Beranda / Horor / Pesugihan Genderuwo / 55. Pengungkapan Persyaratan

Share

55. Pengungkapan Persyaratan

Penulis: Wenchetri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-03 01:17:40

Ratih menyeka air matanya, lalu mendekati Bagas. Kali ini suaranya melembut, tapi tetap penuh ketegasan. "Mas, kamu yang memulai semua ini dan kamu harus menyelesaikannya. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, buktikan. Kita hadapi makhluk itu. Tapi aku punya syarat."

Bagas mengangkat wajahnya, mencoba menangkap harapan di mata istrinya. "Apa syaratnya, Tih?"

"Kamu harus putuskan semua hubungan dengan ilmu hitam itu. Tidak ada lagi pesugihan, tidak ada lagi kompromi. Kalau kamu berani melawan makhluk itu, aku akan berdiri di sisimu. Tapi kalau kamu nggak berani, Mas... aku pergi," tegas Ratih.

'Meski aku sebenarnya udah nggak mau lagi menjalin hubungan ini sama kamu, Mas!' Ratih berbicara dalam hatinya.

Bagas terdiam lama, memikirkan kata-kata istrinya. Kengerian mulai merayap di hatinya. Namun, jauh di dalam dirinya, ada dorongan yang perlahan tumbuh: harapan dan keberanian. "Baik, Ratih. Aku akan melawan. Aku akan menebus kesalahanku ... demi kamu."

Di luar, suara angin yang mend
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pesugihan Genderuwo   56. Kekecewaan Semakin Bertambah

    "Di desa sebelah, kira-kira tiga jam perjalanan dari sini," sahut Bagas, masih dengan nada menyesal. Kyai Ahmad mengangguk perlahan, lalu berkata, “Baik. Kita nggak akan menghadapi ini sendirian. Ki Raden Praja kemungkinan besar masih memiliki koneksi dengan makhluk itu. Tapi ingat, yang terpenting adalah iman kalian. Ini akan menjadi ujian.” Ratih menatap Kyai Ahmad dengan penuh harap. “Apa yang harus kami persiapkan, Kyai?” “Selain keyakinan, hanya doa,” jawab Kyai Ahmad sambil melipat tangannya di dada. “Namun, aku akan melindungi kalian dengan ini.” Diaa mengangkat keris kecil berukir bahasa yang tidak di pahami Bagas maupun Ratih. “Ini adalah senjata khusus untuk melawan makhluk seperti Genderuwo. Tapi ingat, senjata ini hanya bekerja jika kita nggak memiliki rasa takut.” Bagas tampak semakin gugup, tapi Ratih memegang tangannya erat. "Mas, kamu bisa melakukannya. Kita harus—!" Kyai Ahmad berdiri, mengamati keduanya. “Kita akan berangkat sekarang. Tapi ingat, jangan ada pert

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   57. Mencari Jimat yang hilang

    Bagas menunduk lebih dalam, tangannya mengepal erat. “Aku takut, Tih. Aku takut kehilangan kamu. Waktu itu aku berpikir, kalau aku bisa menyelamatkanmu, aku akan lakukan apa saja.” Kyai Ahmad kembali memimpin perjalanan, tapi kali ini dia berbicara sambil berjalan. “Le, dalam hidup ini, kita memang sering dihadapkan pada pilihan sulit. Tapi pilihan yang benar sering kali adalah yang paling berat. Kamu harus ingat, ujian itu bukan untuk melemahkan kita, tapi untuk menguatkan iman kita.” Bagas mengangguk, meskipun rasa bersalahnya masih membebaninya. “Kyai, saya menyesal. Saya ingin menebus semuanya. Saya akan melakukan apa aja.” Kyai Ahmad berhenti sejenak, lalu menatap Bagas. “Penyesalanmu adalah langkah awal, Le. Tapi perjalananmu untuk menebus dosa ini masih panjang. Malam ini, kita akan menghadapinya bersama. Kamu harus siap, karena Genderuwo itu akan berusaha menghancurkan mu." Suasana semakin mencekam saat mereka memasuki area yang gelap dan penuh kabut tebal. Suara burung ha

