Esok harinya, Ratih mendatangi Kyai Ahmad. Langit terlihat redup meski matahari bersinar terang.“Saya udah bilang, Ratih,” ujar Kyai Ahmad sambil menuangkan teh. “Rumah itu sudah menjadi perantara antara dunia kita dan dunia mereka. Semua ini akibat tindakan suamimu yang belum diselesaikan.”Ratih menarik napas dalam-dalam. “Tapi, kenapa saya yang lebih sering melihat sosok itu? Kenapa bukan Mas Bagas?” tanyanya, mencoba memahami semua ini.Kyai Ahmad memandangnya dengan tenang tapi serius. “Karena kamu adalah pintu, Ratih. Suamimu, Bagas, telah membuat sebuah perjanjian. Tapi kunci untuk memenuhi perjanjian itu adalah kamu. Saya nggak tau perjanjian seperti apa yang Bagas lakukan yang jelas ini udah terikat."Ratih merasakan dadanya sesak, seolah udara tiba-tiba hilang dari sekitarnya. “Kunci?” bisiknya, hampir tak terdengar.“Ya,” jawab Kyai Ahmad. “Mereka membutuhkanmu. Jiwa atau keberadaanmu adalah bagian penting dari perjanjian itu. Jika mereka berhasil menguasaimu, semuanya sel
“Mas, kamu kenapa belakangan ini?” tanyanya pelan suatu pagi ketika mereka sarapan bersama.Bagas mendongak dari piringnya. Matanya yang biasanya hangat kini terlihat redup, seperti ada sesuatu yang menutupi sinar di dalamnya. "Nggak apa-apa," jawabnya singkat.Ratih tidak puas dengan jawaban itu. “Apa karena kotak kecil itu?! Jujurlah Mas! Mas melakukan perjanjian apa?"Bagas meletakkan sendok dengan keras, suaranya membuat Ratih terlonjak. “Aku bilang nggak apa-apa, Ratih! Jangan tanya lagi! Udah aku peringatkan jangan kamu sentuh kotak kecil itu lagi, paham!" Ratih terdiam, merasa tersakiti oleh nada suara suaminya. Namun, dia tahu ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak bisa dibiarkan.Ketika sarapan selesai, seperti biasa Bagas ke ladang. Memantau hasil panen dan para pekerjanya. Sekarang tidak ada lagi orang-orang yang menentang bahkan datang untuk mengecamnya. Mereka hanya datang untuk bertanya ladang bahkan hasilnya saja. Komplen yang pernah terjadi sebelumnya, itu sudah
Pagi harinya, Bagas terlihat lebih tenang, tapi tingkahnya masih tidak seperti biasanya. Dia tidak banyak bicara, hanya duduk di ruang tamu sambil menatap keluar jendela.Ratih mencoba mendekatinya lagi. “Mas, aku nggak bisa terus begini. Kamu harus jujur, ada apa?”Bagas menghela napas panjang, tapi dia tidak menoleh. “Aku sedang mencoba mencari solusi, Ratih. Semua ini… lebih rumit dari yang kamu kira.”“Solusi untuk apa? Mas, aku istrimu. Kalau kamu nggak cerita, bagaimana aku bisa bantu?”Bagas akhirnya menoleh, dan untuk sesaat, Ratih melihat sesuatu yang berbeda di matanya. Bukan hanya kelelahan, tapi juga ketakutan.“Perjanjian,” kata Bagas dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.Ratih merasa darahnya berdesir. “Apa maksudmu, Mas?"Bagas berdiri, berjalan mondar-mandir di ruang tamu. “A—aku sudah melakukan sebuah perjanjian, Ratih.”Ratih terpaku dengan ucapan suaminya. "Ma-mas, maksudnya perjanjian ... Ehm, perjanjian apa?" balas Ratih yang suaranya semakin kecil hingga ha
