Sebelum mentari terbit, Kiara sudah bangun. Bergegas mandi membersihkan diri. Memberesi tempat tidurnya sendiri, dan barulah dia berkutat di dapur.
Sengaja dia bangun pagi-pagi sekali, karena malas di ganggu oleh Nina. Lebih baik cepat membuat sarapan, sehingga nanti tinggal pergi. Urusan rumah kan ada Nina yang seharusnya mengerjakan.Bi Tinah belum juga kembali. Suaminya sedang sakit. Dan beliau pulang untuk merawat suaminya yang juga sudah renta. Sebenarnya kasihan juga melihatnya, di usia yang sudah berkepala lima, seharusnya bi Tinah istirahat saja. Tapi dia juga tak bisa menghakimi. Mungkin ada alasan lain yang membuat bi Tinah masih bekerja disini. Karena wajar saja sih, beliau saja yang merawat Devan dari kecil. Berarti memang sudah cukup lama mengabdi di keluarga ini.Kesibukan di dapur, suara memasak, aroma sedap yang menguar, nyatanya tak cukup ampuh untuk membangunkan seisi rumah.Jadilah sampai Kiara selesai masak, tetap saja tak ada yanKiara mendandani Rara. Menyisir rambut panjang lurus tersebut. Membaginya menjadi dua bagian, lalu menguncirnya. Sementara si Pria duduk manis menatap interaksi ibu dan anak tersebut."Nah, anak mama udah cantik," puji Kiara. Rara tersenyum menatap pantulan dirinya dari cermin besar."Iya dong. Mama kan juga cantik. Papa juga ganteng," ujarnya menimpali.Devan tertawa, menghampiri sang istri untuk meminta gilirannya."Kenapa?" kernyitnya."Gantian dong sayang. Aku juga kan mau di dandani," ucapnya mengerlingkan mata. Melihatnya, Kiara mendengkus."Haha... papa nih ikut-ikutan aja," sela Rara."Iya dong sayang. Harus," ucapnya, mengerdipkan mata mengkode Rara untuk pindah tempat."Pakai sendiri, bisa kan?" dengkus Kiara malas.Devan menggeleng, menunjuk kemejanya yang bahkan belum dia kancingkan."Ck. Manjanya. Yang hamil siapa, yang manja siapa," gumamnya lirih, saking lirihnya, yang di dengar Devan hanya gumaman tak j
Sepanjang perjalanan, wajah Kiara tertekuk, dia terlihat sangat kesal. Bahkan Rara tak berani berbicara dengan mamanya. Baru kali ini dia melihat mamanya marah. Seumur-umur dia tidak pernah melihat Kiara semengerikan ini. Jadi dia sangat takut. Dia tidak tahu kesalahannya, tapi dia merasa kemarahan mamanya ada hubungannya dengan dirinya. Buktinya mamanya sedari tadi tak mengajaknya mengobrol.Suasana di dalam mobil benar-benar hening. Hanya deru halus yang tak terasa dari gesekan ban dengan aspal.Devan juga merasa, bodohnya, sudah tahu Kiara tak suka dengan Nina, malah dia memanggil Nina untuk bergabung makan. Aish! Lagi-lagi dia merusak kehangatan keluarga kecilnya yang baru saja kembali hangat.Sesekali ekor matanya melirik wanita itu dari kaca spion depan. Menghela napas berat saat melihat Kiara masih bergeming. Dia memang duduk di samping Rara, tapi lihatlah, pandangannya justu ke arah luar kaca mobil.Di lihatnya Rara yang takut-takut menjulurkan
Devan benar menurunkan Kiara di pertigaan sesuai permintaannya. Bukan karena dia tidak peduli, dia hanya tidak ingin memperunyam masalah. Tapi jangan salah, dia mengawasi Kiara dari kejauhan. Dan setelah melihat Kiara di jemput pria yang di kenalnya, barulah dia melanjutkan perjalanannya ke kantor. Lagipula dia pikir, mungkin Kiara butuh seseorang untuk berbicara.----"Kok, elo Nad? Taki mana?" tanya Kiara. Terang saja dia heran. Karena dia tadi menghubungi Taki, bukan Nadia, tapi justru Nadia lah yang datang.Nadia mengangguk."Bagian dari rencana," ujarnya."Maksud lo?" Kiara mengernyit tak faham."Iya. Taki yang nyuruh gue. Dia tahu, pasti Devan akan ngawasin lo, jadi dia nyuruh gue buat minta izin sama pak Devan untuk nemuin elo. Dan untung aja pak Devan mengizinkan."Kiara menarik napas panjang."Haish. Terserah kalian lah. Gue tidak ikut resiko kalau Devan tahu gue malah nemuin Taki," ujarnya."Hey.. hey... tenang saja. Pak Devan
"Sebenarnya gue sedari tadi penasaran. Dodi yang kalian maksud siapa sih? Kok namanya gak asing yah..." tanya Nadia."Dia teman kita juga. Maksudku temanku sama Devan. Dia yang dulu sempat menyukai Devan," jelas Taki."Hah? Dodi cowok kan?"Taki mengangguk."Benar, tapi ada sesuatu yang membuatnya akhirnya mengalami penyimpangan seksual."Nadia terdiam. Pasti bukan Dodi pacarnya. Karena setahunya, Dodi normal kok. Buktinya mereka sempat berpacaran beberapa bulan. Mereka juga sempat bertukar saliva. Bukankah itu menandakan Dodi itu normal. Bahkan Dodi pernah mengajaknya melakukan itu, tapi dia tolak. Dia tidak mau melakukannya sebelum mereka resmi menikah. Kalau sebatas kissing, baiklah. Masih bisa dia maklumi, meski sebenarnya tak pantas juga.Ah, pokoknya itu bukan Dodinya, eh Dodi mantannya maksudnya."Kasihan sekali dia," desisnya ikut prihatin.Taki tersenyum tipis. Mereka melanjutkan menikmati pesanan tanpa mengobrol lagi. Tak
