Home / Horor / Pesugihan Genderuwo / 49. Kehilangan Ketenangan

Share

49. Kehilangan Ketenangan

Author: Wenchetri
last update Last Updated: 2024-11-29 16:45:50

“Mas, kamu kenapa belakangan ini?” tanyanya pelan suatu pagi ketika mereka sarapan bersama.

Bagas mendongak dari piringnya. Matanya yang biasanya hangat kini terlihat redup, seperti ada sesuatu yang menutupi sinar di dalamnya. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat.

Ratih tidak puas dengan jawaban itu. “Apa karena kotak kecil itu?! Jujurlah Mas! Mas melakukan perjanjian apa?"

Bagas meletakkan sendok dengan keras, suaranya membuat Ratih terlonjak. “Aku bilang nggak apa-apa, Ratih! Jangan tanya lagi! Udah aku peringatkan jangan kamu sentuh kotak kecil itu lagi, paham!"

Ratih terdiam, merasa tersakiti oleh nada suara suaminya. Namun, dia tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan.

Ketika sarapan selesai, seperti biasa Bagas ke ladang. Memantau hasil panen dan para pekerjanya. Sekarang tidak ada lagi orang-orang yang menentang bahkan datang untuk mengecamnya.

Mereka hanya datang untuk bertanya ladang bahkan hasilnya saja. Komplen yang pernah terjadi sebelumnya, itu sudah
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Pesugihan Genderuwo   50. Rahasia Terungkap

    Pagi harinya, Bagas terlihat lebih tenang, tapi tingkahnya masih tidak seperti biasanya. Dia tidak banyak bicara, hanya duduk di ruang tamu sambil menatap keluar jendela.Ratih mencoba mendekatinya lagi. “Mas, aku nggak bisa terus begini. Kamu harus jujur, ada apa?”Bagas menghela napas panjang, tapi dia tidak menoleh. “Aku sedang mencoba mencari solusi, Ratih. Semua ini… lebih rumit dari yang kamu kira.”“Solusi untuk apa? Mas, aku istrimu. Kalau kamu nggak cerita, bagaimana aku bisa bantu?”Bagas akhirnya menoleh, dan untuk sesaat, Ratih melihat sesuatu yang berbeda di matanya. Bukan hanya kelelahan, tapi juga ketakutan.“Perjanjian,” kata Bagas dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Ratih merasa darahnya berdesir. “Apa maksudmu, Mas?"Bagas berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamu. “A—aku sudah melakukan sebuah perjanjian, Ratih.”Ratih terpaku dengan ucapan suaminya. "Ma-mas, maksudnya perjanjian ... Ehm, perjanjian apa?" balas Ratih yang suaranya semakin kecil hingga ha

    Last Updated : 2024-11-30
  • Pesugihan Genderuwo   51. Luka Ratih

    “Kita harus ke Kyai Ahmad,” kata Ratih akhirnya. “Dia yang tahu cara menghancurkan ini. Kita nggak bisa terus hidup seperti ini, Mas.” Bagas tampak ragu. “Mereka akan tahu kalau kita berusaha memutus perjanjian ini. Mereka tidak akan tinggal diam.” “Aku nggak peduli,” balas Ratih tegas. “Kamu yang memulai semua ini, dan aku yang harus menyelesaikannya. Kalau kamu nggak mau ikut, aku akan pergi sendiri.” Bagas terdiam. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Akhirnya, dia mengangguk. “Baiklah. Kita pergi ke Kyai Ahmad. Tapi aku nggak janji kalau ini akan berakhir baik.” Ratih berdiri, menghapus air matanya. “Aku nggak butuh janji, Mas. Aku cuma butuh keberanian kita berdua untuk melawan ini. Karena kalau bukan kita yang melawan, siapa lagi?”. "Iya aku tau itu!" Bagas benar-benar menyesal. "Mas aku mau tanya lagi. Apa kejadian Juragan Suwandi, Pak Marwan, Bu Sunar, Feri, dan semua korban yang pernah berjatuhan itu juga, faktor dari perjanjian ini?" tanya Ratih. Alisnya

