Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 48. Kotak Jimat

Share

48. Kotak Jimat

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-29 16:13:19

Esok harinya, Ratih mendatangi Kyai Ahmad. Langit terlihat redup meski matahari bersinar terang.

“Saya udah bilang, Ratih,” ujar Kyai Ahmad sambil menuangkan teh. “Rumah itu sudah menjadi perantara antara dunia kita dan dunia mereka. Semua ini akibat tindakan suamimu yang belum diselesaikan.”

Ratih menarik napas dalam-dalam. “Tapi, kenapa saya yang lebih sering melihat sosok itu? Kenapa bukan Mas Bagas?” tanyanya, mencoba memahami semua ini.

Kyai Ahmad memandangnya dengan tenang tapi serius. “Karena kamu adalah pintu, Ratih. Suamimu, Bagas, telah membuat sebuah perjanjian. Tapi kunci untuk memenuhi perjanjian itu adalah kamu. Saya nggak tau perjanjian seperti apa yang Bagas lakukan yang jelas ini udah terikat."

Ratih merasakan dadanya sesak, seolah udara tiba-tiba hilang dari sekitarnya. “Kunci?” bisiknya, hampir tak terdengar.

“Ya,” jawab Kyai Ahmad. “Mereka membutuhkanmu. Jiwa atau keberadaanmu adalah bagian penting dari perjanjian itu. Jika mereka berhasil menguasaimu, semuanya sel
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   49. Kehilangan Ketenangan

    “Mas, kamu kenapa belakangan ini?” tanyanya pelan suatu pagi ketika mereka sarapan bersama.Bagas mendongak dari piringnya. Matanya yang biasanya hangat kini terlihat redup, seperti ada sesuatu yang menutupi sinar di dalamnya. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat.Ratih tidak puas dengan jawaban itu. “Apa karena kotak kecil itu?! Jujurlah Mas! Mas melakukan perjanjian apa?"Bagas meletakkan sendok dengan keras, suaranya membuat Ratih terlonjak. “Aku bilang nggak apa-apa, Ratih! Jangan tanya lagi! Udah aku peringatkan jangan kamu sentuh kotak kecil itu lagi, paham!" Ratih terdiam, merasa tersakiti oleh nada suara suaminya. Namun, dia tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan.Ketika sarapan selesai, seperti biasa Bagas ke ladang. Memantau hasil panen dan para pekerjanya. Sekarang tidak ada lagi orang-orang yang menentang bahkan datang untuk mengecamnya. Mereka hanya datang untuk bertanya ladang bahkan hasilnya saja. Komplen yang pernah terjadi sebelumnya, itu sudah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Pesugihan Genderuwo   50. Rahasia Terungkap

    Pagi harinya, Bagas terlihat lebih tenang, tapi tingkahnya masih tidak seperti biasanya. Dia tidak banyak bicara, hanya duduk di ruang tamu sambil menatap keluar jendela.Ratih mencoba mendekatinya lagi. “Mas, aku nggak bisa terus begini. Kamu harus jujur, ada apa?”Bagas menghela napas panjang, tapi dia tidak menoleh. “Aku sedang mencoba mencari solusi, Ratih. Semua ini… lebih rumit dari yang kamu kira.”“Solusi untuk apa? Mas, aku istrimu. Kalau kamu nggak cerita, bagaimana aku bisa bantu?”Bagas akhirnya menoleh, dan untuk sesaat, Ratih melihat sesuatu yang berbeda di matanya. Bukan hanya kelelahan, tapi juga ketakutan.“Perjanjian,” kata Bagas dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Ratih merasa darahnya berdesir. “Apa maksudmu, Mas?"Bagas berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamu. “A—aku sudah melakukan sebuah perjanjian, Ratih.”Ratih terpaku dengan ucapan suaminya. "Ma-mas, maksudnya perjanjian ... Ehm, perjanjian apa?" balas Ratih yang suaranya semakin kecil hingga ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Pesugihan Genderuwo   51. Luka Ratih