Jernihnya air kolam renang memantulkan langit yang mulai senja. Angin yang semula menyegarkan kini berubah terasa dingin.Sudah satu setengah jam Kiara melamun di pinggir kolam. Dulu dia sering menghabiskan waktu disini bersama Devan. Tapi kini, jangankan menghabiskan waktu berdua, bertemu saja rasanya canggung.Jangan dikata dia tidak rindu, dia sangat merindukan momen-momen kebersamaannya dengan Devan. Pria yang menaklukannya dengan cara yang aneh, membuatnya jatuh cinta dengan caranya yang berbeda.Bibirnya mengulum senyum saat teringat saat pertama kali bertemu Devan. Dirinya yang sering terlambat. Sering mendapat omelan dari Devan yang super dingin yang pada akhirnya gantian dia yang mengomel di belakang pria itu.Pernikahan awal mereka yang sebatas kontrak, namun berakhir dengan saling jatuh cinta.Ah, jalan cinta memang tak dapat di duga. Dan ternyata tali penghubung itu adalah Rara, yang dia pikir putri Devan dengan istrinya terdahulu, ternyata putrinya sendiri. Jadi, sebenarny
Devan menggotong Nina. Meletakkannya di lantai dengan hati-hati. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Dia menekan perut Nina berkali-kali, mencoba mengeluarkan air yang sempat terminum. Entah beneran atau pura-pura, yang jelas saat ini Nina tergeletak pingsan.Devan membungkuk, memberinya napas buatan. Lalu menekan perut Nina lagi. Sampai beberapa kali, barulah Nina terbatuk-batuk. Dia akhirnya sadar."De-Devan ...." ucapnya lirih. Devan menghela napas lega. Dia terduduk di samping Nina. Menatap kecewa pada Kiara yang tetap mematung di posisinya. Meski dia tahu, Kiara benci Nina, tapi tidak seharusnya dengan bermain nyawa. Itu keterlaluan."Apa kau berniat membunuhnya?" ucapnya dingin namun tajam."Bu-bukan aku, Van. Aku gak tahu, dia jatuh sendiri," elak Kiara"Jatuh sendiri? Lalu yang aku lihat tadi apa? Aku melihatnya, Ra. Please, tolong ... Berfikirlah tenang. Jangan gegabah."Kiara menunduk, menahan tangisnya. Sungguh, meski Devan tidak membentaknya, tapi dari nada bicara dan auran
Mata Kiara membengkak. Dia sedari tadi tak henti menangis. Sakit hatinya mendengar bentakan Devan, lebih sakit dari perkataan kasar Nina kepadanya selama ini. Ditambah kondisinya yang sedang berbadan dua membuat moodnya semakin mudah jatuh."Percuma aku mempertahankanmu kalau kamu lebih memilih dia. Aku tak tahan lagi. Terserah. Aku tidak akan peduli denganmu lagi," ucapnya di sela isak tangisnya. Hatinya terlanjur sakit dan kecewa. Padahal saat ini dia sedang hamil juga. Tapi bisa-bisanya Devan membandingkan dirinya dengan wanita munafik itu.Kiara memasukkan baju-baju pentingnya di koper. Juga potonya pernikahannya. Memejamkan mata tak berani memandangnya. Dia sudah memutuskan akan pergi dari rumah ini. Untuk apa bertahan saat orang yang diandalkan saja sudah tak percaya padanya.Dengan gerakan pelan, dia mengambil kado yang dulunya akan dia berikan pada Devan. Air matanya kembali menderas. Memeluk erat benda tersebut."Sia sia. Aku kira kebahagiaan akan mengalir setelah aku mengaba
Satrio mengambilkan handuk kering untuk Kiara."Gantilah dulu bajumu. Nanti sakit," ucap Satrio. Kiara menerimanya dengan lemah. Membuka kopernya dan mengambil pakaiannya lalu beranjak ke kamar mandi.Tidak sampai sepuluh menit, Kiara keluar lagi. Menyerahkan handuk itu pada Satrio."Sudah. Pakai saja," ucapnya. Wanita itu mengangguk. Menundukkan kepala."Istirahatlah dulu. Besok baru katakan, apa yang terjadi."Wanita itu mengangguk lagi. Satrio tersenyum, dia lalu beranjak hendak keluar."Sat," panggilnya lirih.Satrio menghentikan langkahnya. Menoleh."Ada apa?""Bolehkah sementara aku tinggal disini?"Satrio terdiam. Dia bimbang."Devan?"Kiara menggeleng lemah."Jangan pikirkan dia. Dia tidak akan peduli. Dia tidak akan mencariku lagi," ucapnya getir.Satrio menghela napas. Benar dugaannya. Ini pasti kelakuan Nina. Sungguh keparat wanita itu. Satrio menatap tak tega pada Kiara. Perasaannya berubah menjadi rasa sayang yang layak."Aa... ka-kalau tak boleh juga gak papa. Biar besok