"Mas, itu kamu?" Ratih memanggil dari dapur, matanya menatap pintu yang setengah terbuka. Suara langkah berat terdengar di ruang tamu, tetapi tidak ada jawaban.Dia mengerutkan kening, merasa ada yang tidak biasa. Pisau dapur yang sedari tadi digunakan untuk memotong sayur kini digenggam lebih erat."Mas, kalau bercanda, ini nggak lucu!" Suaranya mulai terdengar tegang.Langkah itu berhenti, digantikan oleh suara napas berat yang menyeramkan. "Siapa di sana?" Ratih meninggikan suara. Tangannya yang gemetar bersiap dengan pisau, berjaga-jaga dari kemungkinan buruk.Lampu dapur yang redup tiba-tiba berkedip-kedip menciptakan bayangan aneh di dinding. Beberapa detik kemudiann, semuanya padam."Ya Allah!' pekiknya panik. Ratih menggerakkan tangan ke arah dinding. Mencoba meraba saklar lampu. Namun, sebelum berhasil, suara napas itu terdengar lagi—lebih dekat, seperti ada dibelakangnya."Pergi!" teriak Ratih. "Siapa pun kamu pergi dari kehidupanku!"Dapur berubah sunyi. Hanya ada suara na
Ratih berjalan pelan di tengah malam, Setibanya di depan rumah Kyai Ahmad, dia mengetuk pintu kayu yang usang, dan tak lama kemudian, suara berat dari dalam rumah terdengar."Siapa itu?" suara Kyai Ahmad terdengar begitu dalam dan menggetarkan.Ratih mengumpulkan keberanian. "Assalamu'alaikum, Kyai. Saya Ratih."Pintu terbuka perlahan."Wa'alaikumsalam, Nak. Masuklah," jawab Kyai Ahmad dengan suara yang tenang, mempersilakan Ratih masuk ke dalam rumahnya.Ratih melangkah masuk, dan dalam sekejap, dia merasa seolah berada di tempat yang jauh berbeda. Kehangatan dan ketenangan langsung menyelimuti dirinya, seakan-akan seluruh kekhawatirannya sedikit berkurang. Kyai Ahmad mempersilakan Ratih duduk di sebuah kursi bambu yang terletak di tengah ruangan."Sampaikan kenapa kamu datang kesini lagi, Nak," kata Kyai Ahmad, duduk di hadapan Ratih dengan tatapan yang tajam namun penuh pengertian.Ratih menarik napas panjang dan mulai menceritakan segalanya. "Kyai, suami saya, Bagas, sedang dilan
Semenjak Bagas mengungkapkan perjanjian pesugihan kepada istrinya. Hari demi hari, Bagas tidak terfokus dengan ladangnya. Dia telah lama tidak berkunjung atau hanya sekedar melihat hasil panennya. 'Ratih, sekarang nggak pernah melihat ku lagi di rumah! Hem! Ini semakin lebih berat dari yang aku bayangkan!' Bagas duduk di ruang tamu dengan wajah letih. Tangannya gemetar menggenggam secangkir kopi yang belum disentuh. Dia tahu Ratih pergi tanpa izin, tetapi tak punya keberanian untuk menanyakannya. “Mas Bagas,” panggil Ratih tegas. Suaranya membuat pria itu tersentak. “Ratih ... kamu dari mana?” Bagas mencoba terdengar santai, meski matanya menyiratkan rasa takut. Ratih berjalan mendekat, menatap Bagas dengan mata yang tajam namun penuh harapan. “Aku bertemu Kyai Ahmad Syafii.” Mata Bagas membesar. “Apa? Kenapa kamu melibatkan orang luar, Ratih? Ini masalah kita!” “Masalah kita?” Ratih tertawa pahit. “Mas, ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang hidup kita, Kamu pikir aku akan
Ratih menyeka air matanya, lalu mendekati Bagas. Kali ini suaranya melembut, tapi tetap penuh ketegasan. "Mas, kamu yang memulai semua ini dan kamu harus menyelesaikannya. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, buktikan. Kita hadapi makhluk itu. Tapi aku punya syarat." Bagas mengangkat wajahnya, mencoba menangkap harapan di mata istrinya. "Apa syaratnya, Tih?" "Kamu harus putuskan semua hubungan dengan ilmu hitam itu. Tidak ada lagi pesugihan, tidak ada lagi kompromi. Kalau kamu berani melawan makhluk itu, aku akan berdiri di sisimu. Tapi kalau kamu nggak berani, Mas... aku pergi," tegas Ratih. 'Meski aku sebenarnya udah nggak mau lagi menjalin hubungan ini sama kamu, Mas!' Ratih berbicara dalam hatinya. Bagas terdiam lama, memikirkan kata-kata istrinya. Kengerian mulai merayap di hatinya. Namun, jauh di dalam dirinya, ada dorongan yang perlahan tumbuh: harapan dan keberanian. "Baik, Ratih. Aku akan melawan. Aku akan menebus kesalahanku ... demi kamu." Di luar, suara angin yang mend
