kiara maju beberapa langkah. Menatap tajam pada Nina yang justru malah menatapnya balik."Hey! Wanita munafik. Tidak usah lah lagi berpura-pura. Aku tahu semuanya. Aku tahu rencana busukmu dengan membujuk Satrio. Aku juga tahu kau mengajak dia melakukan hal menjijikkan itu dem
Devan merebahkan hati-hati tubuh Nina ke ranjang. "Mana yang sakit?" tanya Devan."Kakiku ... ahh!"Devan beralih ke kaki Nina."Disini?" tanyanya memegang pergelangan kaki Nina."Iya. Aaw! sakit!" pekiknya.Devan hati-hati sekali memijit pergelangan kaki Nina. Nina tersenyum kecil. Dia sengaja berpura-pura jatuh saat melihat Devan tadi. Sengaja karena dia tahu Kiara pasti akan mendekati Devan lagi. Karena itu dia membuat rencana supaya wanita rivalnya itu merasakan sakit hati. Tepat saat dia lihat Kiara membuka pintu, tepat itu pula dia menjatuhkan dirinya. Pura-pura terkilir.Dan melihat wajah syok Kiara tadi, membuatnya merasa puas."Masih sakit?"Nina tersadar dari lamunannya. Pura-pura kesakitan lagi."Masih ...aaa ... sakit, Van," rengeknya."Aku kompres air hangat ya?"Nina menggeleng."Jangan. Disini saja. Temani aku.""Tapi,""Hiks ... hiks ... sakit."Devan menghela napas. B
Sebelum mentari terbit, Kiara sudah bangun. Bergegas mandi membersihkan diri. Memberesi tempat tidurnya sendiri, dan barulah dia berkutat di dapur.Sengaja dia bangun pagi-pagi sekali, karena malas di ganggu oleh Nina. Lebih baik cepat membuat sarapan, sehingga nanti tinggal pergi. Urusan rumah kan ada Nina yang seharusnya mengerjakan.Bi Tinah belum juga kembali. Suaminya sedang sakit. Dan beliau pulang untuk merawat suaminya yang juga sudah renta. Sebenarnya kasihan juga melihatnya, di usia yang sudah berkepala lima, seharusnya bi Tinah istirahat saja. Tapi dia juga tak bisa menghakimi. Mungkin ada alasan lain yang membuat bi Tinah masih bekerja disini. Karena wajar saja sih, beliau saja yang merawat Devan dari kecil. Berarti memang sudah cukup lama mengabdi di keluarga ini. Kesibukan di dapur, suara memasak, aroma sedap yang menguar, nyatanya tak cukup ampuh untuk membangunkan seisi rumah. Jadilah sampai Kiara selesai masak, tetap saja tak ada yan
Kiara mendandani Rara. Menyisir rambut panjang lurus tersebut. Membaginya menjadi dua bagian, lalu menguncirnya. Sementara si Pria duduk manis menatap interaksi ibu dan anak tersebut."Nah, anak mama udah cantik," puji Kiara. Rara tersenyum menatap pantulan dirinya dari cermin besar."Iya dong. Mama kan juga cantik. Papa juga ganteng," ujarnya menimpali.Devan tertawa, menghampiri sang istri untuk meminta gilirannya."Kenapa?" kernyitnya."Gantian dong sayang. Aku juga kan mau di dandani," ucapnya mengerlingkan mata. Melihatnya, Kiara mendengkus."Haha... papa nih ikut-ikutan aja," sela Rara."Iya dong sayang. Harus," ucapnya, mengerdipkan mata mengkode Rara untuk pindah tempat."Pakai sendiri, bisa kan?" dengkus Kiara malas.Devan menggeleng, menunjuk kemejanya yang bahkan belum dia kancingkan."Ck. Manjanya. Yang hamil siapa, yang manja siapa," gumamnya lirih, saking lirihnya, yang di dengar Devan hanya gumaman tak j
Sepanjang perjalanan, wajah Kiara tertekuk, dia terlihat sangat kesal. Bahkan Rara tak berani berbicara dengan mamanya. Baru kali ini dia melihat mamanya marah. Seumur-umur dia tidak pernah melihat Kiara semengerikan ini. Jadi dia sangat takut. Dia tidak tahu kesalahannya, tapi dia merasa kemarahan mamanya ada hubungannya dengan dirinya. Buktinya mamanya sedari tadi tak mengajaknya mengobrol.Suasana di dalam mobil benar-benar hening. Hanya deru halus yang tak terasa dari gesekan ban dengan aspal.Devan juga merasa, bodohnya, sudah tahu Kiara tak suka dengan Nina, malah dia memanggil Nina untuk bergabung makan. Aish! Lagi-lagi dia merusak kehangatan keluarga kecilnya yang baru saja kembali hangat.Sesekali ekor matanya melirik wanita itu dari kaca spion depan. Menghela napas berat saat melihat Kiara masih bergeming. Dia memang duduk di samping Rara, tapi lihatlah, pandangannya justu ke arah luar kaca mobil.Di lihatnya Rara yang takut-takut menjulurkan
Devan benar menurunkan Kiara di pertigaan sesuai permintaannya. Bukan karena dia tidak peduli, dia hanya tidak ingin memperunyam masalah. Tapi jangan salah, dia mengawasi Kiara dari kejauhan. Dan setelah melihat Kiara di jemput pria yang di kenalnya, barulah dia melanjutkan perjalanannya ke kantor. Lagipula dia pikir, mungkin Kiara butuh seseorang untuk berbicara.----"Kok, elo Nad? Taki mana?" tanya Kiara. Terang saja dia heran. Karena dia tadi menghubungi Taki, bukan Nadia, tapi justru Nadia lah yang datang.Nadia mengangguk."Bagian dari rencana," ujarnya."Maksud lo?" Kiara mengernyit tak faham."Iya. Taki yang nyuruh gue. Dia tahu, pasti Devan akan ngawasin lo, jadi dia nyuruh gue buat minta izin sama pak Devan untuk nemuin elo. Dan untung aja pak Devan mengizinkan."Kiara menarik napas panjang."Haish. Terserah kalian lah. Gue tidak ikut resiko kalau Devan tahu gue malah nemuin Taki," ujarnya."Hey.. hey... tenang saja. Pak Devan