Bab68
Bunyi telepon Bu Soraya terdengar, dia pun nampak menjawab panggilan telepon tersebut.
Aku menajamkan pendengaran, untuk menggali informasi lebih lanjut.
"Ada apa? Puas kamu meneror keluargaku?" teriak Bu Soraya.
Namun, suara si penelpon terdengar seperti di loudspeaker. Apa mungkin, Bu Soraya sedang melakukan panggilan video call?
"Hahaha .... bagaimana rasanya? Apakah kamu bahagia, setelah berhasil merusak rumah tanggaku?"
"Aku tidak merusaknya, Suamiku sendiri, yang memang lebih memilih aku."
"Tentu saja, itu karena kamu daun muda. Dan kamu pikir, aku harus berlapang dada? Oh tidak! Kamu salah baby. Aku, pendendam."
Aku bergidik ngeri, mendengarkan suara tawa berderainya.
"Brengsek! Aku akan balas perbuatan kamu!" teriak Bu Soraya, sembari membanting keras gawainya, ke lantai hingga hancur lebur.
Aku menutup mulut, melihat emosi Bu Soraya yang meledak.
"Dasar keluarga kacau," batinku.
Bab69"Kamu tidak akan bisa keluar, dari rumah ini. Dibawah banyak penjaga!" seru Bu Soraya.Aku terdiam, melihat dari jendela, pagar tinggi raksasa itu, bagaimana bisa aku melewatinya.Dan di pos Satpam, terlihat beberapa penjaga, aku pasti tidak bisa keluar begitu saja.Aku mengunci pintu, dan mendekati Ibu Soraya."Bu, tolong! Saya mau keluar dari sini," pintaku dengan mengiba.Bu Soraya memandangiku."Kepalaku sangat sakit. Kamu, menyakitiku."Aku terdiam."Kamu pikir, aku mudah memaafkan?" ucapnya, memandangiku dengan tatapan sengit."Maafkan saya!" kataku, dengan wajah mengiba."Aku bukan orang yang mudah pingsan. Kamu tahu, tadi itu Ken. Anak yang biasa diam dan tidak banyak bicara."Mengapa arah pembicaraan ini serasa tidak nyambung?Tapi aku tetap memilih diam."Ken memiliki kepribadian ganda. Ken juga memiliki kembaran, namun itu, halusinasi Ken saja. K
Bab70"Ada apa?" tanyaku heran, melihat Hanung memutar balik kendaraannya.Hanung tidak menyahutku.Nampak Bu Daung berkacak pinggang, melihat ke arah kami dengan tatapan penuh kebencian.Motor Hanung berhenti, tepat di dekat Bu Daung berdiri."Turun," titah Hanung kepadaku.Melihat ekspresi Hanung yang nampak marah, aku pun turun tanpa suara."Sombong sekali kamu, Karin," bentak Bu Daung.Aku masih diam, dan tidak mau menatap Bu Daung.Hanung memarkirkan motornya, kemudian berjalan ke arah Bu Daung."Ada masalah apa?" tanya Hanung dengan wajah datar, kepada Bu Daung."Siapa kamu? Lelaki pengejar janda?" ejek Bu Daung. Membuat darahku, rasanya kini mendidih."Minta maaf pada Karin," titah Hanung dengan tegas.Bu Daung melipat kedua tangannya dengan tatapan wajah yang angkuh."Memangnya dia siapa? Jadi saya harus minta maaf. Lagi pula, yang saya katakan itu nggak ada yang salah."