“Kita harus ke Kyai Ahmad,” kata Ratih akhirnya. “Dia yang tahu cara menghancurkan ini. Kita nggak bisa terus hidup seperti ini, Mas.” Bagas tampak ragu. “Mereka akan tahu kalau kita berusaha memutus perjanjian ini. Mereka tidak akan tinggal diam.” “Aku nggak peduli,” balas Ratih tegas. “Kamu yang memulai semua ini, dan aku yang harus menyelesaikannya. Kalau kamu nggak mau ikut, aku akan pergi sendiri.” Bagas terdiam. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Akhirnya, dia mengangguk. “Baiklah. Kita pergi ke Kyai Ahmad. Tapi aku nggak janji kalau ini akan berakhir baik.” Ratih berdiri, menghapus air matanya. “Aku nggak butuh janji, Mas. Aku cuma butuh keberanian kita berdua untuk melawan ini. Karena kalau bukan kita yang melawan, siapa lagi?”. "Iya aku tau itu!" Bagas benar-benar menyesal. "Mas aku mau tanya lagi. Apa kejadian Juragan Suwandi, Pak Marwan, Bu Sunar, Feri, dan semua korban yang pernah berjatuhan itu juga, faktor dari perjanjian ini?" tanya Ratih. Alisnya
"Mas, itu kamu?" Ratih memanggil dari dapur, matanya menatap pintu yang setengah terbuka. Suara langkah berat terdengar di ruang tamu, tetapi tidak ada jawaban.Dia mengerutkan kening, merasa ada yang tidak biasa. Pisau dapur yang sedari tadi digunakan untuk memotong sayur kini digenggam lebih erat."Mas, kalau bercanda, ini nggak lucu!" Suaranya mulai terdengar tegang.Langkah itu berhenti, digantikan oleh suara napas berat yang menyeramkan. "Siapa di sana?" Ratih meninggikan suara. Tangannya yang gemetar bersiap dengan pisau, berjaga-jaga dari kemungkinan buruk.Lampu dapur yang redup tiba-tiba berkedip-kedip menciptakan bayangan aneh di dinding. Beberapa detik kemudiann, semuanya padam."Ya Allah!' pekiknya panik. Ratih menggerakkan tangan ke arah dinding. Mencoba meraba saklar lampu. Namun, sebelum berhasil, suara napas itu terdengar lagi—lebih dekat, seperti ada dibelakangnya."Pergi!" teriak Ratih. "Siapa pun kamu pergi dari kehidupanku!"Dapur berubah sunyi. Hanya ada suara na
Ratih berjalan pelan di tengah malam, Setibanya di depan rumah Kyai Ahmad, dia mengetuk pintu kayu yang usang, dan tak lama kemudian, suara berat dari dalam rumah terdengar."Siapa itu?" suara Kyai Ahmad terdengar begitu dalam dan menggetarkan.Ratih mengumpulkan keberanian. "Assalamu'alaikum, Kyai. Saya Ratih."Pintu terbuka perlahan."Wa'alaikumsalam, Nak. Masuklah," jawab Kyai Ahmad dengan suara yang tenang, mempersilakan Ratih masuk ke dalam rumahnya.Ratih melangkah masuk, dan dalam sekejap, dia merasa seolah berada di tempat yang jauh berbeda. Kehangatan dan ketenangan langsung menyelimuti dirinya, seakan-akan seluruh kekhawatirannya sedikit berkurang. Kyai Ahmad mempersilakan Ratih duduk di sebuah kursi bambu yang terletak di tengah ruangan."Sampaikan kenapa kamu datang kesini lagi, Nak," kata Kyai Ahmad, duduk di hadapan Ratih dengan tatapan yang tajam namun penuh pengertian.Ratih menarik napas panjang dan mulai menceritakan segalanya. "Kyai, suami saya, Bagas, sedang dilan
Semenjak Bagas mengungkapkan perjanjian pesugihan kepada istrinya. Hari demi hari, Bagas tidak terfokus dengan ladangnya. Dia telah lama tidak berkunjung atau hanya sekedar melihat hasil panennya. 'Ratih, sekarang nggak pernah melihat ku lagi di rumah! Hem! Ini semakin lebih berat dari yang aku bayangkan!' Bagas duduk di ruang tamu dengan wajah letih. Tangannya gemetar menggenggam secangkir kopi yang belum disentuh. Dia tahu Ratih pergi tanpa izin, tetapi tak punya keberanian untuk menanyakannya. “Mas Bagas,” panggil Ratih tegas. Suaranya membuat pria itu tersentak. “Ratih ... kamu dari mana?” Bagas mencoba terdengar santai, meski matanya menyiratkan rasa takut. Ratih berjalan mendekat, menatap Bagas dengan mata yang tajam namun penuh harapan. “Aku bertemu Kyai Ahmad Syafii.” Mata Bagas membesar. “Apa? Kenapa kamu melibatkan orang luar, Ratih? Ini masalah kita!” “Masalah kita?” Ratih tertawa pahit. “Mas, ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang hidup kita, Kamu pikir aku akan
