Bab62
Malamku sepi, aku tidur meringkuk. Kuusap lembut bantal di sampingku. Tempat Emilia terlelap biasanya.
Kembali aku menangis, membayangkan wajah lucu anakku. Suara cadelnya, juga ocehan ketika dia marah dan merajuk. Aku rindu, aku sangat rindu anakku.
Kupeluk bantal, yang biasanya dia gunakan, kuciumi dengan lembut, mencoba menghirup aroma tubuh anakku, yang tertinggal di bantal itu.
Ya Allah, mengapa rasanya begitu banyak orang yang kusayangi meninggalkanku? Rasanya hidupku sekarang semakin sepi.
Aku menangis sesegukan, melawan malam yang menyakitkan, bahkan aku kesulitan untuk terlelap.
Langit-langit kamar yang biasanya membawaku ke alam hayalan, kini terlihat semakin menyakitkan. Bayangan ocehan anakku, kembali berputar diingatan.
"Ma, coba lihat keatas, Papa pasti sedang memandangi kita," ucapnya saat itu. Dan reaksiku tidaklah baik, aku marah padanya.
"Jangan terus menyebut orang yang telah tiada. Lebih baik Emil tidu
Bab63"Ken, sudahlah," tegur Bu Soraya.Kentaka si galak itu pun pergi. Dan Bi Nam yang di maksud tadi, pun juga sudah datang menghampiri kami.Sedangkan preman jahat itu, pamit undur diri, dan melanjutkan kembali tugas barunya.Bi Nam membawaku masuk ke istana megah itu. Istana dengan dalamnya gaya eropa itu, sangat membuatku terkagum-kagum dengan semua ini.Seumur-umur, ini pertama kalinya aku melihat langsung barang-barang mewah import, yang terpajang di beberapa sudut ruangan bernuansa putih terang ini."Namanya siapa?" tanya Bi Nam, saat kami terus melangkah, menuju kamar tujuan."Karin, Bi," jawabku."Oh, ok. Panggil saya, Bi Nam."Aku mengangguk."Sesuai intruksi Tuan rumah, hari ini kamu bebas kerja dan bereskan kamarmu sendiri. Setelah setelah, kamu nanti akan kuajak pengenalan area kerja. Tapi untuk sekarang, kamu bisa istirahat dan keluar temui aku, di jam 15.30 wib.""Baik, Bi.
Bab64Semula kupikir tidak begitu rumit. Mereka terlihat begitu ramah dan baik . Namun menelisik dari peraturan yang Bi Nam katakan, aku merasa, rumah ini sangat tidak beres."Kamu di sini untuk bekerja. Jadi, kerjakan sesuai perintah, dan jangan coba-coba melanggar larangannku," tegas Bi Nam dengan tatapan dingin tak bersahabat.Aku mengangguk dengan ekspresi pasrah. Melawan pun tidak mungkin, jadi kuputuskan untuk mengikuti ucapan Bi Nam.Pagi hari, selesai salat subuh, aku bergegas keluar kamar, dan mengerjakan pekerjaanku."Kamu bikin sarapan apa?" tanya suara berat, yang berasal dari pintu dapur.Lelaki berpandangan dingin itu, menatap tajam ke arahku yang tengah sibuk memotong sayuran."Bubur Manado," sahutku lembut."Ganti, aku nggak suka bubur," titahnya.Aku menghela napas berat."Lalu mau sarapan apa?" tanyaku."Jangan tanya aku, pikir sendiri," jawabnya, sambil berlalu dari daun pintu.Aku
Bab65Maya akhirnya pun duduk, masih terlihat nampak gelisah."Maya, jika kamu melanggar larangan saya. Maka, kamu tanggung sendiri akibatnya," tegas Bi Nam.Hal itu, tentu saja membuatku semakin penasaran. Begitu juga dengan Maya. Meskipun dia terlihat diam, namun nampak sekali dia gelisah._____Terdengar bunyi ketukan pintu kamar, ketika kami sudah masuk ke dalam kamar masing-masing.Di rumah ini, tidak ada yang boleh satu kamar.Aku beranjak dari dudukku, dan berjalan pelan menuju daun pintu kamar.Kutarik gagang perlahan, dan membuka pintu."Ada apa?" tanyaku, pada Maya, yang berdiri di depanku kini.Mata Maya menyapu sekitar dengan liar."Boleh masuk?" tanyanya.Aku mengangguk, dan Maya pun masuk ke dalam.Aku menutup kembali daun pintu, dan Maya memintaku menguncinya.Aku pun mengiyakan saja, melihat gelagat Maya, sepertinya ada yang membuatnya takut."Ada apa?" tanyak