Bab71Kini, Karin tinggal bersama keluarga Hanung. Di tempat baru itu, dia menemukan kehangatan keluarga.Meskipun setiap malam, hatinya gundah dilanda gelisah. Rindu pada anak semata wayang, terus menggerogoti hatinya.Hanung mencuri pandang kearah Karin, yang kadang terlihat diam, seakan wajah cantiknya itu menanggung beratnya beban.Hanung tahu, tidak mudah menjadi Karin. Semua yang dia lewati, bukanlah masalah sepele, bahkan, nyawanya nyaris jadi taruhan."Karin, apakah kamu betah tinggal di sini?" tanya Hanung, ketika dia usai pulang tugas, dari luar kota.Karin mengulas senyum. "Alhamdulilah, aku betah dan nyaman di rumah ini. Tapi, aku merindukan Bapak dan anakku," ungkap Karin.Wanita itu menarik napas berat."Seminggu lagi, acara pernikahan Tania dan Raka. Setelah mereka menikah, aku akan mengantar kamu ke kampung Bapakmu.""Benar?""Iya, tapi bukan untuk mengembalikan kamu. Melainkan, untuk meminta
Bab72Sutina membuang pandang."Tolong jangan begini," pinta Raka.Tania hanya terdiam, dengan semua perlakuan mertuanya. Sudah biasa baginya, dituduh seperti ini.Sutina pergi dari rumah kontrakan Raka, dengan perasaan teramat kesal."Bu, kok nggak minta uang tabungan Kakak? Nanti dihabiskan lagi oleh Tania," bisik Rina, ketika mereka berada di luar rumah kontrakan Raka.Raka dan Tania, masih berdiri di muara pintu, menatap kedua wanita, yang tadinya membuat rusuh makan malam mereka."Besok kita kesini lagi, saat kakakmu berangkat kerja," ucap Sutina.Mereka pun menaiki taksi, dan menuju pulang ke rumah.Kedua perempuan licik itu, kini mulai menyusun strategi, untuk merebut uang tabungan Tania.Pagi itu, ketika Raka sudah berangkat kerja, mereka pun masuk langsung, ke dalam kontrakan itu."Tania, mana uang tabungan Raka?" tanya Sutina, sembari menengadahkan tangannya.Tania yang barusan me
Bab73Karin terus memberikan semangat untuk Tania.Beruntungnya, Tania begitu patuh pada Karin, dan selalu mengikuti nasehatnya.Hingga kebahagiaan itu ada, Tania hamil, tepat ketika Raka, menerima kenaikan gaji."Apa, kamu hamil?" pekik Raka, ketika melihat garia dua, di testpack yang Tania perlihatnya.Kedua sejoli itu pun berpelukan penuh kasih sayang dan kebahagiaan."Alhamdulilah, Allah mengabulkan doa-doaku," ucap Tania, yang berada di dalam pelukan Raka."Iya sayang, akhirnya, kebahagiaanku kini lengkap," ungkap Raka.Pancaran kebahagiaan, terlihat jelas di kedua bola matanya.Tania pun berulang kali berucap sukur, atas semua kebahagiaan ini.Sedangkan Sutina yang mengetahui kabar ini dari Raka, bersikap biasa saja. Padahal, dia selalu mendesak Tania.Bukan karena ingin menimang cucu, hanya ingin membuktikan ke orang-orang. Bahwa, mereka berdua tidak mandul.______"Akhirnya, se
Bab74"Tania, sudah belum masaknya?" teriak Sutina, Raka yang semula terlelap, jadi terkejut. Suara Sutina mampu menembus dinding tembok kamar mereka.Raka pun bangkit dari peraduan, berjalan gontai menuruni anak tangga."Tania, kamu kok lelet banget sih masaknya!" celetuk Sutina. Sedangkan si bayi, masih digendong Rina."Bu, mending bantuin Tania, dari pada teriak-teriak," tegur Adam.Wajah Sutina mencebik."Bu, cepetan dong! Aku sudah nggak betah gini gendong nih bayi. Dia enak tidur, tanganku yang pegal." Rina berseru dengan kesal."Bentar. Ini nih Tania, nggak becus amat di lsuruh masak. Lelet, Ibu sudah sangat lapar," jawab Sutina dengan suara berteriak dari dapur."Kamu jadi perempuan kayak siput begini, bagaimana ngurus anak dan suami?" bentak Sutina lagi.Tania tetap diam, berusaha menguatkan diri, memotong beberapa sayuran, dengan kepala yang teramat pusing.Raka pun berjalan menuju dapu