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   58. Rasuk

    Sudah tiga jam kita berputar-putar seperti tak berujung! Mana jimatnya? Kamu yakin bener petunjuk itu, Mas?" Ratih hampir berteriak, saraf-sarafnya tegang. Kekecewaan membanjiri hatinya, membuat setiap langkah terasa berat. "Kenapa sih kamu harus nyalahin aku terus? Udah capek-capek nyari, jimatnya nggak ketemu juga. Ini bukan salahku!" Ratih kembali memegang pinggangnya dan marah sejadi-jadinya pada Bagas. "Mas, kamu masih tanya salahmu di mana? Kita sampai ke sini itu karena apa dan siapa?" Suasana malam semakin mencekam, dinginnya angin hutan menusuk hingga ke tulang. Ratih berdiri di depan Bagas, matanya berkaca-kaca, dipenuhi kemarahan dan keputusasaan. Kyai Ahmad yang berada di dekat mereka hanya menghela napas, membiarkan pasangan itu menyelesaikan ketegangan mereka. “Mas,” ujar Ratih dengan nada gemetar, “kamu bilang semua ini buat aku. Tapi lihat, kita ke sini mencari benda yang kamu berusaha sembunyikan itu, dan kamu masih aja nggak mau ngaku salah? Kalau bukan karena k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   59. Semakin Menyiksa

    “Le, aku tahu kamu masih di sana,” kata Kyai Ahmad dengan suara tegas. “Kuatkan dirimu, jangan biarkan makhluk ini mengambil alih.” Namun, tubuh Bagas melompat dengan kecepatan yang mengejutkan, menyerang ke arah Kyai Ahmad. Kyai dengan sigap menyiramkan air zamzam ke arahnya, membuat tubuh Bagas terhenti sejenak dan terhuyung mundur sambil berteriak kesakitan. "Aaargh! Apa ini?!" teriak Bagas, suaranya bercampur dengan suara makhluk lain. Bagas terus meronta, tubuhnya gemetar hebat. Matanya kini memancarkan tatapan liar, penuh amarah, namun di balik itu tersirat rasa sakit yang mendalam. Suaranya, kini semakin berat dan menakutkan, kembali terdengar. “Pulang ... kalian harus pulang sekarang!” Ratih memegangi lengan Kyai Ahmad dengan cemas. “Kyai, dia semakin parah. Kita nggak bisa biarkan Mas Bagas seperti ini.” Kyai Ahmad menghela napas berat. "Makhluk itu menggunakan rasa putus asa dan rasa bersalahnya sebagai pintu masuk. Kita nggak bisa melanjutkan pencarian ini jika Ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • Pesugihan Genderuwo   60. Gagal Panen

    "Ini, ambil! Jangan letakkan di sini!" suara Bagas menggema tegas di tengah ladang. Dia mengarahkan para petani yang sibuk memindahkan karung-karung hasil panen ke gudang. Peluh membasahi dahinya, tetapi matanya tetap fokus pada pekerjaannya. Namun, suara Ratih dari kejauhan memecah konsentrasinya. "Mas Bagas!" panggilnya, "Sarapan dulu!" teriaknya dari depan rumah. Bagas menghentikan aktivitasnya sejenak, menatap Ratih yang berdiri dengan celemek di pinggang dan wajah cemas. Dia tidak menjawab. Matanya menajam, memandang istrinya dari kejauhan. Dalam hati, ada pikiran yang melintas. 'Apa yang dia lakukan? Kenapa terus aja berteriak-teriak seperti itu? Nggak lihat aku sedang sibuk?' Bagas menghela napas panjang, menyapu keringat di dahinya dengan tangan. "Nanti aja! Aku masih banyak kerjaan!" balasnya akhirnya, tapi nadanya terdengar lebih ketus dari biasanya. Ratih berjalan mendekat dengan ekspresi kecewa. "Mas, sarapan dulu! Nanti kamu lemas dan sakit" ujar Ratih Bagas mem