Ratih menyeka air matanya, lalu mendekati Bagas. Kali ini suaranya melembut, tapi tetap penuh ketegasan. "Mas, kamu yang memulai semua ini dan kamu harus menyelesaikannya. Kalau kamu benar-benar mencintaiku, buktikan. Kita hadapi makhluk itu. Tapi aku punya syarat." Bagas mengangkat wajahnya, mencoba menangkap harapan di mata istrinya. "Apa syaratnya, Tih?" "Kamu harus putuskan semua hubungan dengan ilmu hitam itu. Tidak ada lagi pesugihan, tidak ada lagi kompromi. Kalau kamu berani melawan makhluk itu, aku akan berdiri di sisimu. Tapi kalau kamu nggak berani, Mas... aku pergi," tegas Ratih. 'Meski aku sebenarnya udah nggak mau lagi menjalin hubungan ini sama kamu, Mas!' Ratih berbicara dalam hatinya. Bagas terdiam lama, memikirkan kata-kata istrinya. Kengerian mulai merayap di hatinya. Namun, jauh di dalam dirinya, ada dorongan yang perlahan tumbuh: harapan dan keberanian. "Baik, Ratih. Aku akan melawan. Aku akan menebus kesalahanku ... demi kamu." Di luar, suara angin yang mend
"Bajingan! dasar Bagas bodoh!" Ki Praja duduk bersila di dalam sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya lilin. Di hadapannya, sebuah kendi tanah liat berisi cairan hitam berkilau. Dia menggumamkan mantra pelan, matanya terpejam, wajahnya penuh konsentrasi. Tiba-tiba, bayangan samar muncul di permukaan cairan kendi itu—bayangan Ratih sedang menggenggam jimat utama yang baru saja ditemukan."Dasar Bagas, goblok! Udah aku katakan untuk menyimpan jimat itu dengan benar!"Seketika, napas Ki Praja berubah menjadi berat. Matanya terbuka lebar dengan sorot penuh kemarahan. Dia menatap kendi itu dengan tatapan yang tajam, tubuhnya bergetar menahan amarah.“Dasar perempuan licik! Bagaimana bisa dia menemukan jimat itu?!” desis Ki Praja dengan suara rendah namun penuh dendam.Dia meraih tongkat kayu di sampingnya dan memukul meja kayu di depannya dengan keras. "Bajingan! Bagas bodoh! Sudah aku peringatkan untuk menyimpan jimat itu dengan benar!"Suara meja yang terbelah menjadi du
Tiba-tiba cahaya terang muncul di sekeliling Ratih. Genderuwo itu menjerit keras, tubuhnya perlahan memudar hingga menghilang dari pandangan. Ratih terjatuh ke lantai, napasnya tersengal. Dia memeluk jimat itu erat, air mata mengalir di pipinya. “Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan aku kalah,” bisiknya dengan suara parau, sebelum semuanya kembali sunyi. Saat itu, Ratih terbangun dengan napas tersengal. Pandangannya mulai kembali terang, ruangan yang sebelumnya terasa seperti mimpi buruk kini terlihat nyata di hadapannya. Jemarinya masih menggenggam erat jimat yang baru saja diambil. “Aku harus segera pergi dari sini! Sebelum Mas Bagas pulang!” gumamnya dengan nada panik. Ratih berdiri dengan tubuh yang masih lemas. Dia memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang melihatnya. Dengan langkah cepat, dia keluar dari ruangan rahasia itu, namun perasaannya masih dipenuhi kecemasan. Setiap suara kecil membuatnya melonjak kaget, takut kalau Bagas sudah pulang atau ada yang memergoki
