Share

Bab 9 - Perang Batin

Bab 9 - Selena Lyra

Menyeramkan rasanya melihat sisi lain El yang menyerupai macan kelaparan. Akan tetapi, aku tidak kuasa melawan bahkan, untuk sekadar berteriak meminta tolong. El memonopoli seluruh kinerja tubuhku, jiwaku. Terlebih peringatannya barusan, membuatku mengingat hal-hal mengerikan yang sebelum ini sudah kusaksikan di banyak media informasi. Tentang robeknya lubang senggama seorang gadis korban pemerkosaan yang otomatis membuatku menangis ngeri, tentang pembunuhan setelah persetubuhan brutal, sungguh, diam adalah gagasan terbaik bagiku saat ini.

El mendaratkan kecupan di keningku, intens dan lama. Aku bisa merasakan kehangatan menjalar dari titik itu ke seluruh tubuh dan berangsur-angsur mengalihkan rasa perih pada area intimku.

"Aku akan mulai bergerak!" pamitnya sebelum meninggalkan keningku.

Pinggul El bergerak mundur secara lambat, menarik tubuhku ikut bersamanya. Tanpa bisa kutahan, rintihan piluhku tersiar.

"Bertahanlah Selena!" ujar El kemudian mendorongku lambat. Begitu terus sampai secara signifikan kecepatannya bertambah.

"El." Aku menyerukan namanya selagi menderita karena ulahnya. Anehnya, penderitaan ini membuat tubuhku merasakan candu. Batinku berperang melawan diriku sekarang.

Setiap hentakannya terasa mendebarkan di bawah pusar serta jantungku. Aku tak lagi bisa fokus mengawasi ketampanan El yang sejak tadi bertengger di depan mukaku. Kepalaku berkali-kali terdorong menengadah, mataku mengerjap di luar kendaliku serta berair berkat gejolak dari dalam diriku yang sulit kutafsirkan maknanya. Apakah ini yang disebut kenikmatan bercinta? Dan apakah pada akhirnya aku menikmati permainannya? Selena sadarlah, kamu sedang mengalami pencabulan! Tidak, aku tidak ingin sadar, oh Tuhan, ini terlalu sayang untuk dihentikan, rasanya aku ingin El terus bergerak di antara kakiku ... selamanya.

"Panggil namaku lagi Selena, tolong!" pintanya berikut tatapan memohon dan aku terlalu lemah untuk menolaknya.

"El ...." desahku di sela-sela usaha menyetabilkan napas serta kinerja tubuhku. "Elmond!" Mendadak punggunggku melenting ke belakang.

"Tidak, tidak, jangan sekarang!" timpal El membingungkanku.

"A—apa?" responsku tak habis pikir. Aku yang semula merasa telah sampai ke langit ketujuh, tiba-tiba tersungkur ke tanah. Perasaan tak puas menjalari hatiku dan aku masih mencari alasan atas reaksi kehilanganku setelah El memutuskan menghentikan aksinya.

El kemudian merebahkan diri di atas karpet sembari membawaku bersamanya. Kini, posisiku berada di atasnya dan kedua tungkaiku mengurung area pinggangnya. Seperti anak kecil yang baru bangun tidur setelah diguyur sebaskom air dingin, aku mematung linglung.

"Aku ingin kamu memimpin!" kata El.

El menguntai senyum termanis yg seumur hidupku baru kusaksikan. Dia meraih pinggangku yang berbalut bathrobe dan menuntunku lembut bergerak naik dan turun.

"Ya ... seperti itu!" katanya sembari memejam lalu menengadah.

Aku pun menemukan fakta baru bahwasanya, posisi ini tidak terlalu buruk dan justru mengurangi sebagian besar rasa perihku. Lututku menumpu di lantai, tubuhku bergerak naik dan turun, menelusuri setiap inchi milik El. Tanpa melihat, aku bisa menggambarkan betapa besar dan kokohnya kejantanan El melalui rasa ketatnya di dalam milikku.

Aku terus menunduk selagi bergerak. Mati-matian menyembunyikan ekspresiku dari El. Namun, El menggagalkan usahaku, dia mengulurkan tangan kanannya, mengangkat daguku.

"Kamu tidak perlu menyembunyikan apapun dariku," katanya. Kami bersitatap intens selagi aku bergerak aktif di atas tubuhnya. Aku tidak bisa menolak keinginannya selagi dia menggunakan wajah tampan itu untuk memintaku dengan sopan.

Segala bisikan ibu peri silih berganti mendobrak akal sehatku, tapi aku tidak mampu kembali ke wujud Selena si anak baik. Pesona El membuatku tidak  berdaya bagai tikus got dalam perangkap di samping itu, aku memang tidak mampu melawan paksaannya. Dia terus menarikku jatuh ke pelukannya dan memperingatkanku tentang kemungkinan terluka bila aku memberontak, begitulah alasan yang hendak kusampaikan kepada Gita nanti.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya El tiba-tiba. Aku pun terkesiap.