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Pesugihan Genderuwo   61. Keresahan Bagas

    Bagas melangkah dengan penuh amarah, meninggalkan Ratih dan Kyai Ahmad tanpa memedulikan panggilan mereka. Langkah-langkahnya membawanya ke arah hutan yang gelap, jauh dari desa. Hari semakin gelap, dan suara-suara hutan mulai terdengar—gemerisik daun, lolongan aneh dari kejauhan, dan sesekali bunyi ranting yang patah di bawah kakinya. “Kenapa jalannya jadi sejauh ini? Rumah Ki Praja nggak biasanya sejauh ini dari desa,” pikir Bagas sambil terus berjalan. Peluh membasahi dahinya, sementara dadanya mulai terasa sesak karena kelelahan. Hutan itu terasa aneh. Pohon-pohon besar tampak lebih menyeramkan dari biasanya, dengan cabang-cabang yang menjulur seperti tangan kurus yang ingin menangkapnya. Sesekali Bagas berhenti untuk melihat sekeliling, mencoba mencari jalan yang benar. Tapi anehnya, setiap kali dia melangkah maju, dia merasa seperti kembali ke tempat yang sama. "Hah! Capek! Kenapa sih kok belum kelihatan juga rumah Ki Praja? Heran?!" keluhnya dengan napas tersengal-sengal

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-04
  • Pesugihan Genderuwo   62. Kemarahan Ki Raden Praja

    "Ya, itu risiko mu!" suara Ki Praja menggema, penuh amarah. "Aku tahu apa yang sudah kamu lakukan, Bagas!"Bagas langsung menunduk, tubuhnya gemetar. "Maafkan saya, Ki! Saya ... saya nggak punya pilihan lain!" suaranya hampir berbisik, penuh penyesalan.Ki Praja melangkah mendekat, tatapannya seperti bara api yang siap membakar. "Kamu telah mengkhianati perjanjian ini, Bagas! Kamu melupakan tugasmu, bahkan berani menentang keinginan Genderuwo! Apa kamu pikir, setelah semua ini, aku akan membiarkanmu pergi begitu aja?"Bagas berlutut, tangannya gemetar memohon ampun. "Saya nggak berniat mengkhianati, Ki. Saya hanya takut. Kyai Ahmad datang, dia memaksa saya untuk menghentikan semua ini. Saya nggak tau harus bagaimana lagi!"Ki Praja mendengus, suaranya seperti guntur yang bergemuruh. "Alasan! Kamu tau apa yang kamu tanda tangani ketika kita membuat perjanjian ini. Harta yang kamu dapatkan itu bukan cuma dari keringatmu sendiri, tapi dari kekuatan yang lebih besar! Dan sekarang, kamu ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05
  • Pesugihan Genderuwo   63. Senyum Sinis

    Bagas tertegun, napasnya tersengal di bawah tatapan tajam Ki Praja. Sosok tua itu berdiri diam di hadapannya, dengan sorot mata penuh kemenangan yang membuat udara terasa semakin berat. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, tetapi senyum tipis di bibirnya sudah cukup untuk membuat Bagas merasakan sesuatu yang tidak beres."Aku nggak mungkin melawan ini semua," pikir Bagas. Namun, tatapannya masih terpaku pada Ki Praja, mencoba mencari petunjuk apa yang akan dilakukan lelaki itu.Di sisi lain, Ki Praja hanya berdiri, memandang Bagas seperti seorang pemilik yang mengamati hewan peliharaannya. Dia tidak mengatakan apa pun, tetapi di dalam hatinya Dia membatin, 'Bagas… kamu sudah kembali padaku. Kamu pikir bisa melarikan diri? Tidak ada yang bisa keluar dari jeratku begitu saja. Sekali terjebak, selamanya kamu milikku.'Ki Praja memalingkan wajahnya, menatap pohon besar yang menjadi saksi perjanjian mereka. Dia berjalan pelan ke arahnya, tangannya yang kurus dan penuh urat meny