"Di desa sebelah, kira-kira tiga jam perjalanan dari sini," sahut Bagas, masih dengan nada menyesal. Kyai Ahmad mengangguk perlahan, lalu berkata, “Baik. Kita nggak akan menghadapi ini sendirian. Ki Raden Praja kemungkinan besar masih memiliki koneksi dengan makhluk itu. Tapi ingat, yang terpenting adalah iman kalian. Ini akan menjadi ujian.” Ratih menatap Kyai Ahmad dengan penuh harap. “Apa yang harus kami persiapkan, Kyai?” “Selain keyakinan, hanya doa,” jawab Kyai Ahmad sambil melipat tangannya di dada. “Namun, aku akan melindungi kalian dengan ini.” Diaa mengangkat keris kecil berukir bahasa yang tidak di pahami Bagas maupun Ratih. “Ini adalah senjata khusus untuk melawan makhluk seperti Genderuwo. Tapi ingat, senjata ini hanya bekerja jika kita nggak memiliki rasa takut.” Bagas tampak semakin gugup, tapi Ratih memegang tangannya erat. "Mas, kamu bisa melakukannya. Kita harus—!" Kyai Ahmad berdiri, mengamati keduanya. “Kita akan berangkat sekarang. Tapi ingat, jangan ada pert
Bagas menunduk lebih dalam, tangannya mengepal erat. “Aku takut, Tih. Aku takut kehilangan kamu. Waktu itu aku berpikir, kalau aku bisa menyelamatkanmu, aku akan lakukan apa saja.” Kyai Ahmad kembali memimpin perjalanan, tapi kali ini dia berbicara sambil berjalan. “Le, dalam hidup ini, kita memang sering dihadapkan pada pilihan sulit. Tapi pilihan yang benar sering kali adalah yang paling berat. Kamu harus ingat, ujian itu bukan untuk melemahkan kita, tapi untuk menguatkan iman kita.” Bagas mengangguk, meskipun rasa bersalahnya masih membebaninya. “Kyai, saya menyesal. Saya ingin menebus semuanya. Saya akan melakukan apa aja.” Kyai Ahmad berhenti sejenak, lalu menatap Bagas. “Penyesalanmu adalah langkah awal, Le. Tapi perjalananmu untuk menebus dosa ini masih panjang. Malam ini, kita akan menghadapinya bersama. Kamu harus siap, karena Genderuwo itu akan berusaha menghancurkan mu." Suasana semakin mencekam saat mereka memasuki area yang gelap dan penuh kabut tebal. Suara burung ha
Sudah tiga jam kita berputar-putar seperti tak berujung! Mana jimatnya? Kamu yakin bener petunjuk itu, Mas?" Ratih hampir berteriak, saraf-sarafnya tegang. Kekecewaan membanjiri hatinya, membuat setiap langkah terasa berat. "Kenapa sih kamu harus nyalahin aku terus? Udah capek-capek nyari, jimatnya nggak ketemu juga. Ini bukan salahku!" Ratih kembali memegang pinggangnya dan marah sejadi-jadinya pada Bagas. "Mas, kamu masih tanya salahmu di mana? Kita sampai ke sini itu karena apa dan siapa?" Suasana malam semakin mencekam, dinginnya angin hutan menusuk hingga ke tulang. Ratih berdiri di depan Bagas, matanya berkaca-kaca, dipenuhi kemarahan dan keputusasaan. Kyai Ahmad yang berada di dekat mereka hanya menghela napas, membiarkan pasangan itu menyelesaikan ketegangan mereka. “Mas,” ujar Ratih dengan nada gemetar, “kamu bilang semua ini buat aku. Tapi lihat, kita ke sini mencari benda yang kamu berusaha sembunyikan itu, dan kamu masih aja nggak mau ngaku salah? Kalau bukan karena k