“Nak Ratih, sudah siap?” Kyai Ahmad sambil menatap Ratih dengan serius. Ratih mengangguk, meskipun tangannya gemetar. “Insya Allah, Pak Kyai. Saya sudah membaca doa pelindung sepanjang malam. Saya harus siap.” Kyai Ahmad memberikan senyuman kecil untuk menyemangatinya. “Ingat, fokus pada Allah. Jangan biarkan rasa takut menguasai dirimu. Kami semua ada di sini untuk mendukungmu.” Murid-murid Kyai Ahmad yang berada di ruangan itu juga menatap Ratih dengan penuh dukungan. Salah satu dari mereka, Feri , berkata, “Kami akan menjaga ruang ini dengan zikir dan doa. Bu Ratih tidak sendiri!" “Terima kasih. Aku nggak bisa membiarkan Genderuwo terus menguasai hidup kami,” jawab Ratih dengan nada tegas. Ruang ritual di belakang aula telah disiapkan dengan hati-hati. Di tengah ruangan, terdapat meja kecil yang dikelilingi lilin-lilin besar. Sebuah mangkuk tembaga berisi air ruqyah ditempatkan di atas meja, sementara di sekitarnya terdapat garam yang telah didoakan, kain putih, dan minya
Dia menghela napas panjang, lalu menenangkan pikirannya. ‘Aku harus memutuskan ini semua. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Mas Bagas boleh aja menyerah, tapi aku nggak!’ pikirnya tegas. Hari itu berlalu dengan penuh aktivitas. Murid-murid Kyai Ahmad membersihkan aula belakang pesantren, mengatur meja, dan menyiapkan segala bahan yang diperlukan untuk ritual. Ruangan itu mulai terasa berbeda, penuh dengan aura ketenangan dan kekhusyukan. Sementara itu, Kyai Ahmad meluangkan waktu untuk membimbing Ratih secara pribadi. Dia mengajari Ratih cara membaca doa pelindung dengan intonasi yang benar dan membantu memperkuat keyakinannya melalui zikir dan shalat. “Nak Ratih, ingatlah bahwa Genderuwo akan semakin marah dan berusaha mengintimidasi kita. Tapi jangan pernah berhenti membaca doa ini, apa pun yang terjadi,” pesan Kyai Ahmad. Ratih mencoba menguatkan dirinya. "Aku tau Kyai. Aku udah siap apapun hasil dan gangguannya!" Malam sebelum ritual, Ratih duduk di depan Kyai
“Ratih, apakah kamu benar-benar yakin ingin melanjutkan ini?” Kyai Ahmad bertanya dengan nada tegas, memecah keheningan. Ratih mengangguk mantap. “Pak Kyai, aku nggak punya pilihan lain. Kehidupanku sudah sangat sengsara dengan makhluk ini. Meski aku tahu ini semua terjadi karena perbuatan suamiku sendiri, aku tetap yakin untuk melanjutkannya!” ucapnya, suaranya bergetar namun penuh tekad. Mata Kyai Ahmad yang tajam menelusuri wajah Ratih, mencari keraguan, tetapi tidak menemukannya. Gadis itu telah melalui banyak hal, dan sorot matanya menunjukkan keberanian yang lahir dari keputusasaan. Kyai menarik napas panjang, lalu berkata, “Baik. Kalau begitu, kita harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik mungkin. Ritual ini tidak mudah dan akan menguras tenaga, baik secara fisik maupun spiritual. Genderuwo akan berusaha mempertahankan ikatan ini dengan segala cara.” Ratih menggenggam kedua tangannya di atas pangkuannya, mencoba menguatkan dirinya. “Apa yang harus aku lakukan,
"Ketika kamu merasa takut, ingatlah bahwa hanya Allah yang Maha Kuasa. Jangan biarkan Genderuwo menguasai pikiranmu," pesan Kyai Ahmad sebelum Ratih pulang.Ratih mencoba menenangkan hatinya, meskipun gelombang ketakutan terus datang menghantam. Ini bukan hanya pertarungan melawan makhluk gaib, tetapi juga melawan rasa takut dan keraguan dalam dirinya. Perlawanan kali ini, ia tahu, akan jauh lebih berat dibanding sebelumnya.Setelah berjam-jam berdoa dan mempersiapkan diri, Kyai Ahmad memberikan sebuah botol kecil berisi minyak wangi yang sudah diruqyah."Gunakan ini dengan bijak, Ratih. Dan jangan lupa, setiap langkah yang kamu ambil harus dimulai dengan doa," kata Kyai Ahmad sambil menyerahkan botol itu.Ratih menerima botol itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Pak Kyai. Saya akan berusaha sekuat tenaga.”Kyai Ahmad tersenyum lembut, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. "Allah bersamamu, Nak. Jangan lupa, ajak Bagas untuk berjuang bersamamu. Dia juga harus menghadapi i