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-05

Bab terbaru

  • Pesugihan Genderuwo   185. Bertemu Feri yang Ketakutan

    "Kyai!" panggil Bagas dengan suara keras di depan rumah Kyai Ahmad. Hembusan napasnya berat, mencerminkan keputusasaan yang menyelimuti hatinya. Terdengar suara langkah mendekat dari dalam. Gagang pintu perlahan bergerak, menandakan seseorang akan keluar. Namun, alih-alih Kyai Ahmad, sosok pria lain muncul—Feri. Bagas terkejut melihatnya. Wajah Feri pucat seketika saat mengenali Bagas. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, mengingat kejadian masa lalu yang membuatnya hampir kehilangan nyawa karena ulah Bagas. "Ma—Mas Bagas?" Feri tergagap, suaranya bergetar. Dia berdiri di ambang pintu, seolah ingin memastikan bahwa pria di hadapannya itu nyata. Bagas, yang masih diliputi kebingungan dan kegelisahan, hanya menatap Feri tanpa banyak bicara. Namun, sorot matanya yang penuh tekanan membuat Feri semakin cemas. Rasa trauma yang mendalam kembali menyeruak di hati Feri. Dalam sekejap, dia menarik napas panjang dan s

  • Pesugihan Genderuwo   184. Kenyataan atau Mimpi

    "Jangan!" Bagas berteriak keras, suaranya menggema di ruangan sempit itu. Keringat dingin membasahi tubuhnya, dan napasnya tersengal-sengal saat ia terbangun dari tidur yang mencekam. Tangannya gemetar hebat, tubuhnya terasa kaku, sementara matanya melotot penuh ketakutan. "Apa itu tadi? Apa—apa yang terjadi padaku?" Bagas bergumam dengan suara parau, mencoba mengumpulkan keberanian untuk memahami apa yang baru saja ia alami. Mimpi itu terlalu nyata. Dalam mimpi tersebut, tubuhnya perlahan berubah. Kulitnya menghitam, bulu-bulu kasar tumbuh di seluruh tubuhnya. Matanya memerah, kuku-kuku tangannya memanjang menyerupai cakar. Bayangannya di genangan air menunjukkan sosok mengerikan—dirinya sendiri berubah menjadi Genderuwo. Dengan tangan gemetar, Bagas menurunkan kakinya dari ranjang. Namun, tubuhnya terasa lemah, hampir tidak sanggup menopang beratnya. Dia menunduk, menatap telapak tangannya yang masih bergetar. "Bulu halus ini … kenapa tidak pernah benar-benar hilang? Tapi tadi,

  • Pesugihan Genderuwo   183. Niat Balas dendam?

    "Kenapa tadi kamu terlihat murung, Nak Bagas?" tanya Kyai Ahmad, menyadari kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Bagas. Bagas terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah harus menceritakan semuanya. Akhirnya, dia menghela napas panjang dan mulai bicara. "Nggak ada, Kyai ... Tapi, akhir-akhir ini saya sering mimpi tentang Mbah saya. Mimpi itu ... aneh dan terasa nyata! Di situ, Mbah saya terlihat begitu kejam, bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan bahwa Mbah saya pernah menghabisi nyawa seseorang," jelas Bagas dengan suara bergetar. Kyai Ahmad memejamkan matanya, seperti sedang merenung dalam. "Apakah ini ada hubungannya dengan dukun yang dulu membantumu melakukan pesugihan?" tanyanya perlahan. Bagas mengangguk ragu. "Iya, Kyai! Saya merasa ada kaitannya. Tapi saya nggak ngerti maksud dari semua ini," jawabnya lirih. Kyai Ahmad menatap Bagas dengan tatapan penuh arti. "Aku memang melihat ada sesuatu antara Mbahmu dengan dukun itu," katanya sambil menghela napas panjang.