    “Kita harus ke Kyai Ahmad,” kata Ratih akhirnya. “Dia yang tahu cara menghancurkan ini. Kita nggak bisa terus hidup seperti ini, Mas.” Bagas tampak ragu. “Mereka akan tahu kalau kita berusaha memutus perjanjian ini. Mereka tidak akan tinggal diam.” “Aku nggak peduli,” balas Ratih tegas. “Kamu yang memulai semua ini, dan aku yang harus menyelesaikannya. Kalau kamu nggak mau ikut, aku akan pergi sendiri.” Bagas terdiam. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Akhirnya, dia mengangguk. “Baiklah. Kita pergi ke Kyai Ahmad. Tapi aku nggak janji kalau ini akan berakhir baik.” Ratih berdiri, menghapus air matanya. “Aku nggak butuh janji, Mas. Aku cuma butuh keberanian kita berdua untuk melawan ini. Karena kalau bukan kita yang melawan, siapa lagi?”. "Iya aku tau itu!" Bagas benar-benar menyesal. "Mas aku mau tanya lagi. Apa kejadian Juragan Suwandi, Pak Marwan, Bu Sunar, Feri, dan semua korban yang pernah berjatuhan itu juga, faktor dari perjanjian ini?" tanya Ratih. Alisnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-30
  • Pesugihan Genderuwo   52. Serangan Genderuwo

    "Mas, itu kamu?" Ratih memanggil dari dapur, matanya menatap pintu yang setengah terbuka. Suara langkah berat terdengar di ruang tamu, tetapi tidak ada jawaban.Dia mengerutkan kening, merasa ada yang tidak biasa. Pisau dapur yang sedari tadi digunakan untuk memotong sayur kini digenggam lebih erat."Mas, kalau bercanda, ini nggak lucu!" Suaranya mulai terdengar tegang.Langkah itu berhenti, digantikan oleh suara napas berat yang menyeramkan. "Siapa di sana?" Ratih meninggikan suara. Tangannya yang gemetar bersiap dengan pisau, berjaga-jaga dari kemungkinan buruk.Lampu dapur yang redup tiba-tiba berkedip-kedip menciptakan bayangan aneh di dinding. Beberapa detik kemudiann, semuanya padam."Ya Allah!' pekiknya panik. Ratih menggerakkan tangan ke arah dinding. Mencoba meraba saklar lampu. Namun, sebelum berhasil, suara napas itu terdengar lagi—lebih dekat, seperti ada dibelakangnya."Pergi!" teriak Ratih. "Siapa pun kamu pergi dari kehidupanku!"Dapur berubah sunyi. Hanya ada suara na

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-01
  • Pesugihan Genderuwo   53. Kegagalan

    Ratih berjalan pelan di tengah malam, Setibanya di depan rumah Kyai Ahmad, dia mengetuk pintu kayu yang usang, dan tak lama kemudian, suara berat dari dalam rumah terdengar."Siapa itu?" suara Kyai Ahmad terdengar begitu dalam dan menggetarkan.Ratih mengumpulkan keberanian. "Assalamu'alaikum, Kyai. Saya Ratih."Pintu terbuka perlahan."Wa'alaikumsalam, Nak. Masuklah," jawab Kyai Ahmad dengan suara yang tenang, mempersilakan Ratih masuk ke dalam rumahnya.Ratih melangkah masuk, dan dalam sekejap, dia merasa seolah berada di tempat yang jauh berbeda. Kehangatan dan ketenangan langsung menyelimuti dirinya, seakan-akan seluruh kekhawatirannya sedikit berkurang. Kyai Ahmad mempersilakan Ratih duduk di sebuah kursi bambu yang terletak di tengah ruangan."Sampaikan kenapa kamu datang kesini lagi, Nak," kata Kyai Ahmad, duduk di hadapan Ratih dengan tatapan yang tajam namun penuh pengertian.Ratih menarik napas panjang dan mulai menceritakan segalanya. "Kyai, suami saya, Bagas, sedang dilan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-02
  • Pesugihan Genderuwo   54. Titik Balik Ratih

    Semenjak Bagas mengungkapkan perjanjian pesugihan kepada istrinya. Hari demi hari, Bagas tidak terfokus dengan ladangnya. Dia telah lama tidak berkunjung atau hanya sekedar melihat hasil panennya. 'Ratih, sekarang nggak pernah melihat ku lagi di rumah! Hem! Ini semakin lebih berat dari yang aku bayangkan!' Bagas duduk di ruang tamu dengan wajah letih. Tangannya gemetar menggenggam secangkir kopi yang belum disentuh. Dia tahu Ratih pergi tanpa izin, tetapi tak punya keberanian untuk menanyakannya. “Mas Bagas,” panggil Ratih tegas. Suaranya membuat pria itu tersentak. “Ratih ... kamu dari mana?” Bagas mencoba terdengar santai, meski matanya menyiratkan rasa takut. Ratih berjalan mendekat, menatap Bagas dengan mata yang tajam namun penuh harapan. “Aku bertemu Kyai Ahmad Syafii.” Mata Bagas membesar. “Apa? Kenapa kamu melibatkan orang luar, Ratih? Ini masalah kita!” “Masalah kita?” Ratih tertawa pahit. “Mas, ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang hidup kita, Kamu pikir aku akan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   55. Pengungkapan Persyaratan