    Last Updated : 2024-11-30
  • Pesugihan Genderuwo   52. Serangan Genderuwo

    "Mas, itu kamu?" Ratih memanggil dari dapur, matanya menatap pintu yang setengah terbuka. Suara langkah berat terdengar di ruang tamu, tetapi tidak ada jawaban.Dia mengerutkan kening, merasa ada yang tidak biasa. Pisau dapur yang sedari tadi digunakan untuk memotong sayur kini digenggam lebih erat."Mas, kalau bercanda, ini nggak lucu!" Suaranya mulai terdengar tegang.Langkah itu berhenti, digantikan oleh suara napas berat yang menyeramkan. "Siapa di sana?" Ratih meninggikan suara. Tangannya yang gemetar bersiap dengan pisau, berjaga-jaga dari kemungkinan buruk.Lampu dapur yang redup tiba-tiba berkedip-kedip menciptakan bayangan aneh di dinding. Beberapa detik kemudiann, semuanya padam."Ya Allah!' pekiknya panik. Ratih menggerakkan tangan ke arah dinding. Mencoba meraba saklar lampu. Namun, sebelum berhasil, suara napas itu terdengar lagi—lebih dekat, seperti ada dibelakangnya."Pergi!" teriak Ratih. "Siapa pun kamu pergi dari kehidupanku!"Dapur berubah sunyi. Hanya ada suara na

    Last Updated : 2024-12-01
  • Pesugihan Genderuwo   53. Kegagalan

    Ratih berjalan pelan di tengah malam, Setibanya di depan rumah Kyai Ahmad, dia mengetuk pintu kayu yang usang, dan tak lama kemudian, suara berat dari dalam rumah terdengar."Siapa itu?" suara Kyai Ahmad terdengar begitu dalam dan menggetarkan.Ratih mengumpulkan keberanian. "Assalamu'alaikum, Kyai. Saya Ratih."Pintu terbuka perlahan."Wa'alaikumsalam, Nak. Masuklah," jawab Kyai Ahmad dengan suara yang tenang, mempersilakan Ratih masuk ke dalam rumahnya.Ratih melangkah masuk, dan dalam sekejap, dia merasa seolah berada di tempat yang jauh berbeda. Kehangatan dan ketenangan langsung menyelimuti dirinya, seakan-akan seluruh kekhawatirannya sedikit berkurang. Kyai Ahmad mempersilakan Ratih duduk di sebuah kursi bambu yang terletak di tengah ruangan."Sampaikan kenapa kamu datang kesini lagi, Nak," kata Kyai Ahmad, duduk di hadapan Ratih dengan tatapan yang tajam namun penuh pengertian.Ratih menarik napas panjang dan mulai menceritakan segalanya. "Kyai, suami saya, Bagas, sedang dilan

    Last Updated : 2024-12-02
  • Pesugihan Genderuwo   54. Titik Balik Ratih

    Semenjak Bagas mengungkapkan perjanjian pesugihan kepada istrinya. Hari demi hari, Bagas tidak terfokus dengan ladangnya. Dia telah lama tidak berkunjung atau hanya sekedar melihat hasil panennya. 'Ratih, sekarang nggak pernah melihat ku lagi di rumah! Hem! Ini semakin lebih berat dari yang aku bayangkan!' Bagas duduk di ruang tamu dengan wajah letih. Tangannya gemetar menggenggam secangkir kopi yang belum disentuh. Dia tahu Ratih pergi tanpa izin, tetapi tak punya keberanian untuk menanyakannya. “Mas Bagas,” panggil Ratih tegas. Suaranya membuat pria itu tersentak. “Ratih ... kamu dari mana?” Bagas mencoba terdengar santai, meski matanya menyiratkan rasa takut. Ratih berjalan mendekat, menatap Bagas dengan mata yang tajam namun penuh harapan. “Aku bertemu Kyai Ahmad Syafii.” Mata Bagas membesar. “Apa? Kenapa kamu melibatkan orang luar, Ratih? Ini masalah kita!” “Masalah kita?” Ratih tertawa pahit. “Mas, ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang hidup kita, Kamu pikir aku akan