  • Pesugihan Genderuwo   182. Penyesalan Tidak berarti

    "Tapi di mana aku bisa mencarinya?" gumam Bagas, berusaha mengendalikan rasa takut yang mulai merayap. "Aku harus tahu kebenaran ini. Kalau benar dia yang menghancurkan hidupku, aku harus menemukannya." Namun, Bagas sadar bahwa langkah ini sangat berbahaya. Ki Praja bukan hanya sekadar dukun. Dia adalah seseorang yang bisa membalaskan dendamnya tanpa terlihat. Meski ragu, Bagas akhirnya memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Ki Praja. Namun, tak ada satu pun warga desa yang mau membantunya. Setiap kali dia mencoba bertanya, mereka hanya menghindar atau memberikan jawaban singkat yang tidak memuaskan. "Dimana lagi aku harus mencari tahu?" gumam Bagas dengan langkah berat menyusuri jalan berbatu. Kepalanya tertunduk lesu, pikirannya dipenuhi kebingungan dan rasa putus asa. Tanpa sadar, dia menabrak seseorang. Ketika Bagas mendongak, dia melihat Kyai Ahmad berdiri di depannya, menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Kyai!" Bagas terkejut, tetapi juga merasa lega mel

  • Pesugihan Genderuwo   181. Mencurigai Ki Praja

    "Kenapa kehidupanku semakin susah begini?" keluh Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tua yang hampir patah. Dia memandang kosong ke arah langit-langit rumah kecil yang kini menjadi tempat tinggalnya. Dari seorang yang pernah disegani karena kekayaannya, kini dia kembali hidup dalam kemiskinan. Semua itu terasa seperti hukuman yang tak pernah berakhir. Bagas merenung. Dia memang datang dari keluarga miskin. Kehidupannya yang keras memaksanya mencari jalan pintas—jalan gelap. Demi mengejar kekayaan, dia membuat perjanjian dengan makhluk halus, Genderuwo. Pesugihan itu memberinya harta melimpah untuk sementara waktu, tetapi dengan harga yang mahal. Sekarang, semuanya telah hancur. "Entah, hidupku semakin hari semakin memprihatinkan," gumamnya lirih, suara lelahnya memenuhi ruang tamu yang sunyi. Matahari sore menyelinap masuk melalui celah tirai usang, menciptakan garis-garis terang di lantai. Namun, sinar itu tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin dan penuh penyesalan.

  • Pesugihan Genderuwo   180. Wartono dan Ki Praja

    "Tolong ada orang di sini?" Bagas berteriak dengan kencang, suaranya bergema tanpa jawaban. Bagas terbangun di sebuah tempat yang aneh. Di sekelilingnya hanyalah kabut putih tebal yang bergerak pelan seiring hembusan angin. Kakinya menginjak tanah dingin, tapi dia tidak tahu di mana dia berada. Saat dia berjalan perlahan, sosok-sosok mulai bermunculan dari balik kabut. Wajah mereka terlihat jelas—semuanya mirip dengan kakeknya, Wartono. Bagas terpaku, tubuhnya kaku seperti membeku. "Kalian siapa?" suaranya bergetar, hampir tidak keluar dari tenggorokan. Mereka hanya berdiri mematung, tatapan dingin mereka menusuk ke arah Bagas. Salah satu dari mereka melangkah maju. Wajahnya sangat identik dengan kakeknya, hingga Bagas tak bisa membedakan. "Mbah... Mbah Warto? Kenapa banyak sekali?" Bagas bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar. Sosok yang mirip Wartono itu tidak menjawab. Sebaliknya, angin tiba-tiba berhembus di telinga Bagas, membawa bisikan lembut namun menyeramkan