"Tidak, tidak ada," jawabku buru-buru. Aku sedikit terkesima mendapati kondisi terkininya. Dia terengah, mata sayunya diselimuti kabut nafsu, bulir-bulit keringat membalur wajah, dada bidang serta perut berototnya mengundangku untuk menjamah. Perlahan, tanganku yang sejak tadi menyilang di dada, berpindah ke permukaan perutnya.

Tak lama, El meraih kedua tanganku dan menarikku ke pelukannya. Hal ini praktis menghentikan gerakanku. Telingaku jatuh tepat di dada kirinya, di mana debaran jantungnya bertalu-talu.

"Kamu, adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku," terang El menegaskan arti eksitensiku di hidupnya. Aku pun tersanjung mendengarnya.

"Menikahlah denganku Selena," imbuhnya.

"A-aku ..." Aku tergagap. Seketika, wajah mas Bagas menyelinap ke dalam benakku padahal sejak tadi, dia sama sekali tidak muncul seiring sirnanya tekadku untuk melawan El.

El mempererat pelukannya di tubuhku, pinggulnya menghentak lincah memenuhi kekosongan pikiran dan batinku. Aku mendongak berusaha membaca ekspresi El, dan benar saja, dia menatapku tajam menuntut jawaban dariku.

Aku menatapnya sambil menggigit bibir bawahku demi meredam sensasi berdebar di bawah perutku.

"Jawab aku Selena!" todongnya sekali lagi. "Berhentilah menggodaku dengan menggigit bibir!" imbuhnya.

Sungguh, aku tidak bermaksud melakukan apa yang dituduhkannya padaku.

Aku menggeleng sambil memejam erat, netraku menghasilkan lebih banyak bulir air mata dari sebelumnya. Aku tak kuasa menahan sesuatu dari dalam diriku yang secara bertahap merangkak naik. Sebuah sensasi aneh yang nikmat sekaligus tidak nyaman. Namun, gelombang yang sesaat lalu seolah hendak mendobrak ubun-ubunku, kembali surut tepat setelah El menghentikan laju aktifnya.

"Jawab, atau aku tidak akan membiarkanmu mencapai pelepasan!" tutur El. Nadanya memang mengancam dan aku harusnya menghawatirkannya bila saja aku tahu maksudnya.

"Pelepasan? Melepas apa?"

"Orgasme, kamu tidak tahu apa itu?"

Aku menggeleng pelan.

"Aaargh sial! Pantas saja sejak tadi kamu tidak protes padahal aku terang-terangan sedang mempermainkanmu," gerutunya.

El merengkuh pinggangku dan membalik posisi kami tanpa peringatan sebelumnya. Membuatku memekik terkejut.

El menghentak kencang tubuhku tanpa jeda lalu secepat kilat, gelombang itu muncul kembali mendebarkan area bawah pusarku dan terus merangkak menuju ubun-ubun. Kepalaku berdenyut seperti mau pecah, tulang punggungku tertarik melenting ke belakang seiring eranganku yang menggema di seantero ruangan. Di saat kepalaku menengadah dan mataku memejam rapat, aku bisa merasakan tubuhku mengejang hebat tanpa mampu kukendalikan. Susah payah aku membuka mata dan aku hanya mendapati pemandangan langit-langit ruangan yang mengabur.

Detik berikutnya, El mengikuti tindakanku. Kejantannya berdenyut kuat di dalam milikku dibarengi dengan erangan tertahannya. Dia lalu terkulai di atas tubuhku, seraya mengusap-usap lembut puncak kepalaku.

"Itu yang namanya orgasme," bisiknya di telinga kiriku. "Bagaimana rasanya?"

Luar biasa, batinku. Rasanya tidak bisa kulukiskan dengan apapun, tidak sesenang mendapatkan sepeda pertama atau lulus kuliah dengan predikat cummlaude. Rasanya benar-benar baru, dan mampu membuatku mendambakannya lagi dan lagi. Seluruh beban di pikiran dan hatiku seolah menguar tanpa bekas.

El berkeringat begitu juga denganku. Situasi diam ini malah membuatku kembali menggigil kedinginan. Sepertinya El juga merasakan hal yang sama denganku. Terlebih dia melucuti pakaiannya, menyisahkan celana yang menggantung di paha.

"Masih sakit?" tanya El. Dia menatapku penuh perhatian seolah sedang memastikan apakah aku terluka cukup parah setelah pergumulan kami barusan.

Aku menggeleng lembut.

"Sungguh?" sambungnya tak yakin.

Mau tak mau aku menambahkan senyuman di sela-sela gelenganku. Dasar bodoh, aku baru saja dinodai dan sekarang aku malah tersenyum manis kepada pelaku kejahatannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status