Bab75Aku menghela napas berat, memandangi sejenak wajah Tania yang nampak acuh tak acuh."Raka, dibawah ada tamu," ucap Adam, yang masuk ke dalam kamar mereka.Kamar yang masih terbuka lebar itu pun, Raka tutup, ketika mengekor Adam kelantai bawah, menemui tamu yang datang."Ibu ...." Raka berseru, dengan sumringah, dia pun mencium punggung tangan mertuanya.Hanung dan Karin pun ikut datang, bersama dengan anak mereka juga."Ayo ke atas! Tania lagi di kamar bersama bayi kami," ucap Raka."Tania harus istirahat kali, Raka. Masa, kamu ajak mereka ke atas," ucap Sutina dengan wajah sinis."Bu, mereka datang jauh-jauh, pastilah ingin melihat Tania dan anak kami.""Halah, alasan saja, ntar paling minta duit," cibir Sutina."Bu, jangan keterlaluan kamu!" bentak Adam. "Ayo kita pulang, jangan bikin malu," lanjutnya.Hanung, Karin dan juga Ibu mereka, hanya berusaha menahan diri, meskipun merasa tersinggung, denga
Bab76Perlahan, Tania membuka matanya."Sampai kapan Ibu dan Rina terus datang ke rumah ini?" tanya Tania, tatapan matanya dingin kepada Raka, ada amarah yang dia pendam."Mas sudah minta Ayah untuk menjemput Ibu. Mungkin bentar lagi datang.""Aku capek, Mas."Raka merasa senang dan lega, akhirnya Tania mau menjelaskan apa yang dia rasakan."Sayang, jika Ibu berbuat seenaknya. Kamu berhak menolaknya."Tania masih terdiam. "Yasudah! Kamu duduk, ya."Raka membantu tubuh Tania, untuk duduk di bibir ranjang.Kemudian dia letakkan bingkisan yang dibawa ke samping ranjang."Jauh dari keluarga yang begitu menyayangiku, ternyata membuatku sangat tidak beruntung. Aku rindu pada mereka," lirih Tania.Raka menghela napas berat, keluarga yang dia harapakan akan menyayangi istrinya, malah bersikap sebaliknya.Tania pun kini mulai mengeluarkan isi hatinya, Raka hanya bisa terdiam."Kamu wanita hebat," bis
Bab110 "Tenang," seru Dewi, yang sadar, dari tadi majikannya tidak tenang. "Apaan sih." Tania kesal. Ia pun mengetikkan sebuah pesan singkat, dan mengirimnya kepada Raka, yang tengah sibuk meeting. "Aku menyesal, telah ada di saat keluarga kamu butuh. Sedangkan kamu, ah sudahlah. Kadang, kebaikan tidak harus dibalas dengan hal yang sama." Membaca pesan singkat dari Tania, Raka merasa tidak nyaman hati. Meskipun faktanya, proyek ini masih bisa dihandle anak buahnya. Namun Raka yang selalu bertanggung jawab penuh dengan pekerjaannya, tidak ingin melakukan kesalahan sama sekali.Sebab itulah, dia tidak ingin meninggalkan proyek ini. Namun membaca pesan singkat itu, mendadak Raka menjadi gusar. Ia pun tidak konsen, memulai pekerjaannya hari ini.______ Tania dan Dewi yang sudah sampai di rumah Sari, pun mulai bertanya banyak, tentang hal yang menimpa Karin. Sari mulai menceritakan semuanya secara detail. Wanita paru baya it