Bab66Aku membuka mata, rasanya kepala ini masih pusing.Kulihat di sekitar, ada Bi Nam, yang berdiri, tidak jauh dariku berbaring."Bibi," pekikku sangat terkejut, sebab wajahnya begitu datar melihatku."Cepat masak! Kamu kesiangan," ucapnya dengan dingin."Bi, jelaskan kepadaku, ada apa dengan orang di rumah ini," pintaku, sembari bangkit dari rebahan.Kepalaku sangat sakit masih."Diam dan lanjutkan pekerjaanmu seperti biasa," sahut Bi Nam sambil berjalan menuju keluar kamar. "Jika kamu ingin selamat," lanjutnya lagi, ketika membuka daun pintu.Aku pun terdiam, tidak memiliki keberanian lebih, untuk melanjutkan pertanyaanku.Diri ini semakin merasa was-was dan gugup. Aku bergegas menuju dapur, untuk menyiapkan sarapan.Kusapu sekeliling, tidak ada Maya. Kemana dia? Apakah Maya di bunuh malam tadi? Ya Allah, aku benar-benar culas dan penakut.Aku memilih lari, padahal Maya membutuhkan bantuanku.Apa
Bab67"Karin," serunya. "Kamu tahu, memasuki rumahku ini, seperti memasuki lubang kematian."Aku panas dingin, bahkan tanganku gemeter hebat, mendengar perkataannya."Tolll---ong. Aku, aku pengen pulang," lirihku mengiba.Lelaki itu bangkit dari duduknya, dan berjalan ke arahku, dengan kedua tangannya, dia masukkan ke dalam kantong celana.Kentaka duduk di depanku, menatapku dengan lekat."Kamu tahu, sudah banyak yang jadi korban di rumah ini," ungkapnya dengan senyum menyeringai.Aku diam, tidak berani berkata apapun, aku takut menyinggungnya."Tidak ada satupun dari mereka, yang lolos dari kematian," lanjutnya, masih dengan tatapan, yang sulit aku jelaskan."Kejam," gumamku.Lelaki itu tertawa, melihatku ketakutan, seperti kesenangan baginya."Aku seorang Ibu, tolong lepaskan aku, putri kecilku, pasti kini merindukanku," ucapku pelan."Kamu punya anak?"Aku mengangguk."Dimana d
Bab68Bunyi telepon Bu Soraya terdengar, dia pun nampak menjawab panggilan telepon tersebut.Aku menajamkan pendengaran, untuk menggali informasi lebih lanjut."Ada apa? Puas kamu meneror keluargaku?" teriak Bu Soraya.Namun, suara si penelpon terdengar seperti di loudspeaker. Apa mungkin, Bu Soraya sedang melakukan panggilan video call?"Hahaha .... bagaimana rasanya? Apakah kamu bahagia, setelah berhasil merusak rumah tanggaku?""Aku tidak merusaknya, Suamiku sendiri, yang memang lebih memilih aku.""Tentu saja, itu karena kamu daun muda. Dan kamu pikir, aku harus berlapang dada? Oh tidak! Kamu salah baby. Aku, pendendam."Aku bergidik ngeri, mendengarkan suara tawa berderainya."Brengsek! Aku akan balas perbuatan kamu!" teriak Bu Soraya, sembari membanting keras gawainya, ke lantai hingga hancur lebur.Aku menutup mulut, melihat emosi Bu Soraya yang meledak."Dasar keluarga kacau," batinku.
Bab69"Kamu tidak akan bisa keluar, dari rumah ini. Dibawah banyak penjaga!" seru Bu Soraya.Aku terdiam, melihat dari jendela, pagar tinggi raksasa itu, bagaimana bisa aku melewatinya.Dan di pos Satpam, terlihat beberapa penjaga, aku pasti tidak bisa keluar begitu saja.Aku mengunci pintu, dan mendekati Ibu Soraya."Bu, tolong! Saya mau keluar dari sini," pintaku dengan mengiba.Bu Soraya memandangiku."Kepalaku sangat sakit. Kamu, menyakitiku."Aku terdiam."Kamu pikir, aku mudah memaafkan?" ucapnya, memandangiku dengan tatapan sengit."Maafkan saya!" kataku, dengan wajah mengiba."Aku bukan orang yang mudah pingsan. Kamu tahu, tadi itu Ken. Anak yang biasa diam dan tidak banyak bicara."Mengapa arah pembicaraan ini serasa tidak nyambung?Tapi aku tetap memilih diam."Ken memiliki kepribadian ganda. Ken juga memiliki kembaran, namun itu, halusinasi Ken saja. K
Bab70"Ada apa?" tanyaku heran, melihat Hanung memutar balik kendaraannya.Hanung tidak menyahutku.Nampak Bu Daung berkacak pinggang, melihat ke arah kami dengan tatapan penuh kebencian.Motor Hanung berhenti, tepat di dekat Bu Daung berdiri."Turun," titah Hanung kepadaku.Melihat ekspresi Hanung yang nampak marah, aku pun turun tanpa suara."Sombong sekali kamu, Karin," bentak Bu Daung.Aku masih diam, dan tidak mau menatap Bu Daung.Hanung memarkirkan motornya, kemudian berjalan ke arah Bu Daung."Ada masalah apa?" tanya Hanung dengan wajah datar, kepada Bu Daung."Siapa kamu? Lelaki pengejar janda?" ejek Bu Daung. Membuat darahku, rasanya kini mendidih."Minta maaf pada Karin," titah Hanung dengan tegas.Bu Daung melipat kedua tangannya dengan tatapan wajah yang angkuh."Memangnya dia siapa? Jadi saya harus minta maaf. Lagi pula, yang saya katakan itu nggak ada yang salah."