“Le, aku tahu kamu masih di sana,” kata Kyai Ahmad dengan suara tegas. “Kuatkan dirimu, jangan biarkan makhluk ini mengambil alih.” Namun, tubuh Bagas melompat dengan kecepatan yang mengejutkan, menyerang ke arah Kyai Ahmad. Kyai dengan sigap menyiramkan air zamzam ke arahnya, membuat tubuh Bagas terhenti sejenak dan terhuyung mundur sambil berteriak kesakitan. "Aaargh! Apa ini?!" teriak Bagas, suaranya bercampur dengan suara makhluk lain. Bagas terus meronta, tubuhnya gemetar hebat. Matanya kini memancarkan tatapan liar, penuh amarah, namun di balik itu tersirat rasa sakit yang mendalam. Suaranya, kini semakin berat dan menakutkan, kembali terdengar. “Pulang ... kalian harus pulang sekarang!” Ratih memegangi lengan Kyai Ahmad dengan cemas. “Kyai, dia semakin parah. Kita nggak bisa biarkan Mas Bagas seperti ini.” Kyai Ahmad menghela napas berat. "Makhluk itu menggunakan rasa putus asa dan rasa bersalahnya sebagai pintu masuk. Kita nggak bisa melanjutkan pencarian ini jika Ba
“Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?”“Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!”“Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu." "Bunuh
“Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te
"“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a
"“Kamu lihat itu, Bagus?” Taufik berbisik dengan suara gemetar. “Matanya... Bukan mata manusia lagi.” Malam menebarkan kabut pekat di atas Desa Karangjati. Bau tanah basah bercampur amis darah menggantung di udara. Di sela reruntuhan rumah dan jalan-jalan berlumpur, dua sosok bergerak cepat, berusaha menghindari perhatian. Taufik menarik Bagus bersembunyi di balik puing pagar kayu yang setengah roboh. Napas mereka memburu. Jarak beberapa meter di depan, Ratih berdiri. Di sekelilingnya, dua anak kecil — Jagat dan Kala — saling berbisik sambil tertawa kecil. Yang membuat bulu kuduk Taufik berdiri bukanlah suara tawa itu. Melainkan mata mereka. Mata Jagat dan Kala memancarkan sinar gelap, seolah ada sesuatu yang bergerak di balik pupilnya — sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Taufik menggenggam lengan Bagus erat-erat. "Jangan lihat mereka terlalu lama," bisiknya. "Mereka... bukan anak biasa." Bagus menelan ludah. "Kita... kita harus tetap mengikuti mereka, kan?" Taufik
Angin malam menyapu deras di Desa Karangjati. Di bawah sinar bulan pucat, Balai Desa dipenuhi wajah-wajah gelisah. Para warga berbisik-bisik, matanya penuh kecurigaan yang membara. "Ini... semua ini gara-gara Ratih," bisik Pak Darmin, suaranya bergetar, menahan emosi. "Benar! Sejak dia kembali, kematian datang bertubi-tubi," sahut Bu Marni, matanya menyala penuh dendam. Dulah, kepala dusun yang biasanya tenang, berdiri di tengah kerumunan. Suaranya berat saat berbicara, "Tenang dulu, semua. Kita belum tahu apa-apa." "Apanya yang belum tahu?!" seru seorang lelaki dari belakang. "Bayi-bayi mati! Hewan ternak hancur! Semua kejadian buruk bermula setelah Ratih datang bersama dua anak setannya itu!" Kerumunan mulai riuh. Suasana berubah jadi lautan emosi liar yang hampir tak terkendali. Bagus, seorang pemuda desa, maju dengan wajah suram. "Aku... aku pernah melihat sendiri," katanya, suaranya bergetar. Semua mata menoleh. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang berani menyela. "Aku