    Last Updated : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   55. Pengungkapan Persyaratan

    Ratih menyeka air matanya, lalu mendekati Bagas. Kali ini suaranya melembut, tapi tetap penuh ketegasan. "Mas, kamu yang memulai semua ini dan kamu harus menyelesaikannya. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, buktikan. Kita hadapi makhluk itu. Tapi aku punya syarat." Bagas mengangkat wajahnya, mencoba menangkap harapan di mata istrinya. "Apa syaratnya, Tih?" "Kamu harus putuskan semua hubungan dengan ilmu hitam itu. Tidak ada lagi pesugihan, tidak ada lagi kompromi. Kalau kamu berani melawan makhluk itu, aku akan berdiri di sisimu. Tapi kalau kamu nggak berani, Mas... aku pergi," tegas Ratih. 'Meski aku sebenarnya udah nggak mau lagi menjalin hubungan ini sama kamu, Mas!' Ratih berbicara dalam hatinya. Bagas terdiam lama, memikirkan kata-kata istrinya. Kengerian mulai merayap di hatinya. Namun, jauh di dalam dirinya, ada dorongan yang perlahan tumbuh: harapan dan keberanian. "Baik, Ratih. Aku akan melawan. Aku akan menebus kesalahanku ... demi kamu." Di luar, suara angin yang mend

    Last Updated : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   56. Kekecewaan Semakin Bertambah

    "Di desa sebelah, kira-kira tiga jam perjalanan dari sini," sahut Bagas, masih dengan nada menyesal. Kyai Ahmad mengangguk perlahan, lalu berkata, “Baik. Kita nggak akan menghadapi ini sendirian. Ki Raden Praja kemungkinan besar masih memiliki koneksi dengan makhluk itu. Tapi ingat, yang terpenting adalah iman kalian. Ini akan menjadi ujian.” Ratih menatap Kyai Ahmad dengan penuh harap. “Apa yang harus kami persiapkan, Kyai?” “Selain keyakinan, hanya doa,” jawab Kyai Ahmad sambil melipat tangannya di dada. “Namun, aku akan melindungi kalian dengan ini.” Diaa mengangkat keris kecil berukir bahasa yang tidak di pahami Bagas maupun Ratih. “Ini adalah senjata khusus untuk melawan makhluk seperti Genderuwo. Tapi ingat, senjata ini hanya bekerja jika kita nggak memiliki rasa takut.” Bagas tampak semakin gugup, tapi Ratih memegang tangannya erat. "Mas, kamu bisa melakukannya. Kita harus—!" Kyai Ahmad berdiri, mengamati keduanya. “Kita akan berangkat sekarang. Tapi ingat, jangan ada pert

    Last Updated : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   57. Mencari Jimat yang hilang

    Bagas menunduk lebih dalam, tangannya mengepal erat. “Aku takut, Tih. Aku takut kehilangan kamu. Waktu itu aku berpikir, kalau aku bisa menyelamatkanmu, aku akan lakukan apa saja.” Kyai Ahmad kembali memimpin perjalanan, tapi kali ini dia berbicara sambil berjalan. “Le, dalam hidup ini, kita memang sering dihadapkan pada pilihan sulit. Tapi pilihan yang benar sering kali adalah yang paling berat. Kamu harus ingat, ujian itu bukan untuk melemahkan kita, tapi untuk menguatkan iman kita.” Bagas mengangguk, meskipun rasa bersalahnya masih membebaninya. “Kyai, saya menyesal. Saya ingin menebus semuanya. Saya akan melakukan apa aja.” Kyai Ahmad berhenti sejenak, lalu menatap Bagas. “Penyesalanmu adalah langkah awal, Le. Tapi perjalananmu untuk menebus dosa ini masih panjang. Malam ini, kita akan menghadapinya bersama. Kamu harus siap, karena Genderuwo itu akan berusaha menghancurkan mu." Suasana semakin mencekam saat mereka memasuki area yang gelap dan penuh kabut tebal. Suara burung ha