  • Pesugihan Genderuwo   179. Desa Sumberarum

    "Aku harus segera pergi!" Ratih mulai mengemas pakaiannya dengan tergesa-gesa. Tangannya gemetar saat melipat setiap helai baju, tetapi dia berusaha tetap fokus. Setelah selesai, dia mengintip dari balik gorden, memastikan situasi di luar aman sebelum meninggalkan kontrakannya. Ketika dia merasa tidak ada yang mencurigakan, Ratih berjalan cepat menuju persimpangan jalan. Di sana, dia melihat seorang pengayuh becak yang sedang duduk termenung di bawah lampu jalan yang remang-remang. "Bang, antarkan saya ke Desa Sumberarum, ya!" pinta Ratih dengan nada yakin. Mamang becak menatapnya dengan ragu. "Yakin, Neng? Ini udah malam banget loh. Disana gelap banget kalau udah malam begini!" katanya, terlihat khawatir. Ratih tersenyum kecil, mencoba menenangkan kegelisahan si tukang becak. "Udah tenang aja, Bang. Saya udah pernah ke sana. Nggak seseram itu kok." Meskipun masih ragu, Mamang becak akhirnya mengangguk dan mulai mengayuh becaknya perlahan. Roda becak berderit pelan, mengiringi p

  • Pesugihan Genderuwo   178. Kediaman Ratih

    "Ratih, tunggu!"Bagas berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan. Namun, Ratih tak sedikit pun menoleh. Langkahnya semakin cepat, hampir seperti berlari. Dia menggenggam erat keranjang di tangannya, matanya lurus ke depan, mengabaikan panggilan suaminya yang semakin lirih di kejauhan."Maafkan aku, Mas! Aku nggak bisa dekat sama kamu!" bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bagas.Hatinya gelisah, tapi dia tahu ini adalah keputusan yang harus diambil. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan Bagas tidak mengikutinya. Napasnya memburu, bukan hanya karena langkahnya yang cepat, tetapi juga karena perasaan bersalah yang menyesakkan dadanya."Nggak bisa! Aku nggak bisa!" Begitu yang dia ucapkan pada dirinya sendiri.Setibanya di rumah, Ratih segera menutup pintu dengan tergesa-gesa, mengunci semua jendela dengan tangan gemetar. Dia menyandarkan tubuhnya pada pintu kayu itu, mencoba menenangkan detak jantung yang berpacu tak beraturan. Keringat dingin memb

  • Pesugihan Genderuwo   177. Perut Membesar

    "Ampun, Mbah Warto!"Seorang wanita bersimpuh, menangis dengan suara parau. Tubuhnya gemetar, memohon di hadapan sosok tua dengan wajah tanpa ekspresi. Bagas berdiri di dekatnya, menatap pemandangan itu dengan rasa campur aduk—iba dan ngeri bercampur jadi satu."Mbah!" seru Bagas, mencoba menghentikan tindakan kakeknya. Namun, teriakannya hanya menggema tanpa hasil. Wartono tetap diam, wajahnya seperti topeng tanpa emosi, sementara wanita itu terus menangis.“Mbah, hentikan!” Bagas mencoba mendekat, tapi tubuhnya terasa kaku, seperti ada kekuatan tak terlihat yang menahannya. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang hangat menetes di pipinya."Weh, Bagas! Kamu mati?"Suara nyaring itu menggema, memaksa Bagas membuka matanya perlahan. Pandangannya samar, tapi dia bisa mengenali suara itu. Dia berada di pondok ladangnya, terduduk di lantai bambu yang dingin."Ah... ada apa ini?" gumamnya sambil mengusap wajah."Kaya orang mati kamu tadi! Dipanggil nggak bangun-bangun!" sahut salah satu war

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status