"Pak Kyai, saya sudah tahu di mana jimat itu disembunyikan," ujar Ratih dengan suara tegas, meskipun kecemasan masih menggelayuti hatinya. "Dimana kamu menemukannya, Nak Ratih?" tanya Kyai, wajahnya penuh perhatian. "Mas Bagas sudah membohongi kita, Kyai! Waktu kita berusaha membantu dan mencari jimat itu—ternyata Mas Bagas sudah menyembunyikannya. Jimat itu ada padanya! Tapi dia malah menggiring kita ke hutan belakang yang jauh dari desa!" jelas Ratih, suaranya dipenuhi kekecewaan. "Astagfirullah, Nak Bagas!" seru Kyai dengan terkejut, sambil memegangi dadanya. "Pantas saja dia kekeh untuk tidak bertemu dengan saya lagi. Perasaan saya selama ini benar." Ratih kemudian menunjukkan sebuah benda yang di duganya juga jimat Bagas. Kyai langsung memegang jimat itu. "Ini jimat yang ketiga! Ada jimat yang utama masih sama dia! Semoga dia belum memakannya!" seru Kyai. Ratih melongok dengan ucapan Kyai yang seperti berbisik itu. Ratih kemudian, mengubah ekspresinya dengan keyakinan. "
Ketika Bagas pulang malam itu, Ratih sudah menunggunya di ruang tamu dengan jimat di tangannya. Begitu melihat benda itu, wajah Bagas berubah pucat."Ratih, apa yang kamu lakukan?" tanyanya tajam, suaranya bercampur antara marah dan panik.Ratih berdiri tegak, menggenggam jimat erat di tangannya. "Ini yang kamu sembunyikan, kan? Jimat ini sumber semua masalah kita, Mas."Bagas melangkah cepat, mencoba merebut jimat itu, tetapi Ratih menghindar. "Kembalikan itu, Ratih! Kamu nggak tahu apa yang kamu lakukan!"Ratih menatapnya dengan mata yang penuh emosi. "Aku tahu lebih banyak dari yang kamu kira. Benda ini bukan memberikan, Mas. Ini kutukan! Kalau kita nggak menghancurkannya, hidup kita akan terus dihantui!"Bagas menghela napas, wajahnya terlihat putus asa. "Ratih, kalau jimat ini dihancurkan, semua yang kita miliki akan hilang. Rumah ini, usaha kita, semuanya!""Apa gunanya semua itu kalau kita kehilangan harga diri, Mas?" seru Ratih dengan suara bergetar. "Kekayaan nggak ada artiny
Keesokan harinya, Ratih mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang Bagas. Saat sarapan, dia memulai dengan nada santai."Mas, kamu tahu nggak ada pintu terkunci di ruangan kerjamu?" tanya Ratih sambil menyeduhkan tehnya.Bagas menghentikan gerakannya, sendok terhenti di udara."Kenapa kamu ke ruangan kerjaku?" tanyanya dengan nada tinggi.Ratih berpura-pura santai. "Aku cuma iseng lihat-lihat. Pintu itu bikin aku penasaran. Mas tau apa isinya?"Bagas berusaha menenangkan diri. "Itu cuma tempat aku menyimpan barang-barang pribadi. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan.""Tapi kenapa harus dikunci rapat?" desak Ratih dengan senyum kecil."Ratih, aku sudah bilang, jangan ganggu urusanku," kata Bagas dengan nada tegas. Dia berdiri dari kursinya, meninggalkan sarapan yang belum selesai.Ratih menatap kepergiannya dengan perasaan campur aduk. Dia tahu, semakin Bagas menghindar, semakin besar kemungkinan bahwa jimat itu memang ada di balik pintu terkunci.'Mas, kamu nggak bisa menyembunyikann