“Wuh, enak sekali ya, tubuhnya harum,” gumam Indra sambil menjilat bibirnya sendiri. Langkahnya menelusuri jalan setapak di tengah hutan yang gelap dan sunyi. Hutan itu menjadi saksi bisu atas perlakuan bejatnya terhadap Ratih. Indra tak bisa menghilangkan bayangan wajah Ratih dari kepalanya. Senyuman Ratih, tubuhnya, tatapannya—semua masih melekat kuat dalam pikirannya. “Wajah itu... sangat cantik,” gumamnya pelan. Dia menyeringai puas, tenggelam dalam lamunannya, hingga tanpa sadar... SROK! “Auh!” teriaknya. Tubuhnya terperosok masuk ke dalam lubang cukup dalam, tubuhnya membentur tanah keras. Kaki kanannya terasa nyeri luar biasa, seperti terkilir atau mungkin patah. “Brengsek! Bagaimana bisa aku nggak lihat lubang ini?” makinya sambil mencoba berdiri. Tapi begitu berat. Kakinya benar-benar tidak bisa menopang tubuhnya.Dia mulai berteriak. “Tolong! Siapa saja, tolong aku! Aku jatuh!” Namun siapa yang akan mendengarnya di tengah hutan lebat dan gelap seperti ini? Hanya sua
"Pak, tolong selesaikan rumah ini!" Ratih menyerahkan sejumlah uang kepada seorang pekerja bangunan. Namun, pria itu menolak dengan halus. "Maaf, Mbak. Saya nggak bisa melanjutkan ini," katanya sambil terus menatap pondasi rumah yang dulu pernah dikerjakan oleh almarhum Bagas. Ratih menyilangkan lengannya. "Kenapa, Pak? Apakah uangnya kurang? Kalau soal uang, saya bisa menambahkannya beberapa bulan lagi. Saya harus kerja dulu." Tapi, pria itu terlihat gugup dan ketakutan. "Bukan itu masalahnya, Bu. Maaf, saya benar-benar nggak bisa," ujarnya sambil terburu-buru pergi, meninggalkan Ratih yang masih berdiri kebingungan. "Ada apa dengannya?" gumam Ratih. Raut wajah pria itu seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang sangat mengerikan.*** Beberapa hari kemudian, Ratih tetap berusaha mencari pekerja bangunan lain yang mau menyelesaikan rumahnya. "Bagaimana ini? Semua orang menolak. Nggak ada yang mau mengerjakan rumah ini. Bagaimana kalau apa yang dikhawatirkan Mas Baga
"Jagat... Kala, hentikan!"Suasana begitu mencekam.Ratih berdiri dengan tubuh gemetar, matanya tak bisa lepas dari pemandangan mengerikan di hadapannya. Jagat dan Kala sedang melahap beberapa kambing hidup. Daging dan darah segar berceceran, memenuhi tanah kandang ternak.Mereka seperti binatang buas yang kelaparan. Tidak—mereka lebih dari itu. Mereka bukan lagi manusia sepenuhnya.Walaupun Kala tampak lebih normal, tetap saja sifat iblis mengalir dalam darahnya, sama seperti Jagat, kakaknya.Kala menoleh dengan mulut berlumuran darah."Ini enak, Bu. Mau coba?"Suara itu tidak keluar dari mulutnya—suara itu menggema di dalam kepala Ratih.Ratih melangkah mundur, tangannya mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Mata kedua anaknya semakin tajam, semakin menyeramkan.Dan yang lebih menakutkan—mereka bahkan tidak ragu untuk menyerangnya."Jagat... Kala! Hentikan perbuatan kalian!"Ratih berteriak, suaranya menggema di kandang ternak milik seorang warga yang baru saja pindah ke desa Sumb
"Jangan...!"Napas Ratih memburu, memenuhi ruangan yang kini terasa semakin sempit. Tubuhnya gemetar hebat, peluh membasahi pelipisnya."Tidak mungkin... Ini tidak akan terjadi!"Ratih berdiri dari duduknya dengan tergesa, tangannya meraih teko air di atas meja dan meneguk beberapa gelas sekaligus. Namun, rasa sesak di dadanya tak kunjung mereda."Mimpi itu datang lagi!"Tangan Ratih semakin gemetar. Keringat dingin mengalir deras di punggungnya. Kenapa dia selalu bermimpi buruk tentang masa depan? Mengapa bayangan Jagat dan Kala yang berubah menjadi sosok mengerikan selalu menghantuinya?Dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, pikirannya terus berkecamuk."Tidak mungkin ini akan terjadi, kan? Apa yang harus aku lakukan jika semua itu benar-benar terjadi?"Krek!Ratih terperanjat.Suara itu datang dari belakangnya—suara seperti kuku yang mencakar kayu.Krek!Kali ini suara itu semakin jelas. Seolah-olah sesuatu sedang merayap mendekat.Ratih membeku. Tangannya men