    Ratih menyeka air matanya, lalu mendekati Bagas. Kali ini suaranya melembut, tapi tetap penuh ketegasan. "Mas, kamu yang memulai semua ini dan kamu harus menyelesaikannya. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, buktikan. Kita hadapi makhluk itu. Tapi aku punya syarat." Bagas mengangkat wajahnya, mencoba menangkap harapan di mata istrinya. "Apa syaratnya, Tih?" "Kamu harus putuskan semua hubungan dengan ilmu hitam itu. Tidak ada lagi pesugihan, tidak ada lagi kompromi. Kalau kamu berani melawan makhluk itu, aku akan berdiri di sisimu. Tapi kalau kamu nggak berani, Mas... aku pergi," tegas Ratih. 'Meski aku sebenarnya udah nggak mau lagi menjalin hubungan ini sama kamu, Mas!' Ratih berbicara dalam hatinya. Bagas terdiam lama, memikirkan kata-kata istrinya. Kengerian mulai merayap di hatinya. Namun, jauh di dalam dirinya, ada dorongan yang perlahan tumbuh: harapan dan keberanian. "Baik, Ratih. Aku akan melawan. Aku akan menebus kesalahanku ... demi kamu." Di luar, suara angin yang mend

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   56. Kekecewaan Semakin Bertambah

    "Di desa sebelah, kira-kira tiga jam perjalanan dari sini," sahut Bagas, masih dengan nada menyesal. Kyai Ahmad mengangguk perlahan, lalu berkata, “Baik. Kita nggak akan menghadapi ini sendirian. Ki Raden Praja kemungkinan besar masih memiliki koneksi dengan makhluk itu. Tapi ingat, yang terpenting adalah iman kalian. Ini akan menjadi ujian.” Ratih menatap Kyai Ahmad dengan penuh harap. “Apa yang harus kami persiapkan, Kyai?” “Selain keyakinan, hanya doa,” jawab Kyai Ahmad sambil melipat tangannya di dada. “Namun, aku akan melindungi kalian dengan ini.” Diaa mengangkat keris kecil berukir bahasa yang tidak di pahami Bagas maupun Ratih. “Ini adalah senjata khusus untuk melawan makhluk seperti Genderuwo. Tapi ingat, senjata ini hanya bekerja jika kita nggak memiliki rasa takut.” Bagas tampak semakin gugup, tapi Ratih memegang tangannya erat. "Mas, kamu bisa melakukannya. Kita harus—!" Kyai Ahmad berdiri, mengamati keduanya. “Kita akan berangkat sekarang. Tapi ingat, jangan ada pert

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   197. Deretan Kesialan

    "Aku akan aman di sini!" Bagas berteduh di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Napasnya masih tersengal-sengal setelah berlari sejauh itu. Dadanya naik turun, mencoba mengatur ritme pernapasannya yang terasa berat. Hujan mulai turun rintik-rintik, menambah suasana semakin kelam. Dia menatap kosong ke depan, pikirannya melayang. Entah sejak kapan, hidupnya mulai terasa seperti mengulang takdir kakeknya, Wartono—diusir dari desa, terpaksa pergi tanpa tujuan. "Ah, hidup macam apa ini?! Aku benci diriku sendiri!" Bagas menggeram frustasi. Dengan penuh amarah, dia memukul batu besar di hadapannya. Tangannya terasa sakit, tapi tidak sebanding dengan rasa sakit yang dia pendam dalam hatinya. Semua terasa sia-sia. Tidak ada lagi tempat baginya untuk kembali."Sampai sekarang pun aku masih mendapatkan informasi yang simpang siur tentang Mbah dan Ki Praja! Ah, kenapa sih dunia ini buat aku pusing?!"Bagas berteriak, suaranya menggema di tengah hutan yang sunyi. Dadanya naik turun, dipenuh

  • Pesugihan Genderuwo   196. Kocar-kacir

    "Cari dia sampai ketemu!"Teriakan salah seorang warga menggema di dalam gelapnya hutan. Obor-obor yang mereka bawa menebarkan sinar temaram di antara pepohonan lebat, namun hanya kegelapan hutan yang menyambut mereka. Beberapa warga terlihat gugup, langkah mereka melambat seiring dengan makin dalamnya perjalanan ke hutan terlarang."Eh, ini kan hutan terlarang di desa kita," ucap salah seorang warga dengan suara bergetar, berusaha mengingatkan yang lain."Benar juga," sahut warga lain yang tampaknya mulai menyadari situasi mereka. "Kita sudah terlalu jauh masuk. Ini bukan tempat biasa. Jangan-jangan ada sesuatu di sini!"Rasa takut mulai menyelimuti mereka. Beberapa warga mengangguk setuju, dan perlahan mereka memutuskan untuk berbalik arah. Namun, baru saja mereka ingin melangkah kembali menuju desa, suara keras tiba-tiba menggema dari dalam hutan.Graawwrr!Suara itu menyerupai raungan binatang buas, tetapi terdengar tidak seperti suara makhluk biasa. Suaranya memekakkan telinga, m