Bab109"Maaf? Ada apa?" tanya Karin, sembari melepaskan diri, dari pelukan Hanung."Ya maaf," Hanung menunduk. "Aku berburuk sangka pada kamu dan Emilia. Aku nggak nyangka aja, anak kecil itu begitu dewasa.""Aku juga tidak menyangka, dia akan menolakku. Tapi aku lega, dia tidak melupakanku sama sekali," ucap Karin, sembari menyeka air matanya."Setidaknya, aku bisa melepas rindu. Melihat dia tumbuh dengan baik saja, aku sudah merasa tenang. Meskipun di lubuk hati yang paling dalam, aku tidak bahagia, merelakannya tetap di sana. Tapi aku ...."Karin menghela napas berat, ia mulai kesulitan untuk bicara. Wajah bahagia Emilia, saat bertemu dia tadi, selalu terngiang diingatan Karin.Apalagi, saat Emilia berkata kangen, membuat Karin semakin merasakan sakit luar biasa."Ya Allah, anakku!" pekik Karin, membuat Hanung sedikit terkejut.Karin menangis dengan meraung, layaknya anak kecil. Bahkan, dia tidak lagi duduk diata
Bab108"Ummi, Karin mohon!" pinta Karin, wanita itu pun berusaha bersimpuh.Namun Hanung mencegahnya."Mau memberikan Emilia baik-baik, atau lewat jalur hukum?" gertak Hanung.Mendengar ucapan suami baru Karin itu, Ummi melotot. Sedangkan Abah, berusaha untuk tetap tenang."Berani sekali kamu mengancam orang tua! Apakah kamu tidak di ajari Ibumu?" bentak Ummi.Mendengar dirinya disinggung. Sari hanya memusut dada, membesarkan rasa sabar, dan berpikir jernih."Ibu, istri saya ini, berhak atas anak ini. Dan Ibu, jangan coba menghalangi kami membawanya. Kecuali, Emilia menolaknya," terang Hanung dengan tegas.Ummi berjongkok, mensejajarkan wajahnya pada Emilia."Emil, kamu sayang Nenek, kan?" tanya Ummi.Emilia terisak. "Emilia sayang Nenek, juga Kakek. Tapi ...."Gadis kecil itu menghentikan ucapannya, dia menatap lekat wajah Neneknya yang sangat sedih."Tapi apa, Nak?" tanya Karin tidak sabar.
Bab107Karin melangkah pelan, dia menuju pintu utama."Kak Karin," seru Aisya, yang baru keluar dari dapur.Karin berbalik badan, dan menoleh ke arah Aisya dengan terheran."Kamu ada disini?" tanya Karin, sambil mengucek matanya berkali-kali."Aish ....""Hhmm, ada apa?" Aisya tahu, bahwa Karin penasaran, dengan rumah yang kini dia tempati untuk tidur."Ini rumah teman Aish, kita kemalaman dijalan, kasihan Bang Hanung, sepertinya sangat lelah. Sedangkan perjalanan menuju kampung Abah, masih sangat jauh. Jadi, Aisya meminta izin teman umtuk menginap."Karin mengangguk. "Ayo tidur lagi," pinta Aish pada Karin.Karin pun percaya begitu saja, dan mau menuruti ucapan Aisya.Untung saja Aisya cepat tanggap, jika tidak, mungkin malam ini, mereka tidak jadi tidur lagi.Sebab jika Karin tahu, bahwa dia ada di kampungnya. Maka, dia akan terus mengomel hingga pagi, dan membuat kegaduhan.______Usai salat subu
Bab106Azzam meminta waktu, untuk berbicara dengan Aisya berdua saja."Ada apa?" tanya Aish, dia nampak sangat kesal, dengan keputusan Azzam, yang menolak memberikan alamat."Ummi dan Abah kembali ke kampung. Kata Ayah, mereka juga mengadakan sukuran, ulang tahun Emilia.""Kamu tidak bohongkan, Mas?" selidik Aisya. Seakan semua kebetulan, membuat Aisya meragu."Sebenarnya, Ummi dan Abah, sudah tiga hari ini, ada di kampung. Dan esok, adalah perayaan ulang tahun Emilia.""Alhamdulilah, Mas.""Eh, jadi dari tadi, Mas ngerjai aku?" pekik Aisya, yang tiba-tiba sadar.Azzam terkekeh. "Iya maaf."Bibir Aisya manyun, dia kesal, dengan ulah suaminya."Malam ini juga, kalian duluan saja ke kampung. Ibu beneran sakit.""Yakin, nggak lagi ngerjain aku?""Iya, bener.""Dirujuk ke rumah sakit beneran?""Iya, Mas akan langsung, menemui mereka nanti. Kamu bawa saja, kak Karin ke rumah kita. Tadi