    Last Updated : 2024-12-03

Latest chapter

  • Pesugihan Genderuwo   107. Tak Bisa Melepaskan

    Bagas memandang jimat di tangannya. “Hancurkan?” pikirnya dalam hati. Sebuah ide gila muncul dalam benaknya. Jika jimat ini dihancurkan, mungkin semua perjanjian akan berakhir. Namun, dia tahu risikonya—bisa saja hidupnya berakhir seketika.Genderuwo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kamu tak punya keberanian untuk itu, Bagas! Kamu terlalu lemah!”“Diam!” Bagas berteriak, menggenggam jimat itu erat-erat. Pikirannya berkecamuk. Jika ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan Ratih, maka dia harus melakukannya.“Lebih baik aku hancur, daripada kehilangan dia!” teriak Bagas. Dengan sisa tenaga dan keberanian, dia melempar jimat itu ke lantai, lalu menginjaknya dengan sekuat tenaga.“Tidakkkk!” suara Genderuwo melengking, bersamaan dengan jimat yang pecah berkeping-keping. Hawa panas menyembur dari retakan lantai, dan sosok Genderuwo itu mulai bergetar, tubuhnya terdistorsi seperti asap yang terbakar.Bagas jatuh terduduk,

  • Pesugihan Genderuwo   106. Bayangan Kelam

    "Bagas, jangan biarkan jimat itu rusak atau ditemukan. Kalau terjadi, aku akan mengambil semuanya, termasuk dia."Suara itu menggema, berat dan mengerikan, memenuhi setiap sudut mimpi Bagas. Dalam kegelapan pekat, sosok Genderuwo berdiri menjulang.Genderowo mendekat dengan langkah berat yang mengguncang tanah, menciptakan retakan di bawah kaki Bagas.Bagas mundur perlahan, tubuhnya gemetar. “Nggak ... tolong jangan ambil dia! Jangan ambil Ratih!” teriaknya, suaranya pecah penuh ketakutan.“Aku sudah peringatkan berapa kali jangan rusak perjanjianmu, Bagas. Atau semuanya akan lenyap.” Genderuwo menyeringai, menunjukkan gigi-gigi tajamnya yang mengerikan. Suaranya terdengar seperti geraman seekor binatang buas.Sebelum Bagas sempat menjawab, sosok itu tiba-tiba melompat ke arahnya, menerkam dengan cakar besar. Bagas terbangun dengan teriakan keras, tubuhnya basah oleh keringat.Tak lama dia terbangun dari mimpi itu. "Hah! Mimpi be

  • Pesugihan Genderuwo   105. Berbohong

    “Aku tau,” kata Ratih pelan tapi tegas. “Aku tau ada harga yang harus dibayar. Tapi aku juga tau kalau kita tetap di jalan ini, harga yang kita bayar akan jauh lebih besar. Bahkan mungkin nyawa mu sendiri akan jadi bayarannya.”Suasana hening menyelimuti mereka. Ratih tahu perjuangannya tidak akan mudah. Bagas sudah terjerat dalam janji kekuatan gelap.Namun, Ratih tidak ingin menyerah. Dia teringat pesan Kyai Ahmad. "Kekuatan itu akan terus menuntut, hingga segalanya hancur."Bagas merasa terpojok. Dia menyadari bahwa Ratih benar, tapi ketakutannya lebih besar. Dia takut kehilangan segalanya. Kekayaan, status, bahkan nyawanya.“Aku cuma butuh waktu, Ratih,” kata Bagas akhirnya, suaranya melembut. “Berikan aku waktu untuk memikirkan semua ini.”Ratih menggeleng, ekspresinya tegas. “Aku rasa waktu yang kamu punya udah lebih dari cukup, Mas. Bahkan kamu udah menipu aku dengan amarahmu itu!”Bagas terdiam. Sorot matanya berubah, men