  • Pesugihan Genderuwo   195. Bagas Kabur ke hutan Terlarang

    "Kenapa aku bisa di rumah? Bukannya tadi aku ada di rumah Ki Praja?" Bagas duduk termenung di ruang tamu, mencoba mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. Semuanya terasa kabur dan membingungkan. Dia merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tak tahu apa. Tatapannya kosong, pikirannya terus berputar-putar mencari jawaban. Namun, belum sempat dia memahami apa yang terjadi, suara gaduh dari luar rumah mengalihkan perhatiannya. Terdengar langkah kaki banyak orang, disertai suara teriakan yang semakin mendekat. Bagas segera berdiri, matanya menatap penuh kewaspadaan ke arah jendela. "Usir dia! Keluar dia dari desa ini!" "Kita harus bertindak tegas!" Teriakan itu menggema di luar, membuat dada Bagas berdebar kencang. Dia menelan ludah, mencoba menenangkan diri meski rasa cemas sudah membanjiri pikirannya. "Apa lagi ini?" gumamnya pelan. Pandangannya tak lepas dari kerumunan warga yang semakin dekat. Apa pun yang terjadi, Bagas tahu malam ini tidak akan berlalu dengan mudah. Bamban

  • Pesugihan Genderuwo   194. Ratih Memantau

    "Ada apa ini? Kenapa warga berkumpul di balai desa?"Ratih yang kebetulan melewati Desa Karang Jati melihat kerumunan besar di balai desa. Wajahnya langsung dipenuhi rasa cemas. Firasat buruk menyelusup dalam pikirannya, dan nama seseorang segera terlintas.“Jangan-jangan mereka—” Ratih menggantungkan kalimatnya, ragu untuk melanjutkan. Namun, kekhawatiran di hatinya semakin menguat. “Mau melabrak Mas Bagas!” gumamnya, suaranya pelan tapi penuh ketegangan.Dengan hati-hati, Ratih bersembunyi di balik pepohonan, berusaha tetap tak terlihat. Dari kejauhan, dia mengamati para warga yang terlihat bersemangat, bahkan penuh emosi. Beberapa membawa obor yang menyala terang, menciptakan pemandangan yang tampak seperti adegan dari masa lampau, di mana massa menghakimi tanpa ampun.“Kenapa mereka begini? Apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Ratih dalam hati, was-was. Dia terus memperhatikan tanpa berani mendekat, tubuhnya tegang seolah-olah dia juga merasakan ancaman itu.Namun, jauh di lubuk h

  • Pesugihan Genderuwo   193. Hasutan

    "Usir dan bakar dia hidup-hidup!" Bambang mendengar bisikan itu lagi. Suaranya rendah, berat, tetapi jelas terdengar di telinganya meskipun tidak ada siapa pun di sekitarnya. Dia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan dirinya benar-benar sendirian. Namun, bisikan itu terus mengisi kepalanya, seolah berbisik langsung ke jiwanya. “Aku yakin ini benar,” gumam Bambang sambil menatap rumahnya. Tangannya mengepal kuat, dan tatapannya berubah dingin. “Bagas memang pembawa sial. Dia penyebab semua bencana ini.” Langkah Bambang berat tetapi penuh tekad. Dia meninggalkan rumahnya menuju warung kopi tempat warga desa sering berkumpul. Wajahnya terlihat penuh amarah, tetapi tidak ada yang tahu bahwa amarah itu bukan miliknya sepenuhnya. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikirannya, mengendalikan setiap gerak dan perkataannya. Di warung, beberapa warga sedang duduk bercengkerama. Mereka tertawa kecil sambil menikmati kopi hitam pekat. Namun, suasana itu segera berubah ketika Bambang datang. “Eh,

  • Pesugihan Genderuwo   192. Menampakkan perubahan kembali

    “Buka pintunya!”Bagas berteriak sekencang mungkin sambil menarik dan mendorong pintu rumah Ki Praja. Pintu kayu itu tetap terkunci rapat, tidak bergeming sedikit pun meskipun dia mengerahkan seluruh tenaganya.Duk! Duk!Bagas mulai memukul pintu dengan kepalan tangannya hingga kulit di jemarinya memerah dan terasa sakit. “Ayo buka! Aku tahu kau di sini!” teriaknya lagi dengan penuh frustasi.Namun, alih-alih pintu yang terbuka, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari dalam rumah.Brak!Bagas terpaku sejenak. Dari celah pintu, dia melihat bayangan benda-benda kecil di meja seperti lilin, mangkuk, dan beberapa kain yang tertata rapi kini bergeser dan berjatuhan tanpa alasan yang jelas.“Apa yang terjadi di dalam sana?” gumamnya dengan napas tersengal, keringat mulai membasahi dahinya.Ketika dia hendak kembali memukul pintu, sebuah kejadian tak biasa terjadi. Barang-barang di dalam rumah yang sebelumnya hanya jatuh, kini mulai bergerak seperti ada yang mengangkatnya. Kain-kain hitam

  • Pesugihan Genderuwo   191. Terkunci Dirumah Ki Raden Praja

    "Aku yakin udah bunuh dia! Tapi—"Bagas semakin diliputi kebingungan. Genderuwo itu perlahan memudar, seperti kabut yang tersapu angin. Tubuh Bagas akhirnya bisa digerakkan kembali. Namun, saat dia melihat lengannya, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bulu-bulu kasar yang tadi bersentuhan dengan Genderuwo kini menempel di lengannya—tidak, bukan hanya menempel, tapi tumbuh di sana."Lengan ini... kenapa berbulu seperti ini?" Bagas bergumam, napasnya memburu. Dia mencoba mencabut salah satu bulu itu."Aah!" serunya, terkejut karena rasa sakit yang tajam menjalar dari lengannya. Itu nyata. Bukan hanya halusinasi."Ini nggak mungkin nyata!" Bagas mengguncang kepalanya, berharap semua ini hanyalah ilusi. Tapi rasa sakit tadi terlalu meyakinkan untuk diabaikan.Bagas memandang bulu-bulu itu dengan ngeri. "Ini harus aku cukur saat di rumah," katanya kepada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kalut.Dengan perasaan tak karuan, Bagas melangkahkan kaki

  • Pesugihan Genderuwo   190. Melihat Genderuwo adalah Dirinya sendiri

    "Kenapa badanku terpaku di sini?" Bagas berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi sia-sia. Seolah ada tali tak kasat mata yang mengikat erat setiap sendi tubuhnya. Tubuhnya kaku, seperti kayu yang tak bernyawa. Angin tiba-tiba berhembus semakin kencang, membuat ranting-ranting pohon berderit menyeramkan. Di tengah hembusan angin itu, Bagas merasakan sesuatu menyentuh lengannya, seperti helaian rambut yang tipis namun tajam. Dia memalingkan pandangan ke samping kirinya. Dan di sanalah dia muncul. Sosok itu berdiri, tinggi dan besar, dengan tubuh gelap yang seakan menyatu dengan bayangan pepohonan. Matanya menyala merah, penuh kebencian dan kejahatan. Itu adalah Genderuwo. 'D—dia... itu Gen—!' Bagas tak mampu menyelesaikan pikirannya. Tubuhnya gemetar hebat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia mencoba berbicara, ingin berteriak, tapi suara itu seolah terkunci di tenggorokannya. Bahkan napasnya terasa tersangkut di dada. Air mata mulai mengalir dari mata kirinya, tanpa bisa dia

  • Pesugihan Genderuwo   189. Aku adalah Kamu

    "Siapa di sana?" seru Bagas, suaranya tegang. Sekelebat bayangan hitam melintas di antara pepohonan lebat. Bagas segera mendekati pohon tempat bayangan itu menghilang. Namun, saat dia mengintip di balik batangnya yang besar, tak ada siapa pun di sana. Hanya keheningan yang menemaninya. "Siapa tadi? Apa itu Ki Praja? Atau ... Genderuwo?" gumamnya sambil mencoba menenangkan diri. "Nggak mungkin itu Genderuwo ... dia sudah musnah, kan? Terbakar bersama jimat yang aku gunakan waktu itu." Bagas menggeleng, mencoba menepis pikirannya yang semakin liar. Tapi hutan itu terasa semakin menekan dirinya. Suasana di sekitarnya seakan berubah menjadi lebih gelap, lebih suram, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang. Dia menghirup napas dalam-dalam, tapi udara yang masuk terasa berat. Dadanya mulai sesak. "Haa!" Bagas terengah-engah, tangannya mencengkeram batang pohon untuk menopang tubuhnya yang mulai melemah. "Aku ... susah bernapas! Kenapa ini?" Keringat dingin membasahi

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status