Bab105Melihat wajah Hanung yang sangat datar, menimbulkan tanya dihati Karin. Wanita itu, yang tadinya sangat bersemangat, kini tiba-tiba meredup, seperti lilin yang menyala, kemudian padam tertiup angin."Ada apa?" tanya Karin, dengan perasaan, yang mulai tidak nyaman."Karin, Emilia itu bagian dari masa lalu. Dan kami, kami masa depanmu!" ucap Hanung. Membuat Karin merasa syok, begitu juga dengan Aisya, yang tidak sengaja, mendengar ucapan Hanung."Mas, tega sekali kamu berkata begitu!" lirih Karin. "Tidak ada yang kata masa lalu buat anak. Emilia itu darah dagingku, cinta pertama dalam hidupku. Dia yang mengajari aku jadi Ibu. Dan kamu, memintaku melupakannya? Jahat kamu!" kata Karin dengan terisak."Bukan begitu, Karin. Mas tidak minta, kamu untuk melupakan Emilia. Aku mengerti, tidak ada mantan anak. Tapi tidak bisakah, kamu hanya fokus kepada kami? Dan Emilia, biarkan dia, hanya ada di hati kamu.""Apa? Maksudnya apa?""Ya, kam
Bab104"Suami kamu!"Aisya terdiam, melihat Azzam yang nampak kusut."Suami Aisya?" tanya Hanung pada Karin. Karin mengangguk.Sari memegang bahu Aish. "Hadapi, dan selesaikan baik-baik," ucap Sari."Iya, Aish. Bagaimana pun juga, dia masih suami kamu," timpal Karin.Meskipun rasa hati teramat berat, Aisya tetap, mengikuti saran mereka.Karin keluar dari mobil, membuka pintu pagar. Dan mobil Hanung pun, memasuki pekarangan rumah."Masuklah, Zam!" seru Karin, sembari berjalan, menuju ke arah rumahnya.Mobil Hanung pun menepi, mereka semua keluar. Sedangkan Karin, membuka pintu rumah.Azzam pun berjalan ke depan pintu pagar, semberi menatap istrinya, yang baru keluar dari mobil.Aisya melangkah, mendekati Azzam."Masuk dulu, Mas!" ucap Aisya dengan lembut.Azzam pun mengangguk, mengikuti langkah Aisya. Ada debaran rasa gugup, yang mengganggunya kini.Karin duduk bersama anaknya Aisy
Bab103Saat itu, pukul 05.30 sore. Sesampainya Raka di rumah Sutina, hanya ada beberapa tetangga dekat rumah, yang berada di rumah duka.Raka menepikan mobilnya, bergegas keluar dan sedikit tergopoh. Di dalam rumah, ada keluarga besar Tania, juga Sutina dan Rina."Ayah!" lirih Raka. Sutina tidak mau menoleh ke arah Raka, begitu juga dengan Tania.Kedua wanita ini, merasa sangat terluka, dengan perlakuan Raka. Mereka merasa, Raka abai dan begitu mementingkan perasaannya sendiri."Ayah, maafkan Raka ....""Ibu," lirihnya, berusaha memegangi tangan Sutina. Sutina hanya bisa terisak, dia tidak mampu berkata-kata lagi.Secapat ini, Tuhan memisahkan mereka. Bahkan selama ini, Sutina merasa banyak salah dan berdosa pada suaminya.Namun apalah daya, mereka di pisahkan oleh maut, yang di perantai tangan anak kandungnya sendiri."Kamu kemana saja?" tanya Sutina dengan pelan, ketika Raka memeluk ibunya."Ma
Bab102Aisya menulis alamat Karin disecarik kertas. Sebab itulah, dia melupakan ponselnya, dan fokus memegangi alamat rumah Karin.Kini Aisya merasa was-was, kalau Azzam, akan datang menyusulnya ke rumah Karin.Ia pun kembali memencet tombol bell berulang kali, hingga pintu rumah, bercat putih itu kini terbuka."Kak Karin," pekik Aisya. Sambil melambaikan tangan.Karin yang melihat di depan pintu pagar itu Aisya, sedikit berlari ke dalam rumah, dan gegas meraih kunci pagar.Ia pun tidak sabar, ingin berpelukan dengan Aisya, adik yang sangat dia rindukan selama ini.Karin keluar rumah, dan membuka kunci pagar. Aisya mendorong pelan pagar, yang sudah tidak terkunci lagi.Mereka saling berpelukan, melepas sejuta rasa rindu yang mendalam.Sedangkan anak Aisya, hanya menatap heran.Kakak beradik itu menangis terisak, dan melupakan si kecil yang menatap heran pada mereka."Siapa Rin?" tanya Sari, yang