  • Pesugihan Genderuwo   104. Ratih Mendatangi Bagas

    "Argh! Aku harus bicara dengan Mas Bagas!" Ratih bangkit dari duduknya, bersiap pulang ke rumah Bagas. Dia ingin suaminya sadar atas semua kesalahannya. Ratih tinggal di kontrakan, jauh dari rumah itu. Namun, setiap hari dia dihantui oleh bayangan Genderuwo. Desas-desus tentang Bagas terdengar di mana-mana. Warga sering membicarakan suaminya dengan nada sinis. Ratih hanya diam, tidak pernah menjawab. Ratih merasa iba dan kasihan pada Bagas. Jika terbongkar, Bagas bisa diusir dari desa. Bahkan, mungkin hal buruk lainnya akan terjadi. Tok! Tok! Ratih mengetuk pintu rumah sedikit keras. Pintu itu tidak terkunci, sehingga terbuka perlahan dengan sendirinya. "Mas Bagas!" panggil Ratih lembut. Tidak ada jawaban. Suasana di dalam rumah terasa sunyi dan dingin. Ratih melangkah ke kamar, tempat dia mendapati Bagas duduk di samping ranjang. Tubuhnya membungkuk, kedua tangan memegang lutut, seola

  • Pesugihan Genderuwo   103. Panen Busuk

    "Juragan! Ada orang dari kota mencari Juragan!" seru salah satu pekerja dengan wajah panik.Bagas segera bergegas ke ladang. Di sana, seorang pria paruh baya berpakaian rapi berdiri dengan tangan bertumpu di pinggang, ekspresinya tegas."Anda mencari saya?" tanya Bagas dari belakang, suaranya berat namun penasaran.Pria itu berbalik. "Oh, kamu Bagas?""Ya, benar. Ada apa?" Bagas merasakan firasat buruk menjalar di dadanya.Pria itu menarik napas panjang sebelum berkata, "Saya hanya ingin memberitahu, mulai hari ini ... kami menghentikan pembelian sayur dan beras dari ladangmu."Bagas terdiam sejenak, seolah waktu berhenti. Kata-kata itu menghantamnya seperti batu besar. Dengan nada tinggi, dia membalas, "Kenapa, Pak? Apakah hasil panen saya kurang baik?"Pria itu menatapnya dengan dingin. "Ya, benar. Kualitasnya buruk sekali."Bagas tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Tapi selama ini semuanya baik-baik saja, kan? Apa ada masalah baru?" tanyanya tak terima.Tanpa berkata banyak

  • Pesugihan Genderuwo   102. Mengubur Hidup-hidup

    "Aku harus kasih tahu warga!"Seorang petani yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ladang Bagas melangkah cepat menjauh dari rumah Bagas. Keringat bercucuran di wajahnya, bukan karena lelah, tetapi karena rasa takut yang menghantuinya. Petani itu berasal dari desa seberang, cukup jauh dari Desa Karang Jati, namun malam ini dia menyaksikan sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Bruk!Tak sengaja, beberapa gentong air yang berada di dekatnya terjatuh. Suara keras itu memecah kesunyian malam. Seketika, jantung petani itu berdetak kencang, lebih cepat dari sebelumnya. Dia mendengar suara Bagas dari dalam rumah."Siapa itu?!" teriak Bagas dengan nada curiga.Petani itu panik. Dengan cepat, dia bersembunyi di bawah tumpukan karung goni di samping gudang kecil yang ada di dekat rumah Bagas. Nafasnya berat, dan tangannya gemetar. Dia memejamkan mata, berharap kehadirannya tidak terendus.“Huff, aku nggak boleh ketahuan!” gumamnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri.Namu

  • Pesugihan Genderuwo   101. Aku adalah Kamu

    “Panas… Panas!”Bagas terus mengguyur tubuhnya dengan air dingin dari ember. Namun, rasa terbakar itu tidak kunjung hilang. Kulitnya merah seperti habis dijilat api. Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di antara siraman air. Tapi ini bukan hanya panas fisik, melainkan ketakutan yang merayap di benaknya.Dia tahu, apa yang dia lakukan tadi telah membuka pintu bahaya yang lebih besar. Genderuwo itu tidak akan pernah puas—tidak sampai mendapatkan apa yang telah dijanjikan."Aku yakin … pasti ada yang tolong Ratih!" gumamnya penuh amarah. Matanya merah menatap bayangan dirinya di air.Tiba-tiba, suara berat dan serak terdengar di belakangnya.“Bagas … Kamu telah lama tidak memberikan aku persyaratan itu.”Suara itu seperti gemuruh, membuat tubuh Bagas gemetar. Dia menoleh cepat, dan di sana berdiri sosok besar dengan tubuh berbulu hitam legam, mata merah menyala seperti bara api. Genderuwo itu melangkah mendekat, setiap langkahnya mengguncang lantai kayu rumah.“T—tunggu! Beri

  • Pesugihan Genderuwo   100. Bertubi-tubi

    "Astaga, kamu siapa?!" Ratih terkejut melihat sosok anak kecil di depannya. Tubuh anak itu dipenuhi bulu tebal, pendek, namun matanya menyala merah seperti bara api. Senyumnya lebar, terlalu lebar untuk wajahnya yang kecil.Ratih mundur dengan napas tersengal, tapi sebelum dia bisa berkata lebih banyak, sosok itu mendekat dengan langkah lambat, tangannya terulur ke arah Ratih.Seketika, Ratih tersentak bangun. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Dia memegang dadanya yang berdegup kencang, mencoba mengatur pernapasannya."Astagfirullah... aku tadi mimpi?" gumamnya, suaranya terdengar gemetar. Dia mengusap wajahnya dengan tangan yang masih bergetar, berharap bisa menghapus sisa ketakutan dari mimpi buruknya.Ratih duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan diri. Tapi perasaan tidak nyaman itu belum hilang. Seolah bayangan mimpi tadi masih menempel di pikirannya.Dia bangkit perlahan, berjalan menuju jendela kamar. Langit sudah gelap, hanya diterangi oleh bulan

  • Pesugihan Genderuwo   99. Bayangan Mimpi

    “Anakku… Kenapa begini!”Ratih terhenti. Suara itu terdengar dekat, dipenuhi kesedihan yang mendalam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari sumber suara. Di kejauhan, dia melihat bayangan seorang wanita yang duduk di tanah. Wanita itu menangis tersedu, tubuhnya berguncang, sementara di pelukannya ada sosok kecil yang tampak tak bergerak.Hati Ratih berdebar. Dia ragu untuk mendekat, tapi langkah kakinya seolah bergerak sendiri.“Bu, kenapa?” tanyanya dengan suara pelan, nyaris berbisik.Wanita itu tidak menjawab. Tangisannya semakin keras, seperti membelah keheningan malam. Ratih mencoba lebih dekat, tapi setiap kali dia melangkah, jaraknya tetap sama. Seolah-olah hutan itu tidak ingin dia mencapai wanita itu.Ratih mencoba lagi. “Bu, saya bisa bantu. Apa yang terjadi dengan anakmu?”Namun, wanita itu hanya menggeleng, masih menangis tersedu. “Dia… anakku… aku tidak bisa melindunginya…”Ratih tertegun. Ada rasa sakit yang begitu kuat dalam suara itu, seperti sebuah luka y

DMCA